Beranda / Thriller / TITISAN / Bangun di tempat asing

Share

Bangun di tempat asing

Penulis: Hadijah Izz
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-08 20:10:20

Faisal kembali mendapatkan kesadaran, ia mulai membuka mata perlahan dan beberapa kali mengerjap. Gelap. 

Susah payah ia duduk dalam kebingungan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan di mana sebenarnya ia berada saat ini. 

“Ayah ... Ibu ...?” 

Sunyi. Faisal berhasil bangkit dan berdiri sempurna. Matanya memindai sekeliling. Hanya ada dirinya seorang di tengah hutan gelap. 

Pohon-pohon tinggi menjulang, dengan semak belukar di sana-sini. Namun, tidak ada satu pun suara yang terdengar selain deru napasnya sendiri.

“Di mana ini?” gumamnya.

Semilir angin lembut menerpa tengkuk Faisal, membuat bulu-bulu halus di sekitar leher meremang. Ia mengepalkan tangan, mencoba melawan rasa takut yang mendera. 

Dua tangan berpindah ke atas kepala, otaknya masih belum dapat mencerna. Masih jelas dalam ingatan, saat ia dicengkeram kuat oleh seorang wanita yang kesurupan di depan rumah Nini Darsih. Namun, kenapa ia malah terbangun di tempat asing ini? 

Tak berhasil menemukan jawaban, ia pun meremas rambutnya kasar.

Sreekkk... sreekkk... sreekkk....

Telinga Faisal menangkap sebuah suara seperti langkah kaki yang diseret. Semakin ia menajamkan pendengaran, semakin mendekat pula suara itu. 

Rasa takut kembali hinggap, keringat mulai menetes di dahi anak lelaki bertubuh kurus itu. Jantungnya berdegup semakin kencang. 

Menyadari keadaan yang semakin mencekam, Faisal pun memberanikan diri melangkah. Ia berjalan ke depan, menyusuri jalan yang masih bisa diinjak. Nalurinya menggiring tubuh untuk terus bergerak, menghindari segala ancaman yang mungkin mengintai. 

Dalam ketakutan, otaknya masih bisa sedikit berpikir rasional. Di tengah hutan lebat seperti ini bisa saja ada ular atau hewan buas lainnya yang dapat mengancam keselamatan. 

“Ayah ...!”

“Ibu ...!”

“Asep ...!”

“Abah Salim ...!”

Sambil melangkah cepat, Faisal terus meneriakkan nama orang-orang  yang terakhir kali bersamanya. Sudah tidak ada lagi suara-suara aneh, keadaan kembali hening. Hanya derap langkah dari sandalnya yang bergesekan dengan tanah lembap.

“Astaghfirullah!” pekik Faisal saat sekelebat bayang hitam melintas di hadapannya. Langkahnya pun terhenti. 

Dengan tubuh gemetar Faisal melihat sekeliling, ia mulai cemas. Kali ini ia menyadari sesuatu, di hutan ini pasti ada makhluk lain selain dirinya.

Suara melengking tiba-tiba saja memecah keheningan. Sebuah suara seperti kuda yang meringkik dan lolongan serupa serigala, semuanya terdengar begitu mengerikan. 

Faisal mulai bergidik, lututnya lemas seketika. Seumur hidupnya, tak pernah sekalipun ia mengalami kejadian mistis atau diganggu makhluk halus. 

Braakkk!

Tiba-tiba, seonggok tubuh jatuh tak jauh dari tempatnya berdiri. Faisal bergeming memperhatikan sosok yang belum jelas rupa dan bentuknya. 

Tak berselang lama sosok itu pun bangkit. Tubuhnya dipenuhi bulu yang lebat. Mata berwarna merah menyala dan air liur yang terus menetes dari mulut. 

Faisal sontak terperanjat, panik melihat pemandangan di hadapannya. Dengan tubuh gemetar ia berusaha berlari menjauh. Langkah kakinya terasa begitu kaku dan berat. Ia mulai menangis, tak mampu lagi menghalau rasa takut dalam jiwa. 

Faisal berlari sekuat tenaga hingga napasnya tersengal. Konsentrasinya mulai hilang, ia pun jatuh terjerembab, saat tersandung akar pohon besar yang menjalar di atas tanah.

Ketika Faisal berusaha kembali bangkit, ada sebuah tangan yang menyembul dari dalam tanah. Mencekal pergelangan kakinya kuat, membuat Faisal kesulitan untuk berdiri.

“Tidak! Tolong ...!”

Teriakan itu terasa percuma, karena tidak mungkin ada yang menolongnya di tengah hutan antah berantah itu. Dalam ketidakberdayaan, Faisal hanya bisa menangis ketakutan. 

Dari tempatnya duduk ia bisa melihat bayangan hitam besar tengah berjalan ke arahnya. Semakin dekat dan terus mendekat. Hingga netranya menangkap jelas, sosok tersebut adalah makhluk berbulu yang tadi ia temui. 

Tangan tanpa raga masih mencengkeram kakinya erat. Faisal hanya pasrah saat makhluk menyeramkan itu kini hanya berjarak beberapa meter saja. 

Hingga tiba-tiba, ada sebuah kilatan seperti petir menyambar dari atas langit. Bersamaan dengan kilat yang terang itu, muncullah seekor harimau putih berukuran besar. 

Belum hilang ketakutan Faisal dengan sosok berbulu yang menyeramkan. Kini, ia harus menerima kedatangan makhluk lain berwujud hewan buas. 

Tubuh Faisal menggigil hebat saat mendengar auman harimau yang tidak lazim. 

“Lepaskan anak itu!” seru siluman harimau putih.

“Jangan ikut campur! Dia milikku!” sahut makhluk berbulu dengan suara menggema. 

Kaki Faisal sudah lepas dari tangan gaib yang mendadak hilang bagai ditelan bumi. Ia pun beringsut menjauh dan bersembunyi dibalik pohon besar, duduk memeluk lutut sambil terus menangis dan merapal doa apa pun yang diingatnya. 

Harimau putih dan makhluk berbulu itu bertarung sengit. Cukup lama mereka saling menyerang. Hingga akhirnya, makhluk berbulu bertubuh gempal berubah menjadi sebuah kepulan asap.

“Aku akan kembali! Anak itu milikku! Jiwanya milikku!” Sebuah suara tanpa raga menggema, kemudian menghilang terhempas angin.

Tubuh Faisal bergetar saat mendengar suara itu. Dirinya semakin menggigil tatkala mendengar derap langkah mendekat. Ia yakin betul, itu adalah harimau putih yang bisa berbicara. 

Faisal membekap mulut sambil memejamkan mata. Berkomat-kamit dalam hati, memohon pertolongan Sang Maha Kuasa.

“Bangunlah!” ucap seseorang dengan suara bariton.

Faisal mencoba membuka mata, dan seketika ia terperanjat. Beberapa kali ia mengerjap, memastikan apakah makhluk di depannya itu benar-benar manusia. 

“Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu,” ucap pria bertubuh kekar itu.

“A-Anda, siapa?” tanya Faisal.

Yang ditanya hanya mengulum senyum. “Ayo, ikuti aku. Akan kutunjukan kau jalan pulang.”

Faisal menurut dan berjalan mengekor pria misterius itu. Pandangan Faisal pun tak lepas dari sosok yang berada di depannya. Ia masih ragu, apakah orang ini manusia atau bukan. Karena penampilannya sangat unik. Tak biasa. 

Pria gagah itu tidak mengenakan baju, dada six pack dengan kotak-kotak tebal dibiarkan terlihat. Sedangkan bagian bawah tertutup celana komprang dan kain sinjang yang dililitkan sebatas lutut. 

Tidak hanya itu, di kepalanya juga terpasang mahkota besar yang mengkilat. Melingkar pula sebuah kalung dengan bentuk menjuntai berbahan emas di leher tegapnya. 

Beberapa saat berjalan, tibalah mereka di sebuah perkampungan. Faisal terheran-heran memandang sekitar. Pasalnya, saat  berlari di hutan gelap tadi ia tidak menjumpai adanya tanda-tanda kehidupan, tetapi mengapa hanya berjalan sebentar mereka sudah masuk ke tempat ramai? Hiruk pikuk manusia berlalu-lalang dengan aktivitasnya masing-masing. 

Namun, ada yang aneh dari pakaian orang-orang ini, mereka memakai pakaian yang kuno sekali. Di tambah rumah mereka berbentuk panggung yang terbuat dari kayu. Tidak ada satu pun bangunan yang dindingnya bata. 

“Jangan khawatir, ini jalan yang benar menuju duniamu,” ucap Pria asing itu sambil tersenyum. Seakan bisa mendengar isi hati Faisal yang mulai resah. 

Faisal mengangguk, meski dalam hatinya bertanya, apa maksud dari “duniamu” itu?

Saat melintas, semua orang tiba-tiba bersimpuh. Menangkup kedua belah tangan lalu diletakkan di atas kepala. 

Setiap kali Faisal dan Pria itu melewati seseorang, maka orang itu akan berkata, “Punten ngaberkahan Prabu Sri Baduga Maharaja.” (Mohon restu Prabu Sri Baduga Maharaja.)

Faisal menatap lekat pria di sampingnya, ia baru menyadari bahwa ternyata pria itu adalah seorang raja. 

Tak berselang lama, mereka melintasi area yang ada sebuah istana megah di dalamnya. Mata Faisal membelalak, tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Pemandangan ini serupa dengan istana di drama kolosal yang pernah ia lihat di layar televisi.

Mata Faisal menyisir ke segala penjuru dengan penuh rasa kagum. Hingga netranya menangkap sesosok anak kecil yang tengah berlari dengan riang. 

Anak kecil itu sangat mirip dengannya saat berusia lima tahun. Rambut, hidung, mata, bibir, bahkan postur tubuhnya. Serupa. Bagai pinang di belah dua. 

“Anak kecil di sana itu, siapa dia?” tanya Faisal.

“Dia cucuku, Pangeran Pajarakan.” 

Ingin sekali Faisal bertanya lebih lanjut mengapa wajah cucu raja itu begitu mirip dengan dirinya. Namun, niatnya urung dilakukan karena langkah sang raja terhenti. 

“Masuklah ke sana dan jangan pernah menoleh ke belakang. Maka kau akan tiba di duniamu dengan selamat,” titah sang raja sambil menunjuk sebuah cahaya. 

“Nah, ini untukmu. Simpanlah baik-baik.”

Faisal mengambil benda yang diberikan raja. Sebuah batu giok berwarna biru langit. Faisal menatap orang yang telah menyelamatkannya itu penuh haru. “Terima kasih, Raja.”

Prabu Sri Baduga Maharaja mengangguk. Ia mengangkat tangan kanan dan mempersilakan Faisal memasukinya. 

“Bismillahirrahmanirrahiim.” Faisal melangkah dan masuk ke dalam cahaya putih yang memancarkan sinar terang menyilaukan mata. Ia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.

Bab terkait

  • TITISAN   Kematian nini Darsih

    Cahaya yang begitu terang dan menyilaukan, membuat Faisal harus menyipitkan mata. Ia terus melangkah dengan mantap. Semakin jauh ke dalam, semakin sulit retinanya bekerja.Langkahnya terhenti di tengah ruang hampa berwarna serba putih itu. Samar-samar ia mendengar lantunan ayat suci yang saling bersahutan.Tanpa ragu Faisal berjalan ke arah sumber suara. Isak tangis pun tak luput dari indera pendengarannya.Faisal mempercepat langkah, hingga akhirnya cahaya itu mulai memudar. Kini, kedua matanya terbuka sempurna, mampu menatap semua hal yang ada di hadapannya.“Faisal!” pekik Jamilah.“Ibu?”“Faisal ....” Jamilah merengkuh putra semata wayangnya sambil sesenggukan. Air mata mengalir deras dari mata perempuan cantik yang berusia tiga puluh tiga tahun itu.Ucapan rasa syukur memenuhi rumah Hamid, semua orang pun bernapas lega. Akhirnya Faisal sadar dari tidur panjangnya.&

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • TITISAN   Sosok misterius

    “Sal, Faisal! Bangun, Sal!” Jamilah menepuk-nepuk pipi anaknya yang tengah tidur sambil berteriak-teriak.Faisal terperanjat. Peluh membasahi seluruh tubuh, napasnya tersengal.“Istighfar, Sal. Kamu mimpi buruk?” tanya Jamilah.“Iya, Bu,” jawab sang anak sambil mengatur napas. “Astaghfirullahaladzim.”“Makanya, sebelum tidur itu berdoa dulu.” Jamilah mengingatkan.“Bu ...,” ucap Faisal menghentikan langkah ibunya.“Nini Darsih ... ternyata dibunuh, Bu.”“Maksud kamu apa, Nak?” Jamilah kembali duduk di tempat tidur.“Isal melihat Nini Darsih dicekik genderuwo.”“Kamu ini ngomong apa, sih. Itu kan, cuma mimpi, Sal. Udah, sekarang kamu wudu, terus ke musala sama Ayah.” Jamilah mengusap kepala anak semata wayangnya sebelum berlalu.Faisal bergeming. Ada benarnya ju

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • TITISAN   Kesurupan

    Seperti biasa setiap senja menjelang, keluarga kecil Abdul Hamid selalu menyempatkan waktu untuk bercengkerama.Hamid yang merupakan seorang guru PNS di sekolah dasar, sangat menjunjung tinggi kerukunan dalam kehidupan rumah tangganya. Pria berusia tiga puluh tujuh tahun itu memiliki karakter yang tegas tetapi humoris.“Gimana sekolahmu, Sal? Enak, jadi siswa SMP?” tanya Hamid pada Faisal, anak tunggalnya.“Lumayan, Yah,” jawab anak lelaki yang baru duduk di kelas tujuh itu. Ia berperawakan kurus, kulitnya putih seperti sang ibu. Sedangkan hidung mancung ia dapat dari ayahnya.“Gak terasa, ya, anak ibu sekarang udah bujang,” ujar Jamilah yang tak lain adalah istri Hamid dan Ibu dari Faisal. Perempuan cantik dengan postur tubuh semampai yang dulunya seorang kembang desa.Dengan lincah jemari lentik Jamilah menata tiga cangkir teh manis hangat dan sepiring pisang goreng di atas meja.“Betul

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08

Bab terbaru

  • TITISAN   Sosok misterius

    “Sal, Faisal! Bangun, Sal!” Jamilah menepuk-nepuk pipi anaknya yang tengah tidur sambil berteriak-teriak.Faisal terperanjat. Peluh membasahi seluruh tubuh, napasnya tersengal.“Istighfar, Sal. Kamu mimpi buruk?” tanya Jamilah.“Iya, Bu,” jawab sang anak sambil mengatur napas. “Astaghfirullahaladzim.”“Makanya, sebelum tidur itu berdoa dulu.” Jamilah mengingatkan.“Bu ...,” ucap Faisal menghentikan langkah ibunya.“Nini Darsih ... ternyata dibunuh, Bu.”“Maksud kamu apa, Nak?” Jamilah kembali duduk di tempat tidur.“Isal melihat Nini Darsih dicekik genderuwo.”“Kamu ini ngomong apa, sih. Itu kan, cuma mimpi, Sal. Udah, sekarang kamu wudu, terus ke musala sama Ayah.” Jamilah mengusap kepala anak semata wayangnya sebelum berlalu.Faisal bergeming. Ada benarnya ju

  • TITISAN   Kematian nini Darsih

    Cahaya yang begitu terang dan menyilaukan, membuat Faisal harus menyipitkan mata. Ia terus melangkah dengan mantap. Semakin jauh ke dalam, semakin sulit retinanya bekerja.Langkahnya terhenti di tengah ruang hampa berwarna serba putih itu. Samar-samar ia mendengar lantunan ayat suci yang saling bersahutan.Tanpa ragu Faisal berjalan ke arah sumber suara. Isak tangis pun tak luput dari indera pendengarannya.Faisal mempercepat langkah, hingga akhirnya cahaya itu mulai memudar. Kini, kedua matanya terbuka sempurna, mampu menatap semua hal yang ada di hadapannya.“Faisal!” pekik Jamilah.“Ibu?”“Faisal ....” Jamilah merengkuh putra semata wayangnya sambil sesenggukan. Air mata mengalir deras dari mata perempuan cantik yang berusia tiga puluh tiga tahun itu.Ucapan rasa syukur memenuhi rumah Hamid, semua orang pun bernapas lega. Akhirnya Faisal sadar dari tidur panjangnya.&

  • TITISAN   Bangun di tempat asing

    Faisal kembali mendapatkan kesadaran, ia mulai membuka mata perlahan dan beberapa kali mengerjap. Gelap.Susah payah ia duduk dalam kebingungan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan di mana sebenarnya ia berada saat ini.“Ayah ... Ibu ...?”Sunyi. Faisal berhasil bangkit dan berdiri sempurna. Matanya memindai sekeliling. Hanya ada dirinya seorang di tengah hutan gelap.Pohon-pohon tinggi menjulang, dengan semak belukar di sana-sini. Namun, tidak ada satu pun suara yang terdengar selain deru napasnya sendiri.“Di mana ini?” gumamnya.Semilir angin lembut menerpa tengkuk Faisal, membuat bulu-bulu halus di sekitar leher meremang. Ia mengepalkan tangan, mencoba melawan rasa takut yang mendera.Dua tangan berpindah ke atas kepala, otaknya masih belum dapat mencerna. Masih jelas dalam ingatan, saat ia dicengkeram kuat oleh seorang wanita yang kesurupan di depan rumah Nini Dars

  • TITISAN   Kesurupan

    Seperti biasa setiap senja menjelang, keluarga kecil Abdul Hamid selalu menyempatkan waktu untuk bercengkerama.Hamid yang merupakan seorang guru PNS di sekolah dasar, sangat menjunjung tinggi kerukunan dalam kehidupan rumah tangganya. Pria berusia tiga puluh tujuh tahun itu memiliki karakter yang tegas tetapi humoris.“Gimana sekolahmu, Sal? Enak, jadi siswa SMP?” tanya Hamid pada Faisal, anak tunggalnya.“Lumayan, Yah,” jawab anak lelaki yang baru duduk di kelas tujuh itu. Ia berperawakan kurus, kulitnya putih seperti sang ibu. Sedangkan hidung mancung ia dapat dari ayahnya.“Gak terasa, ya, anak ibu sekarang udah bujang,” ujar Jamilah yang tak lain adalah istri Hamid dan Ibu dari Faisal. Perempuan cantik dengan postur tubuh semampai yang dulunya seorang kembang desa.Dengan lincah jemari lentik Jamilah menata tiga cangkir teh manis hangat dan sepiring pisang goreng di atas meja.“Betul

DMCA.com Protection Status