Maira memperhatikan kesibukan yang Rama lakukan, untuk pertama kalinya setelah kepergian Jenna anak laki-lakinya itu terlihat antusias. Merasa penasaran, Maira memutuskan untuk keluar dan melihat langsung hal apa yang membuat Rama begitu antusias.
“Sore bu..” Maira terkejut kerena menemukan dua anak kecil di halaman rumahnya.
“Oh, halo. Kalian..”
“Aku Kara, ini abang aku namanya Sam. Kita kesini mau nyemir bu, om beruang katanya punya banyak sepatu yang perlu di semir.” Maira langsung merasa tertarik dengan anak perempuan yang bercerita dengan semangat tersebut, perempuan paruh baya itu memutuskan untuk mendekat.
“Kara juga sebenernya harus bawa majalah, om beruang bilang mau langganan.” Si anak perempuan kali ini menatap abangnya sembari cemberut.
“Tapi enggak sempet Kara ambil majalahnya di tempat bang Didit.”
“Kenapa enggak sempat di ambil?” Tanya Maira sembari mendud
“Heh Kara!” langkah kaki anak perempuan itu berhenti, Kara menatap tetangganya yang melambaikan tangan agar ia mendekat.“Kenapa mpok?”“Gue denger minggu lalu emak lu ngomel, kenapa?” Wajah Kara langsung cemberut, anak perempuan itu seolah kembali di ingatkan dengan kejadian menyebalkan satu minggu yang lalu.“Ibuk ngomel soalnya Kara sama Abang dateng ke rumah om beruang, padahal ibuk udah bilang enggak usah.”“Siape tuh om beruang?” Kara memutar bola matanya seolah perempuan seusia ibunya itu benar-benar ketinggalan berita.“Om beruang itu mpok, om yang banyak uang! Rumahnya bagus, makanan di rumahnya enak-enak. Abang di kasih sepuluh lembar uang merah waktu nyemir di rumahnya seminggu yang lalu.” mata tetangganya langsung membulat.“Lu nemu di mane orang begitu?!”“Di jalan pertokoan baru itu, kan Kara sama Abang nawarin majalah sama nyemir d
Beti berlari ke rumah Lela, tetangganya yang dulu membawa Jenna untuk tinggal di lingkungan kampung mereka. Tangannya bergetar ketika mengetuk pintu dengan tidak sabaran.“Lela! Lela!” Ketukannya semakin kencang karena yang di panggil tidak juga menyahut.“Lela!”“Astaga, iya-iya. Santai aja dong mpok.” Perempuan seumuran Jenna membuka pintu dan langsung mendengus begitu tetangganya yang memang sudah sangat terkenal dengan tingkah menyebalkannya itu memonopoli ruang tamunya yang sempit.“Sini lu, gue mau nanya.”“Enggak mau minum dulu mpok?” perempuan tambun itu mengibaskan tangan dan dengan tidak sabaran menarik Lela duduk di dekatnya.“Astaga, sabar kenapa mpok. Napas dulu, pelan-pelan.”“Ck, bawel lo ah. Gue mau nanya nih!” Beni menarik napas sebentar.“Si Jenna itu dulu pisah sama lakiknya pas udah hamil?” Lela mengerutkan dahi m
Rama tersentak, begitu menoleh ia melihat Maira sedang tersenyum sendu. Tidak lagi bisa menahan diri, laki-laki itu terisak di bahu ibunya. Satu minggu lalu, ia sudah menceritakan semuanya kepada perempuan yang sudah melahirkannya itu.“Ikhlasin Rama, seenggaknya anak kalian masih ada.” Rama menganggukan kepala.“Jangan buat anak kamu nanti mikir macem-macem, dia pasti heran kenapa muka papanya sedih waktu dia dateng nanti.” Maira menghapus air mata anaknya pelan.“Kamu enggak mau kan bikin dia ngerasa di tolak?”“Enggak, Rama enggak mau dia ngerasa begitu.” Maira menganggukan kepala.“Kalau gitu, jangan pasang wajah seperti ini lagi. Yumi dan Beti sebentar lagi sampai.”Tepat ketika Maira menyelesaikan ucapannya, kepala pelayan memasuki ruang makan. Di belakangnya ada seorang anak perempuan dan juga seorang perempuan yang tidak terlalu muda, tapi tidak juga cukup tua.&ldquo
Kening Jenna berkerut melihat putrinya duduk termenung di teras rumah, Kara bahkan sampai bertopang dagu seolah sedang memikirkan sesuatu yang serius.“Kara!” anaknya itu belum juga menoleh, sembari menggelengkan kepala Jenna mendekat.“Kara..” Kali ini suara Jenna tidak terlalu kencang, tapi rupanya cukup membuat Kara terkejut. Anaknya itu memandangnya dengan sebal sembari mengelus dada.“Ibuk, kara kaget!” protesnya.“Kara yang ibuk panggilin tapi enggak nyaut-nyaut, mikirin apa sih?” bukannya menjawab, putrinya itu justru menghela napas dan kembali bertopang dagu. Kali ini Jenna bisa melihat anaknya memasang wajah sendu.“Ada apa Kara?” tanya Jenna dengan sabar.“Bapak Kara di mana sih buk?” Jenna langsung tertegun, sama sekali tidak menyangka kalau anaknya akan bertanya demikian.“Kok tiba-tiba Kara nanyain bapak?” Jenna sebenarnya tau, kenapa anak
Rama memperhatikan Kara mengamati boneka-boneka di hadapannya dengan tatapan kagum, laki-laki itu gemas bukan kepalang melihat mulut mungil anak itu tidak bisa berhenti mengatakan ‘wah’.“Eng, maaf ya dek. Bonekanya jangan di pegang, nanti kotor.”Rama yang mendengar teguran pelayan toko tersebut menjadi geram, dengan angkuh laki-laki itu melangkah mendekati Kara yang tertunduk lesu.“Anak ini boleh menyentuh apapun di toko ini, paham kamu?”Si pelayan toko menunduk takut, “I..iya tuan.”Rama mendengus, pandangannya kali ini menatap Kara yang mata sudah berkaca-kaca.“Jangan dengerin perempuan jelek ini. Kara boleh menyentuh apapun di toko ini, dan kalau Kara suka Kara boleh bawa mainannya ke kasir.”“Eng, tapi Kara enggak punya uang om.”“Om punya uang.” Jawab Rama dengan cepat, hatinya linu melihat Kara yang menunduk sendu, “Om aka
Jenna menatap bayangannya di cermin, kegundahannya semakin nyata. Dulu ia pikir akan mudah untuk menghadapi pertanyaan Kara soalnya keberadaan gadis kecil itu, sayangnya ternyata semua tidak semudah apa yang ia bayangkan.“Buk.” Sam muncul di ujung pintu kamar Jenna, bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu menggenggam tangan Kara yang sibung mengucek ke dua matanya.“Loh ini kenapa?”Samudra mengehela napas, anak laki-laki itu menuntun Kara untuk memasuki kamar Jenna.“Kara tadi nangis sesegukan di kamarnya buk, dia bilang mimpi soal bapaknya.” Jelas Sam semakin lirih ketika kalimatnya sampai di ujung.Mata Jenna mengerjap, ini pertama kalinya Kara mengaku memimpikan bapaknya. Dengan penuh pengertian Jenna meminta Kara untuk mendekat dan memangkunya.“Kara kok bisa yakin kalau abis mimpiin bapak?” tanya Jenna hati-hati, perempuan itu jelas penasaran karena seumur hidupnya Kara belum pernah seka
“Jadi bapaknya Kara udah ketemu belum bang?” bisik Kara ketika mereka sedang membantu Jenna membersihkan sayur untuk di masak sebagai lauk makan malam, ini memang sudah lewat satu minggu sejak janji yang Samudra dan juga Kara buat.“Stt! Kara, nanti ibuk denger.” Mata Samudra melirik Jenna yang nampak serius membersihkan potongan ayam.“Kara mau ayamnya pake kulit kan?”“Oh, iya buk. Ayamnya pake kulit semua aja ya bang, kalau abang enggak suka jatah kulit di ayam abang untuk Kara.” Jawab anak itu dengan polos.“Iya.”Kening Jenna berkerut melihat Samudra yang kelihatan gugup.“Kenapa bang?”“Hah?”Jenna meletakan pisaunya, perempuan itu memutuskan untuk memfokuskan pandangan kepada dua bocah yang sejak tadi tidak juga selesai membersihkan sayuran.“Ibuk kayaknya tadi liat kalian bisik-bisik, ngomongin apa sih?”Samudra
Kara duduk di pinggir trotoar sembari bertopang dagu, wajahnya cemberut karena sampai hari ini Samudra masih belum juga bisa menemukan petunjuk soal ayahnya.“Masa di kamar ibuk sama sekali enggak ada petunjuk soal bapak sih bang.” Gerutu bocah perempuan itu sembari menggerakan tubuhnya maju mundur. “Mungkin abang kurang teliti nyarinya, sabtu nanti kita coba lagi yuk.”“Kita udah nyoba tiga kali Kara.” Jelas Samudra dengan sabar.“Haah, kalau di kamar ibuk enggak ada petunjuk sama sekali gimana Kara bisa nemuin bapak.”Samudra berdeham, bocah laki-laki itu meremas ujung foto yang ia ambil dari kotak Jenna beberapa hari lalu. Samudra perlu menemui laki-laki yang ada di foto tersebut untuk memastikan dugaannya.“Kita nunggu siapa sih bang?” tanya Kara lagi, beberapa hari belakangan ini mereka memang pulang lebih sore dari biasanya.“Enggak ada.” Sam menghela napas, &ldquo
Maira dan pandu nyaris menjatuhkan cangkir tehnya begitu menerima laporan dari pos penjaga yang memang ditugaskan untuk menjaga gerbang utama, di dalam laporannya petugas tersebut melaporkan bahwa beberapa saat lalu ada seorang perempuan bersama dua orang anaknya sedang berdiri memandangi pos penjaga. Sebenarnya itu adalah laporan biasa, jika saja mereka tidak menambahkan nama Jenna di dalam laporannya. Mereka bilang, perempuan yang membawa anaknya itu sangat mirip dengan Jenna. “Aku akan periksa cctv.” Pandu bergegas memastikan. Wulan menggenggam tangan Maira, mencoba menguatkan ibu mertuanya sebisanya. Kabar ini jelas kabar yang membahagiakan jika perempuan yang terekam di dalam kamera keamanan itu benar-benar Jenna. “Ma.” Wulan meremas tangan Maira yang dingin. “Enggak apa-apa, semua pasti baik-baik saja.” Maira mengangguk. “Iya, kita tunggu papa sama-sama ya.” Pandu kembali ke meja makan, wajahnya memerah. Melihat itu Maira spontan ikut menangis, sudah jelas bahwa perempuan
Beti gelisah, ia tahu ada yang salah. Ponsel Rama sama sekali tidak bisa di hubungi, sedangkan Bima tidak mau menganggat panggilannya, sejak tadi Beti terus saja berhadapan dengan mesin operator. Wulan juga sama, perempuan itu justru sibuk menonton tayangan komedi di kamarnya.“Oh mas kamu udah pulang?”Beti terkejut mendengar suara Maira, rupanya ia melamun sampai tidak menyadari Maira menuruni tangga.“Aku mau makan siang di rumah.”Kening Beti berkerut karena Pandu tiba-tiba saja meliriknya, kecurigaannya semakin besar.“Ah, ayo. Aku temani.”“Wulan sudah pulang dari belanja?”Maira menggeleng, “Belum, perutnya tiba-tiba saja kram katanya. Jadi dia mau istirahat dulu sebentar.”“Astaga, bilang Wulan, Mai. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau memang enggak sempat sekarang ya di undur besok saja belanjanya.”“Iya, nanti aku bilang Wulan.&rdqu
Jenna merasakan seluruh tubuhnya gemetar, Kara masih sesegukan dalam pelukannya. Tapi alih-alih menenangkan putri semata wayangnya, Jenna memilih memasuki kamarnya dan meninggalkan Kara di ruang tengah bersama Sam.“Enggak, ini enggak mungkin.” Bisik Jenna dengan kalut, “Takdir enggak mungkin sebercanda ini.”Tok..tok..“Ibuk..”Jenna mendengar suara Samudra, perempuan itu merapikan diri sebelum mempersilahkan bocah laki-laki itu memasuki kamarnya. Samudra mengulurkan tangan, menyerahkan selembar foto yang di dapatnya dari kamar Jenna beberapa waktu lalu.“Maaf ibuk..”Jenna merampas foto di tangan Samudra dengan cepat, “Dari mana kamu dapet ini?!”“Da.. dari kamar ibuk.” Bocah laki-laki itu berbisik, “Maaf buk, Sam cuma..”Jenna memotong penjelasan samudra dengan tidak sabaran, “Kara enggak tau kan Sam, Kara belum tau kan kalau om beruang
“Bukan papa yang nemenin Yumi periksa?” bocah perempuan itu cemberut.“Yumi sama om Bima dulu ya, papa ada kerjaan mendadak siang ini. Nanti papa nyusul ke rumah sakit kalau kerjaan papa selesai.”Yumi menggelengkan kepala, “Yumi mau sama papa!”“Yumi..”“Enggak! Yumi mau sama papa, Yumi enggak mau periksa kalau enggak sama papa!”Rama menghela napas, kepalanya benar-benar di buat pusing dengan kekeras kepalaan Yumi. Laki-laki itu sudah tidak lagi memiliki kesabaran untuk menghadapi bocah penipu di hadapannya itu, beruntungnya Bima bersedia membantu membujuk Yumi.“Yumi sama om Bima dulu, nanti setelah selesai kerja papanya Yumi pasti yusul.”Yumi mengekerut, bocah perempuan itu bersembunyi di balik tubuh tambun Beti yang sejak tadi hanya diam melihat kekeras kepalaan keponakannya.“Ncang Beti juga boleh ikut tapi.”Beti sudah akan mengiy
Rama langsung di jegat oleh Bima begitu keluar dari kamar Beti, meski lelah laki-laki itu tetap bertanya urusan apa yang membuat saudara kembarnya itu menemuinya.“Kamu perlu melihat sesuatu Ram.” Bima mengangguk, meminta Rama mengikutinya ke ruang kerja Pandu. di sana ternyata sudah ada Maira, Pandu dan bahkan Wulan. Keluarganya itu sedang serius memperhatikan layar monitor.“Sini Ram, kamu harus lihat ini.” Maira bergegar memanggil.“Lihat apa bund?”Rama langsung terksiap begitu ikut memperhatika layar, Pandu memang memutar ulang kembali rekaman cctv di dekat tangga. Di sana Rama dan seluruh keluarganya melihat bagaimana Yumi menjatuhkan dirinya sendiri di anak tangga, tidak hanya itu Rama juga melihat bagaimana Beti seperti berdebat dengan Kara sebelum akhirnya Samudra datang melindungi anak perempuan malang itu di balik punggungnya.“Benar-benar perempuan kurang ajar.” Desis Rama emosi begitu lay
Yumi yang sedang berbicara dengan bonekanya terkejut karena Beti memasuki kamarnya dengan langkah menghentak-hentak, bibi yang sudah mengasuhnya sejak kecil itu menarik tubuh kecilnya dengan kasar.“Lu harus cegah pak Rama ngusir gue Yum, kalau sampe gue di usir, gue pastiin lu juga akan angkat kaki dari rumah ini.” Bisik Beti sembari mencengkram bahu keponakannya dengan kencang.Beti langsung menangis histeris begitu pintu kamar kembali terbuka, perempuan tambun itu menangis di bahu Yumi dengan suara keras.“Papa lu mau ngusir gue Yum, lu mau gue pergi?”Rama mendengus, laki-laki itu tidak akan tertipu. Karena itu Rama terus berjalan, menyeret Beti menjauh dari Yumi yang kebingungan.“Kamu enggak lagi membutuhkan Beti, Yumi. Perempuan kurang ajar dan enggak tau diri ini enggak lagi bisa tinggal di rumah kita, kamu ngerti kan?”Beti langsung memberontak, “Bapak enggak bisa ngusir saya!”
“Untungnya enggak ada luka serius.”Rama dan juga ke dua orang tuanya mendesah lega mendengar penuturan dokter yang menangani Yumi, bocah perempuan itu sudah sadar dan sejak tadi tidak bisa berhenti meringis.“Tapi kepala Yumi sakit banget om dokter, Yumi enggak akan lupa ingatan kan? Kayak sinetron yang biasa ncang Beti tonton di rumah bu RT?”Dokter tua yang menangani Yumi tersenyum, “Coba dokter tanya, Yumi tau enggak yang lagi duduk di sofa itu siapa?”“Papa.” Yumi menjawab tanpa ragu.“Itu tandanya Yumi baik-baik aja, jadi enggak usah khawatir ya.”Yumi mengangguk.“Biar bunda yang antar dokter Hadi keluar, kamu temani Yumi ya Ram.”“Iya, makasih bund.”Maira mengangguk, mengelus lengan putranya sebentar sebelum mengantar dokter yang memeriksa keadaan Yumi bersama Pandu.***Rama duduk di pinggir ranjang, memperhatikan
Jenna panik bukan main, anak-anaknya pulang dengan penampilan acak-acakan. Terlebih lagi Kara, mata anak perempuannya itu sembab. Kara bahkan kembali sesegukan ketika Jenna memeluknya.“Astaga, ada apa ini Sam?!”Samudra menunduk, lidahnya kelu. Anak laki-laki itu sama sekali tidak bisa menceritakan kejadian yang menimpanya dan Kara di rumah Rama tadi.“Samudra, kalian ini kenapa?” Jenna memperhatikan tubuh anak laki-laki itu dengan lekat, “Alat semir kamu juga mana? Kalian di palak orang iya?”Jenna mengurai pelukan anaknya, memperhatikan wajah Kara yang berantakan. Tangannya terulur, menarik Samudra dan memeriksa tubuh anak laki-laki itu juga.“Ini kok bisa lebam?” Jerit Jenna histeris, “Kasih tau ibuk siapa yang berani bikin kalian kayak begini!”Samudra memilih diam.Kara berusaha mengatur tangisannya, bocah perempuan itu menatap ibunya dengan air mata yang masih berjatuh
“Bukan Kara pelakuknya.” Ucap Samudra begitu Betti terlihat menuruni tangga, bocah laki-laki itu dengan berani menempatkan Kara di balik punggungnya yang kurus.“Tau dari mana lu, heh Samudra! Lu itu kagak ada di sini waktu Kara dorong Yumi. Jadi jangan banyak bacot!”“Mpok Beti juga enggak ada di sini.”Beti mendelik pada Kara yang dengan takut-takut meliriknya dari balik punggung samudra, anak kecil dengan wajah oriental itu benar-benar membuatnya kesal.“Denger ya Kara, kalau sampe Yumi kenapa-kenapa gue kejar lu” Beti melipat tangan di depan dada, “Bapaknya Yumi dan keluarga besarknya pasti enggak akan ngebiarin lu begitu aja.” Beti menunduk, perempuan itu mendesis tepat di depan wajah yang ketakutan, “Bisa-bisa lu di penjara.”“Enggak, Kara enggak salah. Kara enggak mau di penjara.” Jerit anak itu ketakutan.Samudra yang tidak terima langsung bertindak,