“Heh Kara!” langkah kaki anak perempuan itu berhenti, Kara menatap tetangganya yang melambaikan tangan agar ia mendekat.
“Kenapa mpok?”
“Gue denger minggu lalu emak lu ngomel, kenapa?” Wajah Kara langsung cemberut, anak perempuan itu seolah kembali di ingatkan dengan kejadian menyebalkan satu minggu yang lalu.
“Ibuk ngomel soalnya Kara sama Abang dateng ke rumah om beruang, padahal ibuk udah bilang enggak usah.”
“Siape tuh om beruang?” Kara memutar bola matanya seolah perempuan seusia ibunya itu benar-benar ketinggalan berita.
“Om beruang itu mpok, om yang banyak uang! Rumahnya bagus, makanan di rumahnya enak-enak. Abang di kasih sepuluh lembar uang merah waktu nyemir di rumahnya seminggu yang lalu.” mata tetangganya langsung membulat.
“Lu nemu di mane orang begitu?!”
“Di jalan pertokoan baru itu, kan Kara sama Abang nawarin majalah sama nyemir d
Beti berlari ke rumah Lela, tetangganya yang dulu membawa Jenna untuk tinggal di lingkungan kampung mereka. Tangannya bergetar ketika mengetuk pintu dengan tidak sabaran.“Lela! Lela!” Ketukannya semakin kencang karena yang di panggil tidak juga menyahut.“Lela!”“Astaga, iya-iya. Santai aja dong mpok.” Perempuan seumuran Jenna membuka pintu dan langsung mendengus begitu tetangganya yang memang sudah sangat terkenal dengan tingkah menyebalkannya itu memonopoli ruang tamunya yang sempit.“Sini lu, gue mau nanya.”“Enggak mau minum dulu mpok?” perempuan tambun itu mengibaskan tangan dan dengan tidak sabaran menarik Lela duduk di dekatnya.“Astaga, sabar kenapa mpok. Napas dulu, pelan-pelan.”“Ck, bawel lo ah. Gue mau nanya nih!” Beni menarik napas sebentar.“Si Jenna itu dulu pisah sama lakiknya pas udah hamil?” Lela mengerutkan dahi m
Rama tersentak, begitu menoleh ia melihat Maira sedang tersenyum sendu. Tidak lagi bisa menahan diri, laki-laki itu terisak di bahu ibunya. Satu minggu lalu, ia sudah menceritakan semuanya kepada perempuan yang sudah melahirkannya itu.“Ikhlasin Rama, seenggaknya anak kalian masih ada.” Rama menganggukan kepala.“Jangan buat anak kamu nanti mikir macem-macem, dia pasti heran kenapa muka papanya sedih waktu dia dateng nanti.” Maira menghapus air mata anaknya pelan.“Kamu enggak mau kan bikin dia ngerasa di tolak?”“Enggak, Rama enggak mau dia ngerasa begitu.” Maira menganggukan kepala.“Kalau gitu, jangan pasang wajah seperti ini lagi. Yumi dan Beti sebentar lagi sampai.”Tepat ketika Maira menyelesaikan ucapannya, kepala pelayan memasuki ruang makan. Di belakangnya ada seorang anak perempuan dan juga seorang perempuan yang tidak terlalu muda, tapi tidak juga cukup tua.&ldquo
Kening Jenna berkerut melihat putrinya duduk termenung di teras rumah, Kara bahkan sampai bertopang dagu seolah sedang memikirkan sesuatu yang serius.“Kara!” anaknya itu belum juga menoleh, sembari menggelengkan kepala Jenna mendekat.“Kara..” Kali ini suara Jenna tidak terlalu kencang, tapi rupanya cukup membuat Kara terkejut. Anaknya itu memandangnya dengan sebal sembari mengelus dada.“Ibuk, kara kaget!” protesnya.“Kara yang ibuk panggilin tapi enggak nyaut-nyaut, mikirin apa sih?” bukannya menjawab, putrinya itu justru menghela napas dan kembali bertopang dagu. Kali ini Jenna bisa melihat anaknya memasang wajah sendu.“Ada apa Kara?” tanya Jenna dengan sabar.“Bapak Kara di mana sih buk?” Jenna langsung tertegun, sama sekali tidak menyangka kalau anaknya akan bertanya demikian.“Kok tiba-tiba Kara nanyain bapak?” Jenna sebenarnya tau, kenapa anak
Rama memperhatikan Kara mengamati boneka-boneka di hadapannya dengan tatapan kagum, laki-laki itu gemas bukan kepalang melihat mulut mungil anak itu tidak bisa berhenti mengatakan ‘wah’.“Eng, maaf ya dek. Bonekanya jangan di pegang, nanti kotor.”Rama yang mendengar teguran pelayan toko tersebut menjadi geram, dengan angkuh laki-laki itu melangkah mendekati Kara yang tertunduk lesu.“Anak ini boleh menyentuh apapun di toko ini, paham kamu?”Si pelayan toko menunduk takut, “I..iya tuan.”Rama mendengus, pandangannya kali ini menatap Kara yang mata sudah berkaca-kaca.“Jangan dengerin perempuan jelek ini. Kara boleh menyentuh apapun di toko ini, dan kalau Kara suka Kara boleh bawa mainannya ke kasir.”“Eng, tapi Kara enggak punya uang om.”“Om punya uang.” Jawab Rama dengan cepat, hatinya linu melihat Kara yang menunduk sendu, “Om aka
Jenna menatap bayangannya di cermin, kegundahannya semakin nyata. Dulu ia pikir akan mudah untuk menghadapi pertanyaan Kara soalnya keberadaan gadis kecil itu, sayangnya ternyata semua tidak semudah apa yang ia bayangkan.“Buk.” Sam muncul di ujung pintu kamar Jenna, bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu menggenggam tangan Kara yang sibung mengucek ke dua matanya.“Loh ini kenapa?”Samudra mengehela napas, anak laki-laki itu menuntun Kara untuk memasuki kamar Jenna.“Kara tadi nangis sesegukan di kamarnya buk, dia bilang mimpi soal bapaknya.” Jelas Sam semakin lirih ketika kalimatnya sampai di ujung.Mata Jenna mengerjap, ini pertama kalinya Kara mengaku memimpikan bapaknya. Dengan penuh pengertian Jenna meminta Kara untuk mendekat dan memangkunya.“Kara kok bisa yakin kalau abis mimpiin bapak?” tanya Jenna hati-hati, perempuan itu jelas penasaran karena seumur hidupnya Kara belum pernah seka
“Jadi bapaknya Kara udah ketemu belum bang?” bisik Kara ketika mereka sedang membantu Jenna membersihkan sayur untuk di masak sebagai lauk makan malam, ini memang sudah lewat satu minggu sejak janji yang Samudra dan juga Kara buat.“Stt! Kara, nanti ibuk denger.” Mata Samudra melirik Jenna yang nampak serius membersihkan potongan ayam.“Kara mau ayamnya pake kulit kan?”“Oh, iya buk. Ayamnya pake kulit semua aja ya bang, kalau abang enggak suka jatah kulit di ayam abang untuk Kara.” Jawab anak itu dengan polos.“Iya.”Kening Jenna berkerut melihat Samudra yang kelihatan gugup.“Kenapa bang?”“Hah?”Jenna meletakan pisaunya, perempuan itu memutuskan untuk memfokuskan pandangan kepada dua bocah yang sejak tadi tidak juga selesai membersihkan sayuran.“Ibuk kayaknya tadi liat kalian bisik-bisik, ngomongin apa sih?”Samudra
Kara duduk di pinggir trotoar sembari bertopang dagu, wajahnya cemberut karena sampai hari ini Samudra masih belum juga bisa menemukan petunjuk soal ayahnya.“Masa di kamar ibuk sama sekali enggak ada petunjuk soal bapak sih bang.” Gerutu bocah perempuan itu sembari menggerakan tubuhnya maju mundur. “Mungkin abang kurang teliti nyarinya, sabtu nanti kita coba lagi yuk.”“Kita udah nyoba tiga kali Kara.” Jelas Samudra dengan sabar.“Haah, kalau di kamar ibuk enggak ada petunjuk sama sekali gimana Kara bisa nemuin bapak.”Samudra berdeham, bocah laki-laki itu meremas ujung foto yang ia ambil dari kotak Jenna beberapa hari lalu. Samudra perlu menemui laki-laki yang ada di foto tersebut untuk memastikan dugaannya.“Kita nunggu siapa sih bang?” tanya Kara lagi, beberapa hari belakangan ini mereka memang pulang lebih sore dari biasanya.“Enggak ada.” Sam menghela napas, &ldquo
“Kara! Jangan asal pegang, nanti rusak.” Wajah Samudra sudah pucat, bocah laki-laki itu mengerti kalau mobil jemputan yang di kirimkan oleh Rama itu bukan mobil sembarangan. Bahkan rasanya, Samudra bisa mendengar seluruh interior mobil tersebut meneriakan kata ‘mahal.”“Tapi Kara penasaran bang, kok bisa ada televisi di dalam mobil? Udah gitu kecil lagi.” Kara memajukan tubuhnya dan dengan polos bertanya kepada supir keluarga Sore yang di tugaskan untuk menjemput mereka, “Beneran bisa di pake nonton pak?”“Bisa neng, tinggal di tekan aja itu tombol merahnya.”Kara kembali memundurkan tubuh, mencari-cari tombol merah yang di maksud oleh si supir.“Kara!” Samudra merasakan jantungnya nyaris copot ketika tangan Kara dengan gesit menekan layar plasma. “Astaga Kara, abangkan udah bilang jangan sembarangan pegang-pegang.”“Nyala bang, layarnya beneran bisa di pake n