Selamat membaca β€
π π π
Sesuai keinginan Bu Sukma, salah satu guru di sana, upacara di sekolah Ibu Pertiwi berjalan lancar. Walaupun di awal sempat mendengar sedikit kerusuhan dari anak didiknya, selebihnya acara itu berlangsung mulus tanpa hambatan. Seperti pesan yang disampaikan di akhir, sekarang adalah waktunya seluruh siswa didik baru untuk memasuki aula.
Diana, gadis polos itu kini menggigit bibir bawahnya guna menetralkan rasa gugup yang menyerang usai upacara. Bersama seratus dua puluh lima anak baru sebayanya, mereka berjalan ke lantai dua gedung sekolah di sebelah kanan, di mana letak aula SMP itu berada.
Karena perempuan dengan rambut sebahu itu kurang cepat memilih tempat duduk, ia mendapatkan barisan paling depan. Sudah diyakini kalau bangku paling belakang menjadi incaran. Bertambah dinginlah telapak tangan Diana.
Ia menunduk seraya menarik bangku coklat yang akan ditempati. Namun ketika seorang perempuan yang memiliki tubuh kurus menghampiri bangku di samping kirinya, Diana merasakan rasa nervousnya kian berkurang. Diana ikut tersenyum kecil saat siswi berkepang satu itu menyunggingkan senyum ke arahnya.
"seenggaknya ada dia..." pikirnya sambil melepas tas merah berisi satu buku dan tempat pensil.
"Mohon perhatiannya semua..."
Di depan kelas, berdirilah seorang perempuan cantik berkulit putih berseragam putih, bawahan biru tua, sedikit di atas lutut. Tingginya sekitar 150 cm, tandanya gadis itu lebih tinggi sepuluh meter dari Diana.
"Oke... sesi perkenalan dulu ya, namaku Jesi. Kelas sembilan B. Jabatanku selain jadi Kakak kelas kalian adalah jadi wakil ketua OSIS. Aku juga pemimpin dari ekskul tari sekolah tercinta kita. Jadi kalau misal, dari kalian ada yang mau daftar bisa lewat aku. Sampai di sini ada yang mau ditanyakan? sebelum kita masuk kepenjalasan selanjutnya," tanyanya sembari tersenyum manis. Benar-benar sosok gadis pemimpin yang handal di usia remaja.
Diana sontak menggeleng pelan. Beda jauh dengan kelakuan dua siswa baru yang duduk paling belakang.
"Punya pacar, Kak?" tanya bocah berbadan tegap, memiliki mata yang hampir sipit, dengan bulu mata yang lentik. Kulitnya sawo matang, dia layaknya perpaduan orang Jawa dan Cina.
Siswa tampan tapi kelihatan blak-blakan menggangguk, membenarkan pertanyaan teman yang duduk di sampingnya itu.
"Nomer WA ada? kalo ada, minta!" teriaknya tanpa rasa malu dan diakhiri tawa jahilnya. Sudah dipastikan dia bibit keributan nantinya.
Jesi tertawa kecil karenanya. Dengan sopan, perempuan berambut lurus yang panjangnya mencapai di bawah punggung itu membalas, "baru aja lulus SD udah nanyain pacar. Sekolah dulu yang pinter, oke?"
Serempak, seisi kelas menertawai kedua bocah yang menggoda Jesi. Kecuali Diana, ia hanya terkekeh. Perempuan yang pemalu itu masih saja memusingkan rasa takutnya.
"Memang ketua OSISnya ke mana, Kak?" sahut anak perempuan yang duduk dekat gerombolan laki-laki sambil memangku dagu. Bisa dilihat, penampilannya yang centil, memakai kutek putih di kukunya yang panjang.
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Jesi mendekatinya. Mata Jesi yang jeli bisa menangkap kuku bercat putih itu. Hanya lima langkah jarak Jesi dengan adik kelasnya itu.
"Ketua OSIS masih ada urusan dengan kepala sekolah."
Bocah yang baru lulus SD itu mengangguk. "Lain kali perhatiin penampilan dari ujung rambut sampai ujung kaki sebelum berangkat sekolah ya... kalau ketahuan guru bisa dihukum," sambung Jesi pelan, lalu kembali ke depan kelas.
Tangannya kini meraih spidol bertinta hitam yang tergeletak di atas meja bersama penghapus whiteboard. Jesi berdiri membelakangi adik-adik kelasnya yang mulai hening. Jarinya menari-nari di papan tulis putih itu, membuat hampir seisi aula memperhatikan apa yang tengah ditulis wakil sang ketua OSIS.
Hingga beberapa menit berlalu, Jesi menghentikan kegiatannya. "Nah, kalian bisa lihat di sini."
Tok! Tok!
Diketuknya dua kali badan papan putih itu.Tertulis di sana mengenai kegiatan hari ini sampai lusa, persis di depan mata Diana :
1. Hari ini pengenalan sekolah dan seluruh guru.
2. Hari ke-2 pengenalan seluruh anggota OSIS dan Pensi.
3. Hari ke-3 masuk ke kelas masing-masing sesuai daftar nama yang ada di jendela kelas dan mengikuti PBB.
"Berhubung aku ada ulangan sebentar lagi, jadi aku nulis itu. Boleh dicatet, boleh enggak. Aku kasih waktu sepuluh menit untuk kalian yang mau nyatet atau saling kenal sama temen-temen lainnya," jelas Jesi kemudian meletakkan spidol itu di tempatnya semula.
Setelah berucap, Jesi pamit undur diri karena ada ulangan Matematika, digantikan oleh tiga anggota OSIS yang lain, dua perempuan dan satu laki-laki.
Tanpa basa-basi Diana mengeluarkan buku tulis dan bolpen hitam dari tas merahnya. Lebih baik menyibukkan diri ketimbang harus berkenalan dengan orang-orang di dalam aula.
"Hai..." sapa siswi yang duduk di samping Diana secara tiba-tiba.
Diana yang sebelumnya tengah menghadap papan tulis, sekarang menoleh ke kiri.
"Halo," balas Diana singkat, sambil tersenyum. Lalu fokus menulis lagi.
Tapi, tangannya berhenti di nomor dua, karena bolpen yang Diana pakai, mendadak macet. Dibongkarnya tutup bolpen itu untuk melihat tinta.
"Lah, mati aku. Bolpen cuma satu lagi..." batinnya di tengah kebingungan.
Diana memberanikan diri untuk melirik gadis berkepang di sampingnya. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum bersuara. Kemudian mencolek bahu perempuan itu pelan.
"Eh... maaf nih, em... kamu punya bolpen lagi nggak?" tanyanya ragu-ragu.
Sambil mengangguk siswi itu menyodorkan bolpen hitam pada Diana. "Makasih ya... nanti kalau pas mau pulang, aku ganti."
Buru-buru gadis itu membalas, "bawa aja nggak papa."
"Enggak, harus aku gantilah... punyamu masih baru." Dengan tangan yang masih menulis Diana bertanya, "Nomong-ngomong namamu siapa? aku Diana."
"Lia," tuturnya lanjut menatap buku.
"Oooh... salam kenal ya." Senyum Diana terbit kala mengatakan itu.
Jujur saja, perasaan senang mendadak hadir di hatinya. Lia mengangguk dan ikut tersenyum ke arah Diana. Dalam hati Diana berharap, "semoga kita sekelas. Aku nggak tau mau temenan sama siapa nanti, kalo nggak ada yang kayak dia."
π π π
Matahari makin mengeluarkan sinarnya saat murid baru SMP Ibu Pertiwi berkeliling. Banyak yang penasaran, banyak juga yang biasa saja. Semua tak luput dari pengamatan Diana.
"Jadi, ini yang terakhir ya... kantin sekolah tercinta kita." Vian sang ketua OSIS itu menunjuk ke arah lima kantin.
"Semuanya dipakai sama anak SMP sama SMA. Karna tau sendiri, ini sekolah gabungan. Tapi jangan khawatir, jadwal istirahat tetep beda, kok. Jadi nggak akan keramean kalo mau makan," terangnya dengan bibir mengulas senyum.
Postur tubuhnya tinggi dan tegap. Kulitnya yang sawo matang membuatnya terlihat manis, apalagi dengan potongan rambut yang rapi. Bahkan sedari tadi banyak siswi yang berbisik-bisik memuji ketampanannya, tak terkecuali Lia. Diana yang mendengar itu hanya tersenyum kecil, dia sendiri memuji pesona Vian dalam hati.
"Balik ke aula lagi ya... kalo ada yang mau ditanyain bisa ditanyain pas di aula nanti," putusnya.
Lalu berjalan melewati Diana dan Lia sambil tersenyum tipis. "Nggak sombong ya, Na...."
Diana yang dibisiki mengiyakan, kemudian menggandeng tangan Lia dengan senyuman kecil terukir di pipinya yang tembam itu. "Dia juga ganteng, Li..." batinnya tanpa sadar. Sudah bisa ditebak, hati kecil Diana tertarik dengan makhluk bernama laki-laki. Di usianya yang masih jalan ke angka tiga belas tahun.
π π π
Terimakasih banyak untuk para pembaca :*
STAY HEALTHY :)
God bless you :D
Selamat membaca β€π π πBanyak yang bertanya pada sang ketua OSIS ketika rombongan siswa baru jenjang SMP itu sampai di aula. Rata-rata dari mereka pastinya siswi-siswi yang ingin dekat dengan Vian, sang ketua OSIS manis di SMP Ibu Pertiwi. Namun tak seperti pagi tadi, layaknya kedua siswa yang bertanya aneh-aneh, pada Jesi. Kali ini, mereka murni mempertanyakan hal-hal yang berbau SMP Ibu Pertiwi. Dimulai dari sifat guru-gurunya, ekskul yang ada, sampai keingintahuan gadis-gadis itu tentang pencapaian dari sekolahnya. Dengan senag hati Vian membalas pertanyaan mereka, bahkan penuh kesopanan. Sesuai persis sama apa yang diharapkan bocah-bocah lulusan SD itu.Seperti sekarang, Lia mencoba untuk bertanya dengan raut wajah was-was. Tangan kanannya yang terangkat ke atas membuat Vian mengangguk serta bertanya, "ya kamu. Namanya siapa?""Lia Kak," balasnya.Vian yang tengah duduk di kursi depan lantas berdiri dan fokus menatap Lia."Mau tanya
Setelah lima menit berdiri sendirian menunggu angkot di depan pom bensin seberang sekolahnya, Diana akhirnya menaiki angkot yang tak terlalu ramai karena di dalamnya hanya ada dua orang dewasa dan satu anak bayi. Beruntungnya, gadis itu bisa duduk dan mengistirahatkan sepasang lututnya yang memang lemas. Untuk pertama kalinya, ia menaiki mobil pengangkut orang-orang berbagai umur dan pekerjaan itu. Diana duduk persis di belakang sopir angkot, pojokan.Sedangkan di samping kirinya seorang wanita penjual jamu gendong tengah memangku bakul berisi botol-botolnnya dan barang-barang lain. Kulitnya banyak yang telah keriput itu menandakan bahwa umurnya tak muda lagi. Beliau memakai kostum layaknya pakaian zaman dulu, bawahan jarik cokelat tua dengan atasan seperti kebaya putih kusam nan polosan, tanpa adanya manik-manik seperti kebaya modern. Persis pakaian jawa tempo dulu.Seorang wanita berhijab hitam berumur dua puluhan duduk di tengah-tengah ba
Selamat membaca β€πSelesai makan malam berdua bersama sang Mama, anak remaja yang mempunyai tubuh berisi itu masuk ke kamar milik Arin dan dirinya. Diana berniat untuk memutar lagu dan menggambar lagi sebelum jam menunjukkan pukul sembilan. Tandanya, ia masih punya waktu untuk menyenangkan diri dan menuang imajinasi ke dalam hobi.Diraihnya benda yang ia letakkan di atas meja sebelum mandi dan mulai mengotak-atik musik di HP. Sambil menduduki kasur kecil dan punggung yang tersandar di tembok putih kamarnya, jari-jari itu kembali menari di kertas. Menyempurnakan gambar yang sudah berbentuk 3D itu agar kian cantik lagi. Meskipun, hanya berwarna hitam putih khas serbuk pensil miliknya.πMatahari yang teramat cerah menyinari langit pagi ini. Berbanding terbalik dengan semangat seorang anak remaja yang baru turun dari atas motor sang papa. Tak ada yang cerah dari wajah Diana, malah aura keg
Babak pengenalan seluruh anggota OSIS berlangsung tanpa gangguan, dan waktu istirahat selama setengah jam juga sudah mereka lalui. Kini saatnya mereka memasuki acara pentas seni. Di mana seluruh siswa dapat membaur, mengenal lebih dekat lagi, dan unjuk kebolehan dalam diri.Di depan sana, Jesi selaku pemimpin acara tengah berdiri dan mulai bersuara, "oke, jadi sesuai jadwal kemarin yang sempet kutulis di papan tulis... Acara pagi menjelang siang ini adalah pensi." beberapa adik kelasnya mengangguk. Namun banyak yang diam memperhatikan. Ada juga yang fokus dengan kecantikan sang wakil ketua OSIS itu. "Karena kita enggak boleh membuang-buang waktu yang ada, aku akan bagi kalian menjadi dua puluh lima kelompok. Jadi masing-masing kelompok isinya ada lima orang, dan lima kelompok akan didampingi sama dua anggota OSIS. Nah, berarti dua puluh lima anak itu harus nurut sama arahan kedua pendamping. Sampai di sini paham?" rata-rata mengangguk dan mengiyakan. "Oke,
Selamat membaca β€πSekarang ini tinggal mereka berdua yang mengisi rumah tua itu. Diana yang pamit ke dapur untuk membuatkan teh si kakek dan dirinya, kini malah kebingungan mencari gula. Kedua tangannya sibuk mengangkat beberapa wadah kotak plastik di atas meja kayu, pindah ke meja sebelahnya namun tak kunjung menemukan. Karena lama mencari, kepala Diana jadi pusing. Dari tempatnya berdiri ia sedikit teriak dengan tangan yang menggaruk kepalanya kasar, "Eyaaang... Gulanya di mana ya? Di dapur enggak ada..."Tak ada sahutan dari orang yang ditanyai. Sambil melemaskan bahu, Diana berbalik. Namun sebelum gadis itu jalan, si kakek sudah ada di hadapannya. "Di atas meja ndak ada?" pria tua itu malah ikut bingung."Enggak, Diana udah nyari-nyari tapi nggak ketemu," ungkapnya sambil mengangguk-angguk. "Eyang lupa naruh mungkin..."Yanto mencoba duduk di kursi coklat kayu panjang pelan-pelan de
Matahari yang terbit pagi ini menemani perempuan berseragam kotak-kotak merah dengan bawahan rok warna putih susu. Dengan degupan jantung yang ada di atas normal, Diana berjalan di lantai dasar bangunan yang cukup besar untuk menampung ratusan murid itu. Tujuan pertama Diana hari ini sudah bukan lagi aula SMP Ibu Pertiwi, melainkan ruang kelas utama, 7A. Siapa tahu namanya akan tercantum di jendela kelas.Sepasang netranya menajam, meneliti setiap nama murid di kertas yang sekarang ada depannya, menempel pada kaca bening persegi itu. Hingga saat pandangannya mengarah ke nama yang berawalan dengan huruf 'D', binar bahagia terpancar dari sorot mata Diana.Gadis itu bahkan memekik tertahan, "Yeees...!" itu tandanya, sepasang kaki berbalut kaos kaki putih yang hampir mencapai dengkul itu takkan melanjutkan pencarian kelas.Namanya terpampang jelas di kertas yang melekat pada jendela. Diana juga tak perlu berlelah-lelah membaca 'd
Gadis yang menggendong tas ransel merah itu tampak merasa cemas. Kentara sekali dari wajah lelah nan pucatnya itu. Pikirannya entah kenapa melayang jauh, membayangkan sosok kedua orangtuanya. Tak banyak yang menyita rasa gugup Diana sejak di kelas sampai siang hari ini, selain perkataan Andra pagi tadi.Saat ini dirinya tengah menunggu angkot yang akan membawanya sampai di depan rumah. Perempuan itu menghela napas panjang kala masuk ke dalam kendaraan umum yang kini dia tumpangi.Suasana angkot ini lumayan sepi. Di bagian belakang, paling pojok mobil itu, hanya ada perempuan tinggi berseragam sekolah tengah memegang buku novel. Sedangkan di samping sopir angkot, ada pemuda yang dari penampilannya kelihatan seperti seorang mahasiswa. Atasan kotak-kotak, celana jeans, dan memangku tas ransel hitam.Tapi lagi-lagi perasaan cemas, gugup, dan takut Diana, merayap pelan ke dalam hatinya. Mungkin akan melekat sampai malam hari nanti
Selamat membaca β€πRaja timur mulai menampakkan wujudnya. Sinar terangnya memancar sampai hampir ke seluruh kamar gadis yang tengah mengurung diri dalam kain tebal. Beberapa menit kemudian ia mulai terganggu dengan cahaya yang sedikit menusuk di wajah. Dikerjapkannya sepasang kelopak mata itu perlahan dan kedua jarinya bertugas menghilangkan noda kecil di dalam sudut netra. Teringat bahwa hari ini dirinya harus piket, Diana lantas menyiapkan seragam batik biru dengan rok putih. Diikatnya rambut hitam sebahu itu secara asal lalu menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya."Tumben pagi-pagi udah siap..." kata Tania yang baru saja menggelar tikar untuk mereka sarapan."Piket..." singkatnya. Gadis dengan celana pendek di atas lutut dan kaos hijau polos itu tengah berjalan cepat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sambil mengetuk ia berujar, "Pah, cepetan ya! Aku ada jadwal piket
Selamat membaca β€πSemenjak kejadian tiga bulan lalu, Diana semakin tak punya semangat hidup. Waktu yang ia habiskan di sekolah, hanya dikerjakan di kelas termasuk istirahat makan siang. Diana bahkan kerap absen dari kegiatan OSIS dan ekskul menggambar. Berangkat sekolah juga wajahnya tak pernah terlihat cerah, aura kelam lebih terpancar. Membuat Tino, Putri, dan Lia ---yang tak peduli pada Diana--- dibuat penasaran dengan perubahan Diana akhir-akhir ini. Tapi tidak ada secuil hal yang Lia lakukan. Gadis itu benar-benar memusuhi Diana.Berbeda jauh dengan Lia, Tino dan Putri malah kian gencar mendekati Diana. Ia ingin, temannya itu melepas kesedihan. Keduanya tak henti-hentinya mencari topik gurauan agar Diana mau menunjukkan senyumannya pada mereka. Tapi nihil, Putri dan Tino hanya bisa menerima wajah datar Diana, dan sesekali fake smile yang terbit dari bibir perempuan chuby itu.Sian
Masih sama dengan suasana pagi yang dingin dan mendung, siang ini langit menyisakan hawa dinginnya. Karena para guru Ibu Pertiwi tak kelar-kelar dengan hal berbau rapat. Hal itu membuat siswa-siswi SMP, maupun anak didik SMA dipulangkan lebih awal.Bunyi bel pulang sekolah itupun sudah terdengar sejak lima menit lalu. Kini Diana tengah berada di dalam angkot bersama Lia. Gadis berkucir satu itu memilih duduk berseberangan dengan teman pertamanya, karena si Lia masih saja bersikap acuh tak acuh.Setiap Diana ingin mengajak ngobrol di kantin atau kelas, Lia selalu saja punya cara untuk menolak dan membuang muka tanpa mendengar perkataan Diana sampai tuntas. Bahkan saat mereka pulang dan berada di dalam angkot, Lia masih saja diam. Akibatnya, sampai sekarang ini masih tak ada obrolan di dalam mobil pengantar orang-orang pekerja dan anak-anak sekolahan itu."Pulang duluan ya, Li..." pamitnya masih berusaha mencari topik pembicara
Selamat membaca β€πGuyuran hujan di sekolah Ibu Pertiwi pagi ini, membuat proses belajar mengajar diundur satu jam dari bel masuk seperti biasa. Selain karena hujan deras, alasan lainnya adalah seluruh guru masih terlibat rapat dengan ketua yayasan. Para murid yang datang dan berlarian bahkan masih bisa dihitung dengan jari. Satu anak yang sudah menempatkan diri di ruang kelas dengan menopang dagu dan datang tepat waktu seperti hari-hari biasa. Pikirannya sedari dua minggu belakangan ini terus saja terganggu."Ngalamun, Na?" tanya seseorang bervolume kencang saat melewati bangku yang ditempati gadis itu. "Ngomong-ngomong, cuaca gini enak banget buat maen futsal, loooh." dengan kedua mata terpejam seakan benar-benar membayangkan serunya bermain futsal di tengah lapangan sambil mandi air hujan. Hidungnya ikut menghirup napas dalam-dalam, khas orang yang tengah menikmati alam. "Waaah... Enak bener..." Tino mulai mendramatisir.
"Diana!" panggil Tino sebelum orang yang ia sebut namanya menghilang dalam beberapa kali jalan. Tubuh Diana refleks berbalik agar matanya bertemu dengan milik sang ketua kelas. Sambil berjalan menghampiri Diana, Tino berbicara lagi, "masuk OSIS yok, Na! Jadi anggota OSIS.""Hah! Nggak-nggak! Ngapain? Yang pantes gabung banyak, No! Nggak mau ah... Maaf." sambil memutar tubuh, melanjutkan perjalanannya.Tapi cekalan dan suara Tino lagi-lagi berhasil membuat gadis yang nampak kelelehan itu berhenti, Tino berdiri di sampingnya. "Sambil jalan aja." keduanya lantas mengayunkan kaki. "Aku ngerasa kamu itu kreatif, Na... Coba kalo kamu gabung, kamu bisa nuangin ide-ide kamu ke acara-acara OSIS nanti, apa kamu mau gabung jadi kandidat calon ketua OSIS?"Matanya sukses membelalak mendengar penawaran terakhir Tino. "Apaan sih?! Jadi anggota aja ogah mana ini jadi kandidat! Sangat tidak setuju!" sahutnya menggebu-gebu. "Udah ya... Aku ma
"Bakso, opor ayam, sop ayam, soto ayam, nasi rames, nasgor, nasi kucing, nasi ayam pedes, nasi ayam kecap, nasi ayam goyeng atau bakar, ayam geprek..." menarik napas sebentar lalu dihembuskan perlahan dan kembali melanjutkan, "...kwetiau rebus, kwetiau goyeng, mi rebus, apa mi goyeng?" alisnya sudah naik-turun. Tiba-tiba menanyai itu saat berhadapan dengan Diana.Para pendengar banyak yang terkekeh, tertawa, dan tersenyum. Tapi bukan Diana kalau ikut terkagum-kagum, gadis itu hanya diam. Lebih baik menjauhi laki-laki itu daripada menjadi sorotan orang-orang yang ada di kantin. Tubuhnya berbalik dari Andra di hadapannya, lalu menghampiri 'Kantin 5' yang paling ujung dan bisa dikatakan sepi. Terlihat dari sini, tak sampai dua puluh orang yang makan di sana."Aku tawarin karna aku tau, porsimu buanyaaak, Dianaaa!" serunya tanpa menghiraukan tawaan siswa lain dan perasaan malu berbalut kesal yang kini hinggap di hati Diana. Perempuan itu hanya
Selamat membaca β€πRaja timur mulai menampakkan wujudnya. Sinar terangnya memancar sampai hampir ke seluruh kamar gadis yang tengah mengurung diri dalam kain tebal. Beberapa menit kemudian ia mulai terganggu dengan cahaya yang sedikit menusuk di wajah. Dikerjapkannya sepasang kelopak mata itu perlahan dan kedua jarinya bertugas menghilangkan noda kecil di dalam sudut netra. Teringat bahwa hari ini dirinya harus piket, Diana lantas menyiapkan seragam batik biru dengan rok putih. Diikatnya rambut hitam sebahu itu secara asal lalu menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya."Tumben pagi-pagi udah siap..." kata Tania yang baru saja menggelar tikar untuk mereka sarapan."Piket..." singkatnya. Gadis dengan celana pendek di atas lutut dan kaos hijau polos itu tengah berjalan cepat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sambil mengetuk ia berujar, "Pah, cepetan ya! Aku ada jadwal piket
Gadis yang menggendong tas ransel merah itu tampak merasa cemas. Kentara sekali dari wajah lelah nan pucatnya itu. Pikirannya entah kenapa melayang jauh, membayangkan sosok kedua orangtuanya. Tak banyak yang menyita rasa gugup Diana sejak di kelas sampai siang hari ini, selain perkataan Andra pagi tadi.Saat ini dirinya tengah menunggu angkot yang akan membawanya sampai di depan rumah. Perempuan itu menghela napas panjang kala masuk ke dalam kendaraan umum yang kini dia tumpangi.Suasana angkot ini lumayan sepi. Di bagian belakang, paling pojok mobil itu, hanya ada perempuan tinggi berseragam sekolah tengah memegang buku novel. Sedangkan di samping sopir angkot, ada pemuda yang dari penampilannya kelihatan seperti seorang mahasiswa. Atasan kotak-kotak, celana jeans, dan memangku tas ransel hitam.Tapi lagi-lagi perasaan cemas, gugup, dan takut Diana, merayap pelan ke dalam hatinya. Mungkin akan melekat sampai malam hari nanti
Matahari yang terbit pagi ini menemani perempuan berseragam kotak-kotak merah dengan bawahan rok warna putih susu. Dengan degupan jantung yang ada di atas normal, Diana berjalan di lantai dasar bangunan yang cukup besar untuk menampung ratusan murid itu. Tujuan pertama Diana hari ini sudah bukan lagi aula SMP Ibu Pertiwi, melainkan ruang kelas utama, 7A. Siapa tahu namanya akan tercantum di jendela kelas.Sepasang netranya menajam, meneliti setiap nama murid di kertas yang sekarang ada depannya, menempel pada kaca bening persegi itu. Hingga saat pandangannya mengarah ke nama yang berawalan dengan huruf 'D', binar bahagia terpancar dari sorot mata Diana.Gadis itu bahkan memekik tertahan, "Yeees...!" itu tandanya, sepasang kaki berbalut kaos kaki putih yang hampir mencapai dengkul itu takkan melanjutkan pencarian kelas.Namanya terpampang jelas di kertas yang melekat pada jendela. Diana juga tak perlu berlelah-lelah membaca 'd
Selamat membaca β€πSekarang ini tinggal mereka berdua yang mengisi rumah tua itu. Diana yang pamit ke dapur untuk membuatkan teh si kakek dan dirinya, kini malah kebingungan mencari gula. Kedua tangannya sibuk mengangkat beberapa wadah kotak plastik di atas meja kayu, pindah ke meja sebelahnya namun tak kunjung menemukan. Karena lama mencari, kepala Diana jadi pusing. Dari tempatnya berdiri ia sedikit teriak dengan tangan yang menggaruk kepalanya kasar, "Eyaaang... Gulanya di mana ya? Di dapur enggak ada..."Tak ada sahutan dari orang yang ditanyai. Sambil melemaskan bahu, Diana berbalik. Namun sebelum gadis itu jalan, si kakek sudah ada di hadapannya. "Di atas meja ndak ada?" pria tua itu malah ikut bingung."Enggak, Diana udah nyari-nyari tapi nggak ketemu," ungkapnya sambil mengangguk-angguk. "Eyang lupa naruh mungkin..."Yanto mencoba duduk di kursi coklat kayu panjang pelan-pelan de