"Eh, kok malah menuduhku?""Siapa tau saat aku pergi tadi, Tina datang ke rumah ini, biasanya kalau orang bersalah itu, pasti akan sibuk menuduh orang lain, ya kayak Abang inilah, menuduhku secara membabi buta untuk menutupi kesalahanmu, Bang.""Hadeh, jangan mengarang cerita kau, Salma.""Aku ga mengarang cerita, malah sebaliknya Abanglah yang mengarang cerita, siapa tau saat aku pergi tadi, kalian berdua entah mengapain di kamar lalu Abang memberikan uang itu pada Tina, lagian tatapan wanita itu ke Abang sangat beda, begitu juga Abang ke Tina, seperti ada Something diantara kalian.""Halah! Sok-sok an someting sometong, miskin saja sok pake bahasa enggres, masalah uangku yang hilang, sudahlah, tidak aku permasalahkan lagi, masalah kartu BPJS itu, ya sudah jugalah, aku tidak permasalahkan, yang penting untuk saat ini, kau jangan lagi banyak tingkah, jangan menuntut aneh-aneh, jangan curigaan dan jangan cemburuan, pokoknya apa yang suamimu ini lakukan, kau nurut saja, jangan protes in
"Ya Allah Mak, enggak apa-apa kan? Memang buruk sekali perangai istri Bang Rahmat itu, tidak memiliki sopan santun, sama mertua saja seperti ini," ucap Yuni sambil membantu ibunya untuk berdiri. "Baju Mamak jadi kotor begini," sambung Ema, menantunya Bu Mega–istri dari Burhan. Sambil tangannya yang tersapu kutek mengibas-ngibas baju gamis Bu Mega yang kotor. Rahmat terlihat mengeras rahangnya karena melihat sikap Salma yang kurang ajar pada ibunya. "Sudah, ayo kita berangkat sekarang," ajak Burhan, mereka semua sekeluarga masuk ke dalam mobil kijang inova reborn keluaran terbaru. Salma dan kadua anaknya sudah sampai di masjid raya Binjai, setelah memarkir motor, Salma dan kedua anaknya cepat mengambil tempat. "Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu!"Takbir idul fitri bergema dengan begitu indah, Salma yang sudah duduk diantara jamaah wanita yang lain tidak kuasa menahan haru, dengan sekuat tenaga ia berusaha tida
"Halo, kenapa diam saja." Lelaki itu melambaikan tangannya di depan Salma yang diam mematung, sedangkan Salma yang pikiran dan perasaan yang sedang sulit diartikan akhirnya tersadar. "Pak, sekali lagi saya minta maaf karena telah menabrak mobil Bapak, sungguh, semua ini tidak ada unsur kesengajaan, saya lalai, jika memang harus ganti rugi, saya harap diberi keringanan dengan cara mencicilnya," ucap Salma dengan membungkukkan kedua badannya sebagai tanda bahwa dia benar-benar minta maaf. "Tidak masalah, lagian mana ada orang yang sengaja menabrak mobil yang sedang terparkir, masuklah sebentar, ini kakinya adik-adik ini terluka, biar saya obati, oh, perkenalkan, nama saya Husen." Lelaki itu mengulurkan tangannya dengan ramah, Salma tidak berani menyentuh tangan yang bukan muhrimnya, ia hanya menangkupkan kedua tangannya. "Nama saya Salma, kaki kedua anak saya biar saya obati saja, kami permisi pulang dulu," ucap Salma canggung karena merasa sungkan, jika mengikuti saran lelaki itu un
Salma menatap Husein, dengan cepat ia menundukkan pandangannya. "Maaf, saya tidak ingat," ujar Salma masih dengan sopan. "Kita dulu teman Satu MDTA Husbol Waton Belawan."Salma mengernyitkan alisnya dan tampak berpikir sambil ekor matanya sesekali melihat ke arah Husein dengan perasaan sungkan. "Husein? Kamu Husein yang dulu juara satu adzan?""Dan kamu juara satu nasyid bersama Ida, Henny dan Dewi," ucap Husein antusias. "Ya Allah, aku tidak mengenalmu, bukankah kamu dulu ….""Gendut, hahahaha," kekeh Husein sehingga menampilkan deretan gigi rapi dan bersih. "Aku benar-benar tidak mengenalmu, maaf lah ya," ucap Salma, karena memang penampilan Husein sangat berbeda saat zaman Madrasah dulu, Husein yang dulu begitu kelebihan berat badan dan berkulit gelap, sangat kontras dengan penampilannya sekarang. Salma tidak merasa canggung lagi tetapi masih menjaga kesopanan, mereka terlibat pembicaraan ringan, hanya sekedar mengenang masa sekolah saat di Madrasah dulu sampai akhirnya Salma
"Apalagi Salma, kok malah diam, kau? Kita ga ngasih THR enam juta sama Mamak karena keserakahanmu dan kau ambil diam-diam uang itu, jadi kaulah yang mencuci piring." Rahmat ikut menghakimi. "Kan uangnya udah aku kembalikan, Bang. Kenapa harus Salma, kan ada Yuni, ada Kak Ema.""Heh! Mulai lancang kau ya Salma, Ema itu anak orang kaya, malah kau suruh pulak cuci piring! Yang pasang canopy di garasi itu pakai uang Ema, dan masih banyak lagi dia membantu dari segi keuangan di rumah ini, sangat beda sama kau, jadi, anggap saja kau ngasih tenaga di rumah mertuamu." Bu Mega tidak terima Salma menyuruh Ema–menantu kesayangannya mencuci piring. "Lagian uang THR yang kau curi dan kau kembalikan itu, sudah habis untuk biaya perobatan Mamakmu," ujar Rahmat lagi. Salma merasa terpojok, pelan Salma menata hatinya yang terasa sakit dengan ucapan-ucapan suami dan keluarganya, tidak ada pilihan lain, Salma pun berdiri dan menuju dapur, memang benar apa yang mertuanya katakan, orang miskin dan t
"Astaghfirullah, anak sekecil ini bicara kasar kayak gitu seharusnya kau nasehatin Yun, bukan malah membenarkan.""Loh, anak kecil itu masih polos dan kata yang keluar dari mulutnya itu ga ada yang bohong, lagian, ini coklat mahal, wajar jika Ayumi mengatakan kalau mereka mencuri," ucap Yuni sambil menunjuk Vita dan Kia, sakit rasanya hati Salma anaknya ditunjuk seperti itu seperti orang hina saja dan terlebih lagi dituduh mencuri. "Tidak Yun, itu coklat bukan hasil mencuri, tadi dikasih temanku.""Huahaha, dikasi teman? Teman? Ini coklat mahal loh, Kak, sama yang dibeli Bang Burhan saat ke Batam, temanmu yang mana? Palingan temanmu penjual ikan atau penjual jamu, mana mungkin bisa beli coklat semahal ini," kekeh Yuni dengan raut wajah merendahkan. "Terserahlah Yun, aku malas ribu, ayo Vita, Kia, masuk saja ke dalam.""Huu, dasar pencuri." Masih terdengar suara Ayumi menuduh kedua anaknya Salma. Salma menggandeng anaknya untuk masuk ke dalam rumah dan tidak bermain dengan sepupu-se
"Salma, nanti agak sorean saja kau ke Belawan, selesaikan dulu pekerjaanmu." Rahmat bicara pada Salma yang sudah siap-siap hendak pergi. "Itu bukan pekerjaanku Bang, dari semalam aku sudah mengerjakan semuanya, jadi sekarang gantianlah.""Kalau bukan kau yang ngerjain, jadi siapa?" tanya Bu Mega. "Mohon maaf Mak, Salma harus pergi sekarang." Saat Salma hendak melangkahkan kakinya keluar, Rahmat mencegah. "Udahlah Salma, mengalah saja, ini lagi hari raya, ikuti saja apa kata Mamak, baru saja tadi kau minta maaf, sudah berulah," ujar Rahmat Sambil memegang lengan Salma, sebenarnya Salma juga males ribut, pengen juga ia kerjaan cucian piring itu hitung-hitung baktinya pada mertua, tetapi mengingat anaknya disakiti dan dapat perlakuan buruk, tidak tega rasa Salma apalagi Vita anak sulungnya yang mengajaknya pergi. "Kak Salma itu kalah malu, karena ga bisa mendidik anak, ditambah tidak bisa menjadi istri dan menantu yang baik, makanya dia cepat-cepat mau pergi karena udah bertumpuk dos
"Iya, ayo buktikan? Mana kawanmu itu? Segitunya kau berbohong sampai menamparku," ucap Yuni sambil memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan Salma. "Kuharamkan kau menyentuh anakku ya, lebih mahal lagi perawatan wajah anakku daripada harga dirimu itu." Kini Bu Mega yang bersuara. "Hanya gara-gara anakku makan coklat, kalian sampai menghina aku dan anakku seperti ini, ya Allah, bagaimana ya kalau anakku menginjakkan kaki ke luar negeri, pasti sudah macam cacing kepanasan kalian." "Apa? Keluar negeri? Hahaha, halumu keterlaluan, jangan mengelak lagi,ayo, mana kawanmu itu," ejek Yuni. "Ini hari raya, mana mungkin aku suruh temanku ke rumah ini, dia pasti sibuk." Salma mencoba menjelaskan, ibu dua anak itu kini bagai terdakwa, semua mata memandangnya hina tanpa terkecuali, suaminya yang seharusnya yang melindungi, tidak membelanya sedikitpun, Salma memeluk kedua anaknya, Vita semakin sesenggukan, si sulung sudah bisa mengerti bahwa keluarga neneknya begitu hina memperlakukan