Matthew yang awalnya berniat tulus untuk menolong gadis mabuk itu, kini justru merasa terkejut oleh perlakuan gadis yang sedang tidak sadarkan diri itu.
Bagaimana tidak? Gadis itu tiba-tiba menindih tubuh Matthew di atas tempat tidur, lalu tanpa ragu mencium pria itu tepat di bibirnya.Bukan hanya ciuman biasa! Dari cara gadis itu mencium bibir Matthew, pria itu bisa menduga bahwa gadis itu tentu sudah sangat sering memanjakan pria dengan bibirnya.‘Shit!’Matthew mengumpat dalam hati. Bukan karena Matthew tidak menyukai ciuman itu, bukan! Tetapi karena gadis itu mencium Matthew dalam kondisi tidak sadar.Matthew bukanlah pria psikopat yang mau memanfaatkan situasi untuk kesenangannya saja.Sembari mengimbangi ciuman intens dari gadis itu, Matthew berusaha memaksa pikirannya agar tetap waras.“Eum … sorry …,” tutur Matthew begitu berhasil melepaskan bibirnya dari gadis mabuk itu.“Hahah! Itu kan yang kamu mau? Menguasaiku! Menguasai hatiku! Menguasai tubuhku! Kau ingin menguasai hidupku! Brengsek kau!” gadis itu kembali meracau menumpahkan semua beban pikirannya sambil memukul-mukul dada Matthew.Sang CEO dari Marine Lighthouse itu hanya bisa terdiam pasrah di bawah kungkungan tubuh gadis cantik di hadapannya.“Kau … kau brengsek ….”Gadis itu kembali tidak sadarkan diri. Tubuhnya seketika rebah menindih dada Matthew.Perlahan Matthew membalikkan posisi mereka kembali ke posisi semula.Ia merebahkan tubuh gadis itu di atas tempat tidur.“Kau manis, kau cantik, tapi merepotkan! Menyusahkan!” lagi-lagi Matthew menggerutu kesal sambil memandangi wajah cantik gadis yang terpejam itu.Menit demi menit berlalu hingga berganti jam.Matthew yang baru saja keluar dari kamar mandi menyempatkan diri untuk melirik jam dinding di salah satu sisi ruangan.“Ck! Kenapa dia belum bangun, satu jam dari sekarang aku harus pergi menemui Lisya,” ujar Matthew bermonolog.Di tengah kekalutannya, sebuah ide muncul di kepala. Ia pun bergegas menghubungi nomor ekstensi untuk memanggil layanan room service.“Hallo? Tolong bawakan segelas air lemon hangat ke kamar 1011. Thank you!”Matthew menutup sambungan teleponnya, lalu kembali mendekati gadis mabuk itu.“Hey, Nona! Siapa namamu? Ku mohon bangunlah …!” Matthew sampai mengguncang pelan tubuh gadis itu, berharap dengan begitu bisa membangunkan gadis di hadapannya.Ting … tong …Ting … tong…“Ah, itu dia!” Matthew beranjak membukakan pintu dan mendapati seorang room service di sana.“Maaf, ini pesanan Anda, Tuan!” ucap room service seraya menyodorkan air lemon sesuai pesanan.“Ah, oke! Ambil ini lalu kau bisa pergi!” sahut Matthew begitu selesai memberikan tip kepada pekerja hotel itu.***Setelah berusaha puluhan kali untuk membangunkan gadis itu, Matthew melihat gadis itu mulai mengerjap.“Di-di mana aku?” belum sempat gadis itu meminta keterangan dari Matthew, ia lebih dulu teringat akan tanggung jawabnya. “Astaga! Ya Tuhan! Sudah hampir malam! Aku ada pertemuan penting!”Gadis itu melompat dari tempat tidur, tetapi kepalanya yang masih pusing membuatnya kembali terhuyung.“Nona? Kau tidak apa-apa?” tanya Matthew khawatir.“Kau … siapa kau?!” gadis itu tampak panik saat mendapati Matthew masih memakai bathrobe yang menandakan bahwa pria itu baru saja selesai mandi.“A-aku …,”“Sepatuku? Di mana sepatuku?!”Belum sempat Matthew menjawab, gadis itu kembali melontarkan pertanyaan bernada penuh ketakutan.“Kau tenang dulu. Minum ini. Ini air lemon, baik untuk mengembalikan kesadaranmu!” ucap Matthew menyodorkan segelas air lemon.Tapi gadis itu menolak kebaikan Matthew mentah-mentah. Ia bahkan menggeleng dengan kuat.“Kenapa aku di sini? Siapa kau? Lalu di mana sepatuku? Kenapa kau mandi saat aku masih di sini? Apa yang kau lakukan selama aku tidak sadarkan diri?!”Berbagai rentetan pertanyaan terlontar dari gadis itu. Wajahnya mulai tampak sangat tidak bersahabat.“Awas ya, aku akan buat perhitungan jika kau berani macam-macam padaku!” ancam gadis itu tanpa ampun.“What?” Matthew tak mampu berkata-kata. Ia terkejut mendengar semua ucapan gadis itu.“Untuk apa aku-,”“Sudah, tidak perlu banyak alibi! Di mana sepatuku?!” lagi-lagi gadis itu memotong kalimat Matthew.Matthew merotasikan bola matanya ke atas seraya mendengus kesal.Ia lantas beranjak mengambil sepasang sepatu milik gadis itu dan mengembalikannya kepada sang pemilik.“Ingat baik-baik! Aku pasti menemuimu di lain waktu! Kau harus memberiku penjelasan atas apa yang terjadi!” ancam gadis itu lagi sembari berjalan menuju pintu.“Hey!” panggil Matthew malas.“Apa lagi?!” tanya gadis itu kasar.“Tasmu!” jawab Matthew singkat seraya menunjuk sebuah tas kerja di atas meja.Setelah menghujani Matthew dengan tatapan tajam, gadis itu menyempatkan dirinya untuk meraih tas lalu beranjak pergi meninggalkan pria asing yang tidak dikenalnya itu.“Dasar gadis sialan! Benar-benar merepotkan!” umpat Matthew kesal begitu gadis tadi sudah keluar dari kamarnya.***Matthew keluar dari mobil Limousine hitam. Satu langkah di belakangnya ada Aiden yang selalu setia mendampingi. Sesuai permintaan Lisya Gregorius, mereka tiba di restoran ini saat mendekati waktu makan malam."Aiden, aku ke toilet sebentar," ucap Matthew memberi instruksi Aiden untuk menghentikan langkah."Baik, Tuan, saya tunggu di dekat pintu masuk toilet," ucap Aiden penuh hormat.Memasuki area toilet, Matthew sempat melirik sekilas ke arah tulisan yang terletak di atas ruangan pertama dari pintu masuk. Di sana bertuliskan "Female", namun ia kembali fokus pada layar ponsel di tangannya."Awh!"Pyaarrr!!Tiba-tiba terdengar suara pekikan seorang gadis yang baru saja keluar dari dalam toilet wanita. Bersamaan dengan itu, terdengar pula suara ponsel milik Matthew yang terjatuh hingga membentur lantai."Shit!" umpat Matthew kaget."Astaga! Maaf!" Gadis yang baru saja bertabrakan dengan Matthew itu segera membungkukkan badannya untuk mengambil ponsel milik Matthew."Kamu …?" Matthew memandang tajam seraya meraih ponsel yang disodorkan oleh gadis cantik di depannya. “Kau lagi?!” pekik sang gadis dengan tatapan tajam.Pada momen ini keduanya saling bertukar tatap sampai beberapa detik kedepan, hingga akhirnya gadis itu lebih dulu menggelengkan kepala untuk mengembalikan konsentrasi dirinya yang sempat menguap beberapa saat."Sial sekali aku harus bertemu denganmu lagi!” gadis itu kembali mencibir.“Begitu menurutmu? Kau pikir aku tidak sial karena bertemu denganmu hari ini? Bahkan sampai dua kali!” balas Matthew tidak kalah pedas. Kini ia tidak segan untuk menunjukkan wajah kesalnya."Kalaupun ada yang paling sial di antara kita berdua, sudah pasti itu adalah aku! Siapa yang bisa menjamin kalau kau tidak memanfaatkan keadaan selama aku tidak sadarkan diri? Tidak ada!” tandas gadis itu dengan nada meninggi.Bibir Matthew menganga lebar mendengar ucapan gadis di hadapannya yang sama sekali tidak disaring lebih dulu.“Kau … argh!” tangan Matthew mengepal kuat. Hatinya begitu panas mendengar ucapan gadis yang ditemuinya hari ini.“Whatever! Terserah kau mau berpikir seperti apa dan menganggapku seperti apa! Dasar wanita gila!” Matthew tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Ada hal jauh lebih penting yang harus diurusnya setelah ini.“What?! Kau mengabaikanku?!” gadis semampai itu melotot menatap Matthew yang sudah beranjak meninggalkannya.Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat Matthew memasuki ruangan khusus yang berada persis di sebelah toilet wanita, bertuliskan Nursery Room.“Hah?!” gantian bibir gadis itu yang menganga lebar."Owh, shit! What the hell!" lagi-lagi sebuah umpatan lolos begitu saja dari bibir Matthew.Tubuhnya terasa kaku seketika, dan kedua kakinya seakan sedang terpaku pada tempatnya berdiri."Aaaaa …!!! Dasar pria mesum!! Keluar!!! Kurang ajar!! Pria brengsek!!"Terdengar berbagai macam umpatan dari dalam ruangan yang bersebelahan dengan toilet wanita."Ma-maaf! Saya … saya tidak sengaja!!" Matthew berseru kepada para ibu yang sedang mengurus bayi mereka di dalam ruangan itu."Hahah! Kau mengataiku wanita gila, padahal sudah jelas siapa yang gila di antara kita berdua!” gadis itu merasa puas sekali melihat Matthew manahan malu.“Kau wanita gila! Aku bersumpah akan membuat hidupmu menderita!” Matthew meracau sembarangan sebagai ungkapan kekesalannya.“Ish! Terserah!” pekik gadis itu tidak mau kalah.Beruntung Matthew segera pergi dari lokasi toilet, karena jika dibiarkan pertengkarannya dengan gadis itu tidak akan menemui ujungnya.***"Selamat malam, Tuan Lutof! Senang bertemu Anda!" sapa Lisya dengan senyum cerah yang tersungging di wajahnya begitu Matthew dan Aiden sudah memasuki ruang VVIP di restoran ini. Tangannya lantas terulur menjabat Matthew."Selamat malam, Nona Gregorius! Saya pun senang bisa bertemu Anda!" jawab Matthew yang juga memamerkan senyum terbaiknya. Ia bahkan sengaja menatap Lisya tepat di kedua manik matanya.Tatapan Lisya terpaku saat dua pasang netra itu bertemu. Wanita itu terpana pada ketampanan wajah Matthew. Rambut-rambut tipis yang menghiasi pipi dan rahang pria itu juga semakin memberikan kesan macho. Sementara sepasang manik matanya yang berwarna hijau kecoklatan pun semakin memberikan kesan hangat dalam diri Matthew."Ehem!"Lisya sedikit tersentak saat mendengar Bernard berdehem keras. Cepat-cepat ia melepaskan jabatan tangannya dari Matthew."Eh, umm … maaf, ini kakak saya, Bernard Gregorius, CEO di The Royal Shipping Club," ucap Lisya sedikit gugup.Kini tatapan Matthew beralih kepada Bernard. Dijabatnya tangan Bernard yang sudah terulur ke arahnya."Selamat malam, Tuan Gregorius! Senang bertemu dengan Anda!" Matthew lebih dulu mengucapkan salam."Selamat malam, Tuan Lutof! Terima kasih sudah berkenan datang," sambut Bernard ramah."Dan perkenalkan, ini Aiden Smith, asisten pribadi saya," Matthew tak lupa memperkenalkan orang kepercayaannya."Senang bertemu Tuan dan Nona Gregorius!" sapa Aiden seraya membungkukkan badannya sedikit."Baik, silakan duduk, Tuan Lutof dan Tuan Smith!" ucap Bernard mempersilakan."Kebetulan sekretaris saya sedang dalam perjalanan. Sembari menunggu, silakan dinikmati menu yang sudah kami siapkan," kata Bernard lagi melanjutkan obrolan.Begitu semua sudah duduk manis, Lisya segera memberi tanda kepada servant yang bertugas untuk menghidangkan menu makanan."Kami harap Anda suka dengan menu yang kami pesankan," ucap Lisya basa-basi untuk memulai obrolan agar suasana tidak begitu kaku."Ah, saya percaya Anda memiliki selera yang baik, Nona Gregorius," jawab Matthew yang juga bertujuan mencairkan suasana."Hahaha, saya anggap itu sebagai suatu sanjungan, Tuan Lutof," cicit Lisya seraya terkekeh kecil.Matthew mengangguk dengan senyum tipis di bibirnya."Saya ikut senang mendengar pria bangsawan seperti Anda mau membuat adik perempuan saya tersipu seperti ini," Bernard ikut menimpali obrolan, membuat Matthew mengalihkan atensi padanya."Anda berlebihan, Tuan Gregorius. Saya bukan keturunan bangsawan," sergah Matthew tanpa sungkan."Ah, hahaha! Tapi untuk seorang petinggi perusahaan shipping line seperti Anda rasanya masih pantas jika dibandingkan dengan seorang bangsawan," sanjung Bernard berkamuflase.Matthew terdiam, telinganya sedikit tergelitik mendengar ucapan Bernard."Lalu bagaimana kalau seorang bangsawan itu sudah tidak memiliki kuasa dan kekayaan? Apa menurut Anda dia sudah tidak layak jika dibandingkan dengan bangsawan lain yang masih memiliki segalanya?" Matthew sengaja menyudutkan Bernard menggunakan pertanyaan yang ia lontarkan.Baik Bernard maupun Lisya sama-sama terhenyak mendengar pertanyaan Matthew. Keduanya hanya bisa saling bertukar tatap dan menyunggingkan senyum kaku.Matthew tersenyum tipis. Ia sadar bahwa pertanyaannya barusan telah berhasil membuat sepasang kakak-beradik dari keluarga Gregorius ini tersudutkan."Entah kaya atau tidak, memiliki materi atau tidak, seorang bangsawan tetaplah bangsawan. Seorang pangeran tetaplah seorang pangeran meskipun dia tidak lagi tinggal di dalam istana raja. Karena yang menentukan siapa dia itu bukanlah materinya, melainkan garis keturunannya," ujar Matthew dengan suara tegas dan mantab.Lagi dan lagi … sepasang kakak-beradik Gregorius ini dibuat kalah telak oleh ucapan Matthew hingga keduanya hanya bisa memberi senyum kaku ke arah Matthew."Ah, Itu dia! Sekretaris kami sudah datang!" seru Lisya yang seketika menatap ke arah pintu masuk ruang VVIP.Matthew dan Aiden mengikuti pergerakan arah mata Lisya, yaitu pada pintu masuk ruang VVIP di belakang mereka.Deg!Seketika tercenganglah Matthew melihat siapa yang datang.Bersambung"Ah, Itu dia! Sekretaris kami sudah datang!" seru Lisya yang seketika menatap ke arah pintu masuk ruang VVIP.Matthew seketika tercengang setelah menoleh ke belakang, tepatnya melihat ke arah pintu masuk. "Kamu …," gumamnya lirih tanpa mengalihkan tatapannya dari sekretaris keluarga Gregorius."Hah? Bag-bagaimana bisa?!" tak kalah tercengangnya dengan Matthew, sekretaris itu juga terhenyak saat melihat kehadiran Matthew di momen makan malam ini.Seolah tak peduli pada sekeliling, keduanya kembali saling bertukar tatap. Manik mata berwarna biru terang milik gadis itu lagi-lagi terperangkap pada manik mata hijau kecoklatan milik Matthew."Kalian … kalian sudah saling kenal?" tanya Lisya sedikit tergagap.Pertanyaan dari Lisya berhasil menginterupsi perhatian Matthew dan sekretaris itu."Ya!" jawab Matthew tanpa mengalihkan tatapannya dari gadis di hadapannya.Tiba-tiba bibir Matthew menyunggingkan sebuah senyum smirk yang menjadi ciri khasnya.Berbeda dengan Norin yang justru tampak pa
Kurang dari tiga puluh menit yang lalu, Matthew keluar restoran bersama Aiden."Tuan?" panggil Aiden yang berjalan di sisi kiri Matthew dan berjarak sekitar satu langkah di belakang."Hm?" gumam Matthew merespon tanpa menghentikan langkah."Saya rasa Anda tanpa sadar sudah membuat kakak-beradik Gregorius panas hati," ujar Aiden apa adanya.Masih tetap melanjutkan langkah, Matthew hanya melirik sekilas ke arah Aiden. "Maksudmu?""Sepanjang makan malam, saya mengamati dengan teliti bagaimana gelagat Tuan Bernard dan Nona Lisya. Mereka tampak tidak suka melihat cara Anda mencuri-curi pandang ke arah Nona Norin," kata Aiden menjelaskan."Benarkah?" tanya Matthew memastikan."Saya rasa seperti itu. Tapi keduanya berhasil menutupi dan menjaga sikap di depan Anda," Aiden menyampaikan asumsinya."Apa mungkin mereka takut aku mendekati Norin dengan tujuan mencari informasi perusahaan?" tanya Matthew meminta pendapat dari orang kepercayaannya."Itu kemungkinan yang pertama, Tuan. Kemungkinan ke
Sepasang sepatu pantofel hitam mengkilap yang dipakai Matthew, mengetuk-ngetuk lantai marmer di perusahaan The Royal Shipping Club.Di belakangnya ada Aiden yang selalu setia mengiringi kemanapun Matthew beranjak.Keduanya tampak berjalan santai namun tetap penuh wibawa ketika mengikuti seorang resepsionis yang hendak mengantarkan mereka bertemu Bernard."Hai, Norin. Seperti yang aku sampaikan di telepon tadi, ada yang ingin bertemu Tuan Bernard," Clara, sang resepsionis di perusahaan itu sengaja meminta izin kepada Norin yang merupakan sekretaris pribadi Bernard."Oke. Kedatangan Tuan Lutof memang sudah ditunggu-tunggu oleh Tuan Bernard. Thank you, Clara. Kamu bisa kembali ke depan," jawab Norin sopan.Senyum ramah tampak mengawali percakapan yang terjadi antara Norin dan Matthew.“Senang bertemu denganmu lagi, Nona Norin!” Matthew sengaja menyapa Norin dengan lembut, lengkap dengan senyum manisnya yang menampilkan lesung tipis di kedua pipinya.Bukannya segera menjawab sapaan dari M
“Kalau begitu, sekalian saja buatkan reservasi untuk kita berdua, Norin!” ucap Bernard tanpa ragu. Pria itu hanya ingin menunjukkan di hadapan Matthew bahwa Norin itu miliknya seorang!Matthew sempat saling bertukar tatap dengan Aiden. Sampai di titik ini ia paham apa yang diinginkan oleh Lisya serta Bernard, maka Matthew sengaja mengikuti aturan mainnya.“Atau kita bisa sekalian makan malam berempat saja! Benar kan, Nona Norin?”Deg!Ucapan Matthew seketika membuat suasana kian memanas.Tidak ada yang mau memberi jawaban lebih dulu. Baik Lisya maupun Bernard sama-sama keberatan dengan usulan Matthew.“Kenapa? Apa ada yang keberatan dengan usul saya?” Matthew kembali melanjutkan pertanyaannya.“Oh, tentu tidak! Kami tentu tidak keberatan. Iya kan, Bernard?” sahut Lisya berusaha menutupi ketidaksukaannya.Mendengar ucapan yang terlontar dari bibir adiknya, mau tidak mau Bernard harus mengiyakan ucapan itu.“Tentu. Tidak ada masalah dengan usulan Anda, Tuan Lutof,” ujar Bernard, kali in
Driver yang diandalkan Matthew berhasil mengejar mobil Bernard meskipun spek mobil yang dikendarai mereka bukanlah spek mobil sport seperti milik Bernard.Berkat skill mengemudi sang driver, kini Matthew sudah berada tidak terlalu jauh dari apartemen tempat tinggal Norin.“Aiden, aku berhasil membuntuti Bernard dan Norin. Aku berada di dekat apartemen gadis itu sekarang,” ujar Matthew sedikit berbisik pada Aiden melalui sambungan telepon.CEO Marine Lighthouse itu bahkan sampai tak segan untuk keluar dari mobil dan mengendap perlahan ke salah satu balik dinding bangunan yang bisa dijadikannya sebagai tempat persembunyian untuk mengamati Norin dari jarak tertentu.“Apa saya perlu menyusul ke sana, Tuan? Apa yang bisa saya bantu sekarang?” usul Aiden menawarkan diri.“No! No! Tidak perlu. Sebentar lagi aku juga pulang,” sahut Matthew cepat.“Eh? Tapi tunggu! Siapa pria itu?”Tanpa sadar Matthew meracau sendiri dalam gumamannya saat kedua netranya menangkap ada seorang pria yang tiba-tiba
Norin menatap punggung empat orang penting yang sedang berjalan menjauh, menuju ke luar gedung office. Tepatnya ke arena pelabuhan.Keempat orang itu ialah Bernard, Lisya, Matthew serta Aiden.Hari ini memang para petinggi perusahaan itu ada schedule untuk membawa Matthew serta Aiden berkeliling melihat kondisi lapangan, sesuai permintaan Matthew.Kesempatan ini dimanfaatkan Norin untuk melaksanakan misinya. Sebelumnya, gadis pirang bermata biru terang itu menyempatkan diri untuk bertukar pesan dengan pria bernama William.Norin: Siang ini aku bisa leluasa mencari file-file yang kita perlukan di ruang kerja Bernard.William: Kau yakin? Biasanya ruang gerakmu terbatas oleh Bernard.Norin: Dia ada jadwal mendampingi kolega bisnisnya melihat kondisi lapangan. William: Kalau begitu kau harus bergerak cepat.Norin: Shit! Aku tau apa yang harus aku lakukan.William: Oke. Aku tidak sabar menunggu kabar baik darimu.Norin: Aku tidak sabar melepaskan diri dari status umpan seperti ini!Willia
Matthew membawa harapan besar dalam dirinya ketika memutuskan untuk kembali mendatangi kota Queenstown.Bukan hal mudah baginya untuk menyusuri setiap jengkal dari jalanan kota ini.Tempat ini memiliki berjuta kenangan di setiap sudutnya. Entah kenangan menyenangkan maupun menyakitkan.Dengan secarik kertas yang telah diberikan kepada driver, Matthew berharap bisa mendatangi lagi rumah di mana ia dulu tinggal, tepatnya ketika ia masih kanak-kanak. Sebelum peristiwa naas yang merenggut nyawa kedua orang tuanya itu terjadi.Tapi apa yang dilihatnya kini?Bibirnya menganga seakan tak percaya tatkala mendapati lokasi di hadapannya itu tidak lagi memperlihatkan bangunan rumah megah yang dimiliki keluarganya dulu.“Tapi … tapi … ini …,”Matthew tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Pemandangan yang tersaji di hadapannya kini membuat CEO dari Marine Lighthouse itu kehilangan perbendaharaan kata dalam dirinya.“Tuan? Yang mana rumah masa kecil Anda? Kenapa seperti ini?” Aiden tidak bisa menyembu
Ternyata Bernard tidak serta merta meloloskan Norin dari pertanyaan setelah ia membebaskannya tadi siang.Sore ini, tepatnya sebelum jam kerja usai, Bernard sengaja memanggil Norin ke ruangannya.Tujuannya tentu saja cuma satu, yaitu mencari jawaban atas kecurigaannya terhadap Norin.Dengan desakan yang cukup kuat, Bernard berhasil membuat Norin mau mengatakan alasan sesungguhnya yang membuat gadis itu diam-diam memasuki ruang kerjanya tanpa izin dan mengobrak-abrik beberapa file.“Apa alasanmu?” tanya Bernard di sela napasnya yang kian menderu.“Tapi janji tidak marah?” Gadis itu merasa harus terus merajuk demi keberlangsungan nasibnya.Bahkan Norin sengaja membiarkan tubuhnya menggelayut manja dalam dekapan pria itu, sementara tangan kirinya bergerak menyusuri dada bidang Bernard dengan lembut.“Ck! Cepat katakan, Norin!” Bernard semakin tidak sabar.“Janji?” rajuk Norin tidak mau kalah.Menatap wajah manis Norin yang tampak seperti anak kucing, pada akhirnya pria itu mengalah, “Ok
“What the hell!!” Bernard merasakan keanehan-keanehan saat berada di apartemen Norin. Bermula dari suara pecahan benda dari kamar sebelah, disusul dengan suara gaduh dari pantry. “Ada apa sebenarnya ini!?” Racau pria itu saat berbalik arah dari kamar ke pantry. “Ya Tuhan, bebaskan aku dari situasi mencekam ini, please!” desis Norin kesal. “Astaga, kenapa tempat sampah di pantry bisa jatuh berantakan?” pekik Bernard sambil menuju ke tempat sampah yang tergeletak di lantai. Norin, Sissy, dan semua orang yang bersembunyi di apartemen itu merasa tenggorokannya tercekat saat Bernard melangkah menuju pantry. “Tuan, biar saya yang periksa!” Sissy buru-buru menghentikan langkah Bernard. “Lebih baik Anda temani Nona Norin. Biar saya yang bereskan sampahnya.” Brak!! Pintu kamar terbuka, lalu tertutup dalam sekejap. “Astaga, maaf aku telah menjatuhkan lampu tidur!” pekik Nancy seraya keluar kamar. Dengan begitu, perhatian Bernard serta yang lain teralihkan ke arah Nancy. “Nancy? Are y
“Apa!?”Matthew dan yang lainnya tersentak mendengar informasi yang baru saja diucapkan Norin.“Astaga kita harus bagaimana!?” tanya Norin panik.“Cepat sembunyi!” celetuk William ikut panik.“Sissy, Nancy, cepat singkirkan semua gelas ini ke pantry. Jangan sampai Bernard melihatnya!” ucap Norin sedikit gemetar melihat belasan gelas dan botol wine yang tersaji di ruang tengah.Mendengar itu, Sissy dan Nancy bergerak cepat membereskan perkakas itu.“Semuanya masuk ke ruangan lain. Kosongkan kamar Norin!” ujar Matthew memimpin yang lain.“Hanya ada dua kamar di sini, sekarang ditempati Sissy dan Nancy selama mereka tinggal di sini,” tutur Norin menjelaskan.“Tidak apa-apa, sembunyi saja di sana, ayo!” Matthew bergerak menuju ke kamar Sissy dan Nancy, diikuti yang lain.“Norin, kau ke depan sekarang dan temui Bernard. Usahakan keberadaannya di sini tidak lama,” ujar Matthew kepada Norin.Ting! Tong! Ting! Tong! Ting! Tong!Di luar, Bernard semakin tidak sabar menunggu pintu dibukakan un
Di kediaman mewah keluarga Gregorius, Draco, orang kepercayaan Vincent Gregorius, tanpa ragu mengetuk pintu ruang pribadi atasannya.“Masuk!” teriak Vincent dari dalam ruangan.“Permisi, Tuan! Ada kabar terkini dari para anak buah yang saya tugaskan untuk mengusut kasus kemarin,” ujar Draco tanpa ragu.“Sudah puluhan tahun kau bekerja denganku, Draco. Kau paham kan informasi seperti apa yang bisa aku terima?” balas Vincent memperingati.“Informasi ini sudah valid, Tuan. Mereka sudah menemukan siapa pelaku penembakan tempo hari.”Ucapan Draco berhasil memantik keingintahuan Vincent. “Siapa mereka? Siapa yang telah berani berurusan denganku?”“Masuklah, kalian!” seru Draco kepada anak buahnya yang masih menunggu di luar ruangan.BRAKKK!!!Seorang pria babak belur dengan kedua tangannya yang terborgol tiba-tiba jatuh tersungkur memasuki ruangan di mana ada Vincent serta Draco di dalamnya.“Bangun, Bodoh!” bentak salah satu anak buah Draco sambil menarik paksa tubuh pria itu agar berjalan
Mendengar fakta buruk tentang kebusukan perilaku Vincent Gregorius di masa lalu, telah sukses memupuk kebencian yang telah tertanam di dalam benak Matthew selama puluhan tahun.Ia mengepal geram membayangkan kelakuan biadab Vincent kala itu.Namun, satu notifikasi tanda pesan masuk telah mampu membuat pria yang tengah menginterogasi Orland Xef itu kehilangan konsentrasi.“Kita pulang sekarang!” titah Matthew kepada Aiden dan Bryan.“Siap, Tuan! Saya siapkan armada sekarang,” sahut Aiden yang lantas segera menghubungi pilot pribadi Matthew.Kedua anak buah Matthew berjalan mengikuti atasannya keluar.“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” pekik Orland Xef yang sontak membuat langkah Matthew terhenti.Putra tunggal keluarga Anderson itu menoleh. “Kembali ke Queenstown dan bekerja untukku. Aku butuh bantuanmu untuk memberi Vincent terapi moral.”“Tapi … aku sedang melarikan diri darinya. Aku yakin cepat atau lambat, dia pasti tahu kalau akulah orang di balik kekacauan yang terjadi tempo ha
WELLINGTON, NEW ZEALAND“Siapa kalian!?”Seorang pria memekik terkejut karena tempat tinggalnya tiba-tiba didatangi oleh tamu tak diundang.Aiden menatap wajah pria itu lebih cermat, lalu mengangkat selembar potret wajah di tangannya hingga keduanya tampak sejajar.“Benar dia orangnya, Tuan,” ujar Aiden setelah memastikan bahwa mereka tidak salah orang.“Brengsek! Siapa kalian!? Kenapa sembarangan masuk ke rumah orang!?” Komplain sang pemilik kamar.“Seandainya kedatangan kami disambut dengan baik, kami tidak mungkin bersikap arogan semacam ini,” tutur Matthew tanpa sesal sedikit pun!CEO itu memberi kode kepada Bryan agar menutup serta mengunci pintu utama.Setelah mengangguk paham, Bryan melakukan perintah seperti yang diinginkan Matthew.“Jadi … ini tempat tinggal Anda sekarang, Tuan Orland Xef?” Tatapan Matthew tampak begitu tajam saat menuturkan pertanyaannya.“Ap-apa maksudmu!? Siapa kalian ini? Kenapa kemari!?” Orland Xef sampai terbata saat berucap. Ia memperhatikan Matthew
Hugo sama sekali tidak menyangka kalau El Jova berada di pihak musuh yang telah berhasil menewaskan pemimpinnya.“Apa maumu?” tanyanya kepada El Jova.“Jawab pertanyaan Matthew. Katakan yang sejujurnya. That’s it.”“Kau dan Tuan Zif sudah sepakat untuk tidak saling mengusik satu sama lain. Tapi kenapa kau berdiri di pihak lawan kami dan melakukan penyerangan?” ujar Hugo kesal.“Kelompokmu yang lebih dulu menyerang! Kenapa kalian melakukan penembakan di acara peresmian keluarga Vincent Gregorius?” tanya Matthew menginterupsi.“Ada urusan apa kau dengan keluarga Gregorius? Kami menyerang mereka, bukan kau!” hardik Hugo kepada Matthew.Plak!Tamparan keras kembali diberikan Matthew untuk tawanannya itu. “Kau melukai orang-orang tidak bersalah, Bodoh!”“Aku tidak tahu! Aku hanya melaksanakan perintah. Tuan Zif memberi perintah kepadaku, Max, dan juga George untuk melakukan penembakan beruntun itu!” teriak Hugo membela diri.“Untuk apa Zif memberi perintah itu?” sela El Jova penasaran. “Ap
Bryan serta Jarvis yang masing-masing sedang kepayahan melawan lima orang anggota mafia Eagle Snake, seketika tercengang manakala suara desingan peluru menggema di tepian danau Wakatipu, Queenstown, New Zealand.Keduanya menyadari, pasalnya, mereka datang menemui sekelompok mafia ini hanya bertiga dengan Matthew. Sisanya adalah para lawan, termasuk Max yang sempat mereka tawan.“Tuan Matthew,” gumam Jarvis dan Bryan bersamaan. Pandangan semua orang terarah pada Matthew yang sedang dikekang oleh lima orang lain anggota Eagle Snake, anak buah Zif Bayyer.“Tuan Zif!” pekik Hugo tercengang!“Tu-tuan!” gumam para anggota Eagle Snake yang lain.“Argh …! Brengsek! Bangsat!” Zif mengerang kesakitan, diikuti dengan umpatan-umpatan kekesalan saat ia merasakan tangan kanannya menjadi tempat bersarang sebuah timah panas.Pistol glock yang semula diarahkan Zif untuk menembakkan peluru ke dada Matthew pun terjatuh begitu saja.Pimpinan Eagle Snake itu menoleh ke sisi kanan untuk mengetahui siapa y
“Siapkan Max dan jaga baik-baik. Jangan lepaskan dia sebelum aku mendapatkan apa yang aku mau dari Zif Bayyer.”Terdengar suara Matthew memberikan koordinasi kepada El Jova melalui sambungan telepon.“Oke. Sepuluh menit lagi kami berangkat,” jawab El Jova sebelum menutup telepon.El Jova menyimpan kembali ponselnya ke saku jaket yang dipakainya.“Taylor, keamanan markas aku percayakan padamu,” ujar El Jova pada salah satu member El Warrior yang berjaga di pintu utama markas.“Dengan senang hati, Tuan! Walaupun sebenarnya saya lebih senang jika bisa ikut berpesta dengan Anda malam ini,” sahut Taylor menyemangati.“Hahah! Jangan lupa, kau masih punya luka bekas tusukan di perutmu,” ucap El Jova sambil menunjuk perut Taylor memakai dagunya.Taylor tertawa kecil mendengar ucapan pemimpinnya. “Hahah! Baru minggu lalu kita berpesta membasmi musuh. Sekarang Tuan sudah harus berpesta menghadapi musuh yang lain. Ternyata musuh kita ada di mana-mana, Tuan.”“Tentu saja! Selama masih ada kubu-kub
Bernard merasa sedikit janggal saat berjalan menuju ruang IGD dan tidak lagi mendapati orang-orang yang ia kenal.Seharusnya, entah Matthew atau yang lainnya ada di depan ruangan itu seperti hari kemarin.“Ke mana mereka? Kenapa tidak ada yang menunggui Norin?”Sementara ini Bernard hanya bisa bermonolog sambil terus melangkah.Ceklek!Pria itu merasa antusias saat melihat salah seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang IGD.“Permisi, saya ingin tahu perkembangan kondisi pasien atas nama Notin Nathania,” kata Bernard kepada sang perawat.“Norin Nathania?” ulang wanita di hadapannya.“Iya. Norin Nathania yang semalam dirawat di ruang IGD karena terkena luka tembak.”Bernard terus berusaha menyebutkan apapun yang berkaitan tentang Norin demi mendapatkan informasi.“Oh … pasien luka tembak yang semalam membutuhkan transfusi darah, ya?” “Nah! Iya, benar! Bagaimana kondisinya sekarang? Apa masih kritis di ruang IGD?”“Tidak, Tuan. Pasien itu sudah membaik. Beliau sudah dipindahkan k