Disalah satu ruangan rumah sakit terdapat seorang wanita yang tengah terbaring lemah di brankar dengan berbagai alat yang menempel ditubuhnya sebagai penopang hidup.
Wanita itu adalah Zeta Arasya, nama panggilannya Zeta. Dirinya bisa seperti ini dikarenakan kejadian beberapa bulan lalu yang mengakibatian dirinya koma seperti ini. Dokter sendiri sudah tak bisa memprediksi akankah Zeta bangun atau menyerah dan dia akan meninggal.
Saat ini ada 1 dokter dan 2 suster yang tengah mengecek keadaan Zeta, suster sibuk mencatat apa yang dikatakan oleh seorang dokter itu. Sedangkan sang dokter meneliti perkembangan Zeta dari waktu ke waktu.
"Pasien sepertinya tak mau bangun dari tidur panjangnya," ujar suster yang bernama Dea, ia sendiri sedih melihat sang pasien yang tak kunjung bangun dari tidur panjangnya.
"Kita akan berusaha buat dia bangun, kasian masih muda banget," jawab Dokter yang bernama Dokter Farhan.
"Pasien membuka matanya dok," Pekik suster Dea kala melihat tangan Zeta mulai bergerak disusul dengan kelopak matanya yang perlahan-lahan terbuka.
Dokter Farhan langsung saja mengecek keadaan Zeta dengan telaten.
"Anda bisa dengar saya?" Sayup-sayup Zeta mendengar suara itu. Jujur saja tubuhnya terasa sakit ia berusaha untuk berbicara dan membuka matanya namun tak bisa semua terasa sakit.
Zeta pun mengangkat tangannya pelan pertanda ia mendengar suara sang dokter, untung saja dokter itu mengerti. Dokter Farhan mulai melepaskan beberapa alat yang sudah tak diperlukan Zeta dibantu oleh suster Dea.
"Mau minum?" tanya suster Dea, Zeta pun mengangguk lemah.
Suster Dea membantu Zeta minum lewat sedotan, walau tumpah-tumpah dibadan Zeta suster Dea dengan telaten mengelapnya. Sekarang tenggorokan Zeta sudah tak kering lagi.
"Terimakasih," ujar Zeta lirih dan dibalas senyum manis oleh suster Dea.
Dokter Farhan menyuntikkan obat bius supaya Zeta bisa beristirahat, dan mereka berdua pergi dari ruangannya membiarkan sang empu istirahat dengan tenang.
***
Sudah 2 minggu Zeta dirawat dirumah sakit, beberapa teman baiknya datang bergantian menjenguk dirinya. Kejadian beberapa bulan lalu merenggut kedua orang tuanya. Kecelakaan yang membuat ia sempat koma, beruntung Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup walau tidak bersama orang tuanya.
Keadaan Zeta sudah membaik, suster Dea pun merawat dirinya dengan ikhlas. Seperti saat ini, Zeta sedang disuapi makan oleh suster Dea. Sebab tangannya yang masih cidera dan mengakibatkan ia tak bisa makan sendiri.
"Makasih kak, udah mau ngerawat Zeta," ujar Zeta tulus, ia memang memanggil suster Dea dengan sebutan kakak.
"Sama-sama, kakak dari dulu pingin banget punya adek dan sekarang kesampean," ujar suster Dea, ia dan Zeta hanya terpaut 4 tahun saja.
"Zeta beruntung bisa kenal kakak," ujarnya terharu, suster Dea pun tersenyum dan memeluk hangat wanita itu.
"Zeta, boleh pulang sekarang?" tanyanya.
"Kakak panggil dokter Farhan dulu ya," pamit Suster Dea dan diangguki oleh lawan bicaranya.
Tak lama Suster Dea datang dengan dokter Farhan, Zeta pun langsung diperiksa olehnya.
"Kamu boleh pulang, tetapi harus istirahat. Dan tangannya jangan banyak-banyak gerak, beberapa hari pasti tanganmu akan sembuh," pesan Dokter Farhan.
"Terimakasih dokter," ujar Zeta.
"Sama-sama, saya permisi," pamit dokter Farhan lalu pergi meninggalkan Zeta dan Suster Dea.
Zeta pun menganti bajunya dibantu oleh Suster Dea. Sebelumnya ia sudah menghubungi salah satu temannya untuk datang kesini dan mengantarkan dirinya pulang, sebenarnya suster Dea ingin mengantarkan Zeta pulang namun dia harus mengurus beberapa pasiennya.
Zeta sudah selesai ganti baju dan temanya pun datang, padahal ia hanya menghubungi satu orang saja tapi kenapa yang datang 4 orang.
"Zeta akhirnya kamu pulang juga." Zeta mengelus dada kala suara cempreng temannya menyapu indra pendengarannya.
"Kita rindu kamu Zeta," ujar Lisa, sedangkan yang bersuara cempreng tadi bernama Bia.
"Jangan percaya, dikampus dia paling seneng kalau gibahin kamu," celetuk Bea, kembaran Bia yang sifatnya kalem.
"Ngomongnya suka bener yah bund." Bia cengegesan.
"Ngaku juga kamu," ujar Ais, teman Zeta yang sifatnya jail.
"Kok berantem sih? Ayok anterin aku pulang," ucap Zeta kesal, mengapa teman-temannya ini malah berdebat.
"Yoklah," pekik mereka bersamaan membuat suster Dea yang ada disana mengelus dada sabar melihat kelakuan orang didepannya itu.
"Kak Dea, Zeta pamit pulang yah." Zeta memeluk suster Dea.
"Kalau ada apa-apa hubungi kakak," Ujar suster Dea.
Mereka menuntun Zeta keluar dari rumah sakit, salah satu dari mereka membawa mobil besar yang muat untuk 6 orang. Mereka semua adalah sahabat baik Zeta, yang menemani dirinya saat suka maupun duka.
"Bye kakak." Zeta melambaikan tangannya ke arah suster Dea yang berdiri didepan lobby rumah sakit.
Suster Dea membalas lambaian tangan wanita itu, saat mobil yang ditumpangi Zeta mulai menjauh ia meneteskan air matanya. Ia beruntung bisa kenal dengan Zeta, wanita baik dan lemah lembut, semoga ia bisa bertemu dengan Zeta dilain waktu.
Sedangkan dimobil kini rusuh, semua teman Zeta berbicara dengan nada tak santai, kalau Zeta dia sibuk melihat kearah jalanan tak menanggapi celotehan para sahabatnya.
"Lis anterin aku ke makam mama papa dulu ya," pinta Zeta kepada Lisa yang sedang menyetir.
"Iya," jawab Lisa.
Zeta memang belum mengunjungi makam kedua orang tuanya, bahkan saat mereka dimakamkan ia masih terbaring koma. Sedih rasanya jika seorang anak tak bisa melihat almarhum kedua orang tua untuk terakhir kalinya, namun ini sudah takdir dan tak ada seorang pun yang bisa melawan takdir.
Sampailah mereka ditempat pemakaman umum, Zeta dan teman-temannya berjalan menuju makam kedua orang tua Zeta. Setelah menemukan Zeta berjongkok dan mulai menaburkan bunga yang sempat ia beli didepan tadi.
"Ma pa maafin Zeta baru bisa kesini, tenang disana pa ma Zeta sudah mengikhlaskan kepergian kalian. Terimakasih sudah mendidik Zeta menjadi wanita kuat, Zeta akan selalu do'ain papa dan mama dari sini. Sampai ketemu disurga-Nya." Zeta mengelus batu nisan yang bertuliskan nama orang tuanya.
"Zet, kita pulang yuk," ajak Bia.
"Kamu harus banyak istirahat," ujar Ais.
Zeta pun berdiri, mereka berjalan menuju mobil untuk mengantar Zeta pulang ke rumahnya.
Sampailah mereka dirumah Zeta, mereka turun begitu juga dengan Zeta.
"Ngak mau ditemani kita, kamu sendiri loh," ujar Lisa.
"Ngak papa lis, aku berani kok sendiri," ujar Zeta, ia tak mau merepotkan teman-temannya.
"Yaudah kita pulang, kalau ada apa-apa hubungi kita yah," pesan Bea.
"Iya Be," jawab Zeta.
"Makasih udah mau nemenin aku selama di rumah sakit hiks hiks aku beruntung bisa kenal kalian." Zeta memeluk mereka satu persatu.
"Kita kan sahabat," ujar Ais.
"Bener tuh," celetuk Bia.
Setelah semua teman-temannya pamit, Zeta memasuki rumah peninggalan orang tuanya. Rumahnya tak terlalu besar, hanya rumah lantai 2. Zeta adalah anak tunggal, dia tinggal disalah satu desa. Zeta sekarang tengah menempuh pendidikan kuliah dijurusan psikologi, entah ia bisa melanjutkan kuliahnya lagi atau tidak.
Zeta sebelumnya tinggal di kota, namun saat ia masuk SMP keluarganya mengajak dirinya pindah ke Desa. Desa yang ia tempati sekarang tergolong desa yang modern. Papa Zeta didesa mempunyai usaha toko roti yang lumayan terkenal.
Hari ini, Zeta memutuskan untuk beres-beres kamar mendiang orang tuanya. Dirinya tak mau jika kamar itu berdebu, dan sekarang ia sedang menyapu dan untungnya tangannya tak terlalu sakit. Zeta mengamati beberapa foto papa dan mamanya yang terpajang apik dimeja, tangannya terulur mengambil foto itu dan mengelusnya. Difoto terdapat gambar dirinya dan kedua orang tuanya sewaktu kecil bermain dipantai, disitu Zeta tengah tersenyum lebar."Rasanya Zeta belum percaya kalau kalian udah pergi," monolog perempuan itu.Karena tak mau bersedih terlalu lama ia pun kembali membersihkan kamar itu, saat sedang asik melipat pakaian mata Zeta tertuju kepada kotak yang ia tak pernah lihat sebelumnya berada di bawah meja. Kotaknya berwarna hitam, dan sepertinya kotaknya sudah lama terbukti dari ada beberapa sarang Laba-laba disana. Zeta pun menghampiri kotak itu dan mengambilnya, ia mengosokkan telapak tangannya guna membersihkan debu yang menempel.
Hari adalah hari keberangkatan Zeta kekota, sekarang ia tengah bersiap-siap. Perempuan itu melihat ulang barang bawaanya, dan untuk rumahnya nanti akan dihuni oleh beberapa orang yang memang tak punya rumah atau rumahnya tak layak huni, dengan begitu rumahnya tak akan kosong dan ia bisa berbuat baik.Ketimbang rumahnya dibiarkan kosong tak terawat nantinya ia sendiri yang rugi dan untuk kamar kedua orangtuanya tetap ia biarkan seperti itu dan tak ada yang boleh menempatinya, entahlah dia hanya ingin suasana didalamnya seperti dulu.Bahkan orang yang akan menempati rumahnya sampai sujud syukur di kakinya, Zeta pun tersenyum ia berfikir semua nikmat didunia ini hanya titipan Tuhan yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh pemiliknya. Selagi kita bisa membantu, bantulah mereka yang kesusahan tenang saja harta mu tak akan habis."Apa yah yang belum." Zeta mengecek barang bawaannya, ia membawa barang cukup banyak dikar
Zeta sudah sampai di Jakarta, dirinya menyewa apartemen untuk tempat tingal nya selama beberapa bulan kedepan. Apartemen yang ia sewa tidak terlalu luas karena hanya ia sendirian yang akan menempatinya, didalamnya hanya ada 1 kamar tidur dan dapur ada juga ruangan yang tak terlalu Luas untuk menonton TV.Perempuan berlesung pipi itu juga membawa beberapa foto yang ia temukan dikamar orangtuanya tempo hari lalu. Sekarang Zeta tengah duduk ditengah kasurnya sembari mengamati beberapa foto yang berisikan alamat, ia mengetuk-ngetukkan jarinya didagu seolah sedang berfikir.Apakah ia akan datang ke alamat itu? atau datang ke alamat yang tertera dibawah foto sang mama?. Hanya petunjuk itu yang Zeta punya, apalagi ia disini baru beberapa Hari jadi jika ingin kemana-mana ia hanya mengandalkan maps dan naik angkutan umum ataupun taksi."Apa aku datang ke alamat Manda ini yah?" monolog Zeta.
3 hari berlalu, Zeta sama sekali tak pernah keluar dari apartemen. ia memenangkan pikirannya yang amat sangat kacau, HP nya pun sengaja ia matikan dan untung saja ia sudah belanja kebutuhan makanan tempo hari lalu jadinya ia masih bisa makan didalam apartment tanpa harus keluar.Setelah mengetahui fakta jika ia punya saudara kembar Zeta tak melakukan apapun, otaknya seakan tak bisa ia gunakan untuk berfikir jernih. Supaya Zeta tak salah langkah jadi lebih baik ia memenangkan diri dulu.Selama di apartemen kegiatan Zeta hanya makan tidur dan menangis, menangis? Ya Zeta menangis membayangkan nasib kembaran berada di antara keluarga yang tak mempunyai Hati.Pantas saja dulu ia sering melihat mamanya menangis sendiri di kamar dan ketika ditanya kenapa pasti beliau menjawab tidak apa-apa, dan sejak saat itu setiap mamanya menangis Zeta tak menanyakan apa-apa lagi.Dimana saudara ke
Zeta akan menemui kembarannya hari ini, entah bagaimana caranya yang penting ia harus menemui dia. Perempuan berlesung pipi itu sudah membawa alamat apartemennya yang ia taruh didalam tas, dan sekarang dirinya tengah menunggu bis di halte.Cuaca hari ini cukup panas, Zeta mengusap peluh di dahinya dan untung saja ia memakai baju lengan pendek, jadinya tak terlalu panas.Menurut notif HPnya 15 menit lagi bus nya datang, mata Zeta melihat sekelilingnya dan tatapanya terkunci pada salah satu pedagang minuman yang sudah tua sedang berjalan sembari mendorong gerobaknya. Karena dirinya haus Zeta pun menghampiri penjual itu kebetulan juga bus nya belum datang.TinCkitKarena tak melihat kanan kiri Zeta pun hampir ditabrak oleh salah satu mobil, perempuan berlesung pipi itu jongkok karena ketakutan dirinya menutup telinganya kala suara ban bergesekan dengan aspal terng
Siapa yang tak mengenal dirinya? Keturunan keluarga Lixston yang kaya raya, mempunyai perusahaan diberbagai bidang yang sukses hingga kini. Zio, itulah nama panggilannya, wajahnya tampan dengan sorot mata tajam bak elang.Di umurnya yang masih muda Zio sudah mempunyai perusahaan sendiri yang terkenal hingga mancanegara.Kata orang hidupnya enak, dikelilingi harta berlimpah apapaun dia bisa lakukan namun nyatanya kehidupannya tak seindah itu.Faktanya Zio kesepian, sunyi, gelap, sepi itu semua adalah temannya dari dulu. Zio memang susah bergaul, dia hanya memiliki 2 orang teman baik saja. Mereka ada disaat ia susah maupun senang.Sekarang Zio tengah duduk diruang kerjanya yang berada di apartemen, dihapannya terdapat laptop dan beberapa berkas-berkas ditemani kegelapan hanya ada cahaya yang berasal dari laptop miliknya. Zio tak fokus dengan pekerjaan, dia mematikan laptopnya dan bersender di
Kini Zeta tengah duduk berhadapan dengan sang kembaran, tepatnya dikantor milik Zio. Butuh perjuangan untuk bisa sampai kesini, lantaran banyak bodyguard yang melarang Zeta untuk masuk. Dengan tangisan dan mohon-mohon akhirnya Zio mau bertemu dengan Zeta.Sejak 10 menit suasana hening, Zeta sendiri tak tau ingin memulai obrolan dari mana. Zio sendiri hanya sibuk berkutat dengan laptopnya, seolah tak menghiraukan keberadaan Zeta. Diruangan ini terasa sepi, bahkan terlihat menyeramkan, lantaran temboknya berwarna gelap bahkan hiasanya pun warna gelap."Bisa kita berbicara?" Akhirnya Zeta lah yang lebih dulu membuka obrolan."Hm," dehemnya.Zeta menghela nafas, dirinya ingin menangis sekarang namun dia sadar ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya bukan malah menangis."Kamu ngak mau kemakam mama papa?" tanya Zeta takut-takut.
"Apa yang sebenarnya terjadi Rey?" Tanya Zeta khawatir apalagi melihat keadaan Rey yang kacau. Reyasa masih menggunakan jas dokter nya dan matanya sembab kemungkinan besar Rey sehabis menangis.Beberapa jam yang lalu....Reyasa tengah berada dirumah sakit, namun tiba-tiba sang mama menyuruh dirinya untuk cepat-cepat pulang. Untungnya pasien sedikit jadinya tak apa jika dirinya pulang lebih dahulu. Reyasa pulang nenggendarai mobil, dia bergerak gelisah ditempat duduk nya. Tadi ia sempat mendengar nada bicara sang mama yang nampak khawatir.Sampailah Rey dirumahnya, dirinya melihat semua barang-barang diruang tamu berantakan, banyak pecahan gucci dimana-mana. Rey melihat sang ibu yang tengah duduk dimeja makan, dengan tangan yang dilipat dimeja dan menatap kedepan dengan pandangan kosong.Rey menghampirinya dan mengelus pundak Manda pelan, ia takut terjadi sesuatu kepada mama ya