Gadis yang menggendong tas ransel merah itu tampak merasa cemas. Kentara sekali dari wajah lelah nan pucatnya itu. Pikirannya entah kenapa melayang jauh, membayangkan sosok kedua orangtuanya. Tak banyak yang menyita rasa gugup Diana sejak di kelas sampai siang hari ini, selain perkataan Andra pagi tadi.
Saat ini dirinya tengah menunggu angkot yang akan membawanya sampai di depan rumah. Perempuan itu menghela napas panjang kala masuk ke dalam kendaraan umum yang kini dia tumpangi.
Suasana angkot ini lumayan sepi. Di bagian belakang, paling pojok mobil itu, hanya ada perempuan tinggi berseragam sekolah tengah memegang buku novel. Sedangkan di samping sopir angkot, ada pemuda yang dari penampilannya kelihatan seperti seorang mahasiswa. Atasan kotak-kotak, celana jeans, dan memangku tas ransel hitam.
Tapi lagi-lagi perasaan cemas, gugup, dan takut Diana, merayap pelan ke dalam hatinya. Mungkin akan melekat sampai malam hari nanti. Atau bahkan bisa jadi hingga pagi menjelang.
Gadis remaja berkucir dan berpakaian seragam kotak-kotak yang mirip dengan warna tas ransel di pangkuannya itu, lantas membuang napas panjang. Berkali-kali ia lakukan ketika rasa takutnya tiba-tiba tak terkendali. Diam di bangku hijau itu, malah membuat telapak tangannya terasa dingin. Padahal di luar sana, langit siang ini sangat cerah dan terik. Mungkin kalau Diana tak memakai jaket biru mudanya, kulitnya akan bertambah gelap.
Mobil hijau itu akhirnya menepi tepat di depan rumah Hendra dan Tania usai berjalan selama kurang lebih dua puluh menit. Dengan keringat dingin yang membasahi kening, Diana meremas jari-jari sambil memasuki rumahnya. Tak ada siapa-siapa di teras rumah, anak perempuan itu memilih langsung ke kamar sehabis melepas sepatu bertali serta kaos kaki. Dipilihnya daster remaja ungu muda selutut bermotif hati dengan lambang kepala boneka di bagian dada kiri.
"Udah pulang, Na?" suara Tania dari luar yang membuat Diana menelan saliva susah payah.
"I-iiyaaa, Mah! Aku ganti baju dulu."
"Okeee... Udah Mamah siapin, tinggal makan bareng!" seru Tania dan Diana mengiyakannya.
Dalam posisi duduk di tepi kasur dan sudah memakai daster khas remaja, Diana melepas ikatan rambutnya sambil bergumam, "dibolehin ekskul nggambar nggak ya... Tck, kalo enggak gimana? Mau milih ekskul apa coba...? Nggak ada yang menarik selain menggambar.... Huuuh..." desahnya seraya mengeluarkan karbondioksida dengan kasar. Pikirannya selalu mengarah pada kertas yang ia terima dari sang ketua kelas, Tino Wahyu. Kertas yang berisi daftar ekstra kurikuler di sekolahnya dan harus ditandatangani wali murid.
Tok! Tok!
"Iya, Maaah..."
π
Di bawah langit yang gelap dan awannya terlihat biru tua pekat, berhiaskan gemerlap bintang-bintang, rumah yang sederhana nan mungil nampak menghangat kala seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang tamu. Ya, karena tak ada ruang keluarga di sana. Sedangkan ruang TV menyatu dengan dapur, tempat makan, dan satu kamar mandi. Memang rumah yang sulit dikatakan luas, tapi interaksi di dalamnya yang membuat mereka nyaman tinggal di bangunan kecil ini.
Di atas kursi panjang yang ada di sana, pria berkaos merah dan seorang wanita berdaster cokelat tua polos tengah sama-sama menikmati minuman, meskipun beda jenis dan rasa. Suaminya kopi hitam sedikit manis dengan koran hari ini digenggaman tangan kiri. Si istri, meneguk teh hangat yang tak terlalu manis sambil memperhatikan putri bungsunya yang duduk di samping kiri Hendra.
"Berarti besok udah nggak sendirian lagi pulangnya."
Senyum Diana mengembang dengan kepala yang sudah mengangguk-angguk. Gadis remaja itu tak bisa membohongi betapa senang hatinya menyambut hari esok karena pulang sekolah bersama Lia. Tapi beberapa menit kemudian ia teringat akan kertas putih selembar yang membuat dadanya berdegup kencang. "Mah, aku disuruh minta tanda tangan wali murid buat persetujuan ekstra kurikuler." dirinya lantas bangkit. "Aku ambilin kertasnya dulu." hanya tiga langkah, perempuan berambut hitam legam sebahu itu masuk ke kamar pribadinya.
"Mamah apa Papah nih?!"
"Terserah, Mah." sahutnya dari dalam sambil memilah-milah barang yang ada di dalam benda merah, tas punggung miliknya. "Semoga nggak dimarahin..." dipeluknya kertas itu dengan penuh hati-hati karena takut sobek.
"Kamu milih apa?" tanya sang ayah saat tangannya terulur untuk meraih kertas di genggaman Diana. Tania yang tahu bahwa formulir itu akan ditandatangani sang sumai lantas menjauh dari sana, dan memilih memanjakan mata dengan melihat acara televisi yang menarik.
"Belum milih." seraya memberikan kertas yang ukurannya hanya 1/2 dari kertas HVS. Hendra kini membaca tulisan yang tertera di sana. Di dalam hati, Diana sangat menahan takut. Helaan napas panjang sudah ia lakukan sebanyak tiga kali. Tak mau menahan isi hati dan mengesampingkan kegugupannya, Diana kembali angkat suara, "Pa-pah..." entah karena suaranya yang terlalu halus dan pelan atau sang ayah yang tidak mendengar, sebab gadis itu tak mendapatkan jawaban.
"Kamu mau milih apa?" tanya Hendra dengan wajah datarnya dan pandangannya menatap lurus ke dalam mata putri keduanya. Dengan dada yang bedegup jauh di atas kata normal, bibir gadis berpakaian ungu muda dengan bertebaran lambang love yang akan terbuka itu keduluan oleh suara ayahnya lagi, "nggambar kan?"
Diana hanya masih diam, ia nyatanya masih ragu untuk mengungkapkan isi hatinya dengan jujur. "Menggambar?" tanya Tania yang sudah berjalan di belakang kursi tempat Diana duduk. Wanita itu ingin mengambil tehnya yang tertinggal di meja persegi panjang ruang tamu. "Kamu milih nggambar, Na? Kamu kan udah biasa, milih yang lain aja yang nggak pernah kamu coba. Apa aja to? Liat, Pah..." tangan kanannya mencoba untuk meraih kertas yang disodorkan sang suami."ini ada nari loh, Na... Nari aja!" Tertera di sana satu ekskul wajib dan lima ekstra kurikuler minat atau pilihan, seperti ini :
Formulir Ekstra Kurikuler
SMP Ibu PertiwiNama :
Kelas :Ekskul wajib : Pramuka
Dengan bersungguh-sungguh dan sesuai izin wali murid memilih :Ekskul minat :1. Basket2. Tari3. Menggambar4. Jurnalistik5. BandTanda tangan wali murid
*) lingkari nomor yang akan dipilih.
"Terserah Diana, Mah..." putus Hendra yang membuat kedua sudut bibir sang putri sedikit terangkat.
"Tapi saran Mamah tetep cari yang lain. Kalo udah bisa, ngapain dikerjain," ucap Tania sambil mengembalikan kertas itu ke Hendra dan beralih mengambil cangkir putih berisi tehnya.
"Sekarang Papah tanya, Mamah bisa nyuci baju apa nggak?"
Tania memutar bola matanya. "Ya bisalah."
"Terus ngapain dikerjain terus-terusan? Kenapa nggak ngerjain yang lain?" tanya pria berkaos merah polos itu dengan santainya lalu menandatangani kertas formulir sang anak.
Tanpa kedua orang berumur itu sadari, senyum tipis Diana mengembang bersama kekehan geli di dalam hatinya. "Kerjakan apa yang seharusnya kamu kerjakan, selagi itu positif dan berguna. Kalau enggak buat menghibur diri sendiri, buat apa? Semangat Diana!" serunya masih membatin.
π
Terimakasih sudah menyimak
GodBless#staysafeSelamat membaca β€πRaja timur mulai menampakkan wujudnya. Sinar terangnya memancar sampai hampir ke seluruh kamar gadis yang tengah mengurung diri dalam kain tebal. Beberapa menit kemudian ia mulai terganggu dengan cahaya yang sedikit menusuk di wajah. Dikerjapkannya sepasang kelopak mata itu perlahan dan kedua jarinya bertugas menghilangkan noda kecil di dalam sudut netra. Teringat bahwa hari ini dirinya harus piket, Diana lantas menyiapkan seragam batik biru dengan rok putih. Diikatnya rambut hitam sebahu itu secara asal lalu menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya."Tumben pagi-pagi udah siap..." kata Tania yang baru saja menggelar tikar untuk mereka sarapan."Piket..." singkatnya. Gadis dengan celana pendek di atas lutut dan kaos hijau polos itu tengah berjalan cepat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sambil mengetuk ia berujar, "Pah, cepetan ya! Aku ada jadwal piket
"Bakso, opor ayam, sop ayam, soto ayam, nasi rames, nasgor, nasi kucing, nasi ayam pedes, nasi ayam kecap, nasi ayam goyeng atau bakar, ayam geprek..." menarik napas sebentar lalu dihembuskan perlahan dan kembali melanjutkan, "...kwetiau rebus, kwetiau goyeng, mi rebus, apa mi goyeng?" alisnya sudah naik-turun. Tiba-tiba menanyai itu saat berhadapan dengan Diana.Para pendengar banyak yang terkekeh, tertawa, dan tersenyum. Tapi bukan Diana kalau ikut terkagum-kagum, gadis itu hanya diam. Lebih baik menjauhi laki-laki itu daripada menjadi sorotan orang-orang yang ada di kantin. Tubuhnya berbalik dari Andra di hadapannya, lalu menghampiri 'Kantin 5' yang paling ujung dan bisa dikatakan sepi. Terlihat dari sini, tak sampai dua puluh orang yang makan di sana."Aku tawarin karna aku tau, porsimu buanyaaak, Dianaaa!" serunya tanpa menghiraukan tawaan siswa lain dan perasaan malu berbalut kesal yang kini hinggap di hati Diana. Perempuan itu hanya
"Diana!" panggil Tino sebelum orang yang ia sebut namanya menghilang dalam beberapa kali jalan. Tubuh Diana refleks berbalik agar matanya bertemu dengan milik sang ketua kelas. Sambil berjalan menghampiri Diana, Tino berbicara lagi, "masuk OSIS yok, Na! Jadi anggota OSIS.""Hah! Nggak-nggak! Ngapain? Yang pantes gabung banyak, No! Nggak mau ah... Maaf." sambil memutar tubuh, melanjutkan perjalanannya.Tapi cekalan dan suara Tino lagi-lagi berhasil membuat gadis yang nampak kelelehan itu berhenti, Tino berdiri di sampingnya. "Sambil jalan aja." keduanya lantas mengayunkan kaki. "Aku ngerasa kamu itu kreatif, Na... Coba kalo kamu gabung, kamu bisa nuangin ide-ide kamu ke acara-acara OSIS nanti, apa kamu mau gabung jadi kandidat calon ketua OSIS?"Matanya sukses membelalak mendengar penawaran terakhir Tino. "Apaan sih?! Jadi anggota aja ogah mana ini jadi kandidat! Sangat tidak setuju!" sahutnya menggebu-gebu. "Udah ya... Aku ma
Selamat membaca β€πGuyuran hujan di sekolah Ibu Pertiwi pagi ini, membuat proses belajar mengajar diundur satu jam dari bel masuk seperti biasa. Selain karena hujan deras, alasan lainnya adalah seluruh guru masih terlibat rapat dengan ketua yayasan. Para murid yang datang dan berlarian bahkan masih bisa dihitung dengan jari. Satu anak yang sudah menempatkan diri di ruang kelas dengan menopang dagu dan datang tepat waktu seperti hari-hari biasa. Pikirannya sedari dua minggu belakangan ini terus saja terganggu."Ngalamun, Na?" tanya seseorang bervolume kencang saat melewati bangku yang ditempati gadis itu. "Ngomong-ngomong, cuaca gini enak banget buat maen futsal, loooh." dengan kedua mata terpejam seakan benar-benar membayangkan serunya bermain futsal di tengah lapangan sambil mandi air hujan. Hidungnya ikut menghirup napas dalam-dalam, khas orang yang tengah menikmati alam. "Waaah... Enak bener..." Tino mulai mendramatisir.
Masih sama dengan suasana pagi yang dingin dan mendung, siang ini langit menyisakan hawa dinginnya. Karena para guru Ibu Pertiwi tak kelar-kelar dengan hal berbau rapat. Hal itu membuat siswa-siswi SMP, maupun anak didik SMA dipulangkan lebih awal.Bunyi bel pulang sekolah itupun sudah terdengar sejak lima menit lalu. Kini Diana tengah berada di dalam angkot bersama Lia. Gadis berkucir satu itu memilih duduk berseberangan dengan teman pertamanya, karena si Lia masih saja bersikap acuh tak acuh.Setiap Diana ingin mengajak ngobrol di kantin atau kelas, Lia selalu saja punya cara untuk menolak dan membuang muka tanpa mendengar perkataan Diana sampai tuntas. Bahkan saat mereka pulang dan berada di dalam angkot, Lia masih saja diam. Akibatnya, sampai sekarang ini masih tak ada obrolan di dalam mobil pengantar orang-orang pekerja dan anak-anak sekolahan itu."Pulang duluan ya, Li..." pamitnya masih berusaha mencari topik pembicara
Selamat membaca β€πSemenjak kejadian tiga bulan lalu, Diana semakin tak punya semangat hidup. Waktu yang ia habiskan di sekolah, hanya dikerjakan di kelas termasuk istirahat makan siang. Diana bahkan kerap absen dari kegiatan OSIS dan ekskul menggambar. Berangkat sekolah juga wajahnya tak pernah terlihat cerah, aura kelam lebih terpancar. Membuat Tino, Putri, dan Lia ---yang tak peduli pada Diana--- dibuat penasaran dengan perubahan Diana akhir-akhir ini. Tapi tidak ada secuil hal yang Lia lakukan. Gadis itu benar-benar memusuhi Diana.Berbeda jauh dengan Lia, Tino dan Putri malah kian gencar mendekati Diana. Ia ingin, temannya itu melepas kesedihan. Keduanya tak henti-hentinya mencari topik gurauan agar Diana mau menunjukkan senyumannya pada mereka. Tapi nihil, Putri dan Tino hanya bisa menerima wajah datar Diana, dan sesekali fake smile yang terbit dari bibir perempuan chuby itu.Sian
Selamat membaca :)π π πDi malam yang gelap dan tenang seperti sekarang ini, takkan mampu membuat hati gadis yang beranjak remaja itu ikut damai. Sebaliknya, hatinya sangat gelisah akan hari esok. Hari pertamanya untuk menapaki dunia baru. Dunia yang penuh dengan hal-hal yang tidak pernah di alaminya seperti hari-hari lalu."Besok kamu pulang naik angkot. Nggak akan dijemput sama Papah."Seakan takdir tak mau membuatnya bahagia, perintah sang Mama itu pun membuatnya kembali ketakutan. Nampak sekali bahwa sepasang mata bulat itu ingin menangis."Besok kan baru MOS pertama kali, Mah....""Kamu kan udah besar. Bukan anak SD lagi." Diana menggeleng kecil. "Heeeh... sebentar lagi kamu SMP, Na...!" kesalnya.Sang Mama tak mau anaknya itu terus-terusan diantar. Tania tidak mau tahu, Diana harus mandiri mulai sekarang. Baginya, keputusan itu adalah keputusan yang terbaik untuk sang putri.Mata gadis yang baru beranjak remaja it
Selamat membaca β€π π πSesuai keinginan Bu Sukma, salah satu guru di sana, upacara di sekolah Ibu Pertiwi berjalan lancar. Walaupun di awal sempat mendengar sedikit kerusuhan dari anak didiknya, selebihnya acara itu berlangsung mulus tanpa hambatan. Seperti pesan yang disampaikan di akhir, sekarang adalah waktunya seluruh siswa didik baru untuk memasuki aula.Diana, gadis polos itu kini menggigit bibir bawahnya guna menetralkan rasa gugup yang menyerang usai upacara. Bersama seratus dua puluh lima anak baru sebayanya, mereka berjalan ke lantai dua gedung sekolah di sebelah kanan, di mana letak aula SMP itu berada.Karena perempuan dengan rambut sebahu itu kurang cepat memilih tempat duduk, ia mendapatkan barisan paling depan. Sudah diyakini kalau bangku paling belakang menjadi incaran. Bertambah dinginlah telapak tangan Diana.Ia menunduk seraya menarik bangku coklat yang akan ditempati. Namun ketika seorang perempuan yang memiliki tubuh kurus
Selamat membaca β€πSemenjak kejadian tiga bulan lalu, Diana semakin tak punya semangat hidup. Waktu yang ia habiskan di sekolah, hanya dikerjakan di kelas termasuk istirahat makan siang. Diana bahkan kerap absen dari kegiatan OSIS dan ekskul menggambar. Berangkat sekolah juga wajahnya tak pernah terlihat cerah, aura kelam lebih terpancar. Membuat Tino, Putri, dan Lia ---yang tak peduli pada Diana--- dibuat penasaran dengan perubahan Diana akhir-akhir ini. Tapi tidak ada secuil hal yang Lia lakukan. Gadis itu benar-benar memusuhi Diana.Berbeda jauh dengan Lia, Tino dan Putri malah kian gencar mendekati Diana. Ia ingin, temannya itu melepas kesedihan. Keduanya tak henti-hentinya mencari topik gurauan agar Diana mau menunjukkan senyumannya pada mereka. Tapi nihil, Putri dan Tino hanya bisa menerima wajah datar Diana, dan sesekali fake smile yang terbit dari bibir perempuan chuby itu.Sian
Masih sama dengan suasana pagi yang dingin dan mendung, siang ini langit menyisakan hawa dinginnya. Karena para guru Ibu Pertiwi tak kelar-kelar dengan hal berbau rapat. Hal itu membuat siswa-siswi SMP, maupun anak didik SMA dipulangkan lebih awal.Bunyi bel pulang sekolah itupun sudah terdengar sejak lima menit lalu. Kini Diana tengah berada di dalam angkot bersama Lia. Gadis berkucir satu itu memilih duduk berseberangan dengan teman pertamanya, karena si Lia masih saja bersikap acuh tak acuh.Setiap Diana ingin mengajak ngobrol di kantin atau kelas, Lia selalu saja punya cara untuk menolak dan membuang muka tanpa mendengar perkataan Diana sampai tuntas. Bahkan saat mereka pulang dan berada di dalam angkot, Lia masih saja diam. Akibatnya, sampai sekarang ini masih tak ada obrolan di dalam mobil pengantar orang-orang pekerja dan anak-anak sekolahan itu."Pulang duluan ya, Li..." pamitnya masih berusaha mencari topik pembicara
Selamat membaca β€πGuyuran hujan di sekolah Ibu Pertiwi pagi ini, membuat proses belajar mengajar diundur satu jam dari bel masuk seperti biasa. Selain karena hujan deras, alasan lainnya adalah seluruh guru masih terlibat rapat dengan ketua yayasan. Para murid yang datang dan berlarian bahkan masih bisa dihitung dengan jari. Satu anak yang sudah menempatkan diri di ruang kelas dengan menopang dagu dan datang tepat waktu seperti hari-hari biasa. Pikirannya sedari dua minggu belakangan ini terus saja terganggu."Ngalamun, Na?" tanya seseorang bervolume kencang saat melewati bangku yang ditempati gadis itu. "Ngomong-ngomong, cuaca gini enak banget buat maen futsal, loooh." dengan kedua mata terpejam seakan benar-benar membayangkan serunya bermain futsal di tengah lapangan sambil mandi air hujan. Hidungnya ikut menghirup napas dalam-dalam, khas orang yang tengah menikmati alam. "Waaah... Enak bener..." Tino mulai mendramatisir.
"Diana!" panggil Tino sebelum orang yang ia sebut namanya menghilang dalam beberapa kali jalan. Tubuh Diana refleks berbalik agar matanya bertemu dengan milik sang ketua kelas. Sambil berjalan menghampiri Diana, Tino berbicara lagi, "masuk OSIS yok, Na! Jadi anggota OSIS.""Hah! Nggak-nggak! Ngapain? Yang pantes gabung banyak, No! Nggak mau ah... Maaf." sambil memutar tubuh, melanjutkan perjalanannya.Tapi cekalan dan suara Tino lagi-lagi berhasil membuat gadis yang nampak kelelehan itu berhenti, Tino berdiri di sampingnya. "Sambil jalan aja." keduanya lantas mengayunkan kaki. "Aku ngerasa kamu itu kreatif, Na... Coba kalo kamu gabung, kamu bisa nuangin ide-ide kamu ke acara-acara OSIS nanti, apa kamu mau gabung jadi kandidat calon ketua OSIS?"Matanya sukses membelalak mendengar penawaran terakhir Tino. "Apaan sih?! Jadi anggota aja ogah mana ini jadi kandidat! Sangat tidak setuju!" sahutnya menggebu-gebu. "Udah ya... Aku ma
"Bakso, opor ayam, sop ayam, soto ayam, nasi rames, nasgor, nasi kucing, nasi ayam pedes, nasi ayam kecap, nasi ayam goyeng atau bakar, ayam geprek..." menarik napas sebentar lalu dihembuskan perlahan dan kembali melanjutkan, "...kwetiau rebus, kwetiau goyeng, mi rebus, apa mi goyeng?" alisnya sudah naik-turun. Tiba-tiba menanyai itu saat berhadapan dengan Diana.Para pendengar banyak yang terkekeh, tertawa, dan tersenyum. Tapi bukan Diana kalau ikut terkagum-kagum, gadis itu hanya diam. Lebih baik menjauhi laki-laki itu daripada menjadi sorotan orang-orang yang ada di kantin. Tubuhnya berbalik dari Andra di hadapannya, lalu menghampiri 'Kantin 5' yang paling ujung dan bisa dikatakan sepi. Terlihat dari sini, tak sampai dua puluh orang yang makan di sana."Aku tawarin karna aku tau, porsimu buanyaaak, Dianaaa!" serunya tanpa menghiraukan tawaan siswa lain dan perasaan malu berbalut kesal yang kini hinggap di hati Diana. Perempuan itu hanya
Selamat membaca β€πRaja timur mulai menampakkan wujudnya. Sinar terangnya memancar sampai hampir ke seluruh kamar gadis yang tengah mengurung diri dalam kain tebal. Beberapa menit kemudian ia mulai terganggu dengan cahaya yang sedikit menusuk di wajah. Dikerjapkannya sepasang kelopak mata itu perlahan dan kedua jarinya bertugas menghilangkan noda kecil di dalam sudut netra. Teringat bahwa hari ini dirinya harus piket, Diana lantas menyiapkan seragam batik biru dengan rok putih. Diikatnya rambut hitam sebahu itu secara asal lalu menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya."Tumben pagi-pagi udah siap..." kata Tania yang baru saja menggelar tikar untuk mereka sarapan."Piket..." singkatnya. Gadis dengan celana pendek di atas lutut dan kaos hijau polos itu tengah berjalan cepat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sambil mengetuk ia berujar, "Pah, cepetan ya! Aku ada jadwal piket
Gadis yang menggendong tas ransel merah itu tampak merasa cemas. Kentara sekali dari wajah lelah nan pucatnya itu. Pikirannya entah kenapa melayang jauh, membayangkan sosok kedua orangtuanya. Tak banyak yang menyita rasa gugup Diana sejak di kelas sampai siang hari ini, selain perkataan Andra pagi tadi.Saat ini dirinya tengah menunggu angkot yang akan membawanya sampai di depan rumah. Perempuan itu menghela napas panjang kala masuk ke dalam kendaraan umum yang kini dia tumpangi.Suasana angkot ini lumayan sepi. Di bagian belakang, paling pojok mobil itu, hanya ada perempuan tinggi berseragam sekolah tengah memegang buku novel. Sedangkan di samping sopir angkot, ada pemuda yang dari penampilannya kelihatan seperti seorang mahasiswa. Atasan kotak-kotak, celana jeans, dan memangku tas ransel hitam.Tapi lagi-lagi perasaan cemas, gugup, dan takut Diana, merayap pelan ke dalam hatinya. Mungkin akan melekat sampai malam hari nanti
Matahari yang terbit pagi ini menemani perempuan berseragam kotak-kotak merah dengan bawahan rok warna putih susu. Dengan degupan jantung yang ada di atas normal, Diana berjalan di lantai dasar bangunan yang cukup besar untuk menampung ratusan murid itu. Tujuan pertama Diana hari ini sudah bukan lagi aula SMP Ibu Pertiwi, melainkan ruang kelas utama, 7A. Siapa tahu namanya akan tercantum di jendela kelas.Sepasang netranya menajam, meneliti setiap nama murid di kertas yang sekarang ada depannya, menempel pada kaca bening persegi itu. Hingga saat pandangannya mengarah ke nama yang berawalan dengan huruf 'D', binar bahagia terpancar dari sorot mata Diana.Gadis itu bahkan memekik tertahan, "Yeees...!" itu tandanya, sepasang kaki berbalut kaos kaki putih yang hampir mencapai dengkul itu takkan melanjutkan pencarian kelas.Namanya terpampang jelas di kertas yang melekat pada jendela. Diana juga tak perlu berlelah-lelah membaca 'd
Selamat membaca β€πSekarang ini tinggal mereka berdua yang mengisi rumah tua itu. Diana yang pamit ke dapur untuk membuatkan teh si kakek dan dirinya, kini malah kebingungan mencari gula. Kedua tangannya sibuk mengangkat beberapa wadah kotak plastik di atas meja kayu, pindah ke meja sebelahnya namun tak kunjung menemukan. Karena lama mencari, kepala Diana jadi pusing. Dari tempatnya berdiri ia sedikit teriak dengan tangan yang menggaruk kepalanya kasar, "Eyaaang... Gulanya di mana ya? Di dapur enggak ada..."Tak ada sahutan dari orang yang ditanyai. Sambil melemaskan bahu, Diana berbalik. Namun sebelum gadis itu jalan, si kakek sudah ada di hadapannya. "Di atas meja ndak ada?" pria tua itu malah ikut bingung."Enggak, Diana udah nyari-nyari tapi nggak ketemu," ungkapnya sambil mengangguk-angguk. "Eyang lupa naruh mungkin..."Yanto mencoba duduk di kursi coklat kayu panjang pelan-pelan de