Kara duduk di pinggir trotoar sembari bertopang dagu, wajahnya cemberut karena sampai hari ini Samudra masih belum juga bisa menemukan petunjuk soal ayahnya.
“Masa di kamar ibuk sama sekali enggak ada petunjuk soal bapak sih bang.” Gerutu bocah perempuan itu sembari menggerakan tubuhnya maju mundur. “Mungkin abang kurang teliti nyarinya, sabtu nanti kita coba lagi yuk.”
“Kita udah nyoba tiga kali Kara.” Jelas Samudra dengan sabar.
“Haah, kalau di kamar ibuk enggak ada petunjuk sama sekali gimana Kara bisa nemuin bapak.”
Samudra berdeham, bocah laki-laki itu meremas ujung foto yang ia ambil dari kotak Jenna beberapa hari lalu. Samudra perlu menemui laki-laki yang ada di foto tersebut untuk memastikan dugaannya.
“Kita nunggu siapa sih bang?” tanya Kara lagi, beberapa hari belakangan ini mereka memang pulang lebih sore dari biasanya.
“Enggak ada.” Sam menghela napas, &ldquo
“Kara! Jangan asal pegang, nanti rusak.” Wajah Samudra sudah pucat, bocah laki-laki itu mengerti kalau mobil jemputan yang di kirimkan oleh Rama itu bukan mobil sembarangan. Bahkan rasanya, Samudra bisa mendengar seluruh interior mobil tersebut meneriakan kata ‘mahal.”“Tapi Kara penasaran bang, kok bisa ada televisi di dalam mobil? Udah gitu kecil lagi.” Kara memajukan tubuhnya dan dengan polos bertanya kepada supir keluarga Sore yang di tugaskan untuk menjemput mereka, “Beneran bisa di pake nonton pak?”“Bisa neng, tinggal di tekan aja itu tombol merahnya.”Kara kembali memundurkan tubuh, mencari-cari tombol merah yang di maksud oleh si supir.“Kara!” Samudra merasakan jantungnya nyaris copot ketika tangan Kara dengan gesit menekan layar plasma. “Astaga Kara, abangkan udah bilang jangan sembarangan pegang-pegang.”“Nyala bang, layarnya beneran bisa di pake n
Rama menurunkan Yumi di ranjangnya, anak itu langsung melipat tangan di depan dada sembari mendengus. Matanya dengan berani menatap Rama dengan bengis, Rama yang melihat itu semua hanya bisa menggelengkan kepala. “Apa-apaan kamu?!” “Papa yang apa-apaan!” Yumi kembali berteriak, “Yang anak papa itu Yumi, tapi yang di cari Kara terus.” “Papa nyari Kara karena urusan kerjaan.” “Kenapa harus sampai gendong-gendong segala?!” Rama mengusap wajah dengan frustasi, “Kenapa papa enggak boleh gendong Kara?” “Yumi enggak suka! Yumi enggak suka kalau gembel itu cari-cari perhatian ke papa!” “Yumi!” tegur Rama dengan keras, anaknya itu benar-benar sudah keterlaluan, “Lupa kamu, kalau beberapa minggu lalu kamu juga masih jadi gembel yang hidup satu lingkungan sama Kara?!” Rama tidak bermaksud berkata kasar, laki-laki itu hanya tidak menyukai sikap Yumi yang sombong dan melupakan asal usulnya dulu. “Tapi Yumi sekarang anak papa
“Loh kok udah balik aja lu?! Beti bertanya keheranan, pasalnya keponakannya itu belum ada lima menit keluar dari kamarnya untuk menemui Rama. “Ck, lu kagak minta maaf sama pak Rama ya?!”“Gimana mau minta maaf, papa lagi sibuk sama Kara di bawah! Bukan cuma papa, tapi semua orang di rumah ini lagi asik sama Kara!”Beti yang penasaran bergegas melangkah keluar, dari ujung tangga perempuan itu bisa melihat bagaimana seluruh keluarga Sore nampak seru bermain bersama Kara. Tawa bocah perempuan itu bahkan melengking karena di goda oleh saudara kembar Rama.“Liat kan, mereka lagi pada asik!” Yumi melipat tangan di depan dada, berkata dengan nada sinis kepada Beti yang baru saja kembali.“Enggak bisa di biarin, bisa-bisa mereka lebih sayang Kara di bandingkan kamu!” Beti mengelilingi kamar Yumi sembari menggiti kuku-kukunya. “Keluarga ini enggak boleh lebih menyayangi Kara di bandingkan kamu, enggak bol
“Bukan Kara pelakuknya.” Ucap Samudra begitu Betti terlihat menuruni tangga, bocah laki-laki itu dengan berani menempatkan Kara di balik punggungnya yang kurus.“Tau dari mana lu, heh Samudra! Lu itu kagak ada di sini waktu Kara dorong Yumi. Jadi jangan banyak bacot!”“Mpok Beti juga enggak ada di sini.”Beti mendelik pada Kara yang dengan takut-takut meliriknya dari balik punggung samudra, anak kecil dengan wajah oriental itu benar-benar membuatnya kesal.“Denger ya Kara, kalau sampe Yumi kenapa-kenapa gue kejar lu” Beti melipat tangan di depan dada, “Bapaknya Yumi dan keluarga besarknya pasti enggak akan ngebiarin lu begitu aja.” Beti menunduk, perempuan itu mendesis tepat di depan wajah yang ketakutan, “Bisa-bisa lu di penjara.”“Enggak, Kara enggak salah. Kara enggak mau di penjara.” Jerit anak itu ketakutan.Samudra yang tidak terima langsung bertindak,
Jenna panik bukan main, anak-anaknya pulang dengan penampilan acak-acakan. Terlebih lagi Kara, mata anak perempuannya itu sembab. Kara bahkan kembali sesegukan ketika Jenna memeluknya.“Astaga, ada apa ini Sam?!”Samudra menunduk, lidahnya kelu. Anak laki-laki itu sama sekali tidak bisa menceritakan kejadian yang menimpanya dan Kara di rumah Rama tadi.“Samudra, kalian ini kenapa?” Jenna memperhatikan tubuh anak laki-laki itu dengan lekat, “Alat semir kamu juga mana? Kalian di palak orang iya?”Jenna mengurai pelukan anaknya, memperhatikan wajah Kara yang berantakan. Tangannya terulur, menarik Samudra dan memeriksa tubuh anak laki-laki itu juga.“Ini kok bisa lebam?” Jerit Jenna histeris, “Kasih tau ibuk siapa yang berani bikin kalian kayak begini!”Samudra memilih diam.Kara berusaha mengatur tangisannya, bocah perempuan itu menatap ibunya dengan air mata yang masih berjatuh
“Untungnya enggak ada luka serius.”Rama dan juga ke dua orang tuanya mendesah lega mendengar penuturan dokter yang menangani Yumi, bocah perempuan itu sudah sadar dan sejak tadi tidak bisa berhenti meringis.“Tapi kepala Yumi sakit banget om dokter, Yumi enggak akan lupa ingatan kan? Kayak sinetron yang biasa ncang Beti tonton di rumah bu RT?”Dokter tua yang menangani Yumi tersenyum, “Coba dokter tanya, Yumi tau enggak yang lagi duduk di sofa itu siapa?”“Papa.” Yumi menjawab tanpa ragu.“Itu tandanya Yumi baik-baik aja, jadi enggak usah khawatir ya.”Yumi mengangguk.“Biar bunda yang antar dokter Hadi keluar, kamu temani Yumi ya Ram.”“Iya, makasih bund.”Maira mengangguk, mengelus lengan putranya sebentar sebelum mengantar dokter yang memeriksa keadaan Yumi bersama Pandu.***Rama duduk di pinggir ranjang, memperhatikan
Yumi yang sedang berbicara dengan bonekanya terkejut karena Beti memasuki kamarnya dengan langkah menghentak-hentak, bibi yang sudah mengasuhnya sejak kecil itu menarik tubuh kecilnya dengan kasar.“Lu harus cegah pak Rama ngusir gue Yum, kalau sampe gue di usir, gue pastiin lu juga akan angkat kaki dari rumah ini.” Bisik Beti sembari mencengkram bahu keponakannya dengan kencang.Beti langsung menangis histeris begitu pintu kamar kembali terbuka, perempuan tambun itu menangis di bahu Yumi dengan suara keras.“Papa lu mau ngusir gue Yum, lu mau gue pergi?”Rama mendengus, laki-laki itu tidak akan tertipu. Karena itu Rama terus berjalan, menyeret Beti menjauh dari Yumi yang kebingungan.“Kamu enggak lagi membutuhkan Beti, Yumi. Perempuan kurang ajar dan enggak tau diri ini enggak lagi bisa tinggal di rumah kita, kamu ngerti kan?”Beti langsung memberontak, “Bapak enggak bisa ngusir saya!”
Rama langsung di jegat oleh Bima begitu keluar dari kamar Beti, meski lelah laki-laki itu tetap bertanya urusan apa yang membuat saudara kembarnya itu menemuinya.“Kamu perlu melihat sesuatu Ram.” Bima mengangguk, meminta Rama mengikutinya ke ruang kerja Pandu. di sana ternyata sudah ada Maira, Pandu dan bahkan Wulan. Keluarganya itu sedang serius memperhatikan layar monitor.“Sini Ram, kamu harus lihat ini.” Maira bergegar memanggil.“Lihat apa bund?”Rama langsung terksiap begitu ikut memperhatika layar, Pandu memang memutar ulang kembali rekaman cctv di dekat tangga. Di sana Rama dan seluruh keluarganya melihat bagaimana Yumi menjatuhkan dirinya sendiri di anak tangga, tidak hanya itu Rama juga melihat bagaimana Beti seperti berdebat dengan Kara sebelum akhirnya Samudra datang melindungi anak perempuan malang itu di balik punggungnya.“Benar-benar perempuan kurang ajar.” Desis Rama emosi begitu lay