Selamat membaca ❤
💔
Selesai makan malam berdua bersama sang Mama, anak remaja yang mempunyai tubuh berisi itu masuk ke kamar milik Arin dan dirinya. Diana berniat untuk memutar lagu dan menggambar lagi sebelum jam menunjukkan pukul sembilan. Tandanya, ia masih punya waktu untuk menyenangkan diri dan menuang imajinasi ke dalam hobi.
Diraihnya benda yang ia letakkan di atas meja sebelum mandi dan mulai mengotak-atik musik di HP. Sambil menduduki kasur kecil dan punggung yang tersandar di tembok putih kamarnya, jari-jari itu kembali menari di kertas. Menyempurnakan gambar yang sudah berbentuk 3D itu agar kian cantik lagi. Meskipun, hanya berwarna hitam putih khas serbuk pensil miliknya.
💔
Matahari yang teramat cerah menyinari langit pagi ini. Berbanding terbalik dengan semangat seorang anak remaja yang baru turun dari atas motor sang papa. Tak ada yang cerah dari wajah Diana, malah aura kegugupan menguar dalam diri gadis sederhana itu.
Kini seragam atas putihnya itu berbalut jaket biru muda, tas ransel merah juga melekat di belakang tubuh. Kedua tangannya kali ini tak lagi mencengkeram erat sisi-sisi tas, melainkan masuk ke kedua kantong jaket yang menutupi seragamnya. Banyak tatapan mengejek dari berbagai anak SMP dan SMA yang terlempar ke arahnya karena turun dari motor butut Hendra. Diana yang tak peduli dengan tatapan tak suka itu hanya bisa pura-pura tak tahu.
Indormasi sedikit, kegugupan Diana itu bukan timbul lantaran ia malu. Karena menjadi pusat tontonanlah yang membuat gadis itu menjadi risih. Bahkan debaran di dadanya bertambah menjadi-jadi saat pandangannya menabrak sepasang mata laki-laki.
Vian. Ya, laki-laki itu baru saja turun dari motor besar milik sang Ayah. Lelaki berjaket abu-abu itu menatap Diana sejak gadis itu mengantongi telapak tangannya. Susah payah gadis yang memakai ikat rambut warna hitam itu untuk menormalkan laju jantungnya. Hawa dingin di tangan makin menjadi saat Vian berjalan dengan tak henti menatap ke padanya.
Ditundukkannyalah kepala itu dalam-dalam lalu mempercepat langkahnya saat Vian dirasa semakin dekat. "Kak Vian kenapa ya? Dari kemarin aneh terus perasaan..." batinnya heran sekaligus ingin tahu.
Tapi lagi-lagi, dada yang naik-turun tak beraturan itu lebih kuat dari perasaan keponya. Bahkan napasnya bak murid nakal yang mengelilingi lapangan ribuan kali lantaran kena hukuman. Ya, dipelipis Diana, keringat itu mengucur deras padahal cuaca masih sejuk. Salahkan jantungnya yang bekerja sepuluh kali lipat lebih cepat.
"Viaaan...!"
Tanpa berbalik, Diana sudah tahu pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan kaka kelasnya, Jesi. Entah apa yang mereka obrolkan di belakang tubuh Diana, gadis introvert itu memilih cepat-cepat ke aula lantaran tak nyaman dengan keramaian yang ada. Ingat kan kalau SMP dan SMA Ibu Pertiwi digabung jadi satu gedung? Apalagi Diana tidak didampingi. Pastinya rasa grogi lebih terasa di dalam diri kalau suasana ramai dihadapi sendiri.
Sampai di ambang pintu aula dadanya lagi-lagi berdebar. Lia yang ia harapkan sudah datang dan menyambutnya, ternyata belum hadir. Dengan tarikan napas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar, Diana masuk dengan tatapan datarnya lalu memilih tempat duduk paling pojok. Ya meskipun masih di deretan paling depan, setidaknya dia tak berhadapan langsung dengan orang yang akan berdiri di depan kelas.
Tanpa Diana sadari, orang yang dicari sudah memasuki aula. Gadis yang tenang melepas tas dan jaketnya itu, membelakangi Lia. Dengan begitu, akal jahil Lia akan terlaksana, mulus. Mulut Lia terbuka lebar dan mampu membuat Diana mendelik, "BUAAAAA..." ditepuk kencang kedua bahu Diana. "...AHAHAHA!" diakhiri dengan tawa menggelegarnya, tanpa menghiraukan beberapa banyak pasang mata yang mengarah ke kedua perempuan itu.
Diana yang memang terkejut lantas menghembuskan napas panjang dengan perasaan kesal yang sudah di ujung ubun-ubun. "Kasihan yang lain tauk!" protes Diana kemudian.
Teman Diana itu malah tersenyum lebar. "Halah.... Ngomong aja kamu kaget." ucap Lia sembari duduk dan melepas tas pinknya.
"Aku emang kaget..." balasnya jujur. "...tapi kasihan yang lain kalo punya penyakit jantung."
"Mana ada!" Lia terkekeh geli mendengarnya. "Bocil-bocil kalo punya penyakit jantung ya bahaya dong."
"Husssth...! Kalo ngomong dijaga, Li..." peringatnya.
"Iya-iya." putus gadis berkepang satu itu. Diturutinya saja saran Diana, daripada akhirnya dia yang kena nyinyiran seluruh siswa di dalam aula, mendingan tutup mulut tanpa omelan. Bersyukur karena MOS pagi ini yang memang belum dimulai, jadi ada alasan untuk Lia membela diri jika ada anak yang protes dengan ulah ributnya tadi. "Eh, Na... Aku ke kamar mandi dulu ya, kebelet pipis." ujarnya saat sudah berdiri dan langsung berlari kencang sesuka hati tanpa mendengar tanggapan Diana lebih dulu.
Diana lantas membelalak. "Loh-loh... Tungguin!" pekiknya heboh karena tak ingin ditinggal di ruangan itu sendirian.
Namun, saat tubuh Lia menghilang dari balik salah satu pintu aula---karena modelnya dua pintu--- sosok Vian datang, berjalan santai. Membuat Diana yang barusan bangkit lantas berjalan lebih cepat dan memutus kontak mata sesegera mungkin. Kentara sekali kalau gadis itu menahan dadanya agar tak bergetar hebat.
Kini, kala tubuh mereka berdua saling bersebelahan, Diana menatap lantai putih yang dipijak dengan gumaman, " si tenang segeralah datang, si gugup cepatlah hilang. Amin." entah mantra apa itu, intinya kalimat itu terlontar begitu saja saat matanya terpejam beberapa detik.
Begitu berhasil keluar dari aula, napas lega menghembus dengan panjangnya. "Terimakasih, Tuhan..." rasa syukur terlontar dengan ekspresi girang. Tapi ada satu gangguan lagi saat salah satu kakinya yang hendak menuruni tangga, bel masuk SMPnya berbunyi jelas di gendang telinga seluruh pendengar. Sangat nyaring nan panjang :
Teeeeet...!
Diana mendesis tidak suka. Dia merasa sedikit kecewa karena bel yang tak tepat waktu bersuara. Salahkan pelaku penekannya!
Berkata-katalah perempuan manis itu dalam hati dan hidungnya yang menarik oksigen dalam-dalam, "baru aja ngerasain lega, rasa grogi lagi-lagi ada, hih." memang, seperti itulah nasib seorang pemalu kalau belum terbiasa dengan suasana dan lingkungan baru.
Butuh waktu cukup lama untuk menyesuaikan dan lebih seleksi dalam memilih teman. Bukan bermaksud sombong, lagi-lagi dia hanya mencari zona ternyaman dalam bergaul. Bagi orang-orang yang tak tahu jenis orang yang seperti Diana, pasti mengira bahwa mereka terdaftar sebagai manusia sombong, cuek, sulit tersenyum. Tapi, kalau mau mengenal mereka lebih dalam, orang introvert cocok sekali untuk menjadi 'ladang curhat'.
Ya! Bagi mereka, menjaga rahasia adalah hal yang mudah untuk mereka lakukan. Termasuk untuk menutupi perasaan. Mereka sungguh pintar melakukannya.
Sambil memutar tubuh, kurang lebih 90°, Diana menekuk bibirnya ke dalam. Diusahakan perutnya agar tak merasa mulas lantaran rasa grogi menyerbu. Apalagi di dalam aula sudah banyak anak-anak, yakni seratus dua puluh lima murid. Belum lagi ada kakak kelas yang membuatnya merasa panas dingin tiba-tiba. Tunggu, jangan lupa! Lia masih menuntaskan hasrat pipisnya.
Sebelum kakinya benar-benar masuk, kepalanya dipaksa menunduk agar bisa menetralkan detak jantung dan tak menatap seluruh bagian tubuh Vian. Langkah demi langkah ia jalani dengan degupan kencang di dada, dan akhirnya... Pantang Diana mendarat mulus di bangku coklat itu.
"Permisi..." Vian menoleh. Sebelum lelaki itu bertanya, si Lia lebih dulu mengucapkan alasannya. "...maaf Kak, habis dari kamar mandi."
Vian mengangguk sekali. "Ya, silakan masuk dan duduk di tempat kamu." sahutnya yang tak lupa diiringi dengan senyuman cerah, membuat mata yang melihat, memuji tingkat kemanisan wajah Vian.
Cocok sekali dengan pagi ini, secerah mentari yang membuat langit tersinari. Tanpa disadari, ada hati yang menikmati, bahkan wajah gadis itu, kini berseri-seri.
💔💔💔
Babak pengenalan seluruh anggota OSIS berlangsung tanpa gangguan, dan waktu istirahat selama setengah jam juga sudah mereka lalui. Kini saatnya mereka memasuki acara pentas seni. Di mana seluruh siswa dapat membaur, mengenal lebih dekat lagi, dan unjuk kebolehan dalam diri.Di depan sana, Jesi selaku pemimpin acara tengah berdiri dan mulai bersuara, "oke, jadi sesuai jadwal kemarin yang sempet kutulis di papan tulis... Acara pagi menjelang siang ini adalah pensi." beberapa adik kelasnya mengangguk. Namun banyak yang diam memperhatikan. Ada juga yang fokus dengan kecantikan sang wakil ketua OSIS itu. "Karena kita enggak boleh membuang-buang waktu yang ada, aku akan bagi kalian menjadi dua puluh lima kelompok. Jadi masing-masing kelompok isinya ada lima orang, dan lima kelompok akan didampingi sama dua anggota OSIS. Nah, berarti dua puluh lima anak itu harus nurut sama arahan kedua pendamping. Sampai di sini paham?" rata-rata mengangguk dan mengiyakan. "Oke,
Selamat membaca ❤💔Sekarang ini tinggal mereka berdua yang mengisi rumah tua itu. Diana yang pamit ke dapur untuk membuatkan teh si kakek dan dirinya, kini malah kebingungan mencari gula. Kedua tangannya sibuk mengangkat beberapa wadah kotak plastik di atas meja kayu, pindah ke meja sebelahnya namun tak kunjung menemukan. Karena lama mencari, kepala Diana jadi pusing. Dari tempatnya berdiri ia sedikit teriak dengan tangan yang menggaruk kepalanya kasar, "Eyaaang... Gulanya di mana ya? Di dapur enggak ada..."Tak ada sahutan dari orang yang ditanyai. Sambil melemaskan bahu, Diana berbalik. Namun sebelum gadis itu jalan, si kakek sudah ada di hadapannya. "Di atas meja ndak ada?" pria tua itu malah ikut bingung."Enggak, Diana udah nyari-nyari tapi nggak ketemu," ungkapnya sambil mengangguk-angguk. "Eyang lupa naruh mungkin..."Yanto mencoba duduk di kursi coklat kayu panjang pelan-pelan de
Matahari yang terbit pagi ini menemani perempuan berseragam kotak-kotak merah dengan bawahan rok warna putih susu. Dengan degupan jantung yang ada di atas normal, Diana berjalan di lantai dasar bangunan yang cukup besar untuk menampung ratusan murid itu. Tujuan pertama Diana hari ini sudah bukan lagi aula SMP Ibu Pertiwi, melainkan ruang kelas utama, 7A. Siapa tahu namanya akan tercantum di jendela kelas.Sepasang netranya menajam, meneliti setiap nama murid di kertas yang sekarang ada depannya, menempel pada kaca bening persegi itu. Hingga saat pandangannya mengarah ke nama yang berawalan dengan huruf 'D', binar bahagia terpancar dari sorot mata Diana.Gadis itu bahkan memekik tertahan, "Yeees...!" itu tandanya, sepasang kaki berbalut kaos kaki putih yang hampir mencapai dengkul itu takkan melanjutkan pencarian kelas.Namanya terpampang jelas di kertas yang melekat pada jendela. Diana juga tak perlu berlelah-lelah membaca 'd
Gadis yang menggendong tas ransel merah itu tampak merasa cemas. Kentara sekali dari wajah lelah nan pucatnya itu. Pikirannya entah kenapa melayang jauh, membayangkan sosok kedua orangtuanya. Tak banyak yang menyita rasa gugup Diana sejak di kelas sampai siang hari ini, selain perkataan Andra pagi tadi.Saat ini dirinya tengah menunggu angkot yang akan membawanya sampai di depan rumah. Perempuan itu menghela napas panjang kala masuk ke dalam kendaraan umum yang kini dia tumpangi.Suasana angkot ini lumayan sepi. Di bagian belakang, paling pojok mobil itu, hanya ada perempuan tinggi berseragam sekolah tengah memegang buku novel. Sedangkan di samping sopir angkot, ada pemuda yang dari penampilannya kelihatan seperti seorang mahasiswa. Atasan kotak-kotak, celana jeans, dan memangku tas ransel hitam.Tapi lagi-lagi perasaan cemas, gugup, dan takut Diana, merayap pelan ke dalam hatinya. Mungkin akan melekat sampai malam hari nanti
Selamat membaca ❤💔Raja timur mulai menampakkan wujudnya. Sinar terangnya memancar sampai hampir ke seluruh kamar gadis yang tengah mengurung diri dalam kain tebal. Beberapa menit kemudian ia mulai terganggu dengan cahaya yang sedikit menusuk di wajah. Dikerjapkannya sepasang kelopak mata itu perlahan dan kedua jarinya bertugas menghilangkan noda kecil di dalam sudut netra. Teringat bahwa hari ini dirinya harus piket, Diana lantas menyiapkan seragam batik biru dengan rok putih. Diikatnya rambut hitam sebahu itu secara asal lalu menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya."Tumben pagi-pagi udah siap..." kata Tania yang baru saja menggelar tikar untuk mereka sarapan."Piket..." singkatnya. Gadis dengan celana pendek di atas lutut dan kaos hijau polos itu tengah berjalan cepat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sambil mengetuk ia berujar, "Pah, cepetan ya! Aku ada jadwal piket
"Bakso, opor ayam, sop ayam, soto ayam, nasi rames, nasgor, nasi kucing, nasi ayam pedes, nasi ayam kecap, nasi ayam goyeng atau bakar, ayam geprek..." menarik napas sebentar lalu dihembuskan perlahan dan kembali melanjutkan, "...kwetiau rebus, kwetiau goyeng, mi rebus, apa mi goyeng?" alisnya sudah naik-turun. Tiba-tiba menanyai itu saat berhadapan dengan Diana.Para pendengar banyak yang terkekeh, tertawa, dan tersenyum. Tapi bukan Diana kalau ikut terkagum-kagum, gadis itu hanya diam. Lebih baik menjauhi laki-laki itu daripada menjadi sorotan orang-orang yang ada di kantin. Tubuhnya berbalik dari Andra di hadapannya, lalu menghampiri 'Kantin 5' yang paling ujung dan bisa dikatakan sepi. Terlihat dari sini, tak sampai dua puluh orang yang makan di sana."Aku tawarin karna aku tau, porsimu buanyaaak, Dianaaa!" serunya tanpa menghiraukan tawaan siswa lain dan perasaan malu berbalut kesal yang kini hinggap di hati Diana. Perempuan itu hanya
"Diana!" panggil Tino sebelum orang yang ia sebut namanya menghilang dalam beberapa kali jalan. Tubuh Diana refleks berbalik agar matanya bertemu dengan milik sang ketua kelas. Sambil berjalan menghampiri Diana, Tino berbicara lagi, "masuk OSIS yok, Na! Jadi anggota OSIS.""Hah! Nggak-nggak! Ngapain? Yang pantes gabung banyak, No! Nggak mau ah... Maaf." sambil memutar tubuh, melanjutkan perjalanannya.Tapi cekalan dan suara Tino lagi-lagi berhasil membuat gadis yang nampak kelelehan itu berhenti, Tino berdiri di sampingnya. "Sambil jalan aja." keduanya lantas mengayunkan kaki. "Aku ngerasa kamu itu kreatif, Na... Coba kalo kamu gabung, kamu bisa nuangin ide-ide kamu ke acara-acara OSIS nanti, apa kamu mau gabung jadi kandidat calon ketua OSIS?"Matanya sukses membelalak mendengar penawaran terakhir Tino. "Apaan sih?! Jadi anggota aja ogah mana ini jadi kandidat! Sangat tidak setuju!" sahutnya menggebu-gebu. "Udah ya... Aku ma
Selamat membaca ❤💔Guyuran hujan di sekolah Ibu Pertiwi pagi ini, membuat proses belajar mengajar diundur satu jam dari bel masuk seperti biasa. Selain karena hujan deras, alasan lainnya adalah seluruh guru masih terlibat rapat dengan ketua yayasan. Para murid yang datang dan berlarian bahkan masih bisa dihitung dengan jari. Satu anak yang sudah menempatkan diri di ruang kelas dengan menopang dagu dan datang tepat waktu seperti hari-hari biasa. Pikirannya sedari dua minggu belakangan ini terus saja terganggu."Ngalamun, Na?" tanya seseorang bervolume kencang saat melewati bangku yang ditempati gadis itu. "Ngomong-ngomong, cuaca gini enak banget buat maen futsal, loooh." dengan kedua mata terpejam seakan benar-benar membayangkan serunya bermain futsal di tengah lapangan sambil mandi air hujan. Hidungnya ikut menghirup napas dalam-dalam, khas orang yang tengah menikmati alam. "Waaah... Enak bener..." Tino mulai mendramatisir.
Selamat membaca ❤💔Semenjak kejadian tiga bulan lalu, Diana semakin tak punya semangat hidup. Waktu yang ia habiskan di sekolah, hanya dikerjakan di kelas termasuk istirahat makan siang. Diana bahkan kerap absen dari kegiatan OSIS dan ekskul menggambar. Berangkat sekolah juga wajahnya tak pernah terlihat cerah, aura kelam lebih terpancar. Membuat Tino, Putri, dan Lia ---yang tak peduli pada Diana--- dibuat penasaran dengan perubahan Diana akhir-akhir ini. Tapi tidak ada secuil hal yang Lia lakukan. Gadis itu benar-benar memusuhi Diana.Berbeda jauh dengan Lia, Tino dan Putri malah kian gencar mendekati Diana. Ia ingin, temannya itu melepas kesedihan. Keduanya tak henti-hentinya mencari topik gurauan agar Diana mau menunjukkan senyumannya pada mereka. Tapi nihil, Putri dan Tino hanya bisa menerima wajah datar Diana, dan sesekali fake smile yang terbit dari bibir perempuan chuby itu.Sian
Masih sama dengan suasana pagi yang dingin dan mendung, siang ini langit menyisakan hawa dinginnya. Karena para guru Ibu Pertiwi tak kelar-kelar dengan hal berbau rapat. Hal itu membuat siswa-siswi SMP, maupun anak didik SMA dipulangkan lebih awal.Bunyi bel pulang sekolah itupun sudah terdengar sejak lima menit lalu. Kini Diana tengah berada di dalam angkot bersama Lia. Gadis berkucir satu itu memilih duduk berseberangan dengan teman pertamanya, karena si Lia masih saja bersikap acuh tak acuh.Setiap Diana ingin mengajak ngobrol di kantin atau kelas, Lia selalu saja punya cara untuk menolak dan membuang muka tanpa mendengar perkataan Diana sampai tuntas. Bahkan saat mereka pulang dan berada di dalam angkot, Lia masih saja diam. Akibatnya, sampai sekarang ini masih tak ada obrolan di dalam mobil pengantar orang-orang pekerja dan anak-anak sekolahan itu."Pulang duluan ya, Li..." pamitnya masih berusaha mencari topik pembicara
Selamat membaca ❤💔Guyuran hujan di sekolah Ibu Pertiwi pagi ini, membuat proses belajar mengajar diundur satu jam dari bel masuk seperti biasa. Selain karena hujan deras, alasan lainnya adalah seluruh guru masih terlibat rapat dengan ketua yayasan. Para murid yang datang dan berlarian bahkan masih bisa dihitung dengan jari. Satu anak yang sudah menempatkan diri di ruang kelas dengan menopang dagu dan datang tepat waktu seperti hari-hari biasa. Pikirannya sedari dua minggu belakangan ini terus saja terganggu."Ngalamun, Na?" tanya seseorang bervolume kencang saat melewati bangku yang ditempati gadis itu. "Ngomong-ngomong, cuaca gini enak banget buat maen futsal, loooh." dengan kedua mata terpejam seakan benar-benar membayangkan serunya bermain futsal di tengah lapangan sambil mandi air hujan. Hidungnya ikut menghirup napas dalam-dalam, khas orang yang tengah menikmati alam. "Waaah... Enak bener..." Tino mulai mendramatisir.
"Diana!" panggil Tino sebelum orang yang ia sebut namanya menghilang dalam beberapa kali jalan. Tubuh Diana refleks berbalik agar matanya bertemu dengan milik sang ketua kelas. Sambil berjalan menghampiri Diana, Tino berbicara lagi, "masuk OSIS yok, Na! Jadi anggota OSIS.""Hah! Nggak-nggak! Ngapain? Yang pantes gabung banyak, No! Nggak mau ah... Maaf." sambil memutar tubuh, melanjutkan perjalanannya.Tapi cekalan dan suara Tino lagi-lagi berhasil membuat gadis yang nampak kelelehan itu berhenti, Tino berdiri di sampingnya. "Sambil jalan aja." keduanya lantas mengayunkan kaki. "Aku ngerasa kamu itu kreatif, Na... Coba kalo kamu gabung, kamu bisa nuangin ide-ide kamu ke acara-acara OSIS nanti, apa kamu mau gabung jadi kandidat calon ketua OSIS?"Matanya sukses membelalak mendengar penawaran terakhir Tino. "Apaan sih?! Jadi anggota aja ogah mana ini jadi kandidat! Sangat tidak setuju!" sahutnya menggebu-gebu. "Udah ya... Aku ma
"Bakso, opor ayam, sop ayam, soto ayam, nasi rames, nasgor, nasi kucing, nasi ayam pedes, nasi ayam kecap, nasi ayam goyeng atau bakar, ayam geprek..." menarik napas sebentar lalu dihembuskan perlahan dan kembali melanjutkan, "...kwetiau rebus, kwetiau goyeng, mi rebus, apa mi goyeng?" alisnya sudah naik-turun. Tiba-tiba menanyai itu saat berhadapan dengan Diana.Para pendengar banyak yang terkekeh, tertawa, dan tersenyum. Tapi bukan Diana kalau ikut terkagum-kagum, gadis itu hanya diam. Lebih baik menjauhi laki-laki itu daripada menjadi sorotan orang-orang yang ada di kantin. Tubuhnya berbalik dari Andra di hadapannya, lalu menghampiri 'Kantin 5' yang paling ujung dan bisa dikatakan sepi. Terlihat dari sini, tak sampai dua puluh orang yang makan di sana."Aku tawarin karna aku tau, porsimu buanyaaak, Dianaaa!" serunya tanpa menghiraukan tawaan siswa lain dan perasaan malu berbalut kesal yang kini hinggap di hati Diana. Perempuan itu hanya
Selamat membaca ❤💔Raja timur mulai menampakkan wujudnya. Sinar terangnya memancar sampai hampir ke seluruh kamar gadis yang tengah mengurung diri dalam kain tebal. Beberapa menit kemudian ia mulai terganggu dengan cahaya yang sedikit menusuk di wajah. Dikerjapkannya sepasang kelopak mata itu perlahan dan kedua jarinya bertugas menghilangkan noda kecil di dalam sudut netra. Teringat bahwa hari ini dirinya harus piket, Diana lantas menyiapkan seragam batik biru dengan rok putih. Diikatnya rambut hitam sebahu itu secara asal lalu menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya."Tumben pagi-pagi udah siap..." kata Tania yang baru saja menggelar tikar untuk mereka sarapan."Piket..." singkatnya. Gadis dengan celana pendek di atas lutut dan kaos hijau polos itu tengah berjalan cepat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sambil mengetuk ia berujar, "Pah, cepetan ya! Aku ada jadwal piket
Gadis yang menggendong tas ransel merah itu tampak merasa cemas. Kentara sekali dari wajah lelah nan pucatnya itu. Pikirannya entah kenapa melayang jauh, membayangkan sosok kedua orangtuanya. Tak banyak yang menyita rasa gugup Diana sejak di kelas sampai siang hari ini, selain perkataan Andra pagi tadi.Saat ini dirinya tengah menunggu angkot yang akan membawanya sampai di depan rumah. Perempuan itu menghela napas panjang kala masuk ke dalam kendaraan umum yang kini dia tumpangi.Suasana angkot ini lumayan sepi. Di bagian belakang, paling pojok mobil itu, hanya ada perempuan tinggi berseragam sekolah tengah memegang buku novel. Sedangkan di samping sopir angkot, ada pemuda yang dari penampilannya kelihatan seperti seorang mahasiswa. Atasan kotak-kotak, celana jeans, dan memangku tas ransel hitam.Tapi lagi-lagi perasaan cemas, gugup, dan takut Diana, merayap pelan ke dalam hatinya. Mungkin akan melekat sampai malam hari nanti
Matahari yang terbit pagi ini menemani perempuan berseragam kotak-kotak merah dengan bawahan rok warna putih susu. Dengan degupan jantung yang ada di atas normal, Diana berjalan di lantai dasar bangunan yang cukup besar untuk menampung ratusan murid itu. Tujuan pertama Diana hari ini sudah bukan lagi aula SMP Ibu Pertiwi, melainkan ruang kelas utama, 7A. Siapa tahu namanya akan tercantum di jendela kelas.Sepasang netranya menajam, meneliti setiap nama murid di kertas yang sekarang ada depannya, menempel pada kaca bening persegi itu. Hingga saat pandangannya mengarah ke nama yang berawalan dengan huruf 'D', binar bahagia terpancar dari sorot mata Diana.Gadis itu bahkan memekik tertahan, "Yeees...!" itu tandanya, sepasang kaki berbalut kaos kaki putih yang hampir mencapai dengkul itu takkan melanjutkan pencarian kelas.Namanya terpampang jelas di kertas yang melekat pada jendela. Diana juga tak perlu berlelah-lelah membaca 'd
Selamat membaca ❤💔Sekarang ini tinggal mereka berdua yang mengisi rumah tua itu. Diana yang pamit ke dapur untuk membuatkan teh si kakek dan dirinya, kini malah kebingungan mencari gula. Kedua tangannya sibuk mengangkat beberapa wadah kotak plastik di atas meja kayu, pindah ke meja sebelahnya namun tak kunjung menemukan. Karena lama mencari, kepala Diana jadi pusing. Dari tempatnya berdiri ia sedikit teriak dengan tangan yang menggaruk kepalanya kasar, "Eyaaang... Gulanya di mana ya? Di dapur enggak ada..."Tak ada sahutan dari orang yang ditanyai. Sambil melemaskan bahu, Diana berbalik. Namun sebelum gadis itu jalan, si kakek sudah ada di hadapannya. "Di atas meja ndak ada?" pria tua itu malah ikut bingung."Enggak, Diana udah nyari-nyari tapi nggak ketemu," ungkapnya sambil mengangguk-angguk. "Eyang lupa naruh mungkin..."Yanto mencoba duduk di kursi coklat kayu panjang pelan-pelan de