Ketika hendak bertemu denganku neneknya menarik lengan Rayan, putraku nampak bingung namun tentu saja dia tidak mau mengecewakan keluarganya. Akhirnya dia menyerah dan ikut pada mereka."Sini Rayan, Nenek kangen sama Rayan," ajaknya pada anakku."Iya, Nek," balas anakku dnegan senyum terpaksa."Kami bawakan bekal dan lauk kering, juga bawakan baju dan sejadah baru," ucap mantan ibu mertua sambil menyodorkan tas besar padanya."Makasih Oma atas bawaannya, Rayan senang," balasnya."Oh, ya, lihat adikmu ganteng kan?" ucap ibu mertua menunjukkan anak Mas Rafiq."Iya, ganteng," balas anakku sambil menciumi adik tirinya. Melihat keakraban mereka mantan ibu mertua terlihat menaikkan alisnya penuh kemenangan padaku.Wanita itu seakan akan mengulur waktu dan tidak membiarkan putraku mendekat padaku."Gimana pelajaran kamu, Rayan," ucap ayahnya."Baik, Yah," ucapnya."Musim liburan nanti kita akan pergi ke Bali, kamu mau?""Mau, Yah, tapi harus atas izin Bunda" balasnya."Tapi kok, kayaknya ka
Kini setelah sepuluh tahun berlalu.Aku masih seorang Jannah, wanita yang selalu mendedikasikan hidupnya untuk kebahagiaan dan kenyamanan keluarga. Aku masih pebisnis yang tidak memasang harga tinggi demi daya beli konsumen yang kebanyakan menengah ke bawah.Aku, ibu dari tiga anak yang kini sudah beranjak besar, Raisa yang telah menjadi seorang Bidan, Rayan yang baru saja tamat kuliah dan sedang mengembangkan bisnis di bidang digital, juga seorang putra, buah hatiku dengan Mas Vicky yang kami beri nama Ridwan, umurnya sudah sembilan tahun dan kini telah duduk di bangku kelas tiga SD.Hidupku berangsur membaik dan makin bahagia meski tak lagi muda. Sekarang, hanya tinggal satu tugas lagi, yaitu mengantarkan mereka ke pintu sukses dan menapaki gerbang pernikahan bahagia bersama pasangan yang mereka pilih. Aku tak berharap bahwa Raisa akan terburu-buru menikah, namun jika ada seorang pemuda baik yang menunjukkan niat baiknya, maka aku tak akan menolaknya, sekalipun dia berasal da
"Mungkin dia ingin bertemu Raisa Bu."Mungkinkah dia ingin menjalin kembali silaturahmi?""Boleh saja, tapi setiap kali dia hadir dalam hidupku selalu saja dia menimbulkan kerusuhan dan banyak sekali masalah. Sudah berulang kali ku beri Dia kesempatan Tapi tetap saja Mas Rofik tidak pernah memanfaatkannya dengan baik," keluhku pelan."Ah, terlihat sekali di matanya ketika dia menyalami dan menyapa Ibu bahwa pria itu sangat merindukan kalian semua. Dia menyapa ibu dengan lembut, kaku tatapannya selalu menunduk.""Apa Mas Rafiq juga berbincang-bincang dengan ayah?""Tidak.""Oh, baiklah.""Bagaimana keadaan Vicky?" tanya ibu mengacu pada menantunya. "Baik.""Kadang ibu kasihan pada Vicky karena sampai hari ini dia tidak memiliki anak denganmu, tapi ibu sakit pada pengertian dan kasih sayangnya pada kalian. Kedua anakmu dianggapnya anak sendiri, ibu sangat terharu.""Alhamdulillah, Bu.""Raisa sudah jadi bidan, Pun Rayan yang sebentar lagi akan lulus SMA. Ibu sungguh bangga pada kehidup
PoV Raisa Aku tak tau mengapa tiba tiba bunda mendatangi ke kamar, menanyaiku seputar kehidupan pribadi dan mengejutkan ... Ia bertanya tentang siapa kekasih atau orang yang kini memikat hatiku. Jujur aku belum terlibat hubungan dengan siapapun karena pandainya diri ini mengatur jarak dan menempatkan posisi. Aku tidak mudah terbawa perasaan dan selalu menganggap semua orang seperti teman. Aku kompetitif dalam pekerjaan dan selalu punya standar sendiri dalam hal pelayanan. Mungkin hal itulah yang membuat mayoritas pria yang ingin mendekati jadi urung, mundur teratur dan menjauh. Entah segan atau apa, yang jelas mereka juga nampak sungkan dan menghargaiku sebagai wanita yang punya martabat.*Hal yang cukup menyenangkan ketika jadi petugas kesehatan adalah piket, mungkin bagi orang lain, hal itu adalah hal menyebalkan dan melelahkan. Beda denganku, aku menyukainya karena aku bisa habiskan lebih banyak waktu untuk pengabdian dan pelayanan pasien. Ada kebahagiaan dan kepuasan tersendiri
"Om ada kenalan dan sudah lama jadi rekan bisnis, dia punya anak yang cukup baik untuk jadi calon menantu kita Bund," ucap Om Vicky ketika kami makan malam bersama.Aku, Rayan dan Ridwan saling lirik lalu saling menyunggingkan senyum."Iya, Bund, kurasa kakak pantas untuk segera menikah," timpal Rayan."Oh ya, sungguhkah, apa kau setuju dengan gagasan itu Raisa?" tanya Bunda sambil tertawa kecil."Gak tahu, Bund, belum ada niat," jawabku sambil mengangkat bahu. Kunikmati beef teriyaki buatan bunda dengan taburan wijen di atasnya, selera makanku makin meningkat ditambah capcay pedas dan ayam panggang cabai."Kurasa om Vicky benar, kamu sudah harus diperkenalkan dengan seseorang agar kau mendewasa jadi wanita sesungguhnya?""Lho, apa aku terlihat seperti wanita palsu?" tanyaku terbelalak, "aku sudah feminim dengan gamis dan hijab, sepatu elegan dan attitude wanita, apa lagi?""Kau harus jadi seorang istri dan ibu, Wahai Gadis cantik," jawab Om Vicky sambil menatapku dengan penuh kasih
Akhirnya kujalani penjajakan dengan Mas Tama atas dasar keinginan kedua orang tua dan Orang tua Mas Tama. Setiap hari Mas Tama sering menelpon dan mengirim pesan demi sekedar menyapa sesekali ia jemput diri ini ke tempat kerja lalu kami makan di jajanan kaki lima pinggir jalan. Kadang pergi jalan jalan menikmati keindahan laut dan debur ombak yang pecah di bibir dermaga. Senjaku jadi lebih berwarna sejak ada Mas Tama. Namun aku tak mau terlalu dekat sebelum akad mengesahkan hubungan antara kami."Bagaimana perasaanmu setelah beberapa saat mengenalku," ucapnya ketika suatu saat dia datang dan menjemputku."Baik-baik saja, aku merasa senang berdekatan denganmu Mas," jawabku jujur."Kupikir ada perasaan lebih yang membuatmu nyaman dan bahagia bersamaku," gumamnya setengah ingin merendah."Ya, sebenarnya aku senang kok Mas," jawabku tersenyum tipis."Aku ingin kau menerima perasaan yang tersimpan untukmu di hatiku," ucapnya sambil memutar kemudi dengan pandangan yang lurus ke depan."J
Seminggu setelah pernikahan pindahlah aku ke sebuah rumah berlantai dua dengan desain minimalis elegan yang bertempat di sebuah komplek perumahan yang cukup berkelas. Rumah itu adalah rumah impian yang sudah kudambakan sejak dulu. Tinggal di dalamnya membesarkan harapanku akan kebahagiaan, ketentraman dan kesejukan hati.Hidup kami berjalan normal dengan rutinitas dan keromantisan yang sama. Tiap pagi kami bangun, membuka jendela menyambut sinar mentari yang berebut masuk, lalu sama-sama membereskan kamar dan membersihkan rumah. Aku yang menyiapkan sarapan sementara dia yang akan membersihkan halaman dan menyiram rumput rumput yang menghijaukan pemandangan.Pukul 8 pagi aku dan dia berpencar ke kantor masing-masing, lalu pukul 4 sore Kami akan berjumpa lagi dan pulang melabuhkan semua kelelahan dan penatnya pekerjaan.Ada yang berbeda di hari ini ketika suamiku berangkat lebih pagi dari sebelumnya. Ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam di depan sana."Assalamualaikum," ucap s
Aku masih terhenyak dengan kenyataan cepat barusan. Seorang wanita datang, membawa anaknya lalu mengumbar kemarahan dan mengaku bahwa dia istri suamiku. Sungguh hal itu mengejutkan dan sulit diterima akal. Kalau benar Mas Tama memang pun istri mengapa selama ini diaterihat seperti bujangan yang tidak punya kegiatan lain selain bekerja dan menemuiku. Kapan waktunya ia sempatkan untuk pulang dan menemui istrinya. Mengapa ia pandai sekali."Tapi aku tak boleh asal percaya tanpa konfirmasi dari Mas Tama. Aku akan bertanya padanya sebelum menghakiminya," gumamku sambil menyeka air mata. Perlahan Aku tutup pintu utama yang baru saja di gebrak oleh Mbak Aira, lalu beranjak ke kamar untuk meraih ponsel dan menelpon belahan jiwaku."Assalamualaikum, Sayang." Tutur sapa Mas Tama seolah air dingin di tengah padang tandus yang gersang. Andai saja tidak untuk mengungkapkan gundah Aku hanya ingin mendengar suaramya saja lalu mengakhiri panggilan ini."Ada apa sayang, kenapa diam saja, kenapa kau
Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais
"Maaf, kebetulan saya sedang pusing dan lelah sekali naik motor jadi saya putuskan untuk ikut dengan pak Wisnu saja.""Dengar Raisa, dia atau pun dia bukan siapa siapa untuk kamu, aku ini suami kamu Raisa!" Ucap Mas Tama."Oh ya? tapi kamu tidak memberiku pilihan, Mas. Maaf ya, aku pulang dulu," ucapku sambil mengarahkan sensor ke motor agar joknya terbuka dan aku bisa meletakkan helm lalu terkunci lagi."Pergi dulu ya," ucapku sambil naik ke atas mobil Pak Wisnu.Melihatku melenggang pergi kedua pria tadi hanya saling pandang. Haris nampak menghela napas sedang Mas Tama langsung menendang kerikil kerikil kecil yang kebetulan ada di aspal untuk menunjukkan kemarahannya. Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit, melaju mulus di jalan raya sedang aku hanya diam dalam kebungkaman dan pikiranku sendiri."Aku mengerti situasi yang sedang kamu hadapi dan aku turut bersimpati dengan itu. Seperti apa yang kamu alami di siang ini ... itu cukup menegangkan dan menguras perasaan." Pria
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi