"Apalagi Salma, kok malah diam, kau? Kita ga ngasih THR enam juta sama Mamak karena keserakahanmu dan kau ambil diam-diam uang itu, jadi kaulah yang mencuci piring." Rahmat ikut menghakimi. "Kan uangnya udah aku kembalikan, Bang. Kenapa harus Salma, kan ada Yuni, ada Kak Ema.""Heh! Mulai lancang kau ya Salma, Ema itu anak orang kaya, malah kau suruh pulak cuci piring! Yang pasang canopy di garasi itu pakai uang Ema, dan masih banyak lagi dia membantu dari segi keuangan di rumah ini, sangat beda sama kau, jadi, anggap saja kau ngasih tenaga di rumah mertuamu." Bu Mega tidak terima Salma menyuruh Ema–menantu kesayangannya mencuci piring. "Lagian uang THR yang kau curi dan kau kembalikan itu, sudah habis untuk biaya perobatan Mamakmu," ujar Rahmat lagi. Salma merasa terpojok, pelan Salma menata hatinya yang terasa sakit dengan ucapan-ucapan suami dan keluarganya, tidak ada pilihan lain, Salma pun berdiri dan menuju dapur, memang benar apa yang mertuanya katakan, orang miskin dan t
"Astaghfirullah, anak sekecil ini bicara kasar kayak gitu seharusnya kau nasehatin Yun, bukan malah membenarkan.""Loh, anak kecil itu masih polos dan kata yang keluar dari mulutnya itu ga ada yang bohong, lagian, ini coklat mahal, wajar jika Ayumi mengatakan kalau mereka mencuri," ucap Yuni sambil menunjuk Vita dan Kia, sakit rasanya hati Salma anaknya ditunjuk seperti itu seperti orang hina saja dan terlebih lagi dituduh mencuri. "Tidak Yun, itu coklat bukan hasil mencuri, tadi dikasih temanku.""Huahaha, dikasi teman? Teman? Ini coklat mahal loh, Kak, sama yang dibeli Bang Burhan saat ke Batam, temanmu yang mana? Palingan temanmu penjual ikan atau penjual jamu, mana mungkin bisa beli coklat semahal ini," kekeh Yuni dengan raut wajah merendahkan. "Terserahlah Yun, aku malas ribu, ayo Vita, Kia, masuk saja ke dalam.""Huu, dasar pencuri." Masih terdengar suara Ayumi menuduh kedua anaknya Salma. Salma menggandeng anaknya untuk masuk ke dalam rumah dan tidak bermain dengan sepupu-se
"Salma, nanti agak sorean saja kau ke Belawan, selesaikan dulu pekerjaanmu." Rahmat bicara pada Salma yang sudah siap-siap hendak pergi. "Itu bukan pekerjaanku Bang, dari semalam aku sudah mengerjakan semuanya, jadi sekarang gantianlah.""Kalau bukan kau yang ngerjain, jadi siapa?" tanya Bu Mega. "Mohon maaf Mak, Salma harus pergi sekarang." Saat Salma hendak melangkahkan kakinya keluar, Rahmat mencegah. "Udahlah Salma, mengalah saja, ini lagi hari raya, ikuti saja apa kata Mamak, baru saja tadi kau minta maaf, sudah berulah," ujar Rahmat Sambil memegang lengan Salma, sebenarnya Salma juga males ribut, pengen juga ia kerjaan cucian piring itu hitung-hitung baktinya pada mertua, tetapi mengingat anaknya disakiti dan dapat perlakuan buruk, tidak tega rasa Salma apalagi Vita anak sulungnya yang mengajaknya pergi. "Kak Salma itu kalah malu, karena ga bisa mendidik anak, ditambah tidak bisa menjadi istri dan menantu yang baik, makanya dia cepat-cepat mau pergi karena udah bertumpuk dos
"Iya, ayo buktikan? Mana kawanmu itu? Segitunya kau berbohong sampai menamparku," ucap Yuni sambil memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan Salma. "Kuharamkan kau menyentuh anakku ya, lebih mahal lagi perawatan wajah anakku daripada harga dirimu itu." Kini Bu Mega yang bersuara. "Hanya gara-gara anakku makan coklat, kalian sampai menghina aku dan anakku seperti ini, ya Allah, bagaimana ya kalau anakku menginjakkan kaki ke luar negeri, pasti sudah macam cacing kepanasan kalian." "Apa? Keluar negeri? Hahaha, halumu keterlaluan, jangan mengelak lagi,ayo, mana kawanmu itu," ejek Yuni. "Ini hari raya, mana mungkin aku suruh temanku ke rumah ini, dia pasti sibuk." Salma mencoba menjelaskan, ibu dua anak itu kini bagai terdakwa, semua mata memandangnya hina tanpa terkecuali, suaminya yang seharusnya yang melindungi, tidak membelanya sedikitpun, Salma memeluk kedua anaknya, Vita semakin sesenggukan, si sulung sudah bisa mengerti bahwa keluarga neneknya begitu hina memperlakukan
"Ganteng pulak orangnya!" seru Yuni sambil membetulkan kerudung satin yang sedang wanita itu kenakan saat melihat sosok Husein yang turun dari mobil, Yuni menyangka kalau itu temannya Burhan. "Assalamualaikum," ucap Husein saat sudah berdiri diambang pintu, dengan cepat langkah Yuni mendekat. "Waalaikumsalam, silahkan masuk Bang," ucap Yuni dengan ramahnya. "Bang Burhan ke kamar mandi sebentar, mari masuk, silahkan duduk," lanjut Yuni mempersilahkan Husein masuk. "Salma, cepat kau masuk ke dalam, buatkan minum buat tamunya Burhan, sama bawa anak-anakmu ke dapur, merusak pemandangan saja, takutnya tamunya Burhan muntah lihat penampilan kalian," titah Bu Mega pada Salma, tentu saja Husein mendengar, ia menatap Salma dengan perasaan iba. "Tuh kan, dia lihat kau dengan ekspresi jijik, cepat masuk," ucap Bu Mega lagi. "Maaf, saya datang ke sini karena permintaan teman saya yang bernama Salma, itu dia orangnya," ujar Husein sembari melemparkan senyum ke arah Salma, tentu saja orang ya
"Kalian yang main gila, malah aku yang kau bilang gila, hadeh! Zaman sudah edan!" "Bang, sini, ada yang mau aku bilangin, sini, ayo," bisik Yuni sambil menarik lengan Rahmat untuk masuk ke dalam dapur. Sementara di ruang tamu. "Jadi, betul anda ini temannya Salma?" tanya Burhan. "Iya Betul, Bang." Husein menjawab sopan, sambil sesekali melirik ke arah Salma, sedangkan Salma rasanya sudah tidak kuat ingin segera pergi dari rumah itu. "Husein, terima-kasih sudah mau datang, lebih baik pulang saja sekarang, aku takut suamiku bertingkah yang aneh-aneh padamu, pulanglah, Sen," ucap Salma, karena Salma sudah kehilangan muka di depan Husein, awalnya ia mengira kalau kedatangan lelaki itu dapat menyelesaikan masalahnya, tetapi malah menambah masalah, tidak dapat Salma berkata-kata lagi, entah jenis apa keluarga mertuanya itu. "Kamu baik-baik saja, Sal?" tanya Husein merasa khawatir. "Eh, Bung! Sebaiknya kau rajin sholat dan mengaji, karena kau telah dipelet oleh istriku." Rahmat yang k
"Mak, sudah Mak, tenang, tenang, dia itu calon menantu Mamak, lihat mobilnya robicon, robicon Mak," bisik Yuni menenangkan ibunya saat melihat wajah Bu Mega yang terlihat sangat murka karena Husein melayangkan tonjokan nya tepat di wajah tampan Rahmat.Melihat kejadian itu di depan mata, sebagai ibu kandung, Bu Mega tidak terima, tetapi Yuni yang sudah cinta pada pandangan pertama kepada Husein, sibuk menenangkan hati ibunya, tidak ada alasan bagi Yuni untuk tidak menyukai pria tampan yang baru beberapa menit yang lalu menginjakkan kaki di rumah ibunya itu, selain tampan dan juga gagah, lelaki itu juga orang berpunya alias tajir, terlihat dari mobil mewahnya yang terparkir di depan rumah, jangankan Yuni, Ema yang sudah memiliki suami juga terpesona pada Husein. "Dia memukul Abangmu," bisik Bu Mega pada Yuni. "Iya, tapi Abang itu dalam pengaruh pelet, Mak, dia membela Kak Salma karena pengaruh pelet, seharusnya Mamak salahkan Kak Salma itu, bukan Abang tampan itu, kalau Mamak nampak
"Lihat itu, Salma, gara-gara kau menangis dan sibuk menjelek kan suamimu, anakmu jadi ikut membenci ayah mereka, kau sama saja mendoktrin otak anakmu untuk membenci orang tuanya, kita boleh miskin Salma, tapi jangan bodoh," ujar Pak Burhan. "Tidak Atok, Vita benci sama Ayah bukan karena hasutan Bunda, Ayah kami memang jahat, ga sayang sama kami," ucap Vita. "Tidak boleh seperti itu, Vita. Itu ayahmu, dia yang telah bekerja keras untuk menghidupi kalian, Vita dan Kia bisa makan dan sekolah karena ayah kalian, dia bekerja keras untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan kalian, ayah kalian juga–""Pak, Salma sudah memutuskan untuk bercerai dari Bang Rahmat," ucap Salma memotong ucapan bapaknya, dua bola mata Pak Burhan berhasil membulat secara sempurna saat mendengar ucapan anaknya."Sadar kau Salma saat berucap seperti itu? Kau kira menjadi janda itu gampang? Masyarakat pasti akan berpikiran negatif padamu, lagian macam mana kau bisa menghidupi anak-anakmu kalau berpisah dari Ra
"Keluar kau dari rumah ini! Keluar! Ga sudi aku punya istri macam kau, seribu perempuan macam kau bisa kudapatkan!""Ooo, berani kau mengusirku? Enak saja, aku baru pergi setelah kau bayar semua biaya tidur sama aku, itu semua ga gratis, sudah berapa kali kita bercinta, bayar itu Bang! Bayar!""Helleh, kau yang menawarkan diri, kita melakukannya suka sama suka, bahkan saat aku belum cerai kau obral tempikmu itu sama aku.""Aku ga mau tau, pokoknya bayar!" teriak Tina, tapi Rahmat tidak peduli, dia mendorong tubuh Tina keluar, tidak ia pedulikan teriakan dan makian Tina. Keesokan harinya. "Mat, ada yang nyariin kau, tuh, cewek sexy," ucap Ucok pada siang itu, rekan kerjanya satu profesi dengan Rahmat. "Cewek? Siapa?" tanya Rahmat yang tengah menyeduh kopi di pantry kantor. "Meneketehe, kau lihatlah sendiri," ujar Ucok lagi. Dengan penasaran Rahmat berjalan ke arah gerbang kantor, setelah ia melihat siapa yang datang, gegas Rahmat balik badan. "Bang! Bang Rahmat! Jangan kabur, kau
"Oke, baiklah, dengan senang hati, pantes saja dari tadi mereka menangis dan ga mau diantar ke rumah ini, ternyata keluarga ini keluarga setan, hahaha, ayo Kia, Vita, kalian kuantarkan saja ke Belawan, enak saja mau menguasai gaji Bang Rahmat, aku ga sudi, preeettt," ucap Tina dengan raut wajah mengejek ke arah Yuni. "Wih, wanita apa yang dinikahi Bang Rahmat ini, kirain batu berlian rupanya sama saja kayak Kak Salma, batu empang," ujar Yuni. "Kalau aku batu empang, kau batu apa? Kau itu batu WC, batu taik, hahaha.""Pergi kau dari rumah ini! Pergi! Kau itu masih nikah siri sama Rahmat, secepatnya akan kusuruh anakku menceraikanmu, berani-beraninya kau bicara begitu sama kami! Mulutmu itu kayak comberan! Pergi kau!" hardik Bu Mega dengan emosi. "Ishh, ga usah disuruh aku juga mau pergi dari sini, orangnya ga waras semua," ucap Tina lalu mengajak Vita dan Kia pergi. "Dasar wanita sinting!" Bu Mega berteriak di depan pintu. "Kau itu sudah tua tapi kelakuanmu macam dajjal," ucap Ti
"Udah jangan nangis, seharusnya kalian bersyukur, karena Bapak kalian masih mau bertanggung jawab sama kalian," ucap Tina saat Vita dan Kia sudah sampai di rumah Rahmat, rencananya besok kedua anak itu akan diantar ke Binjai. "Kami mau mau tinggal sama Bunda," ucap Kia dibalik isak tangisnya. "Bunda kalian itu miskin! Mau dikasih makan apa kalian kalau tinggal sama dia? Sudah, diam! Jangan menangis lagi, habiskan makannya, setelah ini tidur, besok kalian Tante antarkan ke Binjai."Kia dan Vita masih menangis, Rahmat tidak peduli perasaan kedua anaknya, Rahmat cuma pengen melihat kehancuran Salma. Keesokan harinya. Setelah berangkat kerja, Tina menyuruh Vita dan Kia siap-siap karena sebentar lagi Tina akan mengantarkan kedua anak itu ke Binjai, sesuai perjanjian Yuni dan rahmat tempo hari bahwa Yuni akan merawat Vita dan dia dengan syarat Rahmat memberi uang sebanyak 3 juta perbulan.Tiina sudah memesan taksi online, wanita sexi itu sudah menunggu di teras bersama Vita dan Kia, ke
"Yuni juga senang Mak, karena sebentar lagi akan dapat uang dari Bang Rahmat tiap bulan, Mamak tau sendiri kan, Bang Ari selingkuh, dan Yuni juga mau cerai, apalagi sekarang ada Bang Husein yang mampu membuat Yuni jatuh cinta, semakin membuat Yuni semangat untuk mau minta cerai dari Bang Ari, biar cepat jadi istri Bang Husein.""Oiya, mengenai Husein, Mamak udah dapat alamatnya, kau mainlah ke rumahnya, bawa buah tangan buat ibunya, intinya kau harus bisa masuk dan berbaur sama keluarga mereka, pasti si Husein itu jatuh hati sama kau.""Aman itu Mak, serahkan sama Yuni," ujar Yuni sambil mengacungkan jempolnya. " Jangan lupa kau pakai itu pupur perindu yang kita dapat dari Jeng Ami, supaya urusanmu dalam mendekati Husein berjalan dengan lancar, karena si Salma itu pasti pakai guna-guna dan kita juga jangan mau kalah sama dia." "Ya jelas menang Yuni lah, Mak. Secara wajah body dan penampilan, Yuni lebih oke, modis dan stylish, sangat jauh dengan Kak Salma yang dekil itu, apalagi Yu
Rahmat segera mengurus hak asuh anak agar jatuh ke tangannya, dia memberikan bukti pada pengadilan agama kalau Salma tidak berpenghasilan dan kedua anaknya akan sengsara jika hak asuh jatuh ke tangan ibunya, tentunya pengadilan membutuhkan penyelidikan, tetapi setelah melakukan berbagai pertimbangan, hak asuh jatuh ke tangan Rahmat, karena Rahmat yang dianggap mumpuni untuk memberikan kehidupan yang layak untuk Vita dan Kia. Ketuk palu sebagai tanda berakhirnya perceraian Rahmat dan Salma diakhiri dengan isak tangis Salma, bahkan ibu dua anak itu sempat protes, bagaimana tidak, moment seharusnya dia merasa lega karena bisa lepas dari dari pernikahan toxic, malah berbalik menjadi duka karena pengadilan memutuskan hak asuh jatuh ke tangan Rahmat. "Selamat menikmati hidup yang penuh dengan kesengsaraan, Salma," ucap Rahmat diselingi dengan tawa yang mengejek. "Sebenarnya apa maumu, Bang? Kenapa kau tega memisahkan aku sama Vita dan Kia, padahal selama ini kau tidak begitu dekat denga
"Salma, kau jangan takut ya, aku murni hanya ingin membantumu," ucap Husein meyakinkan, Salma melihat ketulusan yang terpancar dari raut wajah lelaki yang ada di depannya itu, perasaan sungkan dan khawatir yang tadi menyapa perlahan hilang. "Terima-kasih Husein.""Iya Salma, oiya, aku mau balik ke rumah uwakku, sebaiknya kau balik Salma, terlalu bahaya kalau kau sendirian di sini," ucap Husein memberi saran. Salma melihat sekitar, benar apa yang dikatakan teman masa kecilnya itu, tempat itu begitu sepi, kalau hari biasa masih ada satu dua orang yang berada di sana atau terlihat lampu-lampu dari sampan atau boat nelayan, tapi malam ini memang begitu sepi."Mungkin karena masih dalam suasana lebaran, jadi sebagian warga kampung sini masih berlebaran di rumah saudara mereka, baiklah aku juga hendak pulang, sekali lagi terima-kasih Husein." Salma juga memutuskan untuk pulang karena dia pun sudah merasa baik-baik saja setelah berbicara dengan Husein. Saat Salma sampai di rumah kontrak
Berulang kali Salma mengucap istighfar, dadanya terasa sesak, belum hilang rasa shock saat melihat sendiri perselingkuhan Rahmat, ditambah ancaman Rahmat yang mengatakan akan mengambil hak asuh Vita dan Kia, kini tambah satu masalah lagi, rasanya tidak berkesudahan masalah yang datang pada Salma. Sambungan telepon ditutup secara sepihak oleh Bu Mega, Salma diam mematung dengan perasaan sakit yang teramat sangat menghujam jantungnya, netranya kian memanas dalam hitungan detik jatuh tak terbendung membasahi pipinya yang tirus. Dalam keadaan menangis seperti ini, tidak mungkin Salma masuk ke dalam, ia takut ibunya semakin khawatir, begitu juga jika dilihat oleh Vita dan Kia, Salma harus tetap terlihat tegar dan kuat agar orang-orang yang ia sayang tidak merasa khawatir, karena masih dalam suasana lebaran jadi kampung tempat orang tuanya tinggal terlihat sepi, Salma ingin berjalan-jalan sebentar di sekitar kampung untuk menenangkan hatinya. Cukup sepuluh menit berjalan, Salma sudah sam
"Perempuan gila!' teriak Rahmat saat Salma dan bapaknya sudah tidak terlihat lagi, lalu lelaki itupun memaki sepuas hatinya dan setelahnya ia pun masuk ke dalam rumah dan membanting daun pintu dengan sangat kencang. " Kenapa marah-marah seperti itu, Abang? Seharusnya Abang bahagia, karena sebentar lagi Abang akan bebas dari wanita jelek itu dan ada aku yang yang siap jadi pengganti wanita itu, aku janji akan menjadi istri yang menyenangkan bagi Abang. Adek siap melayani Abang, kapan pun Abang mau," ucap Tina setelah keluar kamar dan menghampiri Rahmat. "Argggh! Kau pulang dulu lah sekarang, aku ingin sendirian," ucap Rahmat sambil menghempaskan bobot tubuhnya di sofa sambil sesekali menyugar rambut karena frustasi, Rahmat sangat ingin membuat hidup Salma menderita, wanita yang selama ini selalu dalam genggamannya, apapun perlakuan Rahmat, Salma selalu menurut, tetapi sekarang Salma terang-terangan ingin minta cerai, ego Rahmat semakin menjadi dan keinginannya saat ini hanya ingin me
"Jangan kau videokan!" Seru Rahmat ingin meraih ponsel dalam genggaman Salma, dengan cepat Salma mengelak membuat Rhahmat semakin murka dan ingin merebut ponsel itu lagi. "Jangan berani macam-macam kau Rahmat!" teriak Pak Nurdin yang kini sudah membenci menantunya itu, Rahmat tidak mengindahkan ucapan Pak Nurdin, ia terus saja berusaha merebut ponsel Salma, Pak Nurdin yang melihat pun jadi ikutan emosi lalu menghadang Rahmat. "Tua bangka! Minggir kau!" Dengan emosi Rahmat mendorong tubuh Pak Nurdin. "Ya, Allah, Bapak!" pekik Salma saat melihat bapaknya tersungkur ke lantai karena dorongan kasar Rahmat, Salma berlari menghampiri bapaknya sedangkan Rahmat seolah tidak peduli, ia tampak masih bernafsu mengincar benda pipih yang masih dalam genggaman Salma, tidak peduli pada kondisi Pak Nurdin yang terkulai lemas. "Tolong! Tolong!" teriak Salma saat Rahmat dengan penuh nafsu ingin merebut ponsel dalam genggaman Salma, sambil kakinya menendang Salma beberapa kali dan mengenai bagian ba