“Harus datang!” seru Winda dengan penuh penekanan. “Aku setuju, siapa tahu dapat kenalan cowok-cowok CEO yang kayak di Drakor. Kenalin aku satu,” Elvira ikut berkomentar dengan wajah datar. “Bener kata bocah!” sambung Winda. “Aku juga pengen satu, hahaha,” “Emang barang!” sambung Hanum juga ikut tertawa. “Datang aja! Bukankah menghadiri undangan itu fardhu ain hukumnya?” Hanum melingkarkan sebelah tangannya ke leher Selina. “ ‘Apabila kamu diundang walimah maka datanglah.’ HR. Bukhari dan Muslim,” papar Selina menerangkan sebuah hadits tentang hukum wajib menghadiri undangan. “Aduh, aku lupa dengan siapa aku bicara,” Hanum tertawa. “Fardhu ain itu untuk undangan walimah Say,” tukas Winda menegaskan hadits yang diucapkan Selina. Tak terasa suara azan isya sudah menggema. Selina menunaikan shalat isya berjamaah bersama teman-temannya. Kemarin yang menjadi imam shalat ialah Hanum. Malam itu giliran Selina yang menjadi imam. Suaranya begitu merdu saat melantunkan surat al fatihah
Meliani berhenti membicarakan soal jodoh setelah melihat respon putranya. Sepertinya Dave ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak di hadapan Selina. Meliani menghargai keputusan putranya.Acara gathering para pengusaha dimulai. Meliani bergabung dengan asosiasi para pengusaha yang bergerak dalam bidang pariwisata daerah. Mereka berusaha memajukan daerah-daerah yang memiliki potensi alam dengan tetap memperhatikan ekologinya. Setelahnya mereka makan malam yang disiapkan oleh para chef dan membahas seputar masalah usaha mereka masing-masing sembari diiringi live music.“Jadi ini putra semata wayang Bu Meliani?” tanya salah satu rekan kerja Meliani bernama Surya. Dia sebenarnya sudah tahu tentang Meliani dan keluarganya. Pertanyaan yang diajukan hanya sekedar basa-basi semata.“Betul sekali Pak Surya, Davendra Diraya,” jawab Meliani memperkenalkan Dave di hadapan rekan-rekan yang ikut duduk bergabung bersamanya.“Salam kenal Pak Surya, saya Davendra, panggil saja Dave,” sahut Dave menimpal
Selina sudah kembali bergabung dengan teman-temannya. Hari ini mereka akan pulang ke Cianjur. “Cie, Cinderella yang lupa waktu pulang?” sindir Winda pada Selina yang tengah mengemas barang miliknya. “Aku kaget pas lihat jam tahu, jam setengah satu malam,” Selina bercerita dengan antusias. “Sudah bertemu dengan pangeran tampan?” selidik Hanum, membantu menjejal pakaian milik Selina ke dalam kopernya. Karena tenaganya besar dengan begitu mudah pakaian tersebut lolos ke dalam koper. “Um … udah,” jawab Selina keceplosan. “Makasih Bu Han,” ucap Selina pada Hanum yang membantunya. “What?” pekik Winda. “Eh … maksudku …” ralat Selina dengan wajah yang merona. Dia mengingat betul dan detail. Pangeran semalam terlihat gagah dengan memakai kemeja putih yang mencetak tubuhnya. Rambut yang diikat dengan rapi dan senyumannya yang tipis tapi mampu membuat hatinya berdebar-debar. Tak lupa tatapannya yang tajam seolah mengandung magis, menyihir siapa saja yang menatapnya. “Sudah, gak usah dira
Sepulang dari pantai, Dave kembali melaksanakan rutinitasnya sebagai seorang psikiater. Dengan berat hati dia harus meninggalkan sang ibu di Jakarta. Dia pergi ke rumah sakit seperti biasa tetapi dengan perasaan yang berbeda. Seperti ada sebuah semangat luar biasa yang memacunya hari itu. Kadangkala dia tersenyum sendiri mengingat momen kebersamaannya dengan gadis yang dia cintai dalam diam.Sungguh dia ingin sekali mengutarakan isi hatinya, tak sabar. Andaikata ditahan terus khawatir meledak mirip gunung yang akan erupsi. Namun dia senantiasa berdoa dan meminta gadis itu dalam doanya. Sebab tak ada yang mampu menjangkau apapun selain doa.Seusai melakukan terapi pada pasien, dia memilih istirahat di ruang kerjanya dan sesekali menatap layar pintarnya. Diam-diam dia meminta orang suruhannya yang pandai memotret untuk memotret kebersamaannya dengan Selina malam itu.Seolah-olah mereka tengah melakukan candle light dinner padahal di sisi kanan dan kiri mereka ada bodyguard yang mematung
“Maaf, sepertinya saya tidak jadi, Pak Aqsa dan Pak Yana. Mohon maaf mengganggu waktunya. Baru saja ibu saya mengirim pesan katanya sudah membeli unit apartemen,” jawab Dave dengan apa adanya. Memang betul sang ibu membeli apartemen tetapi lokasinya jauh dari rumah sakit. Intinya, dia mencari alasan.“Tidak apa-apa Dokter, santai saja,” jawab Aqsa dengan tersenyum tipis. Aqsa menghela nafas panjang. Lalu seketika pandangannya menyasar sekuntum bunga mawar putih yang mekar sempurna di halaman. Dia memetik tangkai bunga mawar tersebut dengan hati-hati lalu menghidu aromanya dalam-dalam.‘I do love you Selina,’ batinnya. Dia pun menaruh kelopak bunga mawar tersebut di atas meja taman.“Lagipula saya masih setengah hati juga menjual rumah ini,” desis Aqsa sedetik kemudian.Pernyataan Aqsa berhasil mengobarkan api cemburu dalam dada Dave.“Maaf, maksud Pak Aqsa bagaimana?”Sakit, tetapi Dave penasaran ingin mendengar cerita kelanjutannya.“Ini memang rumah saya, Dokter. Rumah impian yang s
“Ya ampun, bercanda Selin. Kamu gak biasanya tegang begitu,”Ummi Sarah tergelak.“Apa ada yang lucu begitu?”“Dih, kenapa jadi cepet marah,”“Udah, ah, aku mau mandi,”“Ya sudah kamu mandi gih, bau! Di luar sudah ada tamu spesial,”“Tamu special siapa Ummi? Pasti si kembar ya?”Selina menerka-nerka.“Bukan .. si kembar belum bisa diajak jalan jauh dulu, soalnya rentan,”“Lalu siapa?”“Lihat saja keluar!”Selina langsung keluar dari kamarnya secepat kilat dengan menyambar hijab pastan dan langsung memakainya.Seorang wanita berwajah teduh dengan dahi keriput tersenyum tipis di hadapan Selina.“Masyaallah, Ceu Sari, kemana aja?”Selina langsung menghambur memeluk Ceu Sari, meluapkan segala kerinduan pada wanita yang telah lama bekerja di rumahnya.“Neng Selin, maafin Ceu Sari,” katanya dengan terisak.“Ngapain minta maaf? Ceu Sari gak salah apa-apa kok. Ummi, Ceu Sari gak salah, aku yang salah karena sudah melibatkan Ceu Sari,”“Tenang saja, Ummi sudah gak marah sama Ceu Sari juga sama
Hari ini Selina berencana akan pergi ke Bandung untuk kontrol ke rumah sakit jiwa seperti biasa. Dia sudah bersiap-siap sejak pagi buta. Namun saat Ummi Sarah mengeceknya ke dalam kamar, Selina tidak ada di sana.“Selin, apa kamu sudah siap?” tanya Ummi Sarah mengecek Selina di kamarnya. Dia mengedarkan pandangannya tetapi tidak ada. “Ceu lihat Selina?” tanya Ummi Sarah saat mendapati Ceu Sari tengah merapikan buku-buku Selina yang berserakan.“Tadi udah keluar, katanya mau datengin Adam khawatir terlalu siang ke rumah sakit,” jawab Ceu Sari.“Dih ini anak, padahal tunggu aja,” Ummi Sarah mendengus kesal. “Adam emang di mana Ceu?”“Adam masih di Cipanas,”“Jadi Selina nyamper Adam ke Cipanas gitu?” tanya Ummi Sarah terlihat khawatir.“Ya ampun, Ummi, masa iya sih,”Selina tiba-tiba datang memeluk umminya, yang mungkin menganggapnya seperti anak kandung sendiri. Namun perasaan Selina sedikit berubah sebab dia merasa Ummi Sarah adalah orang lain. Dalam kesendirian dan kesunyian dia me
Mendengar Selina bernyanyi, Lena terkesiap dan tersenyum. Mereka terus bernyanyi. Kini semua orang dikejutkan oleh sikap Selina yang berani ditambah suaranya yang merdu nan lembut.Tanpa sadar Selina mendekati Lena dan terlihat berbincang dengannya.“Suara Mbak Lena bagus. Mbak Lena penyanyi kafe yang di Jakarta itu ‘kan?”“No! Aku nyanyi di cafe Bali, Dj juga,” jawab Lena.Selina mengarang cerita. Benar saja, Lena tertawa melihat respon Selina dan tanpa sadar melepas anak perempuan itu. Anak gadis itu berhasil berlari ke arah ibunya dengan terisak. Sementara itu Selina masih mengajak ngobrol Lena, perempuan yang didiagnosa menderita schizophrenia meskipun dengan perasaan takut.Dave yang baru saja keluar dari ruangannya ikut heran melihat beberapa orang berkerumun mirip semut di koridor dekat ruang farmasi. Beberapa staf rumah sakit menceritakan apa yang terjadi. Mereka menceritakan ada seorang gadis yang nekad mendekati pasien bernama Lena yang tengah mengamuk.“Astagfirullah, nekad