Gemetar satu badan rasa Salma ketika tangannya ditangkis seperti itu, hanya diam mematung tanpa melakukan pergerakan beberapa saat, itu yang Salma lakukan, kakinya terasa terkunci hingga tak mampu untuk sembunyi. Sedetik dua detik, Rahmat tidak bergerak lagi, takut-takut Salma mengamati lagi, ternyata suaminya itu masih terlelap dalam tidurnya karena kembali suara dengkurannya terdengar, Salma menarik nafas untuk sekedar membuang rasa takut, entah mengapa, ancaman- ancaman Rahmat mengusik hatinya sehingga Salma sangat takut jika ketahuan, gemetar tangan Salma meraih dompet yang masih menyembul sebagian di saku celana belakang Rahmat. Alhamdulillah, berhasil, batin Salma, cepat ia mengambil uang dan kartu BPJS, setelahnya Salma pun keluar, tetapi ia menepuk jidat, bapaknya butuh kartu BPJS dan beberapa berkas yang diberikan pada Rahmat seperti foto copy kartu keluarga dan yang lainnya, cepat Salma kembali masuk ke kamar lagi dan tempat yang pertama Salma tuju adalah lemari pakaian da
"Bang, benar yang Abang Katakan itu, Kak Salma itu tadi keluyuran."Salma dan Rahmat spontan melihat ke arah pintu. "Abang urus itu, selingkuhan Abang,"ujar Salma dan gegas masuk ke dalam kamar, entah mengapa, kali ini kedatangan Tina di waktu yang tepat bagi Salma, karena dengan cepat ia bisa menghindar, entah mengapa juga dengan asal Salma mengatakan kalau Tina itu selingkuhan Rahmat, ucapanya keluar begiti saja seolah meyakini kalau wanita sexi yang sedang berdiri di depan pintu itu memang selingkuhan Rahmat. Pergerakan tangan Salma cepat menyelipkan buku tabungan dan kartu atm di balik sarung bantal setelah masuk ke dalam kamar. Sedangkan di luar kamar. "Ngapain kau datang, haiss, kalau kau bertingkah begini terus, lama-lama istriku bisa curiga," ucap Rahmat dengan pelan hampir seperti berbisik pada Tina, tentunya saat Salma masuk kamar, sambil kepala Rahmat sibuk menoleh ke arah pintu kamar, takut jika istrinya itu keluar dan melihat dia berbicara berbisik pada Tina yang kini
"Eh, kok malah menuduhku?""Siapa tau saat aku pergi tadi, Tina datang ke rumah ini, biasanya kalau orang bersalah itu, pasti akan sibuk menuduh orang lain, ya kayak Abang inilah, menuduhku secara membabi buta untuk menutupi kesalahanmu, Bang.""Hadeh, jangan mengarang cerita kau, Salma.""Aku ga mengarang cerita, malah sebaliknya Abanglah yang mengarang cerita, siapa tau saat aku pergi tadi, kalian berdua entah mengapain di kamar lalu Abang memberikan uang itu pada Tina, lagian tatapan wanita itu ke Abang sangat beda, begitu juga Abang ke Tina, seperti ada Something diantara kalian.""Halah! Sok-sok an someting sometong, miskin saja sok pake bahasa enggres, masalah uangku yang hilang, sudahlah, tidak aku permasalahkan lagi, masalah kartu BPJS itu, ya sudah jugalah, aku tidak permasalahkan, yang penting untuk saat ini, kau jangan lagi banyak tingkah, jangan menuntut aneh-aneh, jangan curigaan dan jangan cemburuan, pokoknya apa yang suamimu ini lakukan, kau nurut saja, jangan protes in
"Ya Allah Mak, enggak apa-apa kan? Memang buruk sekali perangai istri Bang Rahmat itu, tidak memiliki sopan santun, sama mertua saja seperti ini," ucap Yuni sambil membantu ibunya untuk berdiri. "Baju Mamak jadi kotor begini," sambung Ema, menantunya Bu Mega–istri dari Burhan. Sambil tangannya yang tersapu kutek mengibas-ngibas baju gamis Bu Mega yang kotor. Rahmat terlihat mengeras rahangnya karena melihat sikap Salma yang kurang ajar pada ibunya. "Sudah, ayo kita berangkat sekarang," ajak Burhan, mereka semua sekeluarga masuk ke dalam mobil kijang inova reborn keluaran terbaru. Salma dan kadua anaknya sudah sampai di masjid raya Binjai, setelah memarkir motor, Salma dan kedua anaknya cepat mengambil tempat. "Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu!"Takbir idul fitri bergema dengan begitu indah, Salma yang sudah duduk diantara jamaah wanita yang lain tidak kuasa menahan haru, dengan sekuat tenaga ia berusaha tida
"Halo, kenapa diam saja." Lelaki itu melambaikan tangannya di depan Salma yang diam mematung, sedangkan Salma yang pikiran dan perasaan yang sedang sulit diartikan akhirnya tersadar. "Pak, sekali lagi saya minta maaf karena telah menabrak mobil Bapak, sungguh, semua ini tidak ada unsur kesengajaan, saya lalai, jika memang harus ganti rugi, saya harap diberi keringanan dengan cara mencicilnya," ucap Salma dengan membungkukkan kedua badannya sebagai tanda bahwa dia benar-benar minta maaf. "Tidak masalah, lagian mana ada orang yang sengaja menabrak mobil yang sedang terparkir, masuklah sebentar, ini kakinya adik-adik ini terluka, biar saya obati, oh, perkenalkan, nama saya Husen." Lelaki itu mengulurkan tangannya dengan ramah, Salma tidak berani menyentuh tangan yang bukan muhrimnya, ia hanya menangkupkan kedua tangannya. "Nama saya Salma, kaki kedua anak saya biar saya obati saja, kami permisi pulang dulu," ucap Salma canggung karena merasa sungkan, jika mengikuti saran lelaki itu un
Salma menatap Husein, dengan cepat ia menundukkan pandangannya. "Maaf, saya tidak ingat," ujar Salma masih dengan sopan. "Kita dulu teman Satu MDTA Husbol Waton Belawan."Salma mengernyitkan alisnya dan tampak berpikir sambil ekor matanya sesekali melihat ke arah Husein dengan perasaan sungkan. "Husein? Kamu Husein yang dulu juara satu adzan?""Dan kamu juara satu nasyid bersama Ida, Henny dan Dewi," ucap Husein antusias. "Ya Allah, aku tidak mengenalmu, bukankah kamu dulu ….""Gendut, hahahaha," kekeh Husein sehingga menampilkan deretan gigi rapi dan bersih. "Aku benar-benar tidak mengenalmu, maaf lah ya," ucap Salma, karena memang penampilan Husein sangat berbeda saat zaman Madrasah dulu, Husein yang dulu begitu kelebihan berat badan dan berkulit gelap, sangat kontras dengan penampilannya sekarang. Salma tidak merasa canggung lagi tetapi masih menjaga kesopanan, mereka terlibat pembicaraan ringan, hanya sekedar mengenang masa sekolah saat di Madrasah dulu sampai akhirnya Salma
"Apalagi Salma, kok malah diam, kau? Kita ga ngasih THR enam juta sama Mamak karena keserakahanmu dan kau ambil diam-diam uang itu, jadi kaulah yang mencuci piring." Rahmat ikut menghakimi. "Kan uangnya udah aku kembalikan, Bang. Kenapa harus Salma, kan ada Yuni, ada Kak Ema.""Heh! Mulai lancang kau ya Salma, Ema itu anak orang kaya, malah kau suruh pulak cuci piring! Yang pasang canopy di garasi itu pakai uang Ema, dan masih banyak lagi dia membantu dari segi keuangan di rumah ini, sangat beda sama kau, jadi, anggap saja kau ngasih tenaga di rumah mertuamu." Bu Mega tidak terima Salma menyuruh Ema–menantu kesayangannya mencuci piring. "Lagian uang THR yang kau curi dan kau kembalikan itu, sudah habis untuk biaya perobatan Mamakmu," ujar Rahmat lagi. Salma merasa terpojok, pelan Salma menata hatinya yang terasa sakit dengan ucapan-ucapan suami dan keluarganya, tidak ada pilihan lain, Salma pun berdiri dan menuju dapur, memang benar apa yang mertuanya katakan, orang miskin dan t
"Astaghfirullah, anak sekecil ini bicara kasar kayak gitu seharusnya kau nasehatin Yun, bukan malah membenarkan.""Loh, anak kecil itu masih polos dan kata yang keluar dari mulutnya itu ga ada yang bohong, lagian, ini coklat mahal, wajar jika Ayumi mengatakan kalau mereka mencuri," ucap Yuni sambil menunjuk Vita dan Kia, sakit rasanya hati Salma anaknya ditunjuk seperti itu seperti orang hina saja dan terlebih lagi dituduh mencuri. "Tidak Yun, itu coklat bukan hasil mencuri, tadi dikasih temanku.""Huahaha, dikasi teman? Teman? Ini coklat mahal loh, Kak, sama yang dibeli Bang Burhan saat ke Batam, temanmu yang mana? Palingan temanmu penjual ikan atau penjual jamu, mana mungkin bisa beli coklat semahal ini," kekeh Yuni dengan raut wajah merendahkan. "Terserahlah Yun, aku malas ribu, ayo Vita, Kia, masuk saja ke dalam.""Huu, dasar pencuri." Masih terdengar suara Ayumi menuduh kedua anaknya Salma. Salma menggandeng anaknya untuk masuk ke dalam rumah dan tidak bermain dengan sepupu-se
"Keluar kau dari rumah ini! Keluar! Ga sudi aku punya istri macam kau, seribu perempuan macam kau bisa kudapatkan!""Ooo, berani kau mengusirku? Enak saja, aku baru pergi setelah kau bayar semua biaya tidur sama aku, itu semua ga gratis, sudah berapa kali kita bercinta, bayar itu Bang! Bayar!""Helleh, kau yang menawarkan diri, kita melakukannya suka sama suka, bahkan saat aku belum cerai kau obral tempikmu itu sama aku.""Aku ga mau tau, pokoknya bayar!" teriak Tina, tapi Rahmat tidak peduli, dia mendorong tubuh Tina keluar, tidak ia pedulikan teriakan dan makian Tina. Keesokan harinya. "Mat, ada yang nyariin kau, tuh, cewek sexy," ucap Ucok pada siang itu, rekan kerjanya satu profesi dengan Rahmat. "Cewek? Siapa?" tanya Rahmat yang tengah menyeduh kopi di pantry kantor. "Meneketehe, kau lihatlah sendiri," ujar Ucok lagi. Dengan penasaran Rahmat berjalan ke arah gerbang kantor, setelah ia melihat siapa yang datang, gegas Rahmat balik badan. "Bang! Bang Rahmat! Jangan kabur, kau
"Oke, baiklah, dengan senang hati, pantes saja dari tadi mereka menangis dan ga mau diantar ke rumah ini, ternyata keluarga ini keluarga setan, hahaha, ayo Kia, Vita, kalian kuantarkan saja ke Belawan, enak saja mau menguasai gaji Bang Rahmat, aku ga sudi, preeettt," ucap Tina dengan raut wajah mengejek ke arah Yuni. "Wih, wanita apa yang dinikahi Bang Rahmat ini, kirain batu berlian rupanya sama saja kayak Kak Salma, batu empang," ujar Yuni. "Kalau aku batu empang, kau batu apa? Kau itu batu WC, batu taik, hahaha.""Pergi kau dari rumah ini! Pergi! Kau itu masih nikah siri sama Rahmat, secepatnya akan kusuruh anakku menceraikanmu, berani-beraninya kau bicara begitu sama kami! Mulutmu itu kayak comberan! Pergi kau!" hardik Bu Mega dengan emosi. "Ishh, ga usah disuruh aku juga mau pergi dari sini, orangnya ga waras semua," ucap Tina lalu mengajak Vita dan Kia pergi. "Dasar wanita sinting!" Bu Mega berteriak di depan pintu. "Kau itu sudah tua tapi kelakuanmu macam dajjal," ucap Ti
"Udah jangan nangis, seharusnya kalian bersyukur, karena Bapak kalian masih mau bertanggung jawab sama kalian," ucap Tina saat Vita dan Kia sudah sampai di rumah Rahmat, rencananya besok kedua anak itu akan diantar ke Binjai. "Kami mau mau tinggal sama Bunda," ucap Kia dibalik isak tangisnya. "Bunda kalian itu miskin! Mau dikasih makan apa kalian kalau tinggal sama dia? Sudah, diam! Jangan menangis lagi, habiskan makannya, setelah ini tidur, besok kalian Tante antarkan ke Binjai."Kia dan Vita masih menangis, Rahmat tidak peduli perasaan kedua anaknya, Rahmat cuma pengen melihat kehancuran Salma. Keesokan harinya. Setelah berangkat kerja, Tina menyuruh Vita dan Kia siap-siap karena sebentar lagi Tina akan mengantarkan kedua anak itu ke Binjai, sesuai perjanjian Yuni dan rahmat tempo hari bahwa Yuni akan merawat Vita dan dia dengan syarat Rahmat memberi uang sebanyak 3 juta perbulan.Tiina sudah memesan taksi online, wanita sexi itu sudah menunggu di teras bersama Vita dan Kia, ke
"Yuni juga senang Mak, karena sebentar lagi akan dapat uang dari Bang Rahmat tiap bulan, Mamak tau sendiri kan, Bang Ari selingkuh, dan Yuni juga mau cerai, apalagi sekarang ada Bang Husein yang mampu membuat Yuni jatuh cinta, semakin membuat Yuni semangat untuk mau minta cerai dari Bang Ari, biar cepat jadi istri Bang Husein.""Oiya, mengenai Husein, Mamak udah dapat alamatnya, kau mainlah ke rumahnya, bawa buah tangan buat ibunya, intinya kau harus bisa masuk dan berbaur sama keluarga mereka, pasti si Husein itu jatuh hati sama kau.""Aman itu Mak, serahkan sama Yuni," ujar Yuni sambil mengacungkan jempolnya. " Jangan lupa kau pakai itu pupur perindu yang kita dapat dari Jeng Ami, supaya urusanmu dalam mendekati Husein berjalan dengan lancar, karena si Salma itu pasti pakai guna-guna dan kita juga jangan mau kalah sama dia." "Ya jelas menang Yuni lah, Mak. Secara wajah body dan penampilan, Yuni lebih oke, modis dan stylish, sangat jauh dengan Kak Salma yang dekil itu, apalagi Yu
Rahmat segera mengurus hak asuh anak agar jatuh ke tangannya, dia memberikan bukti pada pengadilan agama kalau Salma tidak berpenghasilan dan kedua anaknya akan sengsara jika hak asuh jatuh ke tangan ibunya, tentunya pengadilan membutuhkan penyelidikan, tetapi setelah melakukan berbagai pertimbangan, hak asuh jatuh ke tangan Rahmat, karena Rahmat yang dianggap mumpuni untuk memberikan kehidupan yang layak untuk Vita dan Kia. Ketuk palu sebagai tanda berakhirnya perceraian Rahmat dan Salma diakhiri dengan isak tangis Salma, bahkan ibu dua anak itu sempat protes, bagaimana tidak, moment seharusnya dia merasa lega karena bisa lepas dari dari pernikahan toxic, malah berbalik menjadi duka karena pengadilan memutuskan hak asuh jatuh ke tangan Rahmat. "Selamat menikmati hidup yang penuh dengan kesengsaraan, Salma," ucap Rahmat diselingi dengan tawa yang mengejek. "Sebenarnya apa maumu, Bang? Kenapa kau tega memisahkan aku sama Vita dan Kia, padahal selama ini kau tidak begitu dekat denga
"Salma, kau jangan takut ya, aku murni hanya ingin membantumu," ucap Husein meyakinkan, Salma melihat ketulusan yang terpancar dari raut wajah lelaki yang ada di depannya itu, perasaan sungkan dan khawatir yang tadi menyapa perlahan hilang. "Terima-kasih Husein.""Iya Salma, oiya, aku mau balik ke rumah uwakku, sebaiknya kau balik Salma, terlalu bahaya kalau kau sendirian di sini," ucap Husein memberi saran. Salma melihat sekitar, benar apa yang dikatakan teman masa kecilnya itu, tempat itu begitu sepi, kalau hari biasa masih ada satu dua orang yang berada di sana atau terlihat lampu-lampu dari sampan atau boat nelayan, tapi malam ini memang begitu sepi."Mungkin karena masih dalam suasana lebaran, jadi sebagian warga kampung sini masih berlebaran di rumah saudara mereka, baiklah aku juga hendak pulang, sekali lagi terima-kasih Husein." Salma juga memutuskan untuk pulang karena dia pun sudah merasa baik-baik saja setelah berbicara dengan Husein. Saat Salma sampai di rumah kontrak
Berulang kali Salma mengucap istighfar, dadanya terasa sesak, belum hilang rasa shock saat melihat sendiri perselingkuhan Rahmat, ditambah ancaman Rahmat yang mengatakan akan mengambil hak asuh Vita dan Kia, kini tambah satu masalah lagi, rasanya tidak berkesudahan masalah yang datang pada Salma. Sambungan telepon ditutup secara sepihak oleh Bu Mega, Salma diam mematung dengan perasaan sakit yang teramat sangat menghujam jantungnya, netranya kian memanas dalam hitungan detik jatuh tak terbendung membasahi pipinya yang tirus. Dalam keadaan menangis seperti ini, tidak mungkin Salma masuk ke dalam, ia takut ibunya semakin khawatir, begitu juga jika dilihat oleh Vita dan Kia, Salma harus tetap terlihat tegar dan kuat agar orang-orang yang ia sayang tidak merasa khawatir, karena masih dalam suasana lebaran jadi kampung tempat orang tuanya tinggal terlihat sepi, Salma ingin berjalan-jalan sebentar di sekitar kampung untuk menenangkan hatinya. Cukup sepuluh menit berjalan, Salma sudah sam
"Perempuan gila!' teriak Rahmat saat Salma dan bapaknya sudah tidak terlihat lagi, lalu lelaki itupun memaki sepuas hatinya dan setelahnya ia pun masuk ke dalam rumah dan membanting daun pintu dengan sangat kencang. " Kenapa marah-marah seperti itu, Abang? Seharusnya Abang bahagia, karena sebentar lagi Abang akan bebas dari wanita jelek itu dan ada aku yang yang siap jadi pengganti wanita itu, aku janji akan menjadi istri yang menyenangkan bagi Abang. Adek siap melayani Abang, kapan pun Abang mau," ucap Tina setelah keluar kamar dan menghampiri Rahmat. "Argggh! Kau pulang dulu lah sekarang, aku ingin sendirian," ucap Rahmat sambil menghempaskan bobot tubuhnya di sofa sambil sesekali menyugar rambut karena frustasi, Rahmat sangat ingin membuat hidup Salma menderita, wanita yang selama ini selalu dalam genggamannya, apapun perlakuan Rahmat, Salma selalu menurut, tetapi sekarang Salma terang-terangan ingin minta cerai, ego Rahmat semakin menjadi dan keinginannya saat ini hanya ingin me
"Jangan kau videokan!" Seru Rahmat ingin meraih ponsel dalam genggaman Salma, dengan cepat Salma mengelak membuat Rhahmat semakin murka dan ingin merebut ponsel itu lagi. "Jangan berani macam-macam kau Rahmat!" teriak Pak Nurdin yang kini sudah membenci menantunya itu, Rahmat tidak mengindahkan ucapan Pak Nurdin, ia terus saja berusaha merebut ponsel Salma, Pak Nurdin yang melihat pun jadi ikutan emosi lalu menghadang Rahmat. "Tua bangka! Minggir kau!" Dengan emosi Rahmat mendorong tubuh Pak Nurdin. "Ya, Allah, Bapak!" pekik Salma saat melihat bapaknya tersungkur ke lantai karena dorongan kasar Rahmat, Salma berlari menghampiri bapaknya sedangkan Rahmat seolah tidak peduli, ia tampak masih bernafsu mengincar benda pipih yang masih dalam genggaman Salma, tidak peduli pada kondisi Pak Nurdin yang terkulai lemas. "Tolong! Tolong!" teriak Salma saat Rahmat dengan penuh nafsu ingin merebut ponsel dalam genggaman Salma, sambil kakinya menendang Salma beberapa kali dan mengenai bagian ba