Kening Jenna berkerut melihat putrinya duduk termenung di teras rumah, Kara bahkan sampai bertopang dagu seolah sedang memikirkan sesuatu yang serius.
“Kara!” anaknya itu belum juga menoleh, sembari menggelengkan kepala Jenna mendekat.
“Kara..” Kali ini suara Jenna tidak terlalu kencang, tapi rupanya cukup membuat Kara terkejut. Anaknya itu memandangnya dengan sebal sembari mengelus dada.
“Ibuk, kara kaget!” protesnya.
“Kara yang ibuk panggilin tapi enggak nyaut-nyaut, mikirin apa sih?” bukannya menjawab, putrinya itu justru menghela napas dan kembali bertopang dagu. Kali ini Jenna bisa melihat anaknya memasang wajah sendu.
“Ada apa Kara?” tanya Jenna dengan sabar.
“Bapak Kara di mana sih buk?” Jenna langsung tertegun, sama sekali tidak menyangka kalau anaknya akan bertanya demikian.
“Kok tiba-tiba Kara nanyain bapak?” Jenna sebenarnya tau, kenapa anak
Rama memperhatikan Kara mengamati boneka-boneka di hadapannya dengan tatapan kagum, laki-laki itu gemas bukan kepalang melihat mulut mungil anak itu tidak bisa berhenti mengatakan ‘wah’.“Eng, maaf ya dek. Bonekanya jangan di pegang, nanti kotor.”Rama yang mendengar teguran pelayan toko tersebut menjadi geram, dengan angkuh laki-laki itu melangkah mendekati Kara yang tertunduk lesu.“Anak ini boleh menyentuh apapun di toko ini, paham kamu?”Si pelayan toko menunduk takut, “I..iya tuan.”Rama mendengus, pandangannya kali ini menatap Kara yang mata sudah berkaca-kaca.“Jangan dengerin perempuan jelek ini. Kara boleh menyentuh apapun di toko ini, dan kalau Kara suka Kara boleh bawa mainannya ke kasir.”“Eng, tapi Kara enggak punya uang om.”“Om punya uang.” Jawab Rama dengan cepat, hatinya linu melihat Kara yang menunduk sendu, “Om aka
Jenna menatap bayangannya di cermin, kegundahannya semakin nyata. Dulu ia pikir akan mudah untuk menghadapi pertanyaan Kara soalnya keberadaan gadis kecil itu, sayangnya ternyata semua tidak semudah apa yang ia bayangkan.“Buk.” Sam muncul di ujung pintu kamar Jenna, bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu menggenggam tangan Kara yang sibung mengucek ke dua matanya.“Loh ini kenapa?”Samudra mengehela napas, anak laki-laki itu menuntun Kara untuk memasuki kamar Jenna.“Kara tadi nangis sesegukan di kamarnya buk, dia bilang mimpi soal bapaknya.” Jelas Sam semakin lirih ketika kalimatnya sampai di ujung.Mata Jenna mengerjap, ini pertama kalinya Kara mengaku memimpikan bapaknya. Dengan penuh pengertian Jenna meminta Kara untuk mendekat dan memangkunya.“Kara kok bisa yakin kalau abis mimpiin bapak?” tanya Jenna hati-hati, perempuan itu jelas penasaran karena seumur hidupnya Kara belum pernah seka
“Jadi bapaknya Kara udah ketemu belum bang?” bisik Kara ketika mereka sedang membantu Jenna membersihkan sayur untuk di masak sebagai lauk makan malam, ini memang sudah lewat satu minggu sejak janji yang Samudra dan juga Kara buat.“Stt! Kara, nanti ibuk denger.” Mata Samudra melirik Jenna yang nampak serius membersihkan potongan ayam.“Kara mau ayamnya pake kulit kan?”“Oh, iya buk. Ayamnya pake kulit semua aja ya bang, kalau abang enggak suka jatah kulit di ayam abang untuk Kara.” Jawab anak itu dengan polos.“Iya.”Kening Jenna berkerut melihat Samudra yang kelihatan gugup.“Kenapa bang?”“Hah?”Jenna meletakan pisaunya, perempuan itu memutuskan untuk memfokuskan pandangan kepada dua bocah yang sejak tadi tidak juga selesai membersihkan sayuran.“Ibuk kayaknya tadi liat kalian bisik-bisik, ngomongin apa sih?”Samudra
Kara duduk di pinggir trotoar sembari bertopang dagu, wajahnya cemberut karena sampai hari ini Samudra masih belum juga bisa menemukan petunjuk soal ayahnya.“Masa di kamar ibuk sama sekali enggak ada petunjuk soal bapak sih bang.” Gerutu bocah perempuan itu sembari menggerakan tubuhnya maju mundur. “Mungkin abang kurang teliti nyarinya, sabtu nanti kita coba lagi yuk.”“Kita udah nyoba tiga kali Kara.” Jelas Samudra dengan sabar.“Haah, kalau di kamar ibuk enggak ada petunjuk sama sekali gimana Kara bisa nemuin bapak.”Samudra berdeham, bocah laki-laki itu meremas ujung foto yang ia ambil dari kotak Jenna beberapa hari lalu. Samudra perlu menemui laki-laki yang ada di foto tersebut untuk memastikan dugaannya.“Kita nunggu siapa sih bang?” tanya Kara lagi, beberapa hari belakangan ini mereka memang pulang lebih sore dari biasanya.“Enggak ada.” Sam menghela napas, &ldquo
“Kara! Jangan asal pegang, nanti rusak.” Wajah Samudra sudah pucat, bocah laki-laki itu mengerti kalau mobil jemputan yang di kirimkan oleh Rama itu bukan mobil sembarangan. Bahkan rasanya, Samudra bisa mendengar seluruh interior mobil tersebut meneriakan kata ‘mahal.”“Tapi Kara penasaran bang, kok bisa ada televisi di dalam mobil? Udah gitu kecil lagi.” Kara memajukan tubuhnya dan dengan polos bertanya kepada supir keluarga Sore yang di tugaskan untuk menjemput mereka, “Beneran bisa di pake nonton pak?”“Bisa neng, tinggal di tekan aja itu tombol merahnya.”Kara kembali memundurkan tubuh, mencari-cari tombol merah yang di maksud oleh si supir.“Kara!” Samudra merasakan jantungnya nyaris copot ketika tangan Kara dengan gesit menekan layar plasma. “Astaga Kara, abangkan udah bilang jangan sembarangan pegang-pegang.”“Nyala bang, layarnya beneran bisa di pake n
Rama menurunkan Yumi di ranjangnya, anak itu langsung melipat tangan di depan dada sembari mendengus. Matanya dengan berani menatap Rama dengan bengis, Rama yang melihat itu semua hanya bisa menggelengkan kepala. “Apa-apaan kamu?!” “Papa yang apa-apaan!” Yumi kembali berteriak, “Yang anak papa itu Yumi, tapi yang di cari Kara terus.” “Papa nyari Kara karena urusan kerjaan.” “Kenapa harus sampai gendong-gendong segala?!” Rama mengusap wajah dengan frustasi, “Kenapa papa enggak boleh gendong Kara?” “Yumi enggak suka! Yumi enggak suka kalau gembel itu cari-cari perhatian ke papa!” “Yumi!” tegur Rama dengan keras, anaknya itu benar-benar sudah keterlaluan, “Lupa kamu, kalau beberapa minggu lalu kamu juga masih jadi gembel yang hidup satu lingkungan sama Kara?!” Rama tidak bermaksud berkata kasar, laki-laki itu hanya tidak menyukai sikap Yumi yang sombong dan melupakan asal usulnya dulu. “Tapi Yumi sekarang anak papa
“Loh kok udah balik aja lu?! Beti bertanya keheranan, pasalnya keponakannya itu belum ada lima menit keluar dari kamarnya untuk menemui Rama. “Ck, lu kagak minta maaf sama pak Rama ya?!”“Gimana mau minta maaf, papa lagi sibuk sama Kara di bawah! Bukan cuma papa, tapi semua orang di rumah ini lagi asik sama Kara!”Beti yang penasaran bergegas melangkah keluar, dari ujung tangga perempuan itu bisa melihat bagaimana seluruh keluarga Sore nampak seru bermain bersama Kara. Tawa bocah perempuan itu bahkan melengking karena di goda oleh saudara kembar Rama.“Liat kan, mereka lagi pada asik!” Yumi melipat tangan di depan dada, berkata dengan nada sinis kepada Beti yang baru saja kembali.“Enggak bisa di biarin, bisa-bisa mereka lebih sayang Kara di bandingkan kamu!” Beti mengelilingi kamar Yumi sembari menggiti kuku-kukunya. “Keluarga ini enggak boleh lebih menyayangi Kara di bandingkan kamu, enggak bol
“Bukan Kara pelakuknya.” Ucap Samudra begitu Betti terlihat menuruni tangga, bocah laki-laki itu dengan berani menempatkan Kara di balik punggungnya yang kurus.“Tau dari mana lu, heh Samudra! Lu itu kagak ada di sini waktu Kara dorong Yumi. Jadi jangan banyak bacot!”“Mpok Beti juga enggak ada di sini.”Beti mendelik pada Kara yang dengan takut-takut meliriknya dari balik punggung samudra, anak kecil dengan wajah oriental itu benar-benar membuatnya kesal.“Denger ya Kara, kalau sampe Yumi kenapa-kenapa gue kejar lu” Beti melipat tangan di depan dada, “Bapaknya Yumi dan keluarga besarknya pasti enggak akan ngebiarin lu begitu aja.” Beti menunduk, perempuan itu mendesis tepat di depan wajah yang ketakutan, “Bisa-bisa lu di penjara.”“Enggak, Kara enggak salah. Kara enggak mau di penjara.” Jerit anak itu ketakutan.Samudra yang tidak terima langsung bertindak,