29. Malapetaka "Jangan ngelamun lo nanti kesambet!"Aku mendengus mendengar penuturan Rai. Dengan memutar bola mata jengah, aku mengibaskan tangan kanan. Menyuruh dia untuk segera pergi dari halaman rumahku. Tetapi, hampir lima menit sejak kami sampai di rumahku, dia tidak kunjung menjalankan mobilnya dan malah menceramahiku dengan kalimat yang sama. Yaitu, jangan suka ngelamun! Memangnya siapa juga yang melamun? Aku hanya sedang kepikiran akan Kelabu. "Sudah sana pulang," ucapku mulai malas. "Lo ngusir gue nih ceritanya?" Rai menunjukku lalu beralih menunjuk dirinya sendiri dengan wajah terkejut. Melihat drama yang dilakukannya, membuatku hanya bisa bersabar. "Iya," jawabku akhirnya. Mendengar jawabanku dia langsung berdecak dan mulai menghidupkan mesin mobilnya. Dia berkata, "Yaudahlah bye! Ingat jangan ngelamun kasihan nanti Bi Sum ngurus lo yang cosplay jadi reog!"Setelah mengatakannya dia mulai mengemudikan mobilnya. Sebelum keluar dari halaman rumah, dia sempat menjulurkan
30. Dua Sisi pada Satu SosokKata orang, terlalu mempercayai seseorang itu menyakitkan. Kata orang, tidak ada yang bisa kita percayai selain diri kita sendiri. Sepertinya, memang benar begitu. Sebab, sekarang aku dibuat kecewa akan kepercayaan itu sendiri. Dibuat terbungkam karena sebuah fakta. Ingin menjerit, tetapi hanya ada lidah kelu yang tak berfungsi. Ingin menepis, tetapi kalimat tegas itu menjadi penjelas. Bahkan aku salah mengartikan seseorang. "Kenapa?" Suaraku bergetar hebat, menahan tangis yang sialnya tidak bisa kutahan. Bahkan kini bulir kristal itu telah membasahi kedua pipiku dengan sangat deras. Kutatap wajahnya, memohon agar dia menyalahkan semua praduga yang terselip di otak. "Kenapa, Kelabu?" Aku kembali bertanya kepada sosoknya. Kelabu terlihat menghela napas panjang. "Karena aku suka sama kamu, Kejora!" jawabnya tegas. "Aku jauh lebih lama menyukaimu, lebih dalam menyukaimu, tetapi sialnya mereka mencoba memisahkan kita! Aku enggak suka, Ra ...." Suaranya me
31. Siapa Cewek yang Bersama Kelam?"Jauhi Kelabu sebelum lebih parah dari ini."Ucapan Iqbal membuatku terdiam. Ada rasa tidak suka ketika mendengar perintah itu. Walau aku juga tahu bahwa semua kejadian kecelakaan Rai adalah dalang dari perbuatan Kelabu. Tetapi, entah mengapa ada setitik harapan jika aku bisa membawa Kelabu kembali ke jalan yang benar. "Aku bisa menangani dia sen–""Lo ga bisa." Potongan Iqbal membuatku menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan. "Bahkan persentase dia buat ngendaliin lo lebih besar dari lo yang berusaha buat ngendaliin dia," lanjutnya penuh penekanan. Netranya memancarkan sinar keputusasaan. Aku menggeleng tegas. Walau ada sedikit percikan api emosi yang bergejolak di dalam dada, aku mencoba tenang. Mencoba memahami situasi Iqbal. Cowok itu pasti tengah frustasi karena keadaan Rai. Karena itu, aku memilih mengembuskan napas panjang sembari menepuk pundaknya pelan. Mencoba memberikannya semangat sekaligus penenang. "Aku tahu gimana sifat Kelabu
32. Alur Mulai Berubah "Di mana Kelam, Ra?" Pertanyaan Rai hanya kubalas dengan gedikan bahu saja. Tanpa berniat membalas, aku memilih mengeluarkan beberapa buah dari dalam kantong plastik dan menatanya di meja kecil samping brangkar Rai. Di sebuah sofa di pojok ruangan terdapat Iqbal yang sejak tadi menatapku dengan tajam. Sepertinya cowok itu begitu was-was denganku. Memangnya, apa yang dia takuti dariku? "Kok ga dateng sih Ra? Kan gue kangen dia." Celetukan Rai berhasil membuat pergerakanku terhenti. Seakan menyadari sesuatu, Rai kembali berucap, "Sebagai temen doang. Sayang jangan lihatin aku kaya gitu deh."Diam-diam aku mengembuskan napas lega. Kulirik sejenak ke arah Iqbal, rupanya cowok itu sudah memasang wajah masam ke arah Rai. Pantas saja sepupuku itu langsung keringat dingin. Memang siapa suruh punya sifat blak-blakan seperti itu. "Udahlah mending kamu makan nih apel. Udah aku kupas," ucapku mencoba mengalihkan topik. Untungnya Rai langsung tergiur. Dengan lahap dia l
33. Semakin KacauAku berdecak sekali lagi. Kutolehkan kepala ke kanan-ke kiri mencoba mencari sosok yang kutunggu-tunggu sejak setengah jam yang lalu. Tetapi sampai saat ini pun sosok yang kutunggu-tunggu tidak kunjung terlihat. Kulirik sekali lagi jam tanganku, sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Yang menandakan bahwa lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Dengan perasaan kesal kurogoh handphone-ku dari saku seragam. Memencet nomor Kelam dan mencoba menghubunginya. Tetapi sambungan telepon tidak kunjung dijawab. Membuatku kembali berdecak. Dengan perasaan kesal bercampur was-was, aku memilih menghubungi Rai. Tetapi, ibu jariku berhenti bergerak. Pasti Rai juga diantar Iqbal. Mengingat dia baru saja keluar dari rumah sakit kemarin. Jika aku menelepon Rai, sudah pasti aku akan bertemu dengan Iqbal. Sialnya, saat ini aku sedang tidak mau bertemu dengan kakak kelas satu itu. Aku sudah bisa membayangkan tatapan tajam yang akan cowok itu layangkan kepadaku. Seakan-a
34. Semuanya Hanya Drama"Kita putus."Kutatap kedua matanya yang masih setia menatap tajam ke arahku. Ditatap seperti itu membuatku menunduk. Putus? Kata itu terngiang-ngiang di kepalaku. Rasanya seperti terhempas begitu cepat. Kembali mencoba menatap Kelam, mencoba mencari kebohongan di sana. Tetapi, manik hitam legam itu terlihat begitu serius. Membuat bibirku kelu, entah harus berucap apa. Sedangkan Rai yang sejak tadi berdiri tidak jauh dariku mulai berjalan tergesa-gesa ke arah Kelan. Lalu, meraih kerah baju cowok itu sebelum sebuah tamparan keras Rai layangkan kepada Kelam. Tetapi, rupanya tamparan itu tidak memiliki arti apa-apa baginya. Cowok itu masih bersikap santai. Ia bahkan menatap tajam Rai yang telah berani menamparnya. "Udah puas?" Pertanyaan dengan nada dingin itu membuat Rai terdiam. Sepertinya cewek itu juga menyadari satu hal. Kelam bukan lagi sosok yang kami kenal. Cowok itu berubah entah karena apa. Atau memang sejak awal cowok itu memang seperti? "Lam maksud
35. Belum Bisa MelupaBahkan ketika harsa mulai kucecapKetika kupu-kupu menggelitik jiwaDan asmaraloka mulai kupintalSemuanya kau hancurkan dalam sekejapTidak peduli ketika aku mencoba ntuk bangkitKau terus menekan begitu kuatOh, Tuan hanya sampai di sini saja kah semuanya?Sebatas drama apik yang kau gelarAku mengembuskan napas panjang. Dengan lemas kuletakkan kepalaku di atas meja. Menenggelamkan wajah di lipatan tangan. Bolpoint yang sejak tadi menari cantik di atas kertas putih itu kuletakkan begitu saja. Memilih memejamkan mata, mencoba terhanyut ke dalam mimpi yang lebih indah. Saat ini kelasku terasa begitu ramai. Pemberitahuan akan rapat dadakan yang dilakukan para guru, langsung disambut meriah oleh murid lainnya. Bahkan sekarang ini kelasku begitu ricuh. Banyak orang-orang berseru, bergosip, bermain game, atau tidur. Saat ini aku sedang mencoba melakukan opsi yang terakhir, tetapi tiba-tiba saja mejaku terasa bergetar kuat. Membuatku terlonjak pelan. "Kerjain tugas
36. Permintaan IqbalAku meringis ketika tangan kananku masih saja dicengkeram erat oleh cowok di depanku. Sudah sejak tadi cowok itu menarikku setelah bel pulang berbunyi, tetapi sampai saat ini aku tidak tahu mau ke mana cowok itu membawaku. Hingga akhirnya aku tahu ke mana tujuan cowok di depanku. Rooftop. Pintu dibuka dengan keras, membuat suara bedebum. Angin sore berhembus kencang, membuat suraiku berterbangan. Masih setia mengekor, akhirnya cowok di depanku melepaskan cengkeramannya. Aku diam, tidak tahu alasan Iqbal membawaku ke sini. Karena itu aku memilih menunggu apa yang akan cowok itu katakan hingga dia harus membiarkan Rai untuk pulang sendiri dan memilih mengobrol empat mata denganku. Setelah beberapa menit tidak ada ucapan dari cowok itu, membuat kedua kakiku mulai pegal. Bahkan sejak tadi aku sudah menggerakkan kedua kakiku, mencoba menghilangkan rasa pegal itu. "Kalau ga ada yang mau diomongin, aku mau pula–""Jauhin Rai!" Aku terdiam. Menatap tidak mengerti Iqba