“Wah, ini printer?” tanya Salsa begitu meletakkan jinjingan yang tadi dibawa dari kamarnya. Dua mata bulat itu berbinar.“Ah, ya. Tadi katanya ada yang jual murah ke Paman.” Kuletakkan mesin yang lumayan berat itu ke atas meja yang sudah kukosongkan tadi. “Sekarang, aku tinggal memikirkan laptopnya saja.”“Wah, kebetulan. Aku cuma punya laptopnya, Jun. Jadi kita bisa join –an gimana?” Salsa mendekatkan wajah cantiknya ke arahku dengan dua mata berkedip –kedip. Ya Tuhan, ini menggoda iman.“Ah, ya tentu saja.” Aku bergerak ke arah samping. Hawa panas menjalar ke seluruh tubuhku jika kami terus berdekatan seperti tadi. “O ya ini apa?”“Ah, itu makanan. Tadi ada yang antar ke sini. Sepertinya Umi kepikiran apakah aku makan dengan baik di sini? Padahal mah, pagi sore perutku penuh dengan seblak dan bakso. Ha ha ha.”“Oh.” Aku manggut –manggut. “Tapi, kenapa dibawa ke sini?”“Apa lagi? Tentu saja karena aku ingin berbagi sama kamu.”“Ya, tapi ....” Ucapanku menggantung lantaran Salsa lebih
Di kampus. Aku sedang duduk di kelas, menunggu pergantian dosen. Namun sudah lebih satu jam menunggu, tapi dosen pembimbing kami belum juga masuk. Itu kenapa kuputuskan untuk mempelajari sendiri buku yang sudah kupinjam dari perpustakaan. Menyiapkan materi yang harus kukerjakan makalahnya nanti malam. Dengan begitu, aku juga akan lebih siap untuk persentasi di depan yang lain.Mulai sekarang aku harus serius belajar untuk masa depanku. Bukan hanya untuk bisa masuk ke dalam keluargaku yang sebenarnya, tapi juga melayakkan diri untuk bisa bersanding dengan gadis sesempurna Salsa. Dia pasti juga memiliki keluarga yang sangat menyayanginya, dan tak mungkin menyerahkan begitu saja dengan mudah putri mereka pada pria yang melamar tanpa memenuhi kriteria yang baik.Setidaknya, aku harus memenuhi kriteria umum dulu. Mereka pasti akan pilih –pilih. Setidaknya setelah nanti aku sukses akan diperhitungkan keberadaanku oleh mereka.Sedang asik menulis poin –poin isi makalah, sebuah panggilan data
“Jadi mulai hari ini kita jadian. Kamu adalah pacarku dan aku adalah pacarmu! Jadi jangan biarkan siapa pun mendekati kamu. Karena aku yakin ada banyak sekali mahasiswa di kelas kamu yang jatuh cinta padamu.” Hasan mewanti –wanti.“Ok. Hanya pria kan? Aku masih boleh bergaul dengan perempuan. Siapa saja dan dekat dengan mereka?” Aku ingin memastikan ucapannya.“Yah, tentu saja, itu tak akan masalah bagiku, Sayang. Bergaullah dengan siapa saja yang kamu inginkan jadi teman dekatmu.” Pria itu menjawab lugas. Benar –benar tanpa pengekangan, berbeda jika yang akan mendekatiku seorang pria.Aku manggut –manggut. Memahami keinginannya sekaligus merasa lega, tak akan ada gangguan saat aku akan mendekati Salsa. Tentu saja itu tak boleh diganggu siapa pun, sebab selama ini dan ke depannya salah satu tujuan hidupku adalah gadis itu.“Sebentar.” Hasan seperti teringat sesuatu, sehingga tampak berpikir keras. “Kamu ... seorang gadis normal kan? Maksudku bukan seorang penyuka sesama jenis atau les
Arjuna sebagai Junia menjalani hubungan sebagai pacar setelah aku dan Hasan saling bersepakat. Kami menjalani hubungan percintaan tak biasa. Yah, mana bisa aku tidak merasa risih berdekatan dengan pria yang menganggapku sebagai pacar.Aku harus menghela napas panjang, kala di kejauhan Hasan melambaikan tangan. Dia bahkan tak sungkan kiss jauh. Takut jika ada yang melihat, aku bahkan sampai harus pura –pura di depan orang lain tidak mengenalnya.“Oh ini toh pacarnya Mas Hasan? Pas kalau gitu. Yang satu cantik yang satu ganteng,” seloroh Ibu kantin saat aku membayar makanan yang sudah kuambil.Sementara di sekitar, beberapa gadis tampak tak suka melihatku. Apa lagi? Pasti karena mereka adalah para pengagum Hasan. Pemuda tampan yang populer di kampus ini. Heuh. Ambil saja seharusnya. Tak perlu sinis begitu padaku. Aku gak doyan cowok.“Oh, bukan, Bu. Kami hanya berteman.” Aku menyahut cepat. Ingin meredam tatapan tak suka mereka.“Jun, ayok!” Salsa memanggilku. Dia sepertinya sudah menun
Hari terus berjalan. Antara sedih dan senang. Bukan hanya bisa bareng dan mengobrol dengan Salsa, kemudian mendapat ilmu baru setiap kali bertemu dosen, tapi aku juga semakin dekat pada tujuanku, kembali pada kehidupan yang menjadi hakku sebagai Arjuna Brawijaya.Tak peduli, seberapa besar perjuangan ini. Yang tidak hanya harus berlaku sebagai seorang perempuan dan menipu semua orang, terutama Salsa dan Hasan. Jika Salsa adalah seseorang yang kucintai, maka Hasan adalah pria yang mencintaiku dan aku harus berpura –pura mencintainya.Dari kebohongan yang kuciptakan, setidaknya aku punya tempat nyaman di sisi Salsa. Dia bahkan memberiku banyak motivasi kehidupan dan bagaimana caranya menjadi manusia sebagai seorang makluk yang hidupnya serba terbatas. Bagaimana hidup dengan menahan nafsu dan juga peduli pada orang lain.Lalu, dari Hasan meski harus menumbalkan sedikit keperjakaanku, aku bisa menemukan banyak hal tentang Bianca dan keluarga Kakek Brawijaya. Setidaknya, itu yang aku yakin
“Memangnya Kakak dulu kenal dia di mana?” tanyaku penasaran.“Hem, papiku dan papi dia kan teman. Bisnis bareng juga. Jadi di beberapa acara kami bertemu. Aku juga terkejut dia pergi ke universitas ini. Kupikir dia ke luar negeri.” Hasan menceritakan bagaimana perkenalannya dengan Bianca.Wah, teman bisnis. Artinya benar jika Hasan anak orang kaya. Pantas saja penampilannya berbeda, dan dia juga tidak pelit. Andai dia cucu Kakekku, pasti aku tidak akan segan memoroti uangnya.Dan sekarang, hubungan dengan Hasan menjadi batu loncatan bagiku untuk bisa masuk ke dalam lingkungan para konglomerat. Dengan begitu juga aku bisa masuk ke rumah besar Kakek. Aku penasaran, apakah semua masih sama seperti dulu?“Oh, artinya kalian sudah akrab,” celetukku kemudian.“Wah, kalau gitu, aku mau dong, Kak, dibawa jalan ke rumah dia!”Aku bisa memanfaatkan Hasan untuk bisa mengorek lebih dalam pada gadis yang mencintainya itu. Apalagi posisi Bianca sekarang masih dalam masa pendekatan. Dia pasti akan m
Tatapan mereka menakutkan. Apa kini mereka melihatku sebagai pria? Dan kemudian akhirnya berpikir bahwa aku ini seorang penipu! Oh tidak! Itu tidak boleh terjadi!Mataku melebar karena itu. Lalu segera memperbaiki suara dengan berdeham berkali –kali. “Eham. Eham. Ehm, maaf saya harus pergi,” ucapku pada orang –orang yang sempat menatap aneh kepadaku.Sambil berjalan menjauhi mereka, kuketik pesan, [ Ya, tentu saja. Aku akan datang. Kamu benar –benar pria luar biasa. ]“Hemh, Hasan pasti tambah ge –er sekarang. Dan yang pasti, dia akan semakin senang melakukan tugas –tugas yang kuberikan dalam bentuk permintaan.”Langkahku terus terayun menuju asrama yang kutinggali, saat sampai di depan gerbang kupercepat langkah begitu melihat sosok Paman sendirian berjaga di pos. Pria itu harus menjelaskan apa yang dia katakan pada Salsa sebenarnya. Jangan –jangan malah Paman sendiri yang mengatakan pada Salsa mengenai penyamaranku.“Hei, Jun! Kemarilah!” seru Paman begitu melihatku. Dia sampai meni
Sekitar sepuluh menit berjalan aku sampai di taman tempat di mana aku dan Hasan sepakat bertemu. Dari kejauhan, kulihat pria itu tengah bersandar ke sebuah mobil sport berwarna putih. Wah, jadi dia benar –benar anak orang kaya.Hem, andai aku tenang hidup sebagai Arjuna di keluarga Brawijaya tanpa gangguan Om Rudi, pasti aku juga akan menaiki mobil seperti itu. Aku juga akan lebih percaya diri mendekati Salsa.Bisa jadi Salsa menyukai Hasan, juga karena dia kaya. Aku tak menyalahkan para wanita yang menyukai itu. Mereka punya hak untuk bersikap realistis. Namun, tetap saja aku ingin kelak, Salsa mau menerimaku sebagai pria biasa tanpa embel –embel kekayaan Brawijaya.Hasan sudah melihat ke arahku. Namun, kenapa dia tidak menyapa. Sampai langkahku benar –benar dekat“Hai!” sapaku.Pria itu mengecilkan mata memindai tubuhku dari atas hingga bawah. “Ya? Siapa?”Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Menyenangkan sekali membuat orang lain pangling begini. Kalau begitu sudah pasti Om Rudi
“Siapa dia?”“Anak temannya Paman.”“Namanya?”“Salsa.”“Ha ha ha.” Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."“Hem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.” Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? “Oya?!” Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.“Untung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.”“I
“Ehm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.”“Ya?”“Apa benar Ning Salsa sudah punya calon?”“Ah, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.”Hatiku seperti dicabik –cabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.“Ehm, Mas Juna kenal Salsa?”“Ah, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.”“Oh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.” Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.“Kalau begitu saya permisi, Gus.” Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.“Ah, ya.”“Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.”"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint
Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam
Satu tahun kemudian ....“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. “Bukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.”Aku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar –besaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap
"Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku
Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat
Anak buah Om Rudi menggiringku dan Paman Hamzah masuk ke dalam. Rupanya tak menunggu lama, meski berusaha mengendap –endap masuk, aku dan Paman Hamzah langsung tertangkap.Tadinya kupikir ini ide yang sangat berani. Namun, juga sangat beresiko. Jujur saja, aku tak yakin bisa bertemu Salsa, karena Om Rudi pasti tidak akan tinggal diam begitu saja. Bisa saja aku lebih dulu terbunuh sebelum bertemu dengan Salsa.Paman menjawil tanganku, yang membuatku seketika menoleh ke arahnya. Pria itu memberi isyarat dari matanya, agar aku tenang. Dan bahwa semua akan baik –baik saja.Di dalam sebuah ruangan terbuka, orang –orang yang membawa kami melempar tubuh kami dengan kasar. Saat itulah, seorang pria dengan tubuh tambun di depan jendela terlihat.“Hem, kalian sudah tiba. Aku sudah sangat lama menunggu moment ini.” Suara beratnya terdengar. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, karena silau akibat cahaya dari jendela –jendela besar tanpa tirai itu langsung menyorot ke mata.Begitu pria itu berba
"Ini gila, meski bisa berkelahi, aku tak menguasai teknik karate. Jadi bagaimana aku akan mengalahkan pria tua itu?"Aku tersenyum miris. Melihat diri sendiri. Meski sosokku sekarang adalah pemuda yang gagah, tapi bahkan tak punya jurus bayangan seperti yang Hasan punya. Aku jadi berpikir, kalau saja yang jadian dengan hati itu adalah Salsa, setidaknya harapan menang naik 40 persen. "Bagaimana ini, Sa? Maafkan pemuda bodoh ini! Seharusnya aku berlatih sejak awal. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga wanita yang aku cintai. "Maafkan pemuda bodoh, yang tak mampu melindungi wanitanya. Meski begitu, kamu harus tahu, aku tak akan menyerah. Walaupun sedikit saja."Banyaknya kejadian buruk yang kualami, setiap kesulitan karenanya dan kegagalan demi kegagalan saat berjuang, memberiku banyak pelajaran berharga. Aku bisa belajar dari itu. Tak mudah menyerah. Karena nyatanya setelah kehilangan satu jalan, Tuhan masih mempersiapkan jalan lain agar aku menempuh. Tinggal mau atau t
“Jun?” tanyanya.Dia pasti langsung sadar kalau itu adalah panggilan untuk Junia. Duh, Paman ini. Kenapa bisa seceroboh itu? Bagaimana kalau Pak Ujang tahu bahwa aku adalah Junia?Aku pun lekas menatap ke arah Paman dan memberikan isyarat agar pria itu juga sadar. Paman melebarkan mata ke arahku seolah tak mengerti. Namun, setelah mengerutkan kening, pria itu lekas meralat ucapannya.“Oh, ya, Jang. Kenalkan ini ponakanku juga, namanya Arjuna. Em, kadang saat kami bersama, Junia suka noleh kalau aku memanggilnya “Jun!” Paman Hamzah menepuk bahuku. Menutupi kebohongan yang selama ini sudah kami lakukan. Saking lama waktu yang kulalui dengan berbohong dengan alasan ingin selamat, kami menjadi mahir dalam hal menipu.“Oh, ya, ya. Jadi saudaranya Mbak Junia?” tebak Pak Ujang.Aku dan Paman tak menjawab, hanya sebuah senyuman setelah kami saling tatap. Seolah kami sedang membenarkan pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Seakan ini tidak sedang berbohong. Entah, apakah ini bisa dibenarkan dan