Jenna mengerjapkan mata, lagi-lagi perempuan itu terbangun di ruangan asing hanya saja kali ini ruangan yang di temuinya memiliki satu warna, putih. Perempuan itu meringis begitu merasakan satu sengatan samar di punggung tangan sebelah kanannya yang ternyata di tempeli selang infus.
“Rumah sakit.” Gumamnya kepada diri sendiri, matanya berkeliling memperhatikan ruang perawatanya yang sepi.
“Kesempatan.” Desis Jenna dengan semangat begitu melihat sebuah jendela besar di samping ranjangnya, perempuan itu tidak tahu sekarang sudah pukul berapa tapi gelapnya langit malam membuat dada Jenna bergemuruh dengan semangat.
“Aw!” Desisnya ketika menarik paksa jarum yang tertanam di punggung tangannya, Jenna tidak ingin membuang waktu. Karena itu, meski kepalanya masih terasa berputar perempuan itu tetap melangkah membuka jendela dan memperhatikan garis-garis tepi di dinding rumah sakit yang bisa ia pijak.
***
“Ha
“Hai, udah bangun?” Jenna tersenyum, setelah menggulung rambut panjangnya perempuan itu mendekati meja makan dan membantu Leni menyiapkan sarapan.“Rudi mana?”“Lagi keluar sebentar, ada yang minta tolong benerin pipa.” Jenna mengangguk. Perempuan itu sama sekali tidak menyangka kalau pelariannya akan kembali membuatnya bertemu dengan Rudi dan juga Leni.“Jadi, hari ini si bayi punya permintaan khusus apa enggak nih?” Jenna tertawa mendengar pertanyaan Leni barusan, tangannya begitu saja mengelusi kandungannya yang sekarang berusia dua belas minggu.Jenna baru mengetahui kehamilannya satu minggu setelah pelariannya, tiba-tiba saja perempuan itu pingsan saat sedang mencuci pakaian dan di larikan ke klinik terdekat oleh Leni.“Enggak tante, si bayi hari ini mau makan apa aja yang di masakin sama tante Leni.” Jawab Jenna dengan suara khas anak-anak, beberapa waktu lalu ia memang tiba-tiba saj
Jenna merunduk, bersembunyi di dalam terpal salah satu mobil bak terbuka. Perempuan itu menahan isakan ketika mendengar langkah kaki seseorang di sekitarnya.“Jenna… lo kira bisa begoin gitu gitu aja.” Desis Rudi sembari memperhatikan sekitar, berkali-kali kakinya menendangi drum-drum kosong yang ia pikir di jadikan Jenna sebagai tempat bersembunyi.“Keluar lo!” Jenna menutup mulutnya semakin kencang agar tidak berteriak ketika mendengar suara banyak barang beradu.“Jangan sok jadi korban Jenna, karena kenyataannya di sini gue yang jadi korban. Inget waktu kita nonton terakhir kali?” tanya Rudi sembari mengangkat salah satu terpal yang menumpuk di sudut jalan.“Gue beliin lo banyak barang kan? Lo tau gimana cara gue dapetin duitnya?” Rudi mengangkat gagang besi dan mengayunkannya pada setumpuk kardus, laki-laki itu menggeleng karena Jenna tidak juga ada di sana.“Ngutang! Gue harus ngutan
Rama membuka satu kamar, menyimpan satu kotak kado di sana kemudian termenung. Laki-laki itu memandangi empat kotak kado lagi yang memenuhi rak, perasaan laki-laki itu linu menyadari bahwa kotak-kotak kado yang di letakannya sejak empat tahun lalu belum juga di buka oleh pemiliknya.“Masih belum ada kabar?”“Belum, kita benar-benar kekurangan petunjuk karena mobil bak terbuka yang di tumpangi oleh Jenna hancur karena kecelakaan.”“Tapi masih ada kemungkinan Jenna masih hidupkan?”“Seharusnya, karena tim SAR memang cuma nemuin satu mayat waktu itu.”“Ini udah enam tahun, kalau Jenna dan bayinya selamat itu artinya cucu kita sudah besar mas.” Maira mulai terisak.“Sabar ya, kita pasti bisa menemukan Jenna.”Rama yang semula ingin bergabung bersama keluarganya di meja makan memutuskan untuk mengurungkan niatnya, hari ini perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Rama
Rama gelisah, laki-laki itu sudah berganti posisi beberapa kali tapi tidak juga bisa terlelap. Selama enam tahun terakhir, untuk pertama kalinya pikiran laki-laki itu di penuhi oleh sesuatu yang lain selain Jenna dan juga anaknya yang entah hidup atau tidak.“Makasih ya om!” Rama tersenyum mebayangkan seyum lebar anak perempuan yang menyebut dirinya sebagai Kara, mungkin karena ia juga seorang ayah. Rama jadi penasaran bagaimana rupa dari anaknya dan Jenna yang sampai detik ini keberadaannya sama sekali belum di temukan.Rama tidak bisa menahan decakannya, sudah satu minggu ini laki-laki itu melewati area pertokoan tempatnya bertemu anak-anak yang menyemir dan menyewakan majalah untuknya. Tapi sialnya, keberadaan anak-anak itu tidak ia temukan.“Kita mau muter sekali lagi pak?” si supir bertanya.“Enggak usah, langsung pulang aja.” putus laki-laki itu dengan sendu, baru setengah jalan supirnya tiba-tiba saja me
“Ibuk!”Jenna langsung berdecak begitu melihat putrinya dengan susah payah berlari ke arahnya. Di belakangnya Samudra mengikuti sembari meringis kecil.“Kalian ini dari mana aja?!”“Maaf buk, tadi kita ketemu kenalan terus di ajak makan.” Jawab anak laki-laki yang selama dua tahun ini di asuhnya.“Iya buk, liat nih.”Jenna menatap pelastik dengan logo restoran yang tidak akan pernah di lupakannya.“Ya ampun! Ini kan tempat mahal, kalian kok bisa kesana.”Jenna langsung panik, perempuan itu langsung berjongkok memperhatikan putrinya lekat.“Jawab ibuk, orang itu minta apa sama kalian?”“Ish ibu ini ngomong apaan sih.”Jenna tau anak perempuannya pasti tidak mengerti, karena itu kali ini ia menatap Samudra untuk meminta penjelasan.“Enggak ada buk, omnya malah ngasih kerjaan. Kara sama Sam di minta nganterin majalah sama nyemir di rumahnya dua hari sek
Maira memperhatikan kesibukan yang Rama lakukan, untuk pertama kalinya setelah kepergian Jenna anak laki-lakinya itu terlihat antusias. Merasa penasaran, Maira memutuskan untuk keluar dan melihat langsung hal apa yang membuat Rama begitu antusias.“Sore bu..” Maira terkejut kerena menemukan dua anak kecil di halaman rumahnya.“Oh, halo. Kalian..”“Aku Kara, ini abang aku namanya Sam. Kita kesini mau nyemir bu, om beruang katanya punya banyak sepatu yang perlu di semir.” Maira langsung merasa tertarik dengan anak perempuan yang bercerita dengan semangat tersebut, perempuan paruh baya itu memutuskan untuk mendekat.“Kara juga sebenernya harus bawa majalah, om beruang bilang mau langganan.” Si anak perempuan kali ini menatap abangnya sembari cemberut.“Tapi enggak sempet Kara ambil majalahnya di tempat bang Didit.”“Kenapa enggak sempat di ambil?” Tanya Maira sembari mendud
“Heh Kara!” langkah kaki anak perempuan itu berhenti, Kara menatap tetangganya yang melambaikan tangan agar ia mendekat.“Kenapa mpok?”“Gue denger minggu lalu emak lu ngomel, kenapa?” Wajah Kara langsung cemberut, anak perempuan itu seolah kembali di ingatkan dengan kejadian menyebalkan satu minggu yang lalu.“Ibuk ngomel soalnya Kara sama Abang dateng ke rumah om beruang, padahal ibuk udah bilang enggak usah.”“Siape tuh om beruang?” Kara memutar bola matanya seolah perempuan seusia ibunya itu benar-benar ketinggalan berita.“Om beruang itu mpok, om yang banyak uang! Rumahnya bagus, makanan di rumahnya enak-enak. Abang di kasih sepuluh lembar uang merah waktu nyemir di rumahnya seminggu yang lalu.” mata tetangganya langsung membulat.“Lu nemu di mane orang begitu?!”“Di jalan pertokoan baru itu, kan Kara sama Abang nawarin majalah sama nyemir d
Beti berlari ke rumah Lela, tetangganya yang dulu membawa Jenna untuk tinggal di lingkungan kampung mereka. Tangannya bergetar ketika mengetuk pintu dengan tidak sabaran.“Lela! Lela!” Ketukannya semakin kencang karena yang di panggil tidak juga menyahut.“Lela!”“Astaga, iya-iya. Santai aja dong mpok.” Perempuan seumuran Jenna membuka pintu dan langsung mendengus begitu tetangganya yang memang sudah sangat terkenal dengan tingkah menyebalkannya itu memonopoli ruang tamunya yang sempit.“Sini lu, gue mau nanya.”“Enggak mau minum dulu mpok?” perempuan tambun itu mengibaskan tangan dan dengan tidak sabaran menarik Lela duduk di dekatnya.“Astaga, sabar kenapa mpok. Napas dulu, pelan-pelan.”“Ck, bawel lo ah. Gue mau nanya nih!” Beni menarik napas sebentar.“Si Jenna itu dulu pisah sama lakiknya pas udah hamil?” Lela mengerutkan dahi m