Di sebuah lobi hotel, Boris terlihat berjalan mondar-mandir menunggu kemunculan Arjuna dari dalam lift. Pasalnya, saat ini telah tiba waktunya untuk menjemput kedua keponakan sang atasan.
Boris melirik ke arah lift sesaat setelah terbuka, namun yang ke luar bukannya Arjuna. Melainkan Cindy yang terlihat beberapa kali menyeka keringat yang mengucur di kedua pelipisnya. Sisa-sisa sensasi panas yang dirinya rasakan saat bermain kuda-kudaan di atas ranjang bersama Arjuna. "Lho, kok Anda yang muncul? Tuan Arjuna, di mana?" ujar Asisten Boris penasaran. "Saya disuruh turun duluan Asisten Boris," sahut Cindy. "Terus ... Tuan Arjuna ke mana?" tanya Boris lagi. "Tuan Arjuna sedang membersihkan dirinya. Oh ya, Asisten Boris. Jika Anda membutuhkan jasa saya lagi, jangan segan-segan untuk menghubungi saya. Saya sangat menunggu kerja sama selanjutnya dengan Tuan Muda Arjuna," seru Cindy penuh harap. "Cih! Percaya diri sekali Anda?" sindir Boris. "Ya saya harus percaya diri Asisten Boris, agar jasa saya tetap dipakai oleh klien-klien saya," ucap Cindy bangga karena dia sangat yakin jika layanan servis ranjang yang dia berikan kepada Arjuna mampu memuaskan pria perkasa itu. "Yang menentukan jasa Anda dipakai lagi oleh Bos Arjuna atau tidak, hanya Bos sendiri yang memutuskannya, so Anda tunggu saja. Semoga Tuan Arjuna puas dengan pelayanan Anda tadi," ujar Boris lagi. "Tentu! Saya sangat yakin. Bos Arjuna sangat puas dengan bed service yang saya lakukan tadi." Cindy tetap percaya diri. "Okay, Nona Cindy. Ada baiknya Anda segera pergi dari sini. Anda pasti tahu jika Bos Arjuna tidak suka jika kliennya masih berkeliaran di sampingnya," sergah Asisten Boris mengingatkan. "Baiklah, Asisten Boris. Saya permisi dulu." Lalu Cindy pun ke luar dari hotel itu dengan cepat sebelum Arjuna terlihat di sana. Cindy tidak mau jika Arjuna melihat dirinya yang membuat pria itu bisa saja tidak mau memakai jasanya lagi. Bagi Arjuna, dia dan beberapa wanita bayaran itu hanya dapat berkomunikasi saat berhubungan intim di atas ranjang saja. Namun setelah semua selesai, wanita-wanita itu tidak boleh terlihat di sekitar Arjuna. Tak berapa lama setelah itu, Arjuna ke luar dari lift. "Selamat datang kembali, Bos. Bagaimana pengalaman Anda bersama Nona Cindy?" tanya Boris penasaran. "Cih! Jangan kepo Lo, Boris! Itu rahasia! Oh ya, tolong tetapkan Cindy didaftar teratas wanita bayaran dengan servis yang paling terbaik," seru Arjuna lalu ke luar dari dalam hotel menuju ke area parkiran. "Siap, Bos! Laksanakan!" sahut Boris lalu mengikuti langkah Arjuna ke luar dari dalam hotel tersebut. Pria itu pun akhirnya percaya dengan omongan Cindy. Jika sang wanita telah mampu memuaskan hasrat dari Arjuna yang sungguh sangat liar di atas ranjang. Di tempat les piano, Di sebuah ruang kecil yang dipenuhi dengan aroma kayu dan nada-nada lembut, Asher yang berusia delapan tahun dan Ayin yang berusia enam tahun duduk di depan piano dengan penuh antusiasme. Mereka tengah mengikuti pelajaran piano bersama seorang guru piano perempuan bernama Jane, seorang ahli piano yang mahir dan penuh dedikasi. Jane, seorang wanita yang selalu berpakaian rapi dengan senyuman hangat di wajahnya, saat ini sedang duduk di bangku piano di antara kedua anak itu. Ruangan itu dipenuhi dengan keheningan, hanya terdengar dentingan piano yang memecah sunyi. Asher dan Ayin memandang not-not kecil di buku musik mereka, mata keduanya bersinar dengan semangat belajar. Asher, dengan rambut cokelatnya yang berombak, memegang jari-jarinya di atas tuts piano dengan penuh ketertarikan. Tangannya yang kecil merangkak di atas tuts putih dan hitam, mengikuti alunan melodi yang dia pelajari dari Jane. Wajahnya mencerminkan konsentrasi, tingkat tinggi. Seakan-akan dunia di sekitarnya lenyap, digantikan oleh keindahan musik yang diciptakan oleh sentuhan tangannya. Di sampingnya, sang adik Ayin dengan rambut hitam kemerah-merahan yang menyala, memandang partitur musiknya dengan serius. Tangannya yang mungil dengan lincah menari di atas tuts piano, menciptakan harmoni yang mengisi semuaruangan. Meskipun usianya yang lebih muda, semangat dan bakatnya dalam bermain piano tidak kalah dengan kakaknya. Jane, sang guru piano, memberikan panduan dengan penuh kesabaran. Suaranya yang lembut terdengar memberikan arahan, membetuk nada-nada yang dihasilkan oleh Asher dan Ayin menjadi melodi yang indah. Dia tidak hanya mengajarkan teknik bermain piano, akan tetapi juga menyulut api semangat dan cinta terhadap musik di dalam hati kedua anak itu. Selama jam pelajaran, ruangan itu penuh dengan keceriaan, tawa, dan tentu saja, melodi indah. Jane terkadang memberikan contoh langsung, memainkan potongan-potongan musik dengan keahlian yang memukau. Asher dan Ayin, dengan mata yang bersinar-sinar, menyimak setiap gerakan jari-jari Jane dengan kagum. Pada satu titik, Jane memuji Asher karena kemajuan yang pesat dalam memahami not-not yang lebih kompleks. Asher tersenyum bangga, merasa dihargai atas usahanya. Ayin juga mendapat sorotan positif saat berhasil mengatasi bagian yang sulit dalam sebuah lagu. Raut wajahnya penuh kebahagiaan, seolah-olah dia baru saja meraih pencapaian besar. Di luar jam les piano, Asher dan Ayin sering berlatih bersama di piano yang ada di rumah mereka. Keduanya membagi pengetahuan dan dukungan satu sama lain, menciptakan ikatan yang erat antara saudara kandung. Musik membawa mereka lebih dekat, menjadi bahasa yang menghubungkan hati mereka. Sore itu, Asher dan Ayin menyelesaikan les piano mereka dengan baik. "Wah ... Asher, Ayin. Permainan piano kalian semakin bagus dan mampu menciptakan nada-nada yang merdu. Miss bangga dengan pencapaian kalian berdua!" seru Jane kepada kedua siswanya. "Terima kasih, Miss. Semua juga karena kerja keras Miss dalam mengajari kami dengan baik dan penuh kesabaran," ujar Asher dan dibalas anggukan oleh Ayin. Jane tersenyum bangga dengan kedua muridnya itu. "Baiklah, anak-anak. Waktunya untuk pulang telah tiba. Hari ini kalian dijemput oleh Mami atau Papi?" tanya Jane bingung. Karena sampai jam segini baik Nyonya Mitha maupun Tuan Erlan, keduanya tidak menghubungi dirinya, perihal penjemputan kedua anak mereka. "Sore ini, kita dijemput oleh Uncle Juna, Miss." tutur Ayin sambil tersenyum ke arah gurunya yang sangat cantik itu. "Uncle Juna? Siapa itu?" tanya Jane bingung. "Nama panjangnya, Uncle Arjuna Levin. Dia adalah adiknya Papi." Kali ini Usher yang menjelaskan. "Oh, begitu rupanya. Baiklah, anak-anak. Kita tunggu uncle Arjuna di depan, ya!" seru Jane lalu menuntun keduanya menuju ke luar dari ruangan itu. Tak berapa setelah itu, mobil Arjuna sampai juga tepat di depan gedung tersebut. Sebelum ke luar dari dalam mobil. Arjuna segera memakai topi dan kaca mata hitam ciri khasnya jika sedang berada di luar kantor. Kostum ini sering dirinya pakai untuk menyamarkan keberadaannya di suatu tempat.Dari kejauhan, tepatnya masih di dalam mobil, Arjuna dapat melihat, jika kedua keponakannya sedang bercengkrama dengan seorang wanita muda yang sangat cantik parasnya. Sepertinya dia sedikit terpesona dengan wajah gadis itu yang begitu sangat unik.Namun dalam hatinya, Arjuna segera berkata,"Ingat Juna, wanita di mana-mana sama saja! Tidak ada satu perempuan pun yang tulus di dunia ini!" serunya dari dalam hatinya."Tunggu di sini, Boris. Saya akan menjemput anak-anak," ucap Arjuna.Namun sang asisten tidak menjawab perkataan dari Arjuna. Pemuda itu ternyata sedang asyik melihat ke arah gadis cantik yang sedang bercengkerama dengan Asher dan Ayin."Cih! Dasar! Woi Boris! Lo dengar nggak gue ngomongnya?" hardik Arjuna keras."Siap, Bos! Maaf, saya terkesima dengan seorang bidadari cantik," ujar Boris sambil terus memandang ke arah gadis cantik itu.Tanpa basa-basi dan pikir panjang lagi, Boris ke luar dari mobil dan berjalan menghampiri ketiganya."Woi! Boris! Lo mau ke mana?" kesal A
Asher dan Ayin langsung lihat-lihatan sambil tersenyum. Rencana mereka sepertinya berhasil menjauhkan Asisten Boris dari Miss Jane."Ha-ha-ha! Rasain Lo, Boris! Lo ngeyel sih dibilangin!" ejek Arjuna kepada asistennya."Iya, Bos. Mulai sekarang saya percaya dengan semua yang Anda katakan," sahutnya lesu."Untuk Ayin dan Asher, bagaimana kalau kita hang out ke mall?" ujarnya kepada kedua keponakannya."Benaran nih, Uncle?" sahut keduanya serentak.Namun dengan lesu Ayin berkata,"Aku nggak jadi ikut deh. Papi pasti nggak akan memberi izin jika kita main ke mall. Papi maunya kita belajar yang giat.""Aku tetap mau ikut Uncle, ke mall." Asher sepertinya mulai mewarisi sifat keras kepala dari Arjuna.Kedua pria beda generasi itu memang bagaikan pinang dibelah dua, sangat serasi terutama dari sifat-sifat mereka. Berbeda jauh dengan Ayin yang sangat patuh kepada kedua orang tuanya."Nah! Ini baru keponakan, Uncle! Asher Levin, you are the best!" puji Arjuna kepada keponakannya."Ayin, kamu
Sementara itu, Ayin merenung sejenak di depan berbagai pilihan rasa es krim yang terpampang di hadapannya saat ini."Aku pikir ... Aku akan mencoba sesuatu yang berbeda kali ini. Es krim strawberry terdengar menyegarkan," ucap Ayin dengan senyum lembut.Uncle Arjuna mengangguk setuju, "Pilihan yang bagus, Ayin. Strawberry pasti akan memberikan sentuhan manis yang istimewa."Setelah memesan es krim sesuai pilihan masing-masing, mereka pun duduk di kursi yang nyaman di area gerai es krim itu. Asher dengan cepat menyelupkan sendok ke dalam es krim coklatnya dan langsung mencicipi."Ini enak sekali, Uncle Arjuna! Terima kasih banyak, telah mengajak kami ke sini," ujar Asher dengan mata berbinar.Ayin juga mencicipi es krim strawberry-nya dan mengatakan,"Rasa strawberry ini begitu alami dan segar. Aku senang mencoba sesuatu yang baru." Uncle Arjuna tersenyum melihat keceriaan di wajah kedua keponakannya.Mereka pun mulai berbagi cerita tentang pengalaman di Time Zone tadi."Asher, apa per
Sementara itu, Uncle Arjuna mencari buah melon yang matang dan lezat. "Kita ambil satu melon yang besar untuk Oma dan Opa. Uncle yakin mereka akan menyukainya," ujarnya sambil memilih dengan cermat.Dalam perjalanan mencari buah, mereka tertarik dengan variasi buah lainnya. Uncle Arjuna menunjuk pada beberapa buah eksotis dan menjelaskan kepada Ayin dan Asher tentang keunikan dan kelezatan masing-masing buah. Percakapan ceria terdengar di antara ketiganya, sambil memilih dan berdiskusi tentang buah-buah yang telah mereka pilih.Setelah keranjang terisi penuh dengan berbagai buah segar, mereka lalu melangkah menuju kasir. Kasir dengan ramah menyambut ketiganya dan membantu proses pembayaran. "Semoga Oma dan Opa suka dengan pilihan buah segar ini," ujar Uncle Arjuna sambil membayar.Ketika ke luar dari toko buah, mereka membawa keranjang penuh buah dengan senyuman kepuasan. "Oma dan Opa pasti senang dengan hadiah ini. Mari kita bawa pulang dan berbagi kebahagiaan dengan mereka," uca
Setelah selesai makan, semuanya berkumpul di ruang keluarga. Berbincang-bincang santai sambil menikmati beberapa kue buah tangan dari Arjuna.Asher dan Ayin secara bergantian menceritakan pengalaman mereka menghabiskan waktu bersama Uncle Arjuna yang sungguh luar biasa."Juna, sudah waktunya kamu untuk menikah. Umurmu telah sangat matang untuk membina rumah tangga. Dua puluh delapan tahun menurut Opa adalah usia yang tepat untukmu memulai hubungan yang serius," tutur Opa Robi kepada sang cucu."Coba lihat sepupumu Erlan setelah menikah dan memiliki dua orang anak, hidupnya semakin teratur. Ada Mitha yang mengurus semua keperluannya," ucap sang opa lagi.Arjuna diam saja, pria itu malah terlihat sibuk dengan ponselnya. Dia sedang bertukar pesan dengan seseorang perihal rencana panasnya di malam minggu nanti."Benar kata Opa, Juna. Oma juga berharap secepatnya kamu dapat menikah dan membentuk keluarga yang harmonis," sergah Oma Rini penuh harap.Arjuna sama sekali tidak menggubris omong
Arjuna dan Darel akhirnya berpisah di parkiran bar. Sang sahabat segera masuk ke dalam mobilnya, sementara Arjuna memilih berjalan kaki sebentar untuk menghirup udara segar di Kota Jakarta malam ini.Arjuna mulai melangkah menyusuri trotoar jalanan Jakarta, perasaannya sangat kosong saat ini. Apalagi, dia ingat betul ancaman dari sepupunya, Erlan yang akan membongkar tentang kebiasaannya bermain wanita, jika Arjuna tidak mengenalkan seorang wanita di hadapan keluarga besarnya."Sial! Di mana aku akan mencari perempuan suci dan baik hati di zaman yang semakin edan ini!" gerutunya sendiri.Lalu tiba-tiba di depan matanya, Arjuna dapat melihat jika ada dua orang pria yang sedang menghadang seorang wanita. Sepertinya kedua pria itu ingin menyakitinya.Para pria tersebut mulai menyeret tubuh wanita itu di dalam sebuah gedung kosong yang agak jauh dari jalan utama. Melihat hal itu, Arjuna pun memutuskan untuk menolong sang gadis. Dia lalu mengikuti langkah mereka ke dalam sebuah gedung. Cah
Jane dan Aruna baru saja sampai di apartemen milik pria itu. Setelah memberitahukan nomor kunci apartemennya kepada sang gadis. Pintu apartemen pun terbuka, Jane lalu memapah tubuh kekar Arjuna dan meletakkannya di sofa yang ada di sana."Nona, tolong ambilkan air untukku," ujarnya kepada Jane."I ... iya, Tuan. Sebentar, ya?" seru Jane lalu melangkah menuju dapur untuk mengambil segelas air putih untuk Juna. Namun setelah Jane kembali dari dapur, dia tidak lagi melihat tubuh Arjuna yang sedang terbaring di sofa. Akan tetapi dari arah dalam kamar, Jane dapat mendengar suara orang yang sedang muntah-muntah.Jane lalu bergegas melangkah masuk ke dalam kamar Ajuna, namun dia tidak mendapati siapapun di sana. Ternyata suara tersebut berasal dari dalam kamar mandi. Jane meletakkan segelas air putih ke atas nakas, lalu berjalan menuju ke dalam kamar mandi."Tuan! Anda kenapa!" ujarnya lalu menghampiri Arjuna yang sedang terduduk di lantai toilet itu. Wajah Arjuna terlihat pucat dengan ma
Pukul enam pagi, Jane terbangun dengan perlahan, matanya meresapi keadaan sekitar. Ruangan yang asing baginya membuatnya sesaat menjadi bingung. Namun, kehadiran sofa di sampingnya mengembalikan ingatannya. Semalam, dia tidur di sana setelah pertolongan dari seorang pria misterius.Dengan hati yang penuh rasa syukur, Jane bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu dapur. Cahaya pagi menyinari ruangan dapur yang sederhana. Dia melihat pria yang tadi malam menyelamatkannya, masih tertidur di dalam kamarnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Jane bergegas menuju ke dapur untuk memasak sarapan untuk pria itu.Di dapur yang penuh wangi rempah-rempah, Jane berdiri di depan kompor dengan semangat. Dia membuka lemari dapur pria itu dan menemukan semua bahan yang diperlukan untuk membuat nasi goreng. Terdapat beras, bawang merah, bawang putih, cabai, wortel, dan telur segar.Jane mulai memasak dengan gesit, mengukur beras dan memasukkannya ke dalam panci untuk direbus. Sementara beras sedang