Cahaya yang begitu terang dan menyilaukan, membuat Faisal harus menyipitkan mata. Ia terus melangkah dengan mantap. Semakin jauh ke dalam, semakin sulit retinanya bekerja.
Langkahnya terhenti di tengah ruang hampa berwarna serba putih itu. Samar-samar ia mendengar lantunan ayat suci yang saling bersahutan.
Tanpa ragu Faisal berjalan ke arah sumber suara. Isak tangis pun tak luput dari indera pendengarannya.
Faisal mempercepat langkah, hingga akhirnya cahaya itu mulai memudar. Kini, kedua matanya terbuka sempurna, mampu menatap semua hal yang ada di hadapannya.
“Faisal!” pekik Jamilah.
“Ibu?”
“Faisal ....” Jamilah merengkuh putra semata wayangnya sambil sesenggukan. Air mata mengalir deras dari mata perempuan cantik yang berusia tiga puluh tiga tahun itu.
Ucapan rasa syukur memenuhi rumah Hamid, semua orang pun bernapas lega. Akhirnya Faisal sadar dari tidur panjangnya.
Abah Salim yang duduk di samping Faisal segera mengambil segelas air, merapalkan doa-doa kemudian meminumkan ke mulut bocah tampan itu.
Setelah melihat kondisi Faisal yang baik-baik saja, para tetangga satu per satu beranjak dan pamit pulang. Tinggal lah Abah Salim dengan kedua orang tua Faisal.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Bu?” tanya Faisal saat suasana telah sepi.
“Kamu pingsan selama dua hari, Nak,” jawab sang ibu. Sesekali ia mengusap matanya yang sembab.
“Apa? Dua hari?” tanyanya bingung. “Tapi ... Isal cuma pingsan sebentar, kok, Bu.”
“Kamu bukan pingsan biasa, Sal. Coba ceritakan apa yang kamu alami?” ujar Abah Salim. Hamid yang duduk di depan anaknya pun merasa sangat penasaran. Ia menatap lekat wajah sang putra.
Faisal menjelaskan pada Abah Salim dan kedua orang tuanya perihal apa yang dialaminya. Ia menuturkan semua kejadian dengan rinci, membuat sang ibu beberapa kali membekap mulut dan menatap nanar.
Jamilah Dan Hamid antara percaya dan tidak mendengar penuturan Faisal. Namun, dibalik itu semua mereka sangat bersyukur dan merasa bahagia karena anak satu-satunya itu berhasil selamat.
Sementara di tempat lain, kasus kematian Nini Darsih masih menyisakan misteri. Hingga kini, pihak kepolisian belum menemukan penyebab pasti hilangnya nyawa nenek sepuh itu.
Sebuah kejanggalan ditemukan pada saat autopsi, yakni tidak adanya organ jantung pada jasad yang telah membusuk itu. Padahal, meski telah membusuk tetapi jasad itu masih utuh. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda kekerasan. Namun, jika tidak ada bukti yang kuat, maka kemungkinan kasus itu akan ditutup dan menguap begitu saja.
Di sebuah desa, tentunya informasi janggal seperti itu menyebar sangat cepat. Laiknya virus yang mewabah.
Warga saling berasumsi dengan pendapat masing-masing. Dan kebanyakan dari mereka meyakini bahwa kematian tidak wajar yang dialami Nini Darsih disebabkan oleh teluh atau santet yang sengaja dikirim seseorang.
***
Faisal merebahkan diri di atas pembaringan. Ia memutar-mutar batu giok berwarna biru langit dengan kedua tangan. Masih belum paham dengan semua yang terjadi.
Ibunya bilang Faisal tidak sadarkan diri selama dua hari. Dan Abah Salim mengatakan bahwa dirinya melakukan proyeksi astral ke dunia lain, yang berarti jiwanya masuk ke alam gaib sedangkan raganya masih di dunia manusia.
Namun, jika hanya jiwanya saja yang masuk ke dunia lain, kenapa batu giok pemberian Prabu Sri Baduga Maharaja itu ada di saku celananya? Kenapa raja itu meminta Faisal menyimpannya? Siapa dia sebenarnya?
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan mengagetkan Faisal yang pikirannya tengah berkelana dengan berbagai pertanyaan. Faisal bangkit dari tempat tidur, kemudian melangkah keluar dari kamar.
Diliriknya jam dinding bergambar sebuah masjid, jarum pendek menunjuk ke angka sebelas.
“Bu ...?” Faisal mencoba membuka pintu kamar kedua orang tuanya. Terkunci. Mungkin ayah dan ibunya sudah terlelap, pikirnya.
Tok! Tok! Tok!
Kembali terdengar suara ketukan yang ternyata berasal dari pintu depan. Sejenak Faisal bergeming. Siapa yang bertamu selarut ini? Batinnya.
Alih-alih menebak dugaan, ia memilih untuk memeriksa. Disingkapkannya gorden jendela, tetapi ia tak melihat apa pun.
Faisal memberanikan diri membuka pintu dan maju beberapa langkah untuk mengecek sekitar rumahnya.
Tiba-tiba, netranya menangkap seseorang yang berjalan sangat tergesa. Karena penasaran, Faisal pun mengikutinya. Ia terus membuntuti lelaki yang memakai jaket kulit dan topi berwarna hitam itu, hingga tiba di depan rumah Nini Darsih.
“Jangan-jangan, dia pencuri?” gumam Faisal.
Lelaki mencurigakan itu masuk ke dalam rumah dengan santai, bahkan ia sama sekali tidak merasa dibuntuti oleh Faisal.
Setelah orang itu masuk, pintu rumah dibiarkan terbuka separuh. Faisal yang semakin penasaran mulai mengendap-endap menuju rumah besar itu.
“Aku tidak mau! Sampai mati pun aku tidak akan menjual rumah ini!” teriak seorang nenek tua dari dalam rumah.
Mendengar dua orang berdebat, Faisal mencoba mengintip dari celah pintu yang terbuka.
“Nini Darsih?” pekik Faisal cukup keras. Sadar dengan reaksi yang bisa membuatnya ketahuan, ia pun membekap mulutnya.
Faisal beringsut mundur dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Apa lagi ini? Bukankah Nini Darsih sudah meninggal? Dan siapa lelaki itu? Berbagai pertanyaan yang tak masuk akal membuat kepalanya pusing.
“Baiklah, kau memang keras kepala, nenek tua! Bersiaplah untuk menemui ajalmu!” suara pria yang menyentak membuat Faisal ikut gemetar.
Pria itu melangkah keluar. Faisal yang tak sempat kabur, hanya mematung di tempatnya. Pria itu menoleh ke kanan dan kiri, tetapi seakan tidak menghiraukan keberadaan Faisal yang tengah berjongkok beberapa langkah saja di sampingnya.
“Habisi dia!” titah pria tersebut, entah kepada siapa. Kemudian ia berlalu begitu saja.
Faisal mengembuskan napas lega, setelah beberapa detik lalu tubuhnya menegang. Belum juga reda debaran kencang di dadanya, ia mendengar jeritan Nini Darsih. Faisal bangkit dan kembali mengintip ke dalam rumah.
Seketika tubuhnya kaku, matanya membulat, dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sesosok makhluk besar dengan bulu lebat di sekujur tubuh, tengah mencekik leher Nini Darsih.
Nenek tua yang tak berdaya itu hanya menggelepak, kemudian tubuhnya melemas perlahan hingga nyawa dalam tubuh renta itu lepas.
Setelah berhasil membunuh korban, tangan makhluk itu merogoh dada Nini Darsih dan mengeluarkan jantungnya tanpa meninggalkan luka sedikit pun. Kemudian jantung manusia itu dimakannya dengan lahap.
“Howekkk!” Faisal merasa mual menyaksikan pemandangan menjijikan itu. Namun, ternyata suaranya membuat makhluk itu menoleh. Kini, netra bulat Faisal saling beradu dengan sepasang mata yang merah menyala.
Tanpa berpikir panjang Faisal berlari sekuat tenaga. Makhluk itu mengejarnya dengan geraman. Menakutkan. Kakinya yang besar diseret pelan tapi pasti.
Meski Faisal sudah berlari sangat cepat, tetapi makhluk itu mampu mengejarnya. Mungkin satu langkahnya sebanding dengan sepuluh langkah manusia biasa.
Tinggal beberapa meter lagi Faisal mencapai rumahnya, tetapi ia malah jatuh terjerembab. Ia mengaduh sebab jatuh di jalan berbatu, membuat lututnya berdarah. Makhluk itu terus mendekat.
Faisal menggigil dan mulai menangis ketakutan, hanya beberapa langkah saja makhluk itu sudah dapat menjangkaunya. Dari jarak sedekat ini ia bisa melihat dengan jelas wajah makhluk yang pernah menculiknya ke alam gaib itu.
Sosok dengan tinggi hampir dua meter, tubuh penuh bulu lebat dan air liur yang terus menetes. Tidak hanya itu, ternyata gigi makhluk itu semuanya taring yang lancip.
Faisal hanya bisa pasrah, makhluk itu terus mendekat ... semakin dekat ....
“Tidaaaakkkkkk!!!”
“Sal, Faisal! Bangun, Sal!” Jamilah menepuk-nepuk pipi anaknya yang tengah tidur sambil berteriak-teriak.Faisal terperanjat. Peluh membasahi seluruh tubuh, napasnya tersengal.“Istighfar, Sal. Kamu mimpi buruk?” tanya Jamilah.“Iya, Bu,” jawab sang anak sambil mengatur napas. “Astaghfirullahaladzim.”“Makanya, sebelum tidur itu berdoa dulu.” Jamilah mengingatkan.“Bu ...,” ucap Faisal menghentikan langkah ibunya.“Nini Darsih ... ternyata dibunuh, Bu.”“Maksud kamu apa, Nak?” Jamilah kembali duduk di tempat tidur.“Isal melihat Nini Darsih dicekik genderuwo.”“Kamu ini ngomong apa, sih. Itu kan, cuma mimpi, Sal. Udah, sekarang kamu wudu, terus ke musala sama Ayah.” Jamilah mengusap kepala anak semata wayangnya sebelum berlalu.Faisal bergeming. Ada benarnya ju
Seperti biasa setiap senja menjelang, keluarga kecil Abdul Hamid selalu menyempatkan waktu untuk bercengkerama.Hamid yang merupakan seorang guru PNS di sekolah dasar, sangat menjunjung tinggi kerukunan dalam kehidupan rumah tangganya. Pria berusia tiga puluh tujuh tahun itu memiliki karakter yang tegas tetapi humoris.“Gimana sekolahmu, Sal? Enak, jadi siswa SMP?” tanya Hamid pada Faisal, anak tunggalnya.“Lumayan, Yah,” jawab anak lelaki yang baru duduk di kelas tujuh itu. Ia berperawakan kurus, kulitnya putih seperti sang ibu. Sedangkan hidung mancung ia dapat dari ayahnya.“Gak terasa, ya, anak ibu sekarang udah bujang,” ujar Jamilah yang tak lain adalah istri Hamid dan Ibu dari Faisal. Perempuan cantik dengan postur tubuh semampai yang dulunya seorang kembang desa.Dengan lincah jemari lentik Jamilah menata tiga cangkir teh manis hangat dan sepiring pisang goreng di atas meja.“Betul
Faisal kembali mendapatkan kesadaran, ia mulai membuka mata perlahan dan beberapa kali mengerjap. Gelap.Susah payah ia duduk dalam kebingungan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan di mana sebenarnya ia berada saat ini.“Ayah ... Ibu ...?”Sunyi. Faisal berhasil bangkit dan berdiri sempurna. Matanya memindai sekeliling. Hanya ada dirinya seorang di tengah hutan gelap.Pohon-pohon tinggi menjulang, dengan semak belukar di sana-sini. Namun, tidak ada satu pun suara yang terdengar selain deru napasnya sendiri.“Di mana ini?” gumamnya.Semilir angin lembut menerpa tengkuk Faisal, membuat bulu-bulu halus di sekitar leher meremang. Ia mengepalkan tangan, mencoba melawan rasa takut yang mendera.Dua tangan berpindah ke atas kepala, otaknya masih belum dapat mencerna. Masih jelas dalam ingatan, saat ia dicengkeram kuat oleh seorang wanita yang kesurupan di depan rumah Nini Dars
“Sal, Faisal! Bangun, Sal!” Jamilah menepuk-nepuk pipi anaknya yang tengah tidur sambil berteriak-teriak.Faisal terperanjat. Peluh membasahi seluruh tubuh, napasnya tersengal.“Istighfar, Sal. Kamu mimpi buruk?” tanya Jamilah.“Iya, Bu,” jawab sang anak sambil mengatur napas. “Astaghfirullahaladzim.”“Makanya, sebelum tidur itu berdoa dulu.” Jamilah mengingatkan.“Bu ...,” ucap Faisal menghentikan langkah ibunya.“Nini Darsih ... ternyata dibunuh, Bu.”“Maksud kamu apa, Nak?” Jamilah kembali duduk di tempat tidur.“Isal melihat Nini Darsih dicekik genderuwo.”“Kamu ini ngomong apa, sih. Itu kan, cuma mimpi, Sal. Udah, sekarang kamu wudu, terus ke musala sama Ayah.” Jamilah mengusap kepala anak semata wayangnya sebelum berlalu.Faisal bergeming. Ada benarnya ju
Cahaya yang begitu terang dan menyilaukan, membuat Faisal harus menyipitkan mata. Ia terus melangkah dengan mantap. Semakin jauh ke dalam, semakin sulit retinanya bekerja.Langkahnya terhenti di tengah ruang hampa berwarna serba putih itu. Samar-samar ia mendengar lantunan ayat suci yang saling bersahutan.Tanpa ragu Faisal berjalan ke arah sumber suara. Isak tangis pun tak luput dari indera pendengarannya.Faisal mempercepat langkah, hingga akhirnya cahaya itu mulai memudar. Kini, kedua matanya terbuka sempurna, mampu menatap semua hal yang ada di hadapannya.“Faisal!” pekik Jamilah.“Ibu?”“Faisal ....” Jamilah merengkuh putra semata wayangnya sambil sesenggukan. Air mata mengalir deras dari mata perempuan cantik yang berusia tiga puluh tiga tahun itu.Ucapan rasa syukur memenuhi rumah Hamid, semua orang pun bernapas lega. Akhirnya Faisal sadar dari tidur panjangnya.&
Faisal kembali mendapatkan kesadaran, ia mulai membuka mata perlahan dan beberapa kali mengerjap. Gelap.Susah payah ia duduk dalam kebingungan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan di mana sebenarnya ia berada saat ini.“Ayah ... Ibu ...?”Sunyi. Faisal berhasil bangkit dan berdiri sempurna. Matanya memindai sekeliling. Hanya ada dirinya seorang di tengah hutan gelap.Pohon-pohon tinggi menjulang, dengan semak belukar di sana-sini. Namun, tidak ada satu pun suara yang terdengar selain deru napasnya sendiri.“Di mana ini?” gumamnya.Semilir angin lembut menerpa tengkuk Faisal, membuat bulu-bulu halus di sekitar leher meremang. Ia mengepalkan tangan, mencoba melawan rasa takut yang mendera.Dua tangan berpindah ke atas kepala, otaknya masih belum dapat mencerna. Masih jelas dalam ingatan, saat ia dicengkeram kuat oleh seorang wanita yang kesurupan di depan rumah Nini Dars
Seperti biasa setiap senja menjelang, keluarga kecil Abdul Hamid selalu menyempatkan waktu untuk bercengkerama.Hamid yang merupakan seorang guru PNS di sekolah dasar, sangat menjunjung tinggi kerukunan dalam kehidupan rumah tangganya. Pria berusia tiga puluh tujuh tahun itu memiliki karakter yang tegas tetapi humoris.“Gimana sekolahmu, Sal? Enak, jadi siswa SMP?” tanya Hamid pada Faisal, anak tunggalnya.“Lumayan, Yah,” jawab anak lelaki yang baru duduk di kelas tujuh itu. Ia berperawakan kurus, kulitnya putih seperti sang ibu. Sedangkan hidung mancung ia dapat dari ayahnya.“Gak terasa, ya, anak ibu sekarang udah bujang,” ujar Jamilah yang tak lain adalah istri Hamid dan Ibu dari Faisal. Perempuan cantik dengan postur tubuh semampai yang dulunya seorang kembang desa.Dengan lincah jemari lentik Jamilah menata tiga cangkir teh manis hangat dan sepiring pisang goreng di atas meja.“Betul