Selamat membaca β€
π π π
Banyak yang bertanya pada sang ketua OSIS ketika rombongan siswa baru jenjang SMP itu sampai di aula. Rata-rata dari mereka pastinya siswi-siswi yang ingin dekat dengan Vian, sang ketua OSIS manis di SMP Ibu Pertiwi. Namun tak seperti pagi tadi, layaknya kedua siswa yang bertanya aneh-aneh, pada Jesi. Kali ini, mereka murni mempertanyakan hal-hal yang berbau SMP Ibu Pertiwi. Dimulai dari sifat guru-gurunya, ekskul yang ada, sampai keingintahuan gadis-gadis itu tentang pencapaian dari sekolahnya. Dengan senag hati Vian membalas pertanyaan mereka, bahkan penuh kesopanan. Sesuai persis sama apa yang diharapkan bocah-bocah lulusan SD itu.
Seperti sekarang, Lia mencoba untuk bertanya dengan raut wajah was-was. Tangan kanannya yang terangkat ke atas membuat Vian mengangguk serta bertanya, "ya kamu. Namanya siapa?"
"Lia Kak," balasnya.
Vian yang tengah duduk di kursi depan lantas berdiri dan fokus menatap Lia.
"Mau tanya Kak, kalau misal aku milih dua ekstrakurikuler yang minat itu, boleh atau enggak?"
Pasalnya yang mengurus ekskul di sekolah itu adalah ketua OSIS dan anak buahnya. Guru hanya melayani ekstrakurikuler wajib. Sebelumnya Vian sudah menjelaskan bahwa '5 Ekskul Minat' diketuai para murid yang memang terlatih dan berbakat. Para guru benar-benar tidak turut campur tangan, mereka lebih fokus dengan ekstrakurikuler wajib yaitu pramuka. Baik anak kelas tujuh sampai sembilan harus mengikuti.
Vian mengangguk dengan pasti. "Boleh-boleh aja, sih, kalo kamu memang kuat. Tapi, jangan lupa kalo kita punya satu ekskul wajib, pramuka." Lia mengangguk-angguk. "Ada yang mau ditanyain lagi?" Lia menggeleng sambil menggumamkan kata terimakasih. "Kamu, sebelahnya Lia."
Diana yang sedari tadi memangku pipi dengan lima jari tangan kirinya yang terkepal, terperangah. Tangan kanan yang ia gunakan untuk mengetuk-ngetuk meja dengan bolpen pun lantas terhenti. Ia menelan ludah begitu tahu dirinya disinggung.
Ditegakkannya punggung dari tubuh berisi itu dan menatap sang ketua sambil berkata, "eh, hem... iya, iya Kak Vi-an."
"Nggak ada yang mau ditanyain?" tanya Vian ramah masih berdiri di tempatnya.
Secepat kilat Diana menggeleng dan menyahut dengan dada yang berdebar, "e... enggak."
"Oke." Seulas senyum terbit di wajah manisnya.
Kini perhatian Vian mengarah ke seluruh adik kelasnya yang berada di dalam ruangan itu. "Mohon perhatiannya semua!" teriaknya hingga seluruh mata memusatkan objek yang berdiri di depan kelas itu.
"Kalian boleh istirahat sebentar. Waktu istirahatnya setengah jam, dan... untuk kalian yang mau ke kantin juga dibolehin. Tapi tolong, jaga volume suara karena kakak-kakak kelas kalian masih mengikuti proses belajar. Bisa dipatuhi?!" sambung Vian yang diiyakan serempak adik-adik barunya itu. "Oke, selamat istirahat!"
Setelahnya, Vian duduk di bangku cokelat yang jaraknya beberapa langkah di depan meja Lia dan Diana. Siswa-siswi banyak yang berhamburan keluar, bahkan hampir 70% dari mereka memilih untuk meninggalkan aula. Kebanyakan dari mereka yang tinggal adalah anak-anak perempuan. Diantaranya lebih asik berbincang daripada mengisi perut.
Lia si gadis berkepang satu, yang ada di belakang itu berinisiatif mengajak Diana, "kamu nggak mau keluar, Na?" sambil menoleh ke kanan, di mana posisi Diana duduk.
Sedangkan yang dipanggil masih asik-asiknya memainkan kuku. Eh, asik? Dia malah terlihat seperti orang yang kurang kerjaan. Bukannya menjawab, Diana malah menengok ke kanan-kiri-belakang. Kemudian tak sengaja memandang ke arah Vian. Buru-buru ia menoleh ke Lia karena si ketua OSIS sempat melirik.
"O-oh... Iya-ya. Aku ngikut aja," pasrahnya.
Karena bimbang memilih, antara di kelas tapi ada Vian, atau di kantin tapi ramai orang. Daripada ditatap terus oleh kakak kelas, lebih baik Diana pilih di tempat ramai karena masih ada Lia yang menemaninya.
"Ayok!" seru Lia lalu bangkit. Tangannya sudah menarik pelan pergelangan Diana. Sambil menghela napas panjang Diana mengangguk.
π
Vian, Jesi, dan anggota OSIS lainnya sudah kembali ke aula untuk mendampingi murid baru itu. Tapi mereka tak sendirian, kini salah satu guru ikut masuk dan sekrang berdiri di depan kelas dengan senyum cerahnya dan memandangi anak didiknya satu-persatu.
Bu Sukma yang rambutnya disanggul rapi dan berseragam biru muda dengan bawahan rok hitam itu mulai bersuara, "saya ucapkan sekali lagi untuk anak-anak baru yang memilih sekolah ini sebagai rumah kedua kalian. Sebelumnya saya mohom maaf karena yang seharusnya berdiri di sini adalah kepala sekolah SMP-SMA kita yaitu Pak Andre. Berhubung beliau tengah mendampingi murid baru SMA, jadi saya yang menggantikan beliau."
Ia menarik napas dan menghembuskannya pelan lalu melanjutkan penuturannya lagi, "berhubung saya masih ada kelas, saya pamit lebih dulu, anak-anak baru saya sekalian..." sambil menyunggingkan senyum lebarnya.
Tanpa pikir panjang semua siswa mempersilakan. Vian, Jesi, dan teman-teman OSIS yang berdiri di belakang Bu Sukma lantas mengangguk dan mengiyakan begitu beliau menoleh ke mereka.
"Oke, saya minta perhatian kalian semua."
Dirasa sudah fokus padanya, Vian melanjutkan, "jadi karena siang hari ini acara kita sudah selesai, juga semuanya berjalan dengan baik dan lancar, kalian boleh pulang sekarang. Saya, Vian, mengucapkan selamat datang di sekolah Ibu Pertiwi, dan selamat pulang."
kedua sudut bibirnya membentuk senyuman manis. "Semoga besok kita bisa lebih semangat lagi dari hari ini...."
"AMIIIN...!" teriak beberapa siswi yang terlampau antusias, antara karena Vian atau besok sekolah dan bertemu ketua OSIS itu lagi. Ya, mungkin saja karena keduanya.
Kini gantian Jesi yang berbicara, "Oke... sebelum pulang, adek-adek sekalian diijinkan untuk berdoa menurut keyakinannya masing-masing seperti sekolah swasta umum kita ini. Berdoa, dimulai." Jesi mengambil sikap doa dengan mata terpejam dan kepala menunduk.
Beberapa detik kemudian ia berujar, "berdoa, selesai. Selamat pulaaang...!" serunya dengan semangat penuh.
Diana yang sudah menggendong tas merahnya lantas bangkit sambil menunduduk kala melihat tatapan Vian yang mengarah padanya.
"Kak Vian kenapa, sih? dari tadi liat-liat mulu. Tapi ini aku yang kepedean apa dia yang memang merhatiin, ya?" gumamnya dalam hati. Ia frustasi sambil meremas sisi tas yang menempel di pinggang, sisi kanan serta kiri.
"Kamu dijemput, Na?" tanya Lia setelah mereka keluar kelas dan Lia yang menyamai jalan Diana.
Lagi-lagi ia disadarkan. Gadis baru lulus sekolah dasar itu mau tak mau harus menguatkan diri. Tiba-tiba saja rasa takut di dadanya menyerang. "Enggak Li, aku pulang naik angkot," jawab Diana sembari tersenyum tipis. "Kalo kamu?" tanyanya kemudian.
"Aku dijemput. Tapi sampek lusa doang kok, abis itu aku naik angkot terus."
Rasa takutnya sedikit ia singkirkan, sedikit binar di mata Diana muncul begitu saja. "Yakin besok kamu pulang naik angkot?" Lia dengan tampang jujurnya mengiyakan. "Waaah... aku ada temen pulang dong!" pekiknya sedikit lega. Meskipun tak bohong, rasa takut masih melekat di dirinya hingga lusa mendatang.
"Iya, akhirnya aku juga ada temennya, Na. Semoga besok Rabu kita satu kelas ya..." harap Lia yang diangguki Diana penuh keaminan di dalam batin.
"Eh, Mami! yaaa... bentaaar...!" teriaknya saat melihat jauh di depan, tepatnya parkiran. Ibunya Lia tengah duduk di atas motor ---bersama anak SD yang memeluk si Ibu--- melambai ke arah mereka berdua.
"Itu Mamiku udah dateng, aku pulang duluan ya, Na... kamu ati-ati di jalan!" teriaknya sambil berlari dengan kepala yang masih menoleh ke arah Diana.
"Iya... daaa...!" sahut perempuan kucir satu itu dengan senyum yang dipaksakan.
Lambaian tangannya melemah ketika Lia naik ke atas motor matic. "Sampai ketemu besok, Li..." ucapnya teramat lirih hingga dirinya sendiri yang mampu mendengar lirihan penuh kegugupan itu.
"Hai...."
Diana menoleh cepat ke samping kirinya. Mendadak perasaan gugup hadir, menguasai dadanya. Membuat Diana kesusahan menelan ludah. "Ha--hai, Kak Vian..." balasnya kesusahan.
"Kenapa belum pulang? kamu nunggu jemputan?"
Diana menggeleng dengan kepala yang langsung menunduk. Demi apapun, dia tidak kuat menatap ketua OSIS tampan itu. "Aku... aku nunggu angkot. Aku... aku, aku pulang duluan ya, Kak!"
"Eh! tunggu, Na!"
Diana sudah berlari kencang. Di satu sisi dia grogi, di sisi lain dia harus pulang karena Mamanya pasti mencari. "Maaf, Kak! aku, aku duluan!"
Vian melambai tanda perpisahan. "Hati-hati!" pekiknya. Tapi sayang, sosok yang dipamiti itu tidak melihat. "Haha, lucu..." sambung sang ketua OSIS itu sembari tersenyum lebar.
πππ
Setelah lima menit berdiri sendirian menunggu angkot di depan pom bensin seberang sekolahnya, Diana akhirnya menaiki angkot yang tak terlalu ramai karena di dalamnya hanya ada dua orang dewasa dan satu anak bayi. Beruntungnya, gadis itu bisa duduk dan mengistirahatkan sepasang lututnya yang memang lemas. Untuk pertama kalinya, ia menaiki mobil pengangkut orang-orang berbagai umur dan pekerjaan itu. Diana duduk persis di belakang sopir angkot, pojokan.Sedangkan di samping kirinya seorang wanita penjual jamu gendong tengah memangku bakul berisi botol-botolnnya dan barang-barang lain. Kulitnya banyak yang telah keriput itu menandakan bahwa umurnya tak muda lagi. Beliau memakai kostum layaknya pakaian zaman dulu, bawahan jarik cokelat tua dengan atasan seperti kebaya putih kusam nan polosan, tanpa adanya manik-manik seperti kebaya modern. Persis pakaian jawa tempo dulu.Seorang wanita berhijab hitam berumur dua puluhan duduk di tengah-tengah ba
Selamat membaca β€πSelesai makan malam berdua bersama sang Mama, anak remaja yang mempunyai tubuh berisi itu masuk ke kamar milik Arin dan dirinya. Diana berniat untuk memutar lagu dan menggambar lagi sebelum jam menunjukkan pukul sembilan. Tandanya, ia masih punya waktu untuk menyenangkan diri dan menuang imajinasi ke dalam hobi.Diraihnya benda yang ia letakkan di atas meja sebelum mandi dan mulai mengotak-atik musik di HP. Sambil menduduki kasur kecil dan punggung yang tersandar di tembok putih kamarnya, jari-jari itu kembali menari di kertas. Menyempurnakan gambar yang sudah berbentuk 3D itu agar kian cantik lagi. Meskipun, hanya berwarna hitam putih khas serbuk pensil miliknya.πMatahari yang teramat cerah menyinari langit pagi ini. Berbanding terbalik dengan semangat seorang anak remaja yang baru turun dari atas motor sang papa. Tak ada yang cerah dari wajah Diana, malah aura keg
Babak pengenalan seluruh anggota OSIS berlangsung tanpa gangguan, dan waktu istirahat selama setengah jam juga sudah mereka lalui. Kini saatnya mereka memasuki acara pentas seni. Di mana seluruh siswa dapat membaur, mengenal lebih dekat lagi, dan unjuk kebolehan dalam diri.Di depan sana, Jesi selaku pemimpin acara tengah berdiri dan mulai bersuara, "oke, jadi sesuai jadwal kemarin yang sempet kutulis di papan tulis... Acara pagi menjelang siang ini adalah pensi." beberapa adik kelasnya mengangguk. Namun banyak yang diam memperhatikan. Ada juga yang fokus dengan kecantikan sang wakil ketua OSIS itu. "Karena kita enggak boleh membuang-buang waktu yang ada, aku akan bagi kalian menjadi dua puluh lima kelompok. Jadi masing-masing kelompok isinya ada lima orang, dan lima kelompok akan didampingi sama dua anggota OSIS. Nah, berarti dua puluh lima anak itu harus nurut sama arahan kedua pendamping. Sampai di sini paham?" rata-rata mengangguk dan mengiyakan. "Oke,
Selamat membaca β€πSekarang ini tinggal mereka berdua yang mengisi rumah tua itu. Diana yang pamit ke dapur untuk membuatkan teh si kakek dan dirinya, kini malah kebingungan mencari gula. Kedua tangannya sibuk mengangkat beberapa wadah kotak plastik di atas meja kayu, pindah ke meja sebelahnya namun tak kunjung menemukan. Karena lama mencari, kepala Diana jadi pusing. Dari tempatnya berdiri ia sedikit teriak dengan tangan yang menggaruk kepalanya kasar, "Eyaaang... Gulanya di mana ya? Di dapur enggak ada..."Tak ada sahutan dari orang yang ditanyai. Sambil melemaskan bahu, Diana berbalik. Namun sebelum gadis itu jalan, si kakek sudah ada di hadapannya. "Di atas meja ndak ada?" pria tua itu malah ikut bingung."Enggak, Diana udah nyari-nyari tapi nggak ketemu," ungkapnya sambil mengangguk-angguk. "Eyang lupa naruh mungkin..."Yanto mencoba duduk di kursi coklat kayu panjang pelan-pelan de
Matahari yang terbit pagi ini menemani perempuan berseragam kotak-kotak merah dengan bawahan rok warna putih susu. Dengan degupan jantung yang ada di atas normal, Diana berjalan di lantai dasar bangunan yang cukup besar untuk menampung ratusan murid itu. Tujuan pertama Diana hari ini sudah bukan lagi aula SMP Ibu Pertiwi, melainkan ruang kelas utama, 7A. Siapa tahu namanya akan tercantum di jendela kelas.Sepasang netranya menajam, meneliti setiap nama murid di kertas yang sekarang ada depannya, menempel pada kaca bening persegi itu. Hingga saat pandangannya mengarah ke nama yang berawalan dengan huruf 'D', binar bahagia terpancar dari sorot mata Diana.Gadis itu bahkan memekik tertahan, "Yeees...!" itu tandanya, sepasang kaki berbalut kaos kaki putih yang hampir mencapai dengkul itu takkan melanjutkan pencarian kelas.Namanya terpampang jelas di kertas yang melekat pada jendela. Diana juga tak perlu berlelah-lelah membaca 'd
Gadis yang menggendong tas ransel merah itu tampak merasa cemas. Kentara sekali dari wajah lelah nan pucatnya itu. Pikirannya entah kenapa melayang jauh, membayangkan sosok kedua orangtuanya. Tak banyak yang menyita rasa gugup Diana sejak di kelas sampai siang hari ini, selain perkataan Andra pagi tadi.Saat ini dirinya tengah menunggu angkot yang akan membawanya sampai di depan rumah. Perempuan itu menghela napas panjang kala masuk ke dalam kendaraan umum yang kini dia tumpangi.Suasana angkot ini lumayan sepi. Di bagian belakang, paling pojok mobil itu, hanya ada perempuan tinggi berseragam sekolah tengah memegang buku novel. Sedangkan di samping sopir angkot, ada pemuda yang dari penampilannya kelihatan seperti seorang mahasiswa. Atasan kotak-kotak, celana jeans, dan memangku tas ransel hitam.Tapi lagi-lagi perasaan cemas, gugup, dan takut Diana, merayap pelan ke dalam hatinya. Mungkin akan melekat sampai malam hari nanti
Selamat membaca β€πRaja timur mulai menampakkan wujudnya. Sinar terangnya memancar sampai hampir ke seluruh kamar gadis yang tengah mengurung diri dalam kain tebal. Beberapa menit kemudian ia mulai terganggu dengan cahaya yang sedikit menusuk di wajah. Dikerjapkannya sepasang kelopak mata itu perlahan dan kedua jarinya bertugas menghilangkan noda kecil di dalam sudut netra. Teringat bahwa hari ini dirinya harus piket, Diana lantas menyiapkan seragam batik biru dengan rok putih. Diikatnya rambut hitam sebahu itu secara asal lalu menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya."Tumben pagi-pagi udah siap..." kata Tania yang baru saja menggelar tikar untuk mereka sarapan."Piket..." singkatnya. Gadis dengan celana pendek di atas lutut dan kaos hijau polos itu tengah berjalan cepat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sambil mengetuk ia berujar, "Pah, cepetan ya! Aku ada jadwal piket
"Bakso, opor ayam, sop ayam, soto ayam, nasi rames, nasgor, nasi kucing, nasi ayam pedes, nasi ayam kecap, nasi ayam goyeng atau bakar, ayam geprek..." menarik napas sebentar lalu dihembuskan perlahan dan kembali melanjutkan, "...kwetiau rebus, kwetiau goyeng, mi rebus, apa mi goyeng?" alisnya sudah naik-turun. Tiba-tiba menanyai itu saat berhadapan dengan Diana.Para pendengar banyak yang terkekeh, tertawa, dan tersenyum. Tapi bukan Diana kalau ikut terkagum-kagum, gadis itu hanya diam. Lebih baik menjauhi laki-laki itu daripada menjadi sorotan orang-orang yang ada di kantin. Tubuhnya berbalik dari Andra di hadapannya, lalu menghampiri 'Kantin 5' yang paling ujung dan bisa dikatakan sepi. Terlihat dari sini, tak sampai dua puluh orang yang makan di sana."Aku tawarin karna aku tau, porsimu buanyaaak, Dianaaa!" serunya tanpa menghiraukan tawaan siswa lain dan perasaan malu berbalut kesal yang kini hinggap di hati Diana. Perempuan itu hanya
Selamat membaca β€πSemenjak kejadian tiga bulan lalu, Diana semakin tak punya semangat hidup. Waktu yang ia habiskan di sekolah, hanya dikerjakan di kelas termasuk istirahat makan siang. Diana bahkan kerap absen dari kegiatan OSIS dan ekskul menggambar. Berangkat sekolah juga wajahnya tak pernah terlihat cerah, aura kelam lebih terpancar. Membuat Tino, Putri, dan Lia ---yang tak peduli pada Diana--- dibuat penasaran dengan perubahan Diana akhir-akhir ini. Tapi tidak ada secuil hal yang Lia lakukan. Gadis itu benar-benar memusuhi Diana.Berbeda jauh dengan Lia, Tino dan Putri malah kian gencar mendekati Diana. Ia ingin, temannya itu melepas kesedihan. Keduanya tak henti-hentinya mencari topik gurauan agar Diana mau menunjukkan senyumannya pada mereka. Tapi nihil, Putri dan Tino hanya bisa menerima wajah datar Diana, dan sesekali fake smile yang terbit dari bibir perempuan chuby itu.Sian
Masih sama dengan suasana pagi yang dingin dan mendung, siang ini langit menyisakan hawa dinginnya. Karena para guru Ibu Pertiwi tak kelar-kelar dengan hal berbau rapat. Hal itu membuat siswa-siswi SMP, maupun anak didik SMA dipulangkan lebih awal.Bunyi bel pulang sekolah itupun sudah terdengar sejak lima menit lalu. Kini Diana tengah berada di dalam angkot bersama Lia. Gadis berkucir satu itu memilih duduk berseberangan dengan teman pertamanya, karena si Lia masih saja bersikap acuh tak acuh.Setiap Diana ingin mengajak ngobrol di kantin atau kelas, Lia selalu saja punya cara untuk menolak dan membuang muka tanpa mendengar perkataan Diana sampai tuntas. Bahkan saat mereka pulang dan berada di dalam angkot, Lia masih saja diam. Akibatnya, sampai sekarang ini masih tak ada obrolan di dalam mobil pengantar orang-orang pekerja dan anak-anak sekolahan itu."Pulang duluan ya, Li..." pamitnya masih berusaha mencari topik pembicara
Selamat membaca β€πGuyuran hujan di sekolah Ibu Pertiwi pagi ini, membuat proses belajar mengajar diundur satu jam dari bel masuk seperti biasa. Selain karena hujan deras, alasan lainnya adalah seluruh guru masih terlibat rapat dengan ketua yayasan. Para murid yang datang dan berlarian bahkan masih bisa dihitung dengan jari. Satu anak yang sudah menempatkan diri di ruang kelas dengan menopang dagu dan datang tepat waktu seperti hari-hari biasa. Pikirannya sedari dua minggu belakangan ini terus saja terganggu."Ngalamun, Na?" tanya seseorang bervolume kencang saat melewati bangku yang ditempati gadis itu. "Ngomong-ngomong, cuaca gini enak banget buat maen futsal, loooh." dengan kedua mata terpejam seakan benar-benar membayangkan serunya bermain futsal di tengah lapangan sambil mandi air hujan. Hidungnya ikut menghirup napas dalam-dalam, khas orang yang tengah menikmati alam. "Waaah... Enak bener..." Tino mulai mendramatisir.
"Diana!" panggil Tino sebelum orang yang ia sebut namanya menghilang dalam beberapa kali jalan. Tubuh Diana refleks berbalik agar matanya bertemu dengan milik sang ketua kelas. Sambil berjalan menghampiri Diana, Tino berbicara lagi, "masuk OSIS yok, Na! Jadi anggota OSIS.""Hah! Nggak-nggak! Ngapain? Yang pantes gabung banyak, No! Nggak mau ah... Maaf." sambil memutar tubuh, melanjutkan perjalanannya.Tapi cekalan dan suara Tino lagi-lagi berhasil membuat gadis yang nampak kelelehan itu berhenti, Tino berdiri di sampingnya. "Sambil jalan aja." keduanya lantas mengayunkan kaki. "Aku ngerasa kamu itu kreatif, Na... Coba kalo kamu gabung, kamu bisa nuangin ide-ide kamu ke acara-acara OSIS nanti, apa kamu mau gabung jadi kandidat calon ketua OSIS?"Matanya sukses membelalak mendengar penawaran terakhir Tino. "Apaan sih?! Jadi anggota aja ogah mana ini jadi kandidat! Sangat tidak setuju!" sahutnya menggebu-gebu. "Udah ya... Aku ma
"Bakso, opor ayam, sop ayam, soto ayam, nasi rames, nasgor, nasi kucing, nasi ayam pedes, nasi ayam kecap, nasi ayam goyeng atau bakar, ayam geprek..." menarik napas sebentar lalu dihembuskan perlahan dan kembali melanjutkan, "...kwetiau rebus, kwetiau goyeng, mi rebus, apa mi goyeng?" alisnya sudah naik-turun. Tiba-tiba menanyai itu saat berhadapan dengan Diana.Para pendengar banyak yang terkekeh, tertawa, dan tersenyum. Tapi bukan Diana kalau ikut terkagum-kagum, gadis itu hanya diam. Lebih baik menjauhi laki-laki itu daripada menjadi sorotan orang-orang yang ada di kantin. Tubuhnya berbalik dari Andra di hadapannya, lalu menghampiri 'Kantin 5' yang paling ujung dan bisa dikatakan sepi. Terlihat dari sini, tak sampai dua puluh orang yang makan di sana."Aku tawarin karna aku tau, porsimu buanyaaak, Dianaaa!" serunya tanpa menghiraukan tawaan siswa lain dan perasaan malu berbalut kesal yang kini hinggap di hati Diana. Perempuan itu hanya
Selamat membaca β€πRaja timur mulai menampakkan wujudnya. Sinar terangnya memancar sampai hampir ke seluruh kamar gadis yang tengah mengurung diri dalam kain tebal. Beberapa menit kemudian ia mulai terganggu dengan cahaya yang sedikit menusuk di wajah. Dikerjapkannya sepasang kelopak mata itu perlahan dan kedua jarinya bertugas menghilangkan noda kecil di dalam sudut netra. Teringat bahwa hari ini dirinya harus piket, Diana lantas menyiapkan seragam batik biru dengan rok putih. Diikatnya rambut hitam sebahu itu secara asal lalu menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu kamarnya."Tumben pagi-pagi udah siap..." kata Tania yang baru saja menggelar tikar untuk mereka sarapan."Piket..." singkatnya. Gadis dengan celana pendek di atas lutut dan kaos hijau polos itu tengah berjalan cepat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sambil mengetuk ia berujar, "Pah, cepetan ya! Aku ada jadwal piket
Gadis yang menggendong tas ransel merah itu tampak merasa cemas. Kentara sekali dari wajah lelah nan pucatnya itu. Pikirannya entah kenapa melayang jauh, membayangkan sosok kedua orangtuanya. Tak banyak yang menyita rasa gugup Diana sejak di kelas sampai siang hari ini, selain perkataan Andra pagi tadi.Saat ini dirinya tengah menunggu angkot yang akan membawanya sampai di depan rumah. Perempuan itu menghela napas panjang kala masuk ke dalam kendaraan umum yang kini dia tumpangi.Suasana angkot ini lumayan sepi. Di bagian belakang, paling pojok mobil itu, hanya ada perempuan tinggi berseragam sekolah tengah memegang buku novel. Sedangkan di samping sopir angkot, ada pemuda yang dari penampilannya kelihatan seperti seorang mahasiswa. Atasan kotak-kotak, celana jeans, dan memangku tas ransel hitam.Tapi lagi-lagi perasaan cemas, gugup, dan takut Diana, merayap pelan ke dalam hatinya. Mungkin akan melekat sampai malam hari nanti
Matahari yang terbit pagi ini menemani perempuan berseragam kotak-kotak merah dengan bawahan rok warna putih susu. Dengan degupan jantung yang ada di atas normal, Diana berjalan di lantai dasar bangunan yang cukup besar untuk menampung ratusan murid itu. Tujuan pertama Diana hari ini sudah bukan lagi aula SMP Ibu Pertiwi, melainkan ruang kelas utama, 7A. Siapa tahu namanya akan tercantum di jendela kelas.Sepasang netranya menajam, meneliti setiap nama murid di kertas yang sekarang ada depannya, menempel pada kaca bening persegi itu. Hingga saat pandangannya mengarah ke nama yang berawalan dengan huruf 'D', binar bahagia terpancar dari sorot mata Diana.Gadis itu bahkan memekik tertahan, "Yeees...!" itu tandanya, sepasang kaki berbalut kaos kaki putih yang hampir mencapai dengkul itu takkan melanjutkan pencarian kelas.Namanya terpampang jelas di kertas yang melekat pada jendela. Diana juga tak perlu berlelah-lelah membaca 'd
Selamat membaca β€πSekarang ini tinggal mereka berdua yang mengisi rumah tua itu. Diana yang pamit ke dapur untuk membuatkan teh si kakek dan dirinya, kini malah kebingungan mencari gula. Kedua tangannya sibuk mengangkat beberapa wadah kotak plastik di atas meja kayu, pindah ke meja sebelahnya namun tak kunjung menemukan. Karena lama mencari, kepala Diana jadi pusing. Dari tempatnya berdiri ia sedikit teriak dengan tangan yang menggaruk kepalanya kasar, "Eyaaang... Gulanya di mana ya? Di dapur enggak ada..."Tak ada sahutan dari orang yang ditanyai. Sambil melemaskan bahu, Diana berbalik. Namun sebelum gadis itu jalan, si kakek sudah ada di hadapannya. "Di atas meja ndak ada?" pria tua itu malah ikut bingung."Enggak, Diana udah nyari-nyari tapi nggak ketemu," ungkapnya sambil mengangguk-angguk. "Eyang lupa naruh mungkin..."Yanto mencoba duduk di kursi coklat kayu panjang pelan-pelan de