Zeta akan menemui kembarannya hari ini, entah bagaimana caranya yang penting ia harus menemui dia. Perempuan berlesung pipi itu sudah membawa alamat apartemennya yang ia taruh didalam tas, dan sekarang dirinya tengah menunggu bis di halte.
Cuaca hari ini cukup panas, Zeta mengusap peluh di dahinya dan untung saja ia memakai baju lengan pendek, jadinya tak terlalu panas.
Menurut notif HPnya 15 menit lagi bus nya datang, mata Zeta melihat sekelilingnya dan tatapanya terkunci pada salah satu pedagang minuman yang sudah tua sedang berjalan sembari mendorong gerobaknya. Karena dirinya haus Zeta pun menghampiri penjual itu kebetulan juga bus nya belum datang.
Tin
Ckit
Karena tak melihat kanan kiri Zeta pun hampir ditabrak oleh salah satu mobil, perempuan berlesung pipi itu jongkok karena ketakutan dirinya menutup telinganya kala suara ban bergesekan dengan aspal terngiang-ngiang di bayangannya apalagi bunyi rem yang keras.
Pengemudi mobil keluar dan menghampiri Zeta, dia ikut berjongkok dan matanya melihat jelas jika Zeta ketakutan. Dirinya bernafas lega, hampir saja ia menabrak orang dan untungnya ia cepat-cepat menginjak rem.
"ZETA?!" pekik orang itu yang tak lain adalah Reyasa.
Tiba-tiba Zeta merasakan tubuhnya dipeluk seseorang. Perempuan berlesung pipi itu masih belum menyadari jika yang memeluk dirinya adalah Reyasa. Zeta menangis tak kala bayangan-bayangan peristiwa kecelakaan yang pernah ia alami terngiang-ngiang dipikirannya.
Sedangkan Reyasa menggumamkan kata-kata penenang sembari mengelus pundaknya. Entahlah apa yang membuat Reyasa khawatir dengan Zeta sampai ia memeluknya, bahkan mereka baru kenalan beberapa hari lalu.
Zeta sudah tak menangis lagi, dirinya sudah tau jika Reyasa lah yang hampir menabraknya. Tadi sempat ada beberapa orang yang melihat kejadian ini dan menanyakan keadaan Zeta, dan Reyasalah yang menjawabnya.
Reyasa mengajak Zeta kedalam mobilnya karena melihat perempuan itu yang terus diam walau tak menangis lagi, mungkin dia masih Shock. Zeta duduk didepan, sebenarnya sedari tadi ia mendegar suara Reyasa yang terus menanyakan kondisinya namun entah mengapa mulutnya terasa kelu untuk menjawabnya.
Reyasa menepikan mobilnya kepinggiran dan mengambil P3K, karena dirinya melihat tangan Zeta yang tergores aspal. Lukanya memang tak terlalu parah namun tetap saja yang namanya luka pasti akan sakit.
"Maafkan saya," ujarnya dengan rasa penyesalan.
"Aku juga minta maaf, tadi nyebrang ngak liat-liat." Akhrinya Zeta buka suara.
"Mau saya anterin pulang ke rumah?" Reyasa menutup kotak obatnya.
"Engak usah, aku mau kesuatu tempat," tolak Zeta halus.
"Mau saya anterin?" tanya Reyasa.
"Engak usah, aku bisa naik bus atau taksi." Zeta menolak lagi.
Sampai akhirnya Reyasa tetap memaksa untuk mengantarkan dirinya, Zeta pun pasrah hanya mengangguk sebagai jawaban. Perempuan berlesung pipi itu sudah memberitahu Reyasa tentang ia yang akan mengunjungi kembarannya, dan Reyasa bilang dia akan menemaninya takut terjadi apa-apa nanti. Lagi pula dirinya berada di Jakarta, bisa saja Zeta tersesat jika pergi sendirian.
Sampailah mereka ke Apartemen yang Zeta yakini kembarannya tinggal disitu, namun saat dirinya dan Reyasa turun dari mobil yang sudah diparkir banyak sekali orang-orang berpakaian hitam yang mengelilingi salah satu mobil.
Zeta dan Reyasa berdiri ditempat sembari melihat ke depan, mobil didepan mereka dibuka oleh bodyguard dan keluarlah seorang laki-laki yang tampan. Zeta terpaku melihat wajah laki-laki itu, kenapa sangat mirip dengannya? Seperti Zeta versi laki-laki.
Zeta yakin dia saudara kembarnya, entah karena ikatan batin atau bukan ia pun berlari menghampirinya. Menerobos beberapa bodyguard dan memeluknya, satu kata yang Zeta rasakan saat sudah memeluknya yaitu Hangat dan nyaman sekali.
Sedangkan laki-laki tadi berdiam diri dengan wajah datar, berani-beraninya ada orang asing yang memeluknya. Para bodyguard pun mencoba melepaskan Zeta dari pelukannya namun pelukannya semakin erat walau tak ada balasan sama sekali dari sang empu.
"Jangan sakiti perempuan." Reyasa membantu Zeta berdiri karena tadi sempat didorong oleh bodyguard.
Bodyguard tadi menujuk Zeta. "Dia yang berani-beraninya memeluk tuan saya tanpa izin."
Laki-laki tersebut berjalan pergi tanpa sepatah kata pun karena merasa perdebatan ini tidak penting, namun belum sampai beberapa langkah wanita yang memeluknya secara tiba-tiba menghadang jalannya. Mau tak mau dirinnya berhenti berjalan dan menatap datar objek didepannya.
"Jangan mengganggu ketenangan saya," dinginnya karena merasa jengah.
"Kamu saudara kembar aku kan?" Zeta menahan tangisnya.
"Saya tidak punya saudara, kalaupun punya sudah saya anggap mati bersama orang yang melahirkan saya." Entah mengapa saat mengatakan itu dadanya terasa sesak, dia merasakan kehangatan itu bersamanya. Dia akui wajahnya mirip bahkan sangat mirip, dia ingin memeluknya namun rasa benci mengubah segalanya.
"Kamu ngak ngerasa nyaman aku peluk? Kamu ngak meresa wajah kita mirip? Kenapa kamu benci mama? Hiks hiks hiks." runtuh sudah pertahanan Zeta.
"Silahkan pergi dari hadapan saya," ujarnya tanpa menjawab pertanyaan Zeta, entahlah dirinya meresa capek kali ini.
Zeta berujar lirih, "Kita perlu bicara."
"Saya yang akan pergi," putusnya lalu pergi diikuti bodyguard yang setia mengikutinya dibelakang, Sedangkan Zeta menghela nafas lelah.
Reyasa datang menghampiri Zeta, dia tau betul bagaimana perasaannya sekarang. Mamanya sudah cerita mengenai kehidupan Zeta sebelumnya dan sepertinya ia ingin membantu dia supaya kembarannya memaafkannya. Dorongan dari mana, tiba-tiba Reyasa memeluk Zeta yang tengah menangis.
"Hiks hiks kenapa dia marah sama aku hiks hiks aku salah apa? aku ingin memeluknya." Zeta menangis tersedu-sedu.
"Semua butuh waktu Zeta," hanya itu yang keluar dari mulut Reyasa.
Reyasa mengajak Zeta ketaman yang letaknya tak jauh dari hotel, Reyasa tau jika Zeta butuh waktu dan tempat untuk menenangkan pikiranya yang kacau. Mereka duduk disalah satu bangku taman, baik Zeta maupun Reyasa sama-sama melihat kearah depan yang menampilkan objek pepohonan.
Zeta sendiri tengah melamun, dirinya memikirkan perlakuan saudara kembarnya beberapa jam yang lalu.
"Nih minum." Reyasa memberikan air mineral kepada Zeta.
"Terima kasih," ucap Zeta dan mendepat anggukan dari Reyasa.
Reyasa memang sempat pamit kepadanya untuk membeli minum. zet membayangkan jika Reyasa tak menemani dirinya sekarang pasti sekarang ia tengah berjalan tak tentu Arah.
"Udah tenang kan sekarang?" tanya Reyasa.
"Iya. Makasih kamu udah ngajak aku kesini," Zeta berujar tulus.
"Sama-sama, mana mungkin saya ngerbiarin perempuan menangis sendirian." Jawaban Reyasa membuat Zeta tersenyum haru.
"Apa kamu ngak kerja? takutnya kamu ada kerjaan tapi malah nemenin aku," ucap Zeta tak enak hati.
"Jadwal saya kosong Hari ini, kebetulan tadi saya dalam perjalanan pulang." ujarnya.
"Seharusnya kamu istirahat dirumah," lagi-lagi Zeta merasa tak enak.
Reyasa menoleh. "Tak apa, lagi pula kamu anaknya teman mama saya."
Reyasa mengantarkan Zeta pulang ke apartmentnya karena Hari sudah menjelang sore. Mereka kini sudah akrab, di taman tadi mereka saling bertukar cerita. Zeta melupakan sejenak masalahnya berkat adanya Reyasa.
Siapa yang tak mengenal dirinya? Keturunan keluarga Lixston yang kaya raya, mempunyai perusahaan diberbagai bidang yang sukses hingga kini. Zio, itulah nama panggilannya, wajahnya tampan dengan sorot mata tajam bak elang.Di umurnya yang masih muda Zio sudah mempunyai perusahaan sendiri yang terkenal hingga mancanegara.Kata orang hidupnya enak, dikelilingi harta berlimpah apapaun dia bisa lakukan namun nyatanya kehidupannya tak seindah itu.Faktanya Zio kesepian, sunyi, gelap, sepi itu semua adalah temannya dari dulu. Zio memang susah bergaul, dia hanya memiliki 2 orang teman baik saja. Mereka ada disaat ia susah maupun senang.Sekarang Zio tengah duduk diruang kerjanya yang berada di apartemen, dihapannya terdapat laptop dan beberapa berkas-berkas ditemani kegelapan hanya ada cahaya yang berasal dari laptop miliknya. Zio tak fokus dengan pekerjaan, dia mematikan laptopnya dan bersender di
Kini Zeta tengah duduk berhadapan dengan sang kembaran, tepatnya dikantor milik Zio. Butuh perjuangan untuk bisa sampai kesini, lantaran banyak bodyguard yang melarang Zeta untuk masuk. Dengan tangisan dan mohon-mohon akhirnya Zio mau bertemu dengan Zeta.Sejak 10 menit suasana hening, Zeta sendiri tak tau ingin memulai obrolan dari mana. Zio sendiri hanya sibuk berkutat dengan laptopnya, seolah tak menghiraukan keberadaan Zeta. Diruangan ini terasa sepi, bahkan terlihat menyeramkan, lantaran temboknya berwarna gelap bahkan hiasanya pun warna gelap."Bisa kita berbicara?" Akhirnya Zeta lah yang lebih dulu membuka obrolan."Hm," dehemnya.Zeta menghela nafas, dirinya ingin menangis sekarang namun dia sadar ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya bukan malah menangis."Kamu ngak mau kemakam mama papa?" tanya Zeta takut-takut.
"Apa yang sebenarnya terjadi Rey?" Tanya Zeta khawatir apalagi melihat keadaan Rey yang kacau. Reyasa masih menggunakan jas dokter nya dan matanya sembab kemungkinan besar Rey sehabis menangis.Beberapa jam yang lalu....Reyasa tengah berada dirumah sakit, namun tiba-tiba sang mama menyuruh dirinya untuk cepat-cepat pulang. Untungnya pasien sedikit jadinya tak apa jika dirinya pulang lebih dahulu. Reyasa pulang nenggendarai mobil, dia bergerak gelisah ditempat duduk nya. Tadi ia sempat mendengar nada bicara sang mama yang nampak khawatir.Sampailah Rey dirumahnya, dirinya melihat semua barang-barang diruang tamu berantakan, banyak pecahan gucci dimana-mana. Rey melihat sang ibu yang tengah duduk dimeja makan, dengan tangan yang dilipat dimeja dan menatap kedepan dengan pandangan kosong.Rey menghampirinya dan mengelus pundak Manda pelan, ia takut terjadi sesuatu kepada mama ya
Pagi tlah datang, Zeta mengerjapkan matanya karena sinar matahari mengenai retina matanya. Perempuan itu mengeliat pelan, ia melihat kesamping dan ternyata Nathan dan Syika masih tertidur. Zeta hampir lupa jika dirinya membawa mereka pulang. Kemarin Zeta sempat membelikan mereka baju."Nathan, Syika." Zeta menepuk-nepuk pelan pipi mereka. Tak lama Syika mengeliat karena merasa tidurnya terusik."Kakak?" Syika duduk ditepi ranjang sembari mengucek matanya."Jangan diucek, Syi." Zeta mencegah tangan Syika yang ingin mengucek matanya lagi."Bangunin Natha gih," suruh Zeta dan Syika pun mengangguk. Zeta memanggil mereka dengan sebutan Syi dan Nath supaya manggilnya lebih simpel.Anak perempuan berusia 4 tahun mulai membangunkan sang kembaran dengan menarik-narik tangannya pelan. Tak ada 5 menit mereka sudah terbangun membuat Zeta tersenyum kecil.
Seperti yang dikatakan tadi, Zeta dan Rey sudah berada didalam supermarket. Mereka berada tempat daging dengan Rey yang mendorong troli. Zeta, perempuan itu tengah memilih-milih beberapa jenis daging. "Rey, kamu ambil sayuran sama buah kesukaan tante Manda yah," ucap Zeta, Rey mengangguk dan pergi menuju rak sayuran dan buah. Setelah melihat-lihat jenis daging, akhirnya Zeta menemukan daging yang pas untuk sotonya nanti. Perempuan itu segera menyusul Rey, trolinya lumayan penuh karena Rey sekalian belanja mingguan supaya mamanya tak perlu repot-repot untuk datang ke sini lagi. "Udah semua kan?" tanya Rey, Zeta mengangguk mereka menuju kasir untuk membayar belanjaannya. Zeta dan Rey keluar dari supermarket dengan masing-masing menenteng 2 kresek berukuran sedang. Mereka memasukan belanjaannya ke dalam mobil. Rey pamit untuk membuang sampah di tempat sampah yang letaknya
Zeta tengah berada di area taman bersama dengan twins. Setelah dari rumah Rey, Zeta langsung mengajak twins untuk jalan-jalan, dirinya juga bingung di apartmen ingin ngapain. Saat ini mereka sedang duduk disalah satu bangku sembari menikmati masing-masing 1 cup eskrim. "Apakah es krimnya enak?" tanya Zeta. Nathan dan Syika mengangguk semangat. "Yaa, ini sangat enak," ucap mereka dengan mulut penuh dengan noda Es krim. Zeta mengelap bibir mereka menggunakan tisu, Nathan izin kepadanya untuk pergi kelapangah. Di sana banyak sekali anak-anak seumuran dengan Nathan. Kini yang duduk di bangku hanya Zeta dan Syika. Zeta memantau Nathan dari sini saja karena letak lapangannya hanya beberapa langkah dari tempat duduknya. "Syika, suka main di sini?" tanya Zeta melihat ke arah Syika yang sedari tadi hanya fokus melihat Nathan yang sedang bermain bola. "Ya.
Pagi harinya Zeta mendengarkan twins yang sedang bercerita dari pintu depan kamar. Sehabis mandi ia ingin masuk kekamar namun ia mengurungkan niatnya karena mendengar twins yang mengobrol. Suara twins terdengar jelas dari tempatnya berdiri. "Kakak, tadi malam Syi ngelasa dipeluk mama." "Mama udah ngak ada, dek!" "Mama peluk Syi kak. Mama bilang kalau mama ngak akan ninggalin kita." "Kita ngak punya mama, mama udah mati. Adek ngak inget kalau kakak benci mama?" "Syi pengen dipeluk mama kakak. Hiks hiks mama tadi datang, dia gendong Syi." Begitulah kira-kira percakapan twins yang Zeta dengar. Perempuan itu langsung masuk dan menghampiri Syika yang menangis, sedangkan Nathan membuang muka dengan wajah dinginnya. Zeta sama sekali tak pernah melihat wajah Nathan sedingin ini. "Nath, kok adiknya nangis?" ta
Diruangan yang nampak gelap terdapat seorang lelaki berumur sekitar 25 tahun tengah melihat layar iPad yang berada diatas tangannya. Lelaki itu bernama Albiru, lebih tepatnya Albiru Evander.Albi seorang CEO diperusahaan terkenal, ia memiliki banyak sekali perusahaan. Albi menikah diusia 21 tahun karena perjodohan, namun setelah istrinya melahirkan buah hati mereka dia pergi begitu saja. Selama ini Albi lah yang merawat anaknya seorang diri.Nathan dan Syika, mereka adalah anak dari Albi. Lelaki itu sibuk dengan dunia kerjanya sampai-sampai meluapakan sang anak yang butuh perhatin darinya. Albi mendengar segala keluh kesah anaknya kepada wanita yang saat ini tengah bersama sang anak. Albi gagal menjadi papa yang baik buat mereka.Lama merenung pintu terbuka menampilkan seorang lelaki yang umurnya sama dengan dirinya. Lelaki itu duduk disebelah Albi, sebelumnya ia menyalakan lampu. Kini ruangan itu teran
"Mama mana sepatu kakak?""Mama? Mana koas kaki Syika? Syika mau berangkat sekolah mama, nanti telat.""Sayang kamu ke mana? Ke sini dong, jangan di kamar twins terus, bantuin aku pakai dasi dong."1 minggu berlalu setelah pernikahan Zeta dan Albi, beginilah kegiatan Zeta setiap paginya. Suara twins dan Albi yang saling bersahutan, kamarnya dengan twins bersebelahan. Jadi jika satu teriak semuanya terdengar, Zeta harus bolak-balik ke kamar Albi dan twins karena mereka terus saja memanggilnya.Saat ini Zeta berada di kamar twins, hari ini mereka kembali bersekolah setelah 1 minggu ambil cuti. Ia memakaikan mereka sepatu dan merapikan rambut mereka. Bahkan ia tak peduli dengan teriakan Albi yang terus memanggilnya, twins lebih penting dari apapun. Biarlah Albi marah-marah karena dirinya tak kunjung ke kamar."Kalian udah selesai, udah wangi, udah pakai sepatu. Ada lagi
3 bulan berlalu, hari ini adalah hari di mana Zeta dan Albi menikah. Mereka berdiri di atas panggung menyaksikan para tamu undangan, Zeta cukup cantik dengan dress berwarna putih yang memperlihatkan lengan putihnya. Di tangan Zeta sudah ada bunga Lily, yang mana itu merupakan bunga kesukaannya. Bisa dibilang dekorasi di sini sangat indah dan mewah.Dipenuhi dengan bunga Lily yang harganya tak main-main, Zeta sudah resmi menjadi istri Albi. Sementara Albi sendiri terpesona melihat kecantikan Zeta. Istrinya itu menjadi pusat perhatian semua orang, teman-teman Zeta pun semuanya hadir di sini dan mereka telah menikmati hidangan yang telah disediakan."Twins di mana?" tanya Zeta sembari melihat ke arah Albi."Dia bersama dengan Cakra, di sini banyak sekali kue, coklat, dan es krim. Itu semua kesukaan twins, mana mungkin mereka tak pergi makan ke sana," sahut Albi malas. Zeta tertawa kecil, karena dirinya lah
Zeta berjalan di lorong rumah sakit bersama dengan Albi, mereka akan pergi menuju ke ruang rawat Hilda. Di tangan Zeta sudah ada parsel buah, ia tak sabar bertemu dengan Hilda. Karena sudah lama sekali ia tak bertemu dengan Hilda. Sesampainya di depan pintu, mereka pun masuk ke dalam.Namun anehnya pintu dikunci dari luar, di sini juga sepi karena bodyguard Albi sudah tak lagi berjaga di depan sini. Lantas Zeta pun menghubungi perawat yang biasanya menjaga Hilda di sini, ia pun menyuruh perawat itu datang ke sini. Tak butuh waktu lama perawat itu datang dan langsung menghampiri dirinya."Mengapa ruangan ini di kunci dari luar? Di mana keberadaan Hilda? Dia baik-baik saja bukan?" tanya Zeta beruntun."Apakah anda tidak tau kabar tentang pasien yang sebelumnya menempati ruangan ini?"Dengan kompak Zeta dan Albi menggeleng. "Apa yang terjadi? Tidak ada sesuatu buruk 'kan?" tanya Zeta y
Zeta berada di sebuah taman bersama dengan Albi, mereka hanya berdua di sini menghabiskan waktu setelah kejadian yang menguras air mata. Twins sendiri sengaja tidak mereka ajak, karena mereka ingin di sini berdua saja. Di depan mereka sudah ada danau yang sangat indah, mereka berdiri berjejer.Tiba-tiba saja ada bodyguard Albi yang datang menghampiri mereka berdua dengan tergesa-gesa. Tentu saja hal itu membuat Albi dan Zeta terkejut, mereka berbalik badan dan menatap 1 bodyguard yang baru saja datang itu. Dia tampak mengatur nafasnya terengah-engah."Ada apa?" tanya Albi."Ada wanita tua yang memaksa ingin bertemu dengan nona Zeta."Merasa namanya dipanggil membuat alis Zeta berkerut. "Siapa yang mencari saya?" tanyanya."Saya tidak tak pasti siapa namanya, dia mengaku sebagai nenek anda. Apakah anda memiliki seorang nenek di sini?""
Hari ini Zeta sudah diperbolehkan untuk pulang, keadaannya sudah stabil. Zeta sendiri tengah duduk dan menyaksikan Zio memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Ia di rawat 1 minggu, dan 3 hari lalu ia terakhir bertemu dengan Albi. Sebenarnya Albi masih ada di rumah sakit, tapi Zio melarang dirinya untuk bertemu dengan Albi sampai dirinya benar-benar sembuh.Jadi sekarang ia baru bisa melihat keadaan Albi, tentu saja bersama dengan Zio. Tak lama kemudian Zio sudah selesai memasukkan barang-barangnya dan menyerahkan tas itu kepada bodyguard agar di bawah keluar. Zio menghampiri Zeta dan tersenyum ke arah Zeta, Zeta pun balik tersenyum ke arah Zio."Terima kasih, kakak udah jaga aku di sini," ujar Zeta."Itu sudah menjadi tugas kakak. Mau ketemu sama dia sekarang?" tanya Zio di akhir."Dia juga punya nama kak, namanya Albi. Masak dari dulu kakak panggil dia dia terus sih,"
Hari sudah mulai malam, Zeta sendiri tak bisa tenang karena terus memikirkan keadaan Albi. Di ruang rawatnya hanya ada Zio, dia sibuk berkutat dengan laptopnya. Sementara Bea dan Bia sudah kembali pulang sejak sore tadi. Zio sama sekali tak mengizinkan dirinya untuk keluar. Ia bingung sekali, sampai pada akhirnya ia memiliki sebuah rencana.Ia beranjak dari tempat tidur ini, dengan langkah tertatih ia menghampiri Zio. Ia pun berjalan sembari mendorong tiang infusnya, sepertinya Zio tak sadar dengan keberadaannya di sini. Sampai akhirnya ia berdehem dan membuat Zio menyadari keberadaan dirinya di depannya."Kamu jangan jalan-jalan dulu, bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tidur?" tanya Zio."Aku mau bertemu dengan Albi, aku enggak bisa tidur sebelum bertemu sama dia," jawab Zeta."Enggak sekarang Zeta, besok abang janji untuk membawa kamu bertemu sama dia," ujar Zio mencoba unt
Sementara di sebuah ruang rawat terdapat Albi yang belum kunjung bangun dari tidur panjangnya setelah kejadian penembakan itu. Untung saja Albi bisa di selamatkan dan itu membuat semuanya bernafas lega. Di sini ada Cakra dan kedua orang tua Albi, mereka menunggu Albi bangun. Syika berada di dalam gendongan Cakra.Sampai akhirnya Cakra memuaskan untuk mengajak Syika keluar dari ruangan ini dan mendapatkan izin dari kedua orang tua Albi. Ia berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit. Ia baru saja mendapatkan informasi bahwa Zeta juga di rawat di sini, dan dirinya juga belum menjenguk Zeta karena tak tau ruangannya di mana."Mama di mana om?" tanya Syika dalam gendongan Cakra."Kamu rindu dengan Zeta?" tanya Cakra balik."Iya, Syi mau ketemu mama. Syi mau aduin ke mama kalau papa enggak mau bangun," jawab Syika polos."Syika turun dulu, om mau te
Hari ini tepat 3 hari setelah kejadian di mana Zeta di culik oleh Feli dan juga Ratna, Zeta sendiri sempat tak sadar selama dua hari karena ada luka serius di beberapa bagian tubuhnya. Saat ini Zio berada di ruang rawat Zeta, selama tiga hari Zio tetap menemani dan menunggu adiknya itu bangun.Zio sendiri tak mengalami luka serius, hanya tinggal menyembuhkan luka luar di wajahnya. Zeta sendiri sudah bangun, dia hanya bersandar di ujung kasur tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Hal itu membuat Zio khawatir, tapi dokter bilang Zeta hanya trauma saja dan dia akan kembali seperti semula."Zeta, bicara sama kakak. Tolong jangan diam saja," ujar Zio yang mulai frustasi."Kenapa aku masih hidup? Aku enggak mau hidup kalau hanya menyusahkan kalian, kenapa papa dan mama melarang ku untuk ikut bersama dengan mereka?" tanya Zeta dengan pandangan kosong."Enggak, kamu enggak pergi. Tolon
Polisi benar-benar datang, mereka berdiri di pinggir dengan posisi melingkar. Albi, Zeta, Ratna dan juga Feli berada di tengah-tengah. Polisi itu membawa pistol semua, tentu saja itu di arahkan kepada Feli dan Ratna. Bahkan bodyguard Zio dan Albi yang masih tersisa turut berada di sini. Zeta masih dalam posisi bersandar, kesadarannya benar-benar menipis.Tiba-tiba saja Ratna berlari ke arah Albi dan dengan gerakan singkat dia mengunci tangan Albi ke belakang. Tentu saja Albi tak siap dengan serangan yang tiba-tiba itu, polisi ingin mendekat tapi Albi menggeleng dan memberikan kode mata agar polisi tetap dalam tempatnya. Satu tangan Ratna memegang tangan Albi, sementara satu tangannya yang lain mencekik leher Albi dengan sikutnya"Kalian semua pergi dari sini atau dia yang mati?" tanya Ratna menatap satu persatu dari polisi itu. Ratna menyuruh Feli untuk berjalan ke arah Zeta dan langsung dituruti oleh Feli.