Setelah perjalanan cukup lama dan melelahkan, akhirnya mereka sampai di rumah nenek Adila dan ke-dua saudaranya. Rumah yang terbuat dari kayu tingkat dua, dengan sungai jernih di belakang rumah sebagai sumber air. Rumah Nenek Indah (Nenek Adila, Afia, San Aqia) termasuk di desa plosok, desa yang masih terjaga alam nya.
Bertani dan berdagang adalah mata pencaharian utama mereka, Nenek Indah adalah seorang petani, umurnya 78 tahun. Meski pun sudah tua, beliau tidak bisa jika di suruh diam di rumah, Suaminya sudah meninggal saat umurnya 60 tahun.
Saat melihat rumahnya di datangi 3 mobil sekaligus membuat tetangganya heran, mereka menebak-nebak siapa tamu Nenek Indah. Karena memang Nenek indah tidak pernah bercerita tentang anak cucunya di kota.
"Nenek!" teriak Afia dan Aqia saat sudah keluar dari mobil.
"Cucu Nenek sudah besar ternyata,
"Adila masih belum mau makan apa apa, Nek?" tanya Afia yang baru saja melihat Nenek nya keluar dari kamar yang di tempati Adila. "Belum. Anak itu kalau sakit ndak mau makan opo opo, Nenek sendiri 'akhire sek' pusing," jawab Nenek Indah. Karena belum berhasil membujuk Adila untuk makan, bahkan minum pun Adila enggan. "Gue bawain kue putu, nih." Lisa dan Erchan yang baru saja masuk langsung menyahuti yang membuat mereka semua menoleh. "Yang sopan dong Lis., ada Nenek ini, salim dulu napa." Erchan berucap sambil menoyor kepala Lisa. "Eh? Nek, saya Lisa. Temanya Adila," ucap Lisa, dan mengalami Nenek Indah. "Saya Erchan, Nek." "Kalau saya Bagas, bukan bagi ganas tapi Nek." Bagas tertawa saat nenek mengusap rambutnya gemas. "Temanya Adila b
Saat ini Adila dan yang lainya sedang berada di pasar, mereka berencana membuat nasi kuning. Sedangkan Erchan dan para laki-laki sedang mencari gudeg, sejak kemarin Erchan merengek meminta gudeg. "Barangnya udah semua, 'kan?" Aqia bertanya untuk memastikan tidak ada yang kurang, sehingga nanti mereka tidak susah-susah untuk kembali. Adila membaca catatan di kertas yang dia pegang, sedangkan Lisa dan Afia mengecek keranjang belanjaan yang mereka letakkan di bawah. Merasa sudah lengkap, mereka kembali berjalan menuju parkiran, sampai sebuah suara membuat mereka yang tadinya bercanda terdiam seketik— terutama Aqia. "Qia?" Aqia yang melihat laki-laki di depanya pun seketika terdiam, dia menunduk dan berjalan mendahului yang lain. Andre, laki-laki
Adila terbangun saat mendengar nada dering di ponselnya. Dia ingin menggerakkan tangan dan kakinya tetapi tidak bisa, seperti ada yang memeganginya. Adila membuka matanya dan melihat sekitarnya gelap, dia merasa seperti di sebuah ruangan yang sunyi dan dingin. "Gue enggak mati, 'kan?" gumamnya. Adila berteriak saat mengira jika dia sudah mati dan sedang berada di alam kubur. Di sisi lain Revano yang belum bisa tidur pun segera menghampiri kamar sebelah menggunakan senter handphone nya. Sekaramg jam tiga dini hari, dan sedang ada pemadaman listrik.Revano. Sudah satu jam gue hanya memandangi langit-langit ruangan yang gelap. Tepat pukul 03.00 listrik di sini mati. Gelap, sunyi dan dingin. Awalnya gue berniat membangunkan Raden, tetapi suara teriakan seseorang yang gue k
Setelah pertandingan minggu lalu, Adila tidak masuk sekolah selama hampir satu minggu. Entah apa yang terjadi, saat ini dia seperti di musuhi satu sekolah, bahkan ke-dua sepupunya pun seperti membenci dia. "Bukan gue, La. Gue enggak ada hubungan apa-apa sama kekalahan lo di pertandingan." Adila mengernyitkan dahinya bingung. Tadi dia berencana menuju ke kantin untuk makan siang, tetapi entah datang darimana rubah sialan ini tiba-tiba menabraknya dan berperilaku seolah-olah dia sedang membully nya. "Kalah karena kemampuan sendiri yang buruk, tapi nyalahin orang." "Seketika gue menyesal karena merekomendasikan dia." "Kasihan Gina, padahal dia yang selalu membela Adila di saat yang lain menjelekkan nya." 
"Ara!" Suara teriakan menggema memenuhi seisi sudut ruangan, bahkan membuat seorang gadis yang masih berada dalam kamarnya di lantai dua menghela napasnya. "Kamu tidur sama pria lain lagi, Ara?" tanya Dirga kepada istrinya dengan intonasi rendah. "Kenapa? Bahkan Mas sendiri tidur sama jal** murahan, bahkan sampai memiliki anak darinya." Dirga memijat pangkal hidungnya. Dia ingin marah kepada istrinya tetapi, apa yang istrinya katakan adalah sebuah kebenaran. Di masalalu dirinya tidak sengaja memberikan benih kepada sekertarisnya, saat dia di bawah pengaruh alkohol. Dan sekarang, dia harus bertanggung jawab karena bagaimanapun anak sekertarisnya adalah darah dagingnya. Dia berniat menikahi sekertarisnya, da
Adila menatap heran kearah beberapa kelas yang sepertinya sudah dia lewati tadi, "Kantinya di mana sih. Perasaan gue muter-muter mulu dari tadi" Karena terlalu sibuk memperhatikan kanan dan kirinya untuk mencari petunjuk. Adila tidak menyadari jika di depannya ada rombongan pengurus sekolah yang akan menuju kelas 10, untuk melakukan pemeriksaan atribut seperti biasanya. Bruk. Adila yang tidak memperhatikan jalan nya menabrak salah satu di antara mereka, "Jalanya yang bener dong. Gue nabrak apa a****, keras bener" bentak Adila tidak sadar karena terkejut. Jovan Rahardjo. Ketua keamanan SMA UIHS sekaligus Ketua basket sekolah yang sangat terkenal di kalangan siswa-siswi terutama para kaum hawa. Bukan karena dirinya adalah Ketua keamanan dan juga basket tapi, dia terkenal karena parasnya yang tampan, juga playboy pastinya.
Adila berada di lapangan upacara bersama beberapa siswa-siswi yang mendapatkan hukuman berdiri di depan bendera sampai jam istirahat. "Gue dengar-dengar dari sekolah sebelah, ada yang mau ngedrop salah satu sekolah di daerah sini" Adila yang mendengarkan berita dari orang di depannya pun tertarik untuk mendengarnya. "Sekolah daerah sini kan ada tiga. Nah, yang mana yang mau di drop?" "Ya mana gue tau, gue kan cuman denger dari sekolah sebelah" "Kalau sekolah kita enggak mungkin mereka berani, kecuali mereka nekat berhadapan sama Jovan dkk" Saat asik mendengarkan percakapan mereka tiba-tiba ada siswa yang memberitahu Adila jika ada seseorang yang menunggunya di depan. "Tapi gue
Seorang wanita patuh baya berlari menuju kamar delima yang berada di lantai lima. "Raden!" panggil nya kepada seorang remaja pria yang duduk di depan ruang rawat inap. "Tante," Raden berdiri dan mencium punggung tangan wanita tersebut. "Bagaimana dengan Adila?" "Kata dokter kaki Adila patah, seharusnya ini bukan masalah serius tetapi...karena Adila sering mengalami cidera pada bagian kakinya, itu menyebabkan Adila tidak bisa menggunakan kakinya untuk pekerjaan berat. Dan kemungkinan kambuhnya sangat besar," jelas Raden. Vara terduduk mendengar penjelasan Raden. Dia tidak menyangka putrinya akan mengalami hal seperti ini, terutama Adila adalah tipe orang yang suka memaksakan diri. Sebelum nya putrinya memang pernah mengalami c
Setelah pertandingan minggu lalu, Adila tidak masuk sekolah selama hampir satu minggu. Entah apa yang terjadi, saat ini dia seperti di musuhi satu sekolah, bahkan ke-dua sepupunya pun seperti membenci dia. "Bukan gue, La. Gue enggak ada hubungan apa-apa sama kekalahan lo di pertandingan." Adila mengernyitkan dahinya bingung. Tadi dia berencana menuju ke kantin untuk makan siang, tetapi entah datang darimana rubah sialan ini tiba-tiba menabraknya dan berperilaku seolah-olah dia sedang membully nya. "Kalah karena kemampuan sendiri yang buruk, tapi nyalahin orang." "Seketika gue menyesal karena merekomendasikan dia." "Kasihan Gina, padahal dia yang selalu membela Adila di saat yang lain menjelekkan nya." 
Adila terbangun saat mendengar nada dering di ponselnya. Dia ingin menggerakkan tangan dan kakinya tetapi tidak bisa, seperti ada yang memeganginya. Adila membuka matanya dan melihat sekitarnya gelap, dia merasa seperti di sebuah ruangan yang sunyi dan dingin. "Gue enggak mati, 'kan?" gumamnya. Adila berteriak saat mengira jika dia sudah mati dan sedang berada di alam kubur. Di sisi lain Revano yang belum bisa tidur pun segera menghampiri kamar sebelah menggunakan senter handphone nya. Sekaramg jam tiga dini hari, dan sedang ada pemadaman listrik.Revano. Sudah satu jam gue hanya memandangi langit-langit ruangan yang gelap. Tepat pukul 03.00 listrik di sini mati. Gelap, sunyi dan dingin. Awalnya gue berniat membangunkan Raden, tetapi suara teriakan seseorang yang gue k
Saat ini Adila dan yang lainya sedang berada di pasar, mereka berencana membuat nasi kuning. Sedangkan Erchan dan para laki-laki sedang mencari gudeg, sejak kemarin Erchan merengek meminta gudeg. "Barangnya udah semua, 'kan?" Aqia bertanya untuk memastikan tidak ada yang kurang, sehingga nanti mereka tidak susah-susah untuk kembali. Adila membaca catatan di kertas yang dia pegang, sedangkan Lisa dan Afia mengecek keranjang belanjaan yang mereka letakkan di bawah. Merasa sudah lengkap, mereka kembali berjalan menuju parkiran, sampai sebuah suara membuat mereka yang tadinya bercanda terdiam seketik— terutama Aqia. "Qia?" Aqia yang melihat laki-laki di depanya pun seketika terdiam, dia menunduk dan berjalan mendahului yang lain. Andre, laki-laki
"Adila masih belum mau makan apa apa, Nek?" tanya Afia yang baru saja melihat Nenek nya keluar dari kamar yang di tempati Adila. "Belum. Anak itu kalau sakit ndak mau makan opo opo, Nenek sendiri 'akhire sek' pusing," jawab Nenek Indah. Karena belum berhasil membujuk Adila untuk makan, bahkan minum pun Adila enggan. "Gue bawain kue putu, nih." Lisa dan Erchan yang baru saja masuk langsung menyahuti yang membuat mereka semua menoleh. "Yang sopan dong Lis., ada Nenek ini, salim dulu napa." Erchan berucap sambil menoyor kepala Lisa. "Eh? Nek, saya Lisa. Temanya Adila," ucap Lisa, dan mengalami Nenek Indah. "Saya Erchan, Nek." "Kalau saya Bagas, bukan bagi ganas tapi Nek." Bagas tertawa saat nenek mengusap rambutnya gemas. "Temanya Adila b
Setelah perjalanan cukup lama dan melelahkan, akhirnya mereka sampai di rumah nenek Adila dan ke-dua saudaranya. Rumah yang terbuat dari kayu tingkat dua, dengan sungai jernih di belakang rumah sebagai sumber air. Rumah Nenek Indah (Nenek Adila, Afia, San Aqia) termasuk di desa plosok, desa yang masih terjaga alam nya. Bertani dan berdagang adalah mata pencaharian utama mereka, Nenek Indah adalah seorang petani, umurnya 78 tahun. Meski pun sudah tua, beliau tidak bisa jika di suruh diam di rumah, Suaminya sudah meninggal saat umurnya 60 tahun. Saat melihat rumahnya di datangi 3 mobil sekaligus membuat tetangganya heran, mereka menebak-nebak siapa tamu Nenek Indah. Karena memang Nenek indah tidak pernah bercerita tentang anak cucunya di kota. "Nenek!" teriak Afia dan Aqia saat sudah keluar dari mobil. "Cucu Nenek sudah besar ternyata,
Tepat jam tiga pagi Adila sedang bersiap-siap di kamarnya. Setelah menempuh ujian yang melelahkan, akhirnya hari ini dia bisa mengunjungi Nenek nya di Jogja. Dia sangat merindukan masakan buatan Neneknya, tidak hanya dia tetapi juga ke-dua saudaranya akan ikut bersama nya. "Gue tahu kalian di luar, masuk aja!" teriak Adila saat menyadari ke-dua saudaranya berbisik-bisik di depan pintu kamarnya. Setelah Adila berteriak Afia dan Aqia memasuki kmara nya dengan canggung. Adila tahu apa yang ingin mereka bicara'kan. "Kita minta maaf..." lirih Aqia. "Buat?" "Sikap kita sama lo. Selama ini kita enggak ada niatan buat jauhin lo, ini semua rencana Gina..." "Gue tahu." Adila berucap dengan mantap. "Aqia kemarin udah bilang sama gue" &nb
"Gue capek ngikutin kemauan lo!" "Tapi sayang nya lo harus ngikutin," ucap gadis di depan nya sinis. "Lo licik! Di sini kita yang lo buat rugi!" ***** Seperti nya The sibling's benar-benar bubar, mereka berhenti di sini tanpa ada penjelasan. Adila yang memang malas mencari tahu hanya diam sampai semua nya terungkap sendiri. Dia juga malas melihat Gina yang selalu memanasi diri nya dengan menempel kepada Revano. Adila saat ini berada di toilet, dia membasuh mukanya yang memerah karena menahan amarah. "Wah, gimana? Pertunjukan gue seru, 'kan?" tanya Gina yang berdiri di samping Adila. Adila hanya melirik nya sekilas tanpa mau merespon. Entah kenapa tiba-tiba Gina mendorong Adila sampai hampir terjatuh jika dia tidak berpegangan dengan wastafel. &nb
"Udah ganjen sama gebetan orang, mau celakain orang lain lagi!" "Gue ngimpi apa dulu sampek punya sudara kayak dia!" Setelah pulang sekolah, Adila di sindir habis-habisan oleh ke-dua saudaranya. Sedangkan Gina, dia sedang beristirahat di dalam kamar. "Kalian kalau punya masalah sama gue bilang! Punya mulut buat ngomong langsung, bukan nyindir!" desis Adila tepat di depan mereka. Aqia memutar bola matanya malas, "Lo kesindir?" "Enggak," ucap Adila sambil tersenyum sinis, "gue enggak kesindir. Tapi mata kalian bilang kalau itu gue, kalau kalian mendeskripsikan diri sendiri, gue enggak masalah!" ucap Adila dan berlalu pergi meninggalkan mereka dengan perasaan sebal. "Lo harusnya tahu, kalau gue suka sama Revano! Tapi kenapa lo malah jadian sama dia!" Adila
"Gue berangkat sendiri!" "Enggak!" Sudah satu bulan setelah dia keluar dari rumah sakit, dan setelah itu juga hidupnya benar-benar sangat sulit karena ulah Raden dan Revano. Mereka selalu berebut siapa yang berangkat dengan Adila, siapa yang duduk di samping Adila, siapa yang membeli kan makanan Adila, dan siapa yang akan di terima Adila. "Mending kalian berangkat berdua, terus gue sama Kak Nana. Gampang'kan?" ucapnya sambil tersenyum manis. Dia tidak tahu apa alasan mereka melakukan itu, yang jelas itu sangat menganggu. Tentang ke-dua saudara nya, mereka sudah berangkat terlebih dahulu sejak jam enam pagi. Entah kenapa akhir-akhir ini hubungan mereka merenggang, Adila tidak mau ambil pusing. Lagi pula saudara nya itu memang selalu bersikap aneh. &n