Hari ini, hari senin. Sekolah masuk seperti biasanya, upacara baru saja selesai di laksanakan, para siswa-siswi berbondong-bondong meninggalkan lapangan. Termasuk sang tokoh utama kita, Adila Dirgantara.
Dia sedang berjalan bersama Bagas dan duo kembar. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi sepertinya itu adalah hal serius.
"Lo tau enggak?" tanya Farel kepada teman-teman nya.
"Nggak!"
Farel menatap sinis ke arah Kakak kembarnya, "Apa sih Bang, nyahut aja kayak listrik!"
Farhan mengarahkan jari telunjuk dan jari tengahnya kearah mata Farel, "Mata lo mau gue colok pakek garfu!"
"Kalian kalau berantem gue tampol nih!" ancam Adila kepada ke-duanya, yang membuat mereka segera diam "lanjutin!"
"Ada anak baru katanya. Gila cuy cantik-cantik" Farel berujar dengan heboh, bahkan membuat beberapa murid menoleh kearahnya.
"Udah itu doang? Sekarang giliran gue. Ada yang mau gue omongin, besok kita ketemuan di cafe dekat taman kota," ucap Adila sebelum berlalu meninggalkan mereka.
Farhan merangkul Bagas dan Farel, "Dia kenapa kawan?" tanya Farhan.
"PMR kali" Farel menimpali pertanyaan Farhan.
Tuk.
"PMR mata lo PMR. PMS!" ucap Bagas sebelum pergi meninggalkan kedua saudara kembar itu.
"Mata lo PMR, Rel? Gih sana, taruh di UKS. Tadi enggak ada yang jaga soalnya"
"Gue slepet ya lo!" teriak Farel kepada Farhan yang berlari menghindari nya.
*****
Di lain tempat, Adila sedang berada di rooftop. Tempat itu adalah tempat biasa Kakaknya menenangkan diri. Masih banyak pertanyaan tentang Kakaknya yang meninggal, dia yakin Kakaknya meninggal bukan hanya karena ulah Noval yang menyeret ke-dua saudaranya.
Soal ke-dua saudaranya, dia masih menunggu mereka yang menjelaskannya secara langsung. Meskipun sejak semalam dirinya sudah tidak tahan untuk meminta maaf, kali ini dirinya benar-benar membenci sifat ke-dua saudaranya yang gengsi untuk meminta maaf terlebih dahulu.
"Ngapain lo disini?" tanya seorang siswa yang baru saja memasuki pintu rooftop.
"Punya mata kan?"
"Adila Dirgantara..."
Deg.
Lagi-lagi jantung Adila berdetak tidak karuan, tidak ada siswa atau pun siswi di sekolah ini yang tahu jika dirinya bukan Alana Dirgantara melainkan Adila Dirgantara.
"Jadi benar, lo bukan Alana?" tanya siswa tadi saat melihat punggung Adila mematung.
Adila memutar tubuhnya menghadap siswa tadi, "Iya. Gue Adila, bukan Ala-" belum selesai ucapan Adila, tiba-tiba siswa di depannya langsung memeluknya dengan erat.
(Makk. Adila sesek napas!) batinnya menjerit saat merasakan oksigen nya menipis.
"Lo kemana aja, kenapa enggak pamit!"
"Lo siapa?"
"Lo enggak ingat sama Kakak lo?" tanya siswa tadi yang sudah melepaskan pelukannya.
"Kakak? Nana maksud lo? Maaf dia di Jerman, lagi sekolah bukan di sini."
Adila beranjak meninggalkan siswa tadi, tapi tangannya di tahan oleh siswa tadi yang membuatnya naik pitam.
"Lep-"
"Gue Jovan Rahardjo, temen SMP Kakak lo!"
"Loh? Kak Jo?" tanya Adila tidak percaya.
"Iya..." Jovan tersenyum dan mengelus kepala Adila. Dirinya sudah menganggap Adila sebagai Adiknya sendiri.
Setelah beberapa menit berbincang, Jovan menyuruh Adila masuk ke kelas karena bel sekolah sudah berbunyi. Mereka berpisah di lantai 2 dimana kelas Jovan berada.
"Belajar yang rajin. Kalau enggak nanti gue bilangin sama Nana!" peringat Jovan kepada Adila sebelum pergi.
"Iya-iya. Badan doang kekar, tapi tukang ngadu," gumam Adila yang masih bisa di dengar oleh Jovan.
"Kakak dengar ya La..."
Adila menginjak kaki Jovan sebelum pergi, "Kikik dingir yi Lii...blablabla"
Jovan tersenyum melihat Adila tidak berubah sejak dulu— namanya manusia, kalau power rangers ya bisa berubah.
"Lihat Na, Adik lo enggak pernah berubah. Susah di atur" Jovan bersandar di pintu kelasnya dengan tangan terlipat di dada, dengan senyum konyol di wajahnya.
Raden menghampiri sahabat nya. Dia heran kenapa Jovan tersenyum kepada pohon di depannya seperti orang gila? Dengan was-was dia mengambil botol air milik Dimas, dia membuka tutup botolnya dan membaca beberapa mantra...
"Ada setan yang masuk ke tubuh setan. Baik, Raden saatnya menjadi dukun. Pijampi jampi jampi 'mandi ora mandi, kudu mandi buh buh!" Raden mengucapkan mantra menggunakan bahasa Jawa yang biasanya dia gunakan.
Byur...
Raden meminum air di tangannya dan menyemburkan nya ke arah Jovan, yang membuat siswa-siswi di kelas mereka tertawa.
"Bau jigong! bang- Raden sialan!" teriak Jovan dan mengejar Raden yang sudah lari tunggang langgang kearah Revano yang sedang mengerjakan soal matematika.
"Gue kira tadi lo ketempelan! Jadi gue sembuhin!" bela Raden.
"Jigong lo manjur ya Den, buat nyembuhin orang ketempelan," ejek Marvin yang sedang memakn semangka di tangannya.
"Sialan lo!" Raden melemparkan bolpoin milik Revano kearah Marvin, yang justru mendapatkan tatapan tajam dari pemiliknya.
Raden mengangkat ke-2 tangannya, "Gue ambilin!" lalu dengan pasrah beranjak mengambil bolpoin milik Raden.
Jovan mengompori Revano yang tidak menggubris sekitarnya, "Hajar Rev, jangan kasih ampun. Orang kayak dia kalau di diemin ngelunjak," Jovan menunggu jawaban Revano. Sedangkan yang di tunggu masih sibuk dengan rumus matematika di depannya, "oh, lo nyuruh gue? Oke laksanakan!" Karena tidak mendapatkan jawaban, Jovan mengambil keputusan sendiri.
Dirinya berjalan kearah raden dan meletakkan wajah raden di ketiaknya yang super duper harum.
"Wboi, bwau awsem!"
Marvin tertawa saat melihat Raden menderita, dirinya senang melihat raden yang tersiksa seperti ini.
*****
Jam istirahat baru saja berbunyi, kantin sekolah mulai di penuhi oleh siswa-siswi. Di tempat Raden dkk ada Afia dan Aqia yang terlihat sedang memohon kepada Raden.
"Raden...bantuin kita dong!" ucap Afia yang sudah mulai lelah membujuk Raden.
"Iya. Enggak usah pelit-pelit bantuin orang!" imbuh Aqia.
Raden menghela napas, mengalihkan pandangannya dari bakso yang masih mengepul di depannya, "Bukanya enggak mau. Tapi gue enggak mau nanti Adila marah sama gue," jelas Raden kepada mereka.
(Segitu sayangnya lo sama Adila, sampai enggak melirik orang di sekitar lo?)
Afia melirik Aqia sebentar, "Soal Adila gampang, nanti kita yang urus. Iya nggak Qi?" dengan sedikit tenaga, Afia menyikut perut Aqia yang membuat sangkut empu meringis kesakitan.
Sebagai jawaban, Aqia hanya mengangguk sebagai jawaban, moodnya mendadak hancur.
"Fine! Gue bantu. Awas aja kalau Adila sampai marah sama gue, gue cincang kalian!"
"Oke. Makasih, Kak Raden," ucap Afia penuh penekanan sebelum beranjak pergi dengan Aqia yang dia gandeng— lebih tepatnya Afia menarik Aqia dengan paksa.
******
"Gue tahu lo cemburu. Tapi ingat, bagaimanapun mereka udah temenan sejak kecil. Bukan hal aneh jika salah satu di antara mereka ada yang suka"
"Tapi aku juga temennya, kita semua temenan sejak kecil. Kenapa harus dia?"
"Enggak ada yang bisa mengontrol rasa sukanya. Kalaupun bisa, pasti mereka akan membuat diri mereka lebih menyukai orang yang di cintainya. Sampai tidak ingin berpaling"
Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada seseorang yang mendengarkan pembicaraan mereka.
"Itu alasan gue menjauh. Bahkan...hanya dengan satu cowok, kita bisa terpecah belah."
*****
Malamnya Raden sedang membersihkan rumah yang biasanya mereka gunakan untuk berkumpul. Sudah sangat lama rumah itu tidak di huni, sehingga rumah itu menjadi sangat kotor. Bahkan Raden harus membolos sekolah untuk membersihkannya— tentu saja dengan bantuan sahabat-sahabat nya.
"Sialan. Emak, Bapak gue nyekolahin gue tinggi-tinggi cuman di suruh jadi tukang bersih-bersih!" omel laki-laki berkulit eksotis. Erchan, anak yang memiliki sikap pecicilan di antara mereka semua. Tetapi selalu menjadi moodbooster mereka.
"Emak, Bapak lo pasti bangga, Chan. Anaknya naik pangkat dari babu sekolah menjadi babu pribadi" ejek Jenan. Laki-laki yang paling tinggi di antara mereka, juga paling muda.
"Mulut lo Jen, Suka bener!. Chan, kalau butuh pekerjaan di mansion gue ada lowongan," imbuh laki-laki yang memiliki julukan Tuan Muda sejak dini. Lean, laki-laki yang paling putih di antara mereka, juga jangan lupakan black card yang selalu bertengger di casing HP nya.
"Seriusan Le?" tanya Erchan antusias, karena dia tahu seberapa besar gaji pekerja di rumah Lean. Itung-itung buat beli skincare, biar putih.
"Serius!"
"Boleh-boleh, tapi jadi apa?"
"Jadi tukang nungguin ayam jantan bertelur di rumah gue," jawab Lean enteng tanpa memperdulikan wajah Erchan yang menghitam.
Erchan menekuk tangannya membentuk seperti ular cobra, dan mematuk-matuk 'kan nya ke arah Lean, "Jan maen-maen, jan maen-maen!"
"Lagian, lo juga aneh-aneh!" Jovan yang baru saja masuk ikut menimbrung dengan sahabat-sahabat nya.
"Gaess! Gopud dong gopud! Paduka raja lapar!" teriak Raden yang baru saja menuruni tangga.
"Raja raja...Raja hutan lo?" Erchan menyusul Raden duduk di sofa, begitu pun dengan yang lain.
"Pesen apa?" tanya Revano yang membuka aplikasi Go***.
"Mie ayam, bakso, batagor, siomay, cimol. Minumnya sprite biar nyegerin"
"Lo mau ngerampok ya!" teriak Jenan menunjuk Erchan.
"Enak aja! Mumpung geratisan jangan di sia-siain," ucap Erchan dan melirik Lean yang duduk di depannya.
Lean hanya pasrah, lagipula membelanjakan sahabat-sahabat nya tidak akan mengurangi 1% pun dari harta kekayaan tujuh turunan, delapan tanjakan, sepuluh belokan dan polisi tidur milik keluarganya.
Lean mengeluarkan black card nya, "Nih pakek"
Singkat, padat dan jelas. Bahkan Erchan di buat melonggo melihat sahabatnya dengan enteng mengeluarkan black card.
"Buset! Gue megang black card gaes!"
"Baru megang doang udah heboh, gimana kalau punya. Mungkin pas bangun lo udah beda alam," sahut Marvin yang baru saja tiba.
"Baru pulang di marahin!" Erchan berdiri dan meletakkan tangannya di ke-dua pinggang nya.
"Ngajak ribut?" Marvin balas menantang tidak mau kalah.
"Tenang-tenang ini cuman ta* berkualitas, nih cobain" Jenan mengambil masak-masakan yang dia buat tadi bersama Lean, dan menyuap 'kan kepada mereka.
Dengan santainya Erchan menerima suapan Jenan dan langsung memuntahkan nya. Saat merasakan rasa yang begitu memabukkan.
"Ige Mwoya! Ige boya, i i ig ige boya!"
Dan terjadilah perang di antara Erchan dan Marvin, mereka saling memiting kepala satu sama lain. Sedangkan Jean bingung melihat mereka, karena dirinya yang berselisih dengan Erchan, tapi kenapa Marvin yang bertengkar.
TBC.
Di dalam kamar, Adila hanya tiduran di kasur tanpa ada kegiatan apapun. Sampai suara notif handphone nya mengusir kebosanannya. Radenbagong. 'La... Datang ke tempat biasanya, sekarang!' 'Mau ngapain?' 'Udah, dateng aja. Aku tunggu di depan' 'Loh, eh Raden! Malah di tinggal off' "Ck. Kebiasaan, awas aja lo!" Adila meremat handphonenya karena kesal. Setelah beberapa menit bersiap-siap, Adila sudah duduk manis di motor besarnya. Dia menggunakan celana hitam panjang dengan sepatu booth warna coklat, jaket denim coklat dengan dalaman hitam. "Lepasin gue!" Saat melewati
"Sumpah, di pintu dapur rumah banyak cicak geprek. Kalau enggak percaya, besok liat sendiri!" Adila, Afia, dan Aqia sedang berkumpul di ruang tengah bersama para cowok yang bermain game. Mereka mendengarkan Adila yang bercerita tentang cicak geprek di pintu dapur rumahnya. Aqia bergidik mendengarkan cerita Adila, "Pantesan kemarin gue mau nutup pintu susah, taunya banyak cicak geprek" "Instagram lo gimana? Udah bisa pasang foto profil?" tanya Afia mengalihkan pembicaraan. Sejak tadi dia menahan mual mendengar cerita Adila, karena saat berangkat kesini dia makan sampai kekenyangan. "Jangankan pasang poto profil, instagram gue di pencet aja enggak bisa!" "Kok lo ngomong nya jadi lo/gue?" Adila merasa heran dengan saudranya itu. "Hehehe. Biasa, biar lo mau maafin kita. Siapa tau kalau lo lihat si
"Eh, kalian udah denger belum? Katanya ekstra PBB udah di mulai besok. Hari jumat!" Pagi-pagi sekali, sekolah di hebohkan dengan dimulainya ekstra PBB— lebih tepatnya kelas 10. "Yahhhh. Nanti kita di jemur donggg!" teriak salah satu siswi, yang selalu mementingkan penampilan. "Emang Pak Firman udah pulang?" tanya Bagas mewakili pertanyaan semua siswa-siswi. "Udah, barusan gue lihat ada di kantor" "Pak Firman siapa?" tanya Adila yang baru saja masuk kelas. "Itu, guru PBB di sekolah kita" Adila hanya mengangguk sebagai jawabannya. Pagi ini dirinya berangkat bersama ke-dua saudaranya menggunakan mobil yang di kendarai oleh Aqia. Asal kalian tahu, Adila mabuk kendaraan sepert
Adila sedang duduk dengan kepala menunduk di dalam UKS. Di depannya ada Raden, Jovan, dan ke-dua saudaranya yang menatap dirinya dengan tajam. Sedangkan di belakang mereka, ada Revano, marvin, Jenan, Dan Lean yang berdiri menyaksikan apa yang akan terjadi. Sedangkan sang pemeran utama hanya menunduk kan kepala menatap kakinya yang saling bertautan. Raden menegakkan duduk Adila, dan menyamakan tingginya dengan Adila, "Jadi..." tanya Raden menggantung. Adila menggaruk kepalanya, "Jadi...ya gitu" "Berapa kali harus gue bilang, jangan berantem, jangan cari masalah yang bikin kaki lo kambuh" sekarang giliran Jovan yang menceramahi nya. Dengan tatapan memelas, Adila menatap Afia memohon bantuan yang justru di hadiahi pelototan dari Afia.
Hari ini Adila dan ke-dua saudaranya berada di kantin, yang kebanyakan adalah siswa-siswi kelas Adila. Sudah 3 hari yang lalu kejadian di mana Aqia tidak sengaja ketahuan memotret Raden, tetapi sampai saat ini dirinya masih di jadikan bualan oleh yang lain. "Fi, Fi pose dong," ucap Adila dan membentuk tangannya seperti kamera. Ya seperti Adila tadi contohnya, tetapi yang terparah adalah... Flashback. "Kak Raden, Dedek Aqia nya malu-malu tapi mau nih!!!" teriak Adila, belum lagi Afia yang tiba-tiba menyahuti. "Kak Raden. Dedek Aqia nya mau panggil Mas, boleh enggak?" teriak Afia menyahuti. "Mas Raden!!!" bukan Aqia yang memanggil, tetapi Adila yang berteriak tepat di depan kelas Raden—l
Di halte bus, Adila sedang menunggu seseorang yang sudah dia tunggu selama 30 menit yang lalu. Hari ini adalah hari rabu, sekolah sudah di pulangkan sejak tadi. Saat ini pasti siswa-siswi yang lain sedang merasakan nikmatnya kasur di rumah mereka. Hanya Adila yang masih di area sekolah, dan beberapa siswa-siswi yang masih ada jam mapel kejuruan. Saat ini Adila benar-benar menyesali perbuatannya yang menyuruh ke-dua Saudara untuk pulang terlebih dahulu, seharusnya tadi dia meminta mereka untuk menemaninya, jadi dirinya tidak seperti anak hilang.Flashback. "Kalian duluan aja, gue pulangnya nanti" ucap Adila kepada ke-dua saudranya yang sudah menunggu di depan pintu kelasnya. "Mau kemana lo?" tanya Aqia
Afia sedang berada di perjalanan menuju ke supermarket terdekat. Dirinya berniat membeli makanan ringan untuk dia dan ke-dua saudranya. Saat ini dirinya sedang menunggu sang adik yang entah pergi kemana. Dengan perasaan kesal, Afia membeli mie dan menyeduh nya di supermarket. Saat sedang menikmati mie panas dengan rasa pedas yang menggiurkan. Tiba-tiba ada orang yang duduk di depannya, tepat di depan wajahnya. Bahkan jika dia bergerak maju, maka hidung mereka akan bersentuhan. Uhuk uhuk. Afia tersedak kuah mie nya sendiri. Tenggorokan nya terasa perih dan panas, Jovan—orang yang membuat Afia tersedak kuah mie pedas itu. Jovan mengambil air minum di depannya, dan memberikan air itu kepada Afia setelah membuka tutup botolnya. Jovan mengusap kepala Afia dengan gemas, "Makanya, pelan
"Terus? Kalian pisah jalan gitu aja? Gaada adegan-adegan pelukan kayak di drakor gitu?" tanya Aqia heboh. Dirinya terkejut Revano tiba-tiba mengajak saudaranya untuk berangkat bersama. Afia memukul kepala Aqia, "Drakor mulu. Pikirin tuh doi lu yang ga peka-peka" "Dia peka kok, cuman kurang pinter aja" sahut Aqia yang tiba-tiba teringat Raden. "La...terus lukanya Kak Revano?" tanya Afia yang penasaran. "Ya nggak gue obatin lah, dianya aja enggak mau" Penjelasan Adila barusan membuat seseorang menghela napasnya lega.***** Pagi ini, seperti janji Revano kemarin, mereka berangkat bersama. Revano sudah menunggu Adila di depan rumahnya, sedangkan yang di tunggu masih sibuk marah-marah karena berangkat terlalu pagi. "Kak, kalau enggak niat j
Setelah pertandingan minggu lalu, Adila tidak masuk sekolah selama hampir satu minggu. Entah apa yang terjadi, saat ini dia seperti di musuhi satu sekolah, bahkan ke-dua sepupunya pun seperti membenci dia. "Bukan gue, La. Gue enggak ada hubungan apa-apa sama kekalahan lo di pertandingan." Adila mengernyitkan dahinya bingung. Tadi dia berencana menuju ke kantin untuk makan siang, tetapi entah datang darimana rubah sialan ini tiba-tiba menabraknya dan berperilaku seolah-olah dia sedang membully nya. "Kalah karena kemampuan sendiri yang buruk, tapi nyalahin orang." "Seketika gue menyesal karena merekomendasikan dia." "Kasihan Gina, padahal dia yang selalu membela Adila di saat yang lain menjelekkan nya." 
Adila terbangun saat mendengar nada dering di ponselnya. Dia ingin menggerakkan tangan dan kakinya tetapi tidak bisa, seperti ada yang memeganginya. Adila membuka matanya dan melihat sekitarnya gelap, dia merasa seperti di sebuah ruangan yang sunyi dan dingin. "Gue enggak mati, 'kan?" gumamnya. Adila berteriak saat mengira jika dia sudah mati dan sedang berada di alam kubur. Di sisi lain Revano yang belum bisa tidur pun segera menghampiri kamar sebelah menggunakan senter handphone nya. Sekaramg jam tiga dini hari, dan sedang ada pemadaman listrik.Revano. Sudah satu jam gue hanya memandangi langit-langit ruangan yang gelap. Tepat pukul 03.00 listrik di sini mati. Gelap, sunyi dan dingin. Awalnya gue berniat membangunkan Raden, tetapi suara teriakan seseorang yang gue k
Saat ini Adila dan yang lainya sedang berada di pasar, mereka berencana membuat nasi kuning. Sedangkan Erchan dan para laki-laki sedang mencari gudeg, sejak kemarin Erchan merengek meminta gudeg. "Barangnya udah semua, 'kan?" Aqia bertanya untuk memastikan tidak ada yang kurang, sehingga nanti mereka tidak susah-susah untuk kembali. Adila membaca catatan di kertas yang dia pegang, sedangkan Lisa dan Afia mengecek keranjang belanjaan yang mereka letakkan di bawah. Merasa sudah lengkap, mereka kembali berjalan menuju parkiran, sampai sebuah suara membuat mereka yang tadinya bercanda terdiam seketik— terutama Aqia. "Qia?" Aqia yang melihat laki-laki di depanya pun seketika terdiam, dia menunduk dan berjalan mendahului yang lain. Andre, laki-laki
"Adila masih belum mau makan apa apa, Nek?" tanya Afia yang baru saja melihat Nenek nya keluar dari kamar yang di tempati Adila. "Belum. Anak itu kalau sakit ndak mau makan opo opo, Nenek sendiri 'akhire sek' pusing," jawab Nenek Indah. Karena belum berhasil membujuk Adila untuk makan, bahkan minum pun Adila enggan. "Gue bawain kue putu, nih." Lisa dan Erchan yang baru saja masuk langsung menyahuti yang membuat mereka semua menoleh. "Yang sopan dong Lis., ada Nenek ini, salim dulu napa." Erchan berucap sambil menoyor kepala Lisa. "Eh? Nek, saya Lisa. Temanya Adila," ucap Lisa, dan mengalami Nenek Indah. "Saya Erchan, Nek." "Kalau saya Bagas, bukan bagi ganas tapi Nek." Bagas tertawa saat nenek mengusap rambutnya gemas. "Temanya Adila b
Setelah perjalanan cukup lama dan melelahkan, akhirnya mereka sampai di rumah nenek Adila dan ke-dua saudaranya. Rumah yang terbuat dari kayu tingkat dua, dengan sungai jernih di belakang rumah sebagai sumber air. Rumah Nenek Indah (Nenek Adila, Afia, San Aqia) termasuk di desa plosok, desa yang masih terjaga alam nya. Bertani dan berdagang adalah mata pencaharian utama mereka, Nenek Indah adalah seorang petani, umurnya 78 tahun. Meski pun sudah tua, beliau tidak bisa jika di suruh diam di rumah, Suaminya sudah meninggal saat umurnya 60 tahun. Saat melihat rumahnya di datangi 3 mobil sekaligus membuat tetangganya heran, mereka menebak-nebak siapa tamu Nenek Indah. Karena memang Nenek indah tidak pernah bercerita tentang anak cucunya di kota. "Nenek!" teriak Afia dan Aqia saat sudah keluar dari mobil. "Cucu Nenek sudah besar ternyata,
Tepat jam tiga pagi Adila sedang bersiap-siap di kamarnya. Setelah menempuh ujian yang melelahkan, akhirnya hari ini dia bisa mengunjungi Nenek nya di Jogja. Dia sangat merindukan masakan buatan Neneknya, tidak hanya dia tetapi juga ke-dua saudaranya akan ikut bersama nya. "Gue tahu kalian di luar, masuk aja!" teriak Adila saat menyadari ke-dua saudaranya berbisik-bisik di depan pintu kamarnya. Setelah Adila berteriak Afia dan Aqia memasuki kmara nya dengan canggung. Adila tahu apa yang ingin mereka bicara'kan. "Kita minta maaf..." lirih Aqia. "Buat?" "Sikap kita sama lo. Selama ini kita enggak ada niatan buat jauhin lo, ini semua rencana Gina..." "Gue tahu." Adila berucap dengan mantap. "Aqia kemarin udah bilang sama gue" &nb
"Gue capek ngikutin kemauan lo!" "Tapi sayang nya lo harus ngikutin," ucap gadis di depan nya sinis. "Lo licik! Di sini kita yang lo buat rugi!" ***** Seperti nya The sibling's benar-benar bubar, mereka berhenti di sini tanpa ada penjelasan. Adila yang memang malas mencari tahu hanya diam sampai semua nya terungkap sendiri. Dia juga malas melihat Gina yang selalu memanasi diri nya dengan menempel kepada Revano. Adila saat ini berada di toilet, dia membasuh mukanya yang memerah karena menahan amarah. "Wah, gimana? Pertunjukan gue seru, 'kan?" tanya Gina yang berdiri di samping Adila. Adila hanya melirik nya sekilas tanpa mau merespon. Entah kenapa tiba-tiba Gina mendorong Adila sampai hampir terjatuh jika dia tidak berpegangan dengan wastafel. &nb
"Udah ganjen sama gebetan orang, mau celakain orang lain lagi!" "Gue ngimpi apa dulu sampek punya sudara kayak dia!" Setelah pulang sekolah, Adila di sindir habis-habisan oleh ke-dua saudaranya. Sedangkan Gina, dia sedang beristirahat di dalam kamar. "Kalian kalau punya masalah sama gue bilang! Punya mulut buat ngomong langsung, bukan nyindir!" desis Adila tepat di depan mereka. Aqia memutar bola matanya malas, "Lo kesindir?" "Enggak," ucap Adila sambil tersenyum sinis, "gue enggak kesindir. Tapi mata kalian bilang kalau itu gue, kalau kalian mendeskripsikan diri sendiri, gue enggak masalah!" ucap Adila dan berlalu pergi meninggalkan mereka dengan perasaan sebal. "Lo harusnya tahu, kalau gue suka sama Revano! Tapi kenapa lo malah jadian sama dia!" Adila
"Gue berangkat sendiri!" "Enggak!" Sudah satu bulan setelah dia keluar dari rumah sakit, dan setelah itu juga hidupnya benar-benar sangat sulit karena ulah Raden dan Revano. Mereka selalu berebut siapa yang berangkat dengan Adila, siapa yang duduk di samping Adila, siapa yang membeli kan makanan Adila, dan siapa yang akan di terima Adila. "Mending kalian berangkat berdua, terus gue sama Kak Nana. Gampang'kan?" ucapnya sambil tersenyum manis. Dia tidak tahu apa alasan mereka melakukan itu, yang jelas itu sangat menganggu. Tentang ke-dua saudara nya, mereka sudah berangkat terlebih dahulu sejak jam enam pagi. Entah kenapa akhir-akhir ini hubungan mereka merenggang, Adila tidak mau ambil pusing. Lagi pula saudara nya itu memang selalu bersikap aneh. &n