Norin dan Bernard sama-sama terperanjat begitu mendengar pintu diketuk. Tentulah saat ini sedang ada seseorang yang berdiri di balik pintu ruang kerja Norin, pikir mereka.
“Kamu gila, Bernard!” desis Norin sambil melirik tajam ke arah CEO yang juga merupakan kekasihnya.Sedangkan Bernard, ia hanya terdiam dan mengerjap beberapa kali untuk mengumpulkan kesadaran yang sedari tadi tertutup oleh kabut amarah.“No-Norin … aku … maafkan aku …,”Tok ! Tok! Tok!Norin serta Bernard serentak menoleh ke arah pintu yang kembali diketuk.“Ya, tunggu sebentar!” teriakan Norin kepada seseorang di balik pintu membuat Bernard tidak melanjutkan permintaan maafnya.Norin tidak peduli. Setelah merapikan pakaiannya, ia bergegas menyambar jas serta tas kerjanya, lalu melangkah ke arah pintu dan membuka kuncinya.“Maaf membuat kalian menunggu, tadi ada pembicaraan sangat penting yang disampaikan Tuan Bernard,” ucap Norin setelah membuka pintu dan mendapati ada dua orang dari bagian maintenance berdiri di balik pintu.Norin sengaja memberikan penekanan saat mengucapkan kalimat ‘sangat penting’ untuk menyindir kelakuan buruk sang CEO.Dua orang teknisi itu sempat saling bertukar tatap sekejap saat mendapati CEO mereka berdiri di dalam ruang kerja Norin, tetapi cepat-cepat mereka menyunggingkan senyum hipokrit untuk Norin serta Bernard.“Oh, bukan masalah, Bu,” jawab salah seorang teknisi yang hendak menyervice AC di ruangan Norin, sedangkan yang lainnya hanya tersenyum hangat.“Oke, silakan masuk! Nanti kalau sudah selesai, kalian bisa mengunci pintunya dan titipkan saja kuncinya ke ruangan security. Besok saya ambil di sana,” titah Norin kepada dua orang teknisi itu.Tanpa babibu lagi, Norin bergegas melangkah pergi meninggalkan ruangan.Bernard sempat terhenyak sesaat begitu mendengar kata ‘besok’ yang tadi diucapkan Norin.Namun cepat-cepat ia berlari mengejar Norin.“Norin, mau ke mana kamu?!” Bernard tidak peduli pada para karyawan lain yang memperhatikannya saat ini. Yang ada di pikiran Bernard hanyalah mengejar Norin sebelum gadis itu benar-benar pergi.“Norin! Berhenti, kataku!” teriak Bernard saat mendapati Norin sudah berdiri di depan lift.Gadis itu mendengus kesal, ia merotasikan dua bola matanya sebelum membalikkan badan ke arah Bernard yang semakin mendekat.“Maafkan saya, Tuan Bernard, saya harus izin pulang lebih awal karena ada yang membuat saya merasa tidak enak badan,” ucapan Norin begitu lembut terdengar.Kekasih rahasia Bernard itu sengaja berbicara menggunakan bahasa formal kepada Bernard karena ia sadar sedang menjadi tontonan oleh karyawan yang lain.Bernard menghela napas kesal. Ia menyadari kebodohannya saat ini.Setelah melirik ke arah sekitar, ia mulai bersikap layaknya seorang CEO yang sedang berbicara kepada sekretarisnya.“Baiklah, kamu boleh istirahat sekarang. Tapi jangan lupa, nanti jam tujuh malam kita ada janji makan malam dengan Tuan Matthew, jangan sampai kamu tidak datang. Bawa juga semua berkas yang kita perlukan.”Bernard tidak menunggu jawaban dari Norin. Ia segera melangkah pergi usai berpura-pura bersikap diktator kepada Norin di hadapan para karyawannya.***“Argh …! Bernard sialan!”Norin mengumpat kesal begitu sampai di dalam mobil.Ia memasang earphone sembari menginjak pedal gas dalam-dalam, membuat mobilnya melesat cepat meninggalkan lokasi perkantoran The Royal Shipping Club.“Hallo, William?” sapa Norin bernada kesal kepada seseorang di sambungan telepon.“Wow! Slow down, Baby! Hahaha … Ada apa? Kenapa marah-marah begitu?” sahut seseorang bernama William.“Aku muak dengan Bernard! Aku muak dengan rencanamu!” Norin terus menumpahkan kekesalannya kepada William.“Temui aku di Hokey Pokey sekarang!” tanpa menunggu jawaban dari William, Norin memutus sambungan telepon setelah menyebutkan nama salah satu restaurant di kota ini.***Sementara itu di lain tempat, Matthew yang sudah sampai di hotel tempatnya menginap tampak sedang sibuk dengan ponselnya.Kring! Kring!Kring! Kring!Suara bel di kamar Matthew terdengar. Pria itu berdiri untuk membukakan pintu bagi seseorang di baliknya yang ia yakini adalah Aiden.“Permisi, Tuan,” tepat seperti dugaan Matthew, Aiden tengah berdiri di depan kamarnya.“Maaf mengganggu waktu istirahat Anda. Sekarang sudah waktunya makan siang, Tuan ingin menikmati makan siang di restaurant bawah atau saya perlu meminta service room untuk membawakan makan siang Anda ke kamar?” tanya Aiden sopan.“Eum … kita turun saja ke bawah.”Setelah memberi keputusan, Matthew menutup pintu dan menuju ke restaurant yang disediakan oleh pihak pengelola hotel. Sedangkan Aiden, ia dengan setia mengekor di belakang Matthew.“Dengar-dengar Hokey Pokey ini salah satu restaurant terbaik di Queenstown, Tuan,” bisik Aiden saat keduanya sudah sampai di depan restaurant yang berada di lantai satu.“Benarkah?” tanya Matthew dengan senyum tipis di sudut bibirnya.Keduanya memilih table di sudut ruangan dengan spot terbaik. Dari sini mereka bisa melihat ke seluruh ruangan.“Beri aku redwine lagi satu botol!” ucap seorang perempuan kepada salah satu servant yang berdiri di dekatnya.Matthew dan Aiden menoleh ke arah perempuan yang duduk di meja bersebelahan dengan mereka.“Baik, Nona! Segera saya antarkan pesanan Anda. Harap tunggu sebentar,” sahut sang servant kepada perempuan yang sibuk memotong daging steak-nya.Matthew tertawa kecil setelah tanpa sengaja mendengar percakapan antara perempuan itu dan servant.“Ada apa, Tuan? Apa yang membuat Anda tertawa?” tanya Aiden penasaran.“Ku pikir cuma aku yang memiliki masalah berat, ternyata gadis itu juga,” ujar Matthew masih menampilkan sisa senyum di bibirnya.Aiden sedikit mengernyit mendengar penuturan tuannya. “Dari mana Anda tahu kalau gadis itu sedang bermasalah, Tuan?”“Hahah! Come on, Aiden. Siang-siang begini minum sebotol redwine sendirian, apa lagi alasan gadis itu minum-minum sendiri kalau tidak sedang ingin melupakan masalahnya?” dengan percaya diri Matthew berhipotesa.“Ah, benar juga!” sahut Aiden sepakat.Percakapan Matthew dan Aiden terhenti saat menu makanan yang mereka pesan sudah datang.Sesaat berlalu, Matthew dan Aiden tampak sedang menikmati makan siang mereka, hingga suara gadis di meja sebelah itu kembali mencuri perhatian keduanya.“Apa? Kamu tidak bisa datang? Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku bahkan sudah pesankan tambahan redwine. Ku pikir kau akan kemari!” tanpa sengaja gadis itu berbicara cukup keras kepada seseorang di sambungan telepon.Memang tidak bermaksud mencuri dengar, tetapi kemarahan gadis itulah yang membuatnya berbicara cukup lantang hingga membuat Matthew dan Aiden bisa mendengar ucapan gadis itu dengan cukup jelas.“Sialan kau, William! I hate you! Aku benar-benar membencimu! Dan semua rencanamu itu, aku benar-benar membenci itu semua!” umpat gadis itu lagi sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.Hal ini membuat Matthew dan Aiden saling bertukar tatap sambil sesekali mencuri pandang ke arah gadis yang sedari tadi sedang mereka perhatikan.Gadis itu lagi-lagi menuangkan redwine-nya ke dalam gelas lalu menenggaknya hingga tidak ada sisa sedikitpun di dalam gelas.Aiden bahkan sampai menelan salivanya sendiri menyaksikan tingkah gadis yang tampak sangat marah itu.“Eum … bukan apa-apa, tapi aku khawatir bagaimana cara dia pulang nanti. Aku rasa dia sudah cukup mabuk,” bisik Matthew kembali berhipotesa sesukanya. “Benar, Tuan! Dia sudah menghabiskan setengah botol minumannya. Itu sudah cukup untuk membuat tingkat kesadarannya berkurang,” bisik Aiden menimpali ucapan Matthew.Keduanya sampai saling berhadapan sambil mencondongkan badan ke tengah meja hanya demi membahas gadis di meja sebelah.Brak …!Sontak Matthew serta Aiden terkejut mendengar suara keras dari arah gadis itu.Rupanya gadis itu terjatuh saat hendak bangkit berdiri meninggalkan tempatnya.Tanpa berpikir apapun, Matthew bergegas menghampiri gadis itu untuk menolongnya.“Nona? Kau tidak apa-apa?” tanya Matthew seraya berusaha menopang tubuh gadis yang masih terduduk di lantai itu.“Tuan, saya rasa dia sudah sangat mabuk. Dia terlalu banyak minum,” ujar Aiden sambil menunjuk ke arah redwine yang hanya tersisa sedikit di botolnya.Matthew mengangguk menyetujui ucapan Aiden.“Permisi, ada yang bisa kami bantu?” salah seorang servant datang menawarkan bantuan, diikuti oleh seorang manager operasional yang bertanggung jawab di restaurant ini.“Eum …,”“William! Bernard! Kalian berdua … sialan! Ya, kalian sialan!”Belum sempat Matthew menjawab pertanyaan sang servant, tiba-tiba gadis itu meracau sambil menunjuk-nunjuk ke arah Matthew dan Aiden.Dua pria yang tidak tahu-menahu apa-apa mengenai gadis itu hanya bisa celingukan karena ulah si gadis mabuk.“Oh, kalian mengenal gadis itu? Apa kalian temannya?” tanya sang manager kepada Matthew serta Aiden.“Kami-,”“Iya! Kami temannya! Biar kami yang bertanggung jawab!” Matthew menjawab dengan tegas sebelum Aiden mengatakan hal sebaliknya.“Urus semua bill-nya, aku akan membawanya lebih dulu ke atas. Susul kami setelah membereskan semuanya!” Matthew tanpa ragu memberi perintah kepada Aiden.“Siap, Tuan!” jawab Aiden penuh rasa hormat.Dengan mudah Matthew mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya ala bridal style dan membawanya ke kamar, tempatnya menginap.***“Ck! Kenapa kau harus mabuk di depanku? Merepotkan!” gerutu Matthew pada gadis yang sedang hilang kesadaran itu.Ia meletakkan tubuh lunglai gadis tidak berdaya itu ke atas tempat tidurnya.Bahkan Matthew bisa dengan lembut melepaskan kedua high heels yang dipakai sang gadis.“Hey!”Matthew mencoba membangunkan gadis itu dengan menepuk-nepuk pelan pipi kirinya.“Hey, Nona! Apa kau mendengarku?” tanya Matthew terus berusaha.“Nona? Hallo? Bisakah kau mendengarku?” tanyanya lagi.“Argh! Brengsek kau, Bernard! Apa lagi yang kau mau? Menguasaiku? Huh?!”Matthew terkejut saat gadis yang sedari tadi terbaring di ranjangnya tiba-tiba mencengkram kuat kemeja yang dipakai Matthew sambil meracau tidak jelas.“Wo-woy! Nona! Apa yang kau lakukan? Lepaskan bajuku!” Matthew sedikit meronta agar bisa meloloskan diri dari cengkraman gadis mabuk itu.“Apa maumu, Tuan Bernard?! Katakan apa maumu! Menguasaiku seperti yang kau lakukan selama ini? Iya?! Atau … hahah! Ya, kau ingin menciumku seperti tadi? Aku bonekamu! Kau menguasai hidupku! Bukan begitu?!”Tanpa membuka mata, gadis itu terus meracau tanpa memberikan kesempatan Matthew untuk menjeda ucapannya.“Ini kan yang kau mau?!”Dengan segenap tenaga yang tersisa, gadis yang masih mencengkram kuat kemeja Matthew itu mendorong tubuh Matthew hingga membuatnya terpelanting ke ranjang tidur.Saat ini posisi mereka berbalik 180⁰. Gadis yang sedari tadi terbaring di atas tempat tidur, kini sudah berada di atas dada bidang Matthew yang terlentang dan menindihnya.Lalu …Matthew terhenyak saat bibir gadis itu tiba-tiba mendarat tepat di bibirnya hingga indra pengecap mereka saling bertautan.Matthew merasakan sesuatu yang lembut dan hangat itu sedang menginvasi mulutnya.BersambungMatthew yang awalnya berniat tulus untuk menolong gadis mabuk itu, kini justru merasa terkejut oleh perlakuan gadis yang sedang tidak sadarkan diri itu.Bagaimana tidak? Gadis itu tiba-tiba menindih tubuh Matthew di atas tempat tidur, lalu tanpa ragu mencium pria itu tepat di bibirnya.Bukan hanya ciuman biasa! Dari cara gadis itu mencium bibir Matthew, pria itu bisa menduga bahwa gadis itu tentu sudah sangat sering memanjakan pria dengan bibirnya.‘Shit!’Matthew mengumpat dalam hati. Bukan karena Matthew tidak menyukai ciuman itu, bukan! Tetapi karena gadis itu mencium Matthew dalam kondisi tidak sadar.Matthew bukanlah pria psikopat yang mau memanfaatkan situasi untuk kesenangannya saja.Sembari mengimbangi ciuman intens dari gadis itu, Matthew berusaha memaksa pikirannya agar tetap waras.“Eum … sorry …,” tutur Matthew begitu berhasil melepaskan bibirnya dari gadis mabuk itu.“Hahah! Itu kan yang kamu mau? Menguasaiku! Menguasai hatiku! Menguasai tubuhku! Kau ingin menguasai hidup
"Ah, Itu dia! Sekretaris kami sudah datang!" seru Lisya yang seketika menatap ke arah pintu masuk ruang VVIP.Matthew seketika tercengang setelah menoleh ke belakang, tepatnya melihat ke arah pintu masuk. "Kamu …," gumamnya lirih tanpa mengalihkan tatapannya dari sekretaris keluarga Gregorius."Hah? Bag-bagaimana bisa?!" tak kalah tercengangnya dengan Matthew, sekretaris itu juga terhenyak saat melihat kehadiran Matthew di momen makan malam ini.Seolah tak peduli pada sekeliling, keduanya kembali saling bertukar tatap. Manik mata berwarna biru terang milik gadis itu lagi-lagi terperangkap pada manik mata hijau kecoklatan milik Matthew."Kalian … kalian sudah saling kenal?" tanya Lisya sedikit tergagap.Pertanyaan dari Lisya berhasil menginterupsi perhatian Matthew dan sekretaris itu."Ya!" jawab Matthew tanpa mengalihkan tatapannya dari gadis di hadapannya.Tiba-tiba bibir Matthew menyunggingkan sebuah senyum smirk yang menjadi ciri khasnya.Berbeda dengan Norin yang justru tampak pa
Kurang dari tiga puluh menit yang lalu, Matthew keluar restoran bersama Aiden."Tuan?" panggil Aiden yang berjalan di sisi kiri Matthew dan berjarak sekitar satu langkah di belakang."Hm?" gumam Matthew merespon tanpa menghentikan langkah."Saya rasa Anda tanpa sadar sudah membuat kakak-beradik Gregorius panas hati," ujar Aiden apa adanya.Masih tetap melanjutkan langkah, Matthew hanya melirik sekilas ke arah Aiden. "Maksudmu?""Sepanjang makan malam, saya mengamati dengan teliti bagaimana gelagat Tuan Bernard dan Nona Lisya. Mereka tampak tidak suka melihat cara Anda mencuri-curi pandang ke arah Nona Norin," kata Aiden menjelaskan."Benarkah?" tanya Matthew memastikan."Saya rasa seperti itu. Tapi keduanya berhasil menutupi dan menjaga sikap di depan Anda," Aiden menyampaikan asumsinya."Apa mungkin mereka takut aku mendekati Norin dengan tujuan mencari informasi perusahaan?" tanya Matthew meminta pendapat dari orang kepercayaannya."Itu kemungkinan yang pertama, Tuan. Kemungkinan ke
Sepasang sepatu pantofel hitam mengkilap yang dipakai Matthew, mengetuk-ngetuk lantai marmer di perusahaan The Royal Shipping Club.Di belakangnya ada Aiden yang selalu setia mengiringi kemanapun Matthew beranjak.Keduanya tampak berjalan santai namun tetap penuh wibawa ketika mengikuti seorang resepsionis yang hendak mengantarkan mereka bertemu Bernard."Hai, Norin. Seperti yang aku sampaikan di telepon tadi, ada yang ingin bertemu Tuan Bernard," Clara, sang resepsionis di perusahaan itu sengaja meminta izin kepada Norin yang merupakan sekretaris pribadi Bernard."Oke. Kedatangan Tuan Lutof memang sudah ditunggu-tunggu oleh Tuan Bernard. Thank you, Clara. Kamu bisa kembali ke depan," jawab Norin sopan.Senyum ramah tampak mengawali percakapan yang terjadi antara Norin dan Matthew.“Senang bertemu denganmu lagi, Nona Norin!” Matthew sengaja menyapa Norin dengan lembut, lengkap dengan senyum manisnya yang menampilkan lesung tipis di kedua pipinya.Bukannya segera menjawab sapaan dari M
“Kalau begitu, sekalian saja buatkan reservasi untuk kita berdua, Norin!” ucap Bernard tanpa ragu. Pria itu hanya ingin menunjukkan di hadapan Matthew bahwa Norin itu miliknya seorang!Matthew sempat saling bertukar tatap dengan Aiden. Sampai di titik ini ia paham apa yang diinginkan oleh Lisya serta Bernard, maka Matthew sengaja mengikuti aturan mainnya.“Atau kita bisa sekalian makan malam berempat saja! Benar kan, Nona Norin?”Deg!Ucapan Matthew seketika membuat suasana kian memanas.Tidak ada yang mau memberi jawaban lebih dulu. Baik Lisya maupun Bernard sama-sama keberatan dengan usulan Matthew.“Kenapa? Apa ada yang keberatan dengan usul saya?” Matthew kembali melanjutkan pertanyaannya.“Oh, tentu tidak! Kami tentu tidak keberatan. Iya kan, Bernard?” sahut Lisya berusaha menutupi ketidaksukaannya.Mendengar ucapan yang terlontar dari bibir adiknya, mau tidak mau Bernard harus mengiyakan ucapan itu.“Tentu. Tidak ada masalah dengan usulan Anda, Tuan Lutof,” ujar Bernard, kali in
Driver yang diandalkan Matthew berhasil mengejar mobil Bernard meskipun spek mobil yang dikendarai mereka bukanlah spek mobil sport seperti milik Bernard.Berkat skill mengemudi sang driver, kini Matthew sudah berada tidak terlalu jauh dari apartemen tempat tinggal Norin.“Aiden, aku berhasil membuntuti Bernard dan Norin. Aku berada di dekat apartemen gadis itu sekarang,” ujar Matthew sedikit berbisik pada Aiden melalui sambungan telepon.CEO Marine Lighthouse itu bahkan sampai tak segan untuk keluar dari mobil dan mengendap perlahan ke salah satu balik dinding bangunan yang bisa dijadikannya sebagai tempat persembunyian untuk mengamati Norin dari jarak tertentu.“Apa saya perlu menyusul ke sana, Tuan? Apa yang bisa saya bantu sekarang?” usul Aiden menawarkan diri.“No! No! Tidak perlu. Sebentar lagi aku juga pulang,” sahut Matthew cepat.“Eh? Tapi tunggu! Siapa pria itu?”Tanpa sadar Matthew meracau sendiri dalam gumamannya saat kedua netranya menangkap ada seorang pria yang tiba-tiba
Norin menatap punggung empat orang penting yang sedang berjalan menjauh, menuju ke luar gedung office. Tepatnya ke arena pelabuhan.Keempat orang itu ialah Bernard, Lisya, Matthew serta Aiden.Hari ini memang para petinggi perusahaan itu ada schedule untuk membawa Matthew serta Aiden berkeliling melihat kondisi lapangan, sesuai permintaan Matthew.Kesempatan ini dimanfaatkan Norin untuk melaksanakan misinya. Sebelumnya, gadis pirang bermata biru terang itu menyempatkan diri untuk bertukar pesan dengan pria bernama William.Norin: Siang ini aku bisa leluasa mencari file-file yang kita perlukan di ruang kerja Bernard.William: Kau yakin? Biasanya ruang gerakmu terbatas oleh Bernard.Norin: Dia ada jadwal mendampingi kolega bisnisnya melihat kondisi lapangan. William: Kalau begitu kau harus bergerak cepat.Norin: Shit! Aku tau apa yang harus aku lakukan.William: Oke. Aku tidak sabar menunggu kabar baik darimu.Norin: Aku tidak sabar melepaskan diri dari status umpan seperti ini!Willia
Matthew membawa harapan besar dalam dirinya ketika memutuskan untuk kembali mendatangi kota Queenstown.Bukan hal mudah baginya untuk menyusuri setiap jengkal dari jalanan kota ini.Tempat ini memiliki berjuta kenangan di setiap sudutnya. Entah kenangan menyenangkan maupun menyakitkan.Dengan secarik kertas yang telah diberikan kepada driver, Matthew berharap bisa mendatangi lagi rumah di mana ia dulu tinggal, tepatnya ketika ia masih kanak-kanak. Sebelum peristiwa naas yang merenggut nyawa kedua orang tuanya itu terjadi.Tapi apa yang dilihatnya kini?Bibirnya menganga seakan tak percaya tatkala mendapati lokasi di hadapannya itu tidak lagi memperlihatkan bangunan rumah megah yang dimiliki keluarganya dulu.“Tapi … tapi … ini …,”Matthew tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Pemandangan yang tersaji di hadapannya kini membuat CEO dari Marine Lighthouse itu kehilangan perbendaharaan kata dalam dirinya.“Tuan? Yang mana rumah masa kecil Anda? Kenapa seperti ini?” Aiden tidak bisa menyembu
“What the hell!!” Bernard merasakan keanehan-keanehan saat berada di apartemen Norin. Bermula dari suara pecahan benda dari kamar sebelah, disusul dengan suara gaduh dari pantry. “Ada apa sebenarnya ini!?” Racau pria itu saat berbalik arah dari kamar ke pantry. “Ya Tuhan, bebaskan aku dari situasi mencekam ini, please!” desis Norin kesal. “Astaga, kenapa tempat sampah di pantry bisa jatuh berantakan?” pekik Bernard sambil menuju ke tempat sampah yang tergeletak di lantai. Norin, Sissy, dan semua orang yang bersembunyi di apartemen itu merasa tenggorokannya tercekat saat Bernard melangkah menuju pantry. “Tuan, biar saya yang periksa!” Sissy buru-buru menghentikan langkah Bernard. “Lebih baik Anda temani Nona Norin. Biar saya yang bereskan sampahnya.” Brak!! Pintu kamar terbuka, lalu tertutup dalam sekejap. “Astaga, maaf aku telah menjatuhkan lampu tidur!” pekik Nancy seraya keluar kamar. Dengan begitu, perhatian Bernard serta yang lain teralihkan ke arah Nancy. “Nancy? Are y
“Apa!?”Matthew dan yang lainnya tersentak mendengar informasi yang baru saja diucapkan Norin.“Astaga kita harus bagaimana!?” tanya Norin panik.“Cepat sembunyi!” celetuk William ikut panik.“Sissy, Nancy, cepat singkirkan semua gelas ini ke pantry. Jangan sampai Bernard melihatnya!” ucap Norin sedikit gemetar melihat belasan gelas dan botol wine yang tersaji di ruang tengah.Mendengar itu, Sissy dan Nancy bergerak cepat membereskan perkakas itu.“Semuanya masuk ke ruangan lain. Kosongkan kamar Norin!” ujar Matthew memimpin yang lain.“Hanya ada dua kamar di sini, sekarang ditempati Sissy dan Nancy selama mereka tinggal di sini,” tutur Norin menjelaskan.“Tidak apa-apa, sembunyi saja di sana, ayo!” Matthew bergerak menuju ke kamar Sissy dan Nancy, diikuti yang lain.“Norin, kau ke depan sekarang dan temui Bernard. Usahakan keberadaannya di sini tidak lama,” ujar Matthew kepada Norin.Ting! Tong! Ting! Tong! Ting! Tong!Di luar, Bernard semakin tidak sabar menunggu pintu dibukakan un
Di kediaman mewah keluarga Gregorius, Draco, orang kepercayaan Vincent Gregorius, tanpa ragu mengetuk pintu ruang pribadi atasannya.“Masuk!” teriak Vincent dari dalam ruangan.“Permisi, Tuan! Ada kabar terkini dari para anak buah yang saya tugaskan untuk mengusut kasus kemarin,” ujar Draco tanpa ragu.“Sudah puluhan tahun kau bekerja denganku, Draco. Kau paham kan informasi seperti apa yang bisa aku terima?” balas Vincent memperingati.“Informasi ini sudah valid, Tuan. Mereka sudah menemukan siapa pelaku penembakan tempo hari.”Ucapan Draco berhasil memantik keingintahuan Vincent. “Siapa mereka? Siapa yang telah berani berurusan denganku?”“Masuklah, kalian!” seru Draco kepada anak buahnya yang masih menunggu di luar ruangan.BRAKKK!!!Seorang pria babak belur dengan kedua tangannya yang terborgol tiba-tiba jatuh tersungkur memasuki ruangan di mana ada Vincent serta Draco di dalamnya.“Bangun, Bodoh!” bentak salah satu anak buah Draco sambil menarik paksa tubuh pria itu agar berjalan
Mendengar fakta buruk tentang kebusukan perilaku Vincent Gregorius di masa lalu, telah sukses memupuk kebencian yang telah tertanam di dalam benak Matthew selama puluhan tahun.Ia mengepal geram membayangkan kelakuan biadab Vincent kala itu.Namun, satu notifikasi tanda pesan masuk telah mampu membuat pria yang tengah menginterogasi Orland Xef itu kehilangan konsentrasi.“Kita pulang sekarang!” titah Matthew kepada Aiden dan Bryan.“Siap, Tuan! Saya siapkan armada sekarang,” sahut Aiden yang lantas segera menghubungi pilot pribadi Matthew.Kedua anak buah Matthew berjalan mengikuti atasannya keluar.“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” pekik Orland Xef yang sontak membuat langkah Matthew terhenti.Putra tunggal keluarga Anderson itu menoleh. “Kembali ke Queenstown dan bekerja untukku. Aku butuh bantuanmu untuk memberi Vincent terapi moral.”“Tapi … aku sedang melarikan diri darinya. Aku yakin cepat atau lambat, dia pasti tahu kalau akulah orang di balik kekacauan yang terjadi tempo ha
WELLINGTON, NEW ZEALAND“Siapa kalian!?”Seorang pria memekik terkejut karena tempat tinggalnya tiba-tiba didatangi oleh tamu tak diundang.Aiden menatap wajah pria itu lebih cermat, lalu mengangkat selembar potret wajah di tangannya hingga keduanya tampak sejajar.“Benar dia orangnya, Tuan,” ujar Aiden setelah memastikan bahwa mereka tidak salah orang.“Brengsek! Siapa kalian!? Kenapa sembarangan masuk ke rumah orang!?” Komplain sang pemilik kamar.“Seandainya kedatangan kami disambut dengan baik, kami tidak mungkin bersikap arogan semacam ini,” tutur Matthew tanpa sesal sedikit pun!CEO itu memberi kode kepada Bryan agar menutup serta mengunci pintu utama.Setelah mengangguk paham, Bryan melakukan perintah seperti yang diinginkan Matthew.“Jadi … ini tempat tinggal Anda sekarang, Tuan Orland Xef?” Tatapan Matthew tampak begitu tajam saat menuturkan pertanyaannya.“Ap-apa maksudmu!? Siapa kalian ini? Kenapa kemari!?” Orland Xef sampai terbata saat berucap. Ia memperhatikan Matthew
Hugo sama sekali tidak menyangka kalau El Jova berada di pihak musuh yang telah berhasil menewaskan pemimpinnya.“Apa maumu?” tanyanya kepada El Jova.“Jawab pertanyaan Matthew. Katakan yang sejujurnya. That’s it.”“Kau dan Tuan Zif sudah sepakat untuk tidak saling mengusik satu sama lain. Tapi kenapa kau berdiri di pihak lawan kami dan melakukan penyerangan?” ujar Hugo kesal.“Kelompokmu yang lebih dulu menyerang! Kenapa kalian melakukan penembakan di acara peresmian keluarga Vincent Gregorius?” tanya Matthew menginterupsi.“Ada urusan apa kau dengan keluarga Gregorius? Kami menyerang mereka, bukan kau!” hardik Hugo kepada Matthew.Plak!Tamparan keras kembali diberikan Matthew untuk tawanannya itu. “Kau melukai orang-orang tidak bersalah, Bodoh!”“Aku tidak tahu! Aku hanya melaksanakan perintah. Tuan Zif memberi perintah kepadaku, Max, dan juga George untuk melakukan penembakan beruntun itu!” teriak Hugo membela diri.“Untuk apa Zif memberi perintah itu?” sela El Jova penasaran. “Ap
Bryan serta Jarvis yang masing-masing sedang kepayahan melawan lima orang anggota mafia Eagle Snake, seketika tercengang manakala suara desingan peluru menggema di tepian danau Wakatipu, Queenstown, New Zealand.Keduanya menyadari, pasalnya, mereka datang menemui sekelompok mafia ini hanya bertiga dengan Matthew. Sisanya adalah para lawan, termasuk Max yang sempat mereka tawan.“Tuan Matthew,” gumam Jarvis dan Bryan bersamaan. Pandangan semua orang terarah pada Matthew yang sedang dikekang oleh lima orang lain anggota Eagle Snake, anak buah Zif Bayyer.“Tuan Zif!” pekik Hugo tercengang!“Tu-tuan!” gumam para anggota Eagle Snake yang lain.“Argh …! Brengsek! Bangsat!” Zif mengerang kesakitan, diikuti dengan umpatan-umpatan kekesalan saat ia merasakan tangan kanannya menjadi tempat bersarang sebuah timah panas.Pistol glock yang semula diarahkan Zif untuk menembakkan peluru ke dada Matthew pun terjatuh begitu saja.Pimpinan Eagle Snake itu menoleh ke sisi kanan untuk mengetahui siapa y
“Siapkan Max dan jaga baik-baik. Jangan lepaskan dia sebelum aku mendapatkan apa yang aku mau dari Zif Bayyer.”Terdengar suara Matthew memberikan koordinasi kepada El Jova melalui sambungan telepon.“Oke. Sepuluh menit lagi kami berangkat,” jawab El Jova sebelum menutup telepon.El Jova menyimpan kembali ponselnya ke saku jaket yang dipakainya.“Taylor, keamanan markas aku percayakan padamu,” ujar El Jova pada salah satu member El Warrior yang berjaga di pintu utama markas.“Dengan senang hati, Tuan! Walaupun sebenarnya saya lebih senang jika bisa ikut berpesta dengan Anda malam ini,” sahut Taylor menyemangati.“Hahah! Jangan lupa, kau masih punya luka bekas tusukan di perutmu,” ucap El Jova sambil menunjuk perut Taylor memakai dagunya.Taylor tertawa kecil mendengar ucapan pemimpinnya. “Hahah! Baru minggu lalu kita berpesta membasmi musuh. Sekarang Tuan sudah harus berpesta menghadapi musuh yang lain. Ternyata musuh kita ada di mana-mana, Tuan.”“Tentu saja! Selama masih ada kubu-kub
Bernard merasa sedikit janggal saat berjalan menuju ruang IGD dan tidak lagi mendapati orang-orang yang ia kenal.Seharusnya, entah Matthew atau yang lainnya ada di depan ruangan itu seperti hari kemarin.“Ke mana mereka? Kenapa tidak ada yang menunggui Norin?”Sementara ini Bernard hanya bisa bermonolog sambil terus melangkah.Ceklek!Pria itu merasa antusias saat melihat salah seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang IGD.“Permisi, saya ingin tahu perkembangan kondisi pasien atas nama Notin Nathania,” kata Bernard kepada sang perawat.“Norin Nathania?” ulang wanita di hadapannya.“Iya. Norin Nathania yang semalam dirawat di ruang IGD karena terkena luka tembak.”Bernard terus berusaha menyebutkan apapun yang berkaitan tentang Norin demi mendapatkan informasi.“Oh … pasien luka tembak yang semalam membutuhkan transfusi darah, ya?” “Nah! Iya, benar! Bagaimana kondisinya sekarang? Apa masih kritis di ruang IGD?”“Tidak, Tuan. Pasien itu sudah membaik. Beliau sudah dipindahkan k