"Laa...kamu itu Jangan terlalu judes, nanti enggak ada yang mau sama kamu," ucap seorang remaja wanita sambil mencolek hidung Adiknya.
"Kan ada Kakak," jawab Adiknya memeluk erat Kakaknya yang duduk tepat di depannya.
Lana tersenyum melihat Adik nya, "Laa...Kakak enggak bisa selalu berada di samping kamu. Akan ada waktu nya di mana Kakak bakalan pergi, dan yang pasti waktu itu semakin dekat"
Lana tersenyum menatap kearah luar jendelanya. Dirinya menerawang kedepan seolah-olah sedangkan menyaksikan apa yang akan terjadi di masa depan.
"Kakak kenapa? Ada yang nyakitin Kakak? Bilang sama Ila nanti Ila kasih pelajaran orangnya."
Lana mengelus rambut Adik nya dengan sayang, "Enggak ada. Kakak selalu mendapatkan 'hadiah' di sekolah"
"Tunggu beberapa bulan lagi, nanti aku bakal pindah ke sekolah Kakak. Dan Kakak harus janji untuk selalu menunggu Ila."
Ila menyodorkan jari kelingkingnya yang di sambut dengan genggaman tangan oleh Lana. Dirinya memeluk Adila dengan erat, seolah-olah itu adalah pelukan terakhir mereka.
*****
Adila tersentak dalam tidurnya. Kilasan mimpi di dalam otaknya membuatnya sedikit terkejut, dirinya berusaha bangun yang justru membuat tubuh bagian kakinya ngilu.
"Shh. Aw aw aw kaki gue!"
Suara Adila mengalihkan perhatian beberapa orang di dalam kamar yang sedang menyantap sarapan. Mereka semua menoleh dan melihat Adila yang berusaha bangun.
"Adila, akhirnya kamu bangun juga sayang. Mama panggil dokter dulu, tunggu sebentar," ucap Mamanya dan bergegas pergi memanggil dokter.
(Kenapa harus dokter? Kenapa enggak panggil polisi? Kan keamanan rakyat tanggung jawab polisi) batin Adila.
Aqia menghampiri Adila dengan sedikit ragu, "Kamu enggak papa, La?"
Adila hanya melihatnya sekilas, dan kembali fokus kepada tangannya yang terpasang infus. Tanpa aba-aba dia mencabutnya— Adila paling benci bau rumah sakit apalagi infus, dirinya sangat menghindari itu.
"Adila!" teriak Afia dan Aqia terkejut karena perbuatan Adila.
Aqia mengulurkan tangannya berniat untuk melihat tangan Adila, "Tangan lo..."
Adila menepis tangan Aqia dengan kasar, "Gapapa, cuma berdarah dikit"
Tanpa memperdulikan suasana ruang rawat inap nya yang canggung, Adila melipat tangannya di depan dada dan melihat kedua orang yang berdiri di samping kirinya.
"Ngapain kalian ke sini?"
"Karena lo sakit," jawab Afia yang mendapatkan tatapan tajam dari Adila dan cubitan geratis di pinggang dari Afia.
(Benar-benar keturunan Om Dirga. Mata setajam silet!) Afia meringis mendapatkan reaksi begitu mempesona dari saudara nya.
"Kita nyari kamu. Ada beberapa hal yang harus di lurusin" jelas Aqia menengahi— jika di antara Adila dan Afia bertengkar makan Aqia lah yang menengahi, Afia yang mencairkan suasana, dan Adila yang meminta maaf terlebih dahulu. Mereka melengkapi satu sama lain.
Jika mereka memiliki kemiripan, makan itu bisa di ibaratkan dengan sebuah magnet yang memiliki kutub sejenis, jika di dekat kan akan saling tolak menolak, begitu sebaliknya jika yang di temukan adalah kutub yang berbeda makan mereka akan saling menarik satu sama lain.
Di dalam kehidupan tidak ada yang sempurna, semua di ciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain untuk menciptakan suatu keutuhan seperti magnet.
"Enggak ada yang perlu di jelasin. Semua sudah jelas, Gina udah jelasin semuanya!" tegas Adila.
"Enggak, Laa...apa yang kamu lihat itu semua bohong. Waktu itu, aku sama Afia enggak di sini. Kami ke sanghai untuk berlibur, dan seharusnya kamu ikut tapi..."
Flashback.
"Yess akhirnya kita liburr! Yuhu sanghai im coming!" teriak Adila sambil melompat-lompat di atas kasur Afia.
"Gusti! Kasur gue bisa jebol gara-gara lo! Turun nggak!" Afia yang sedang membereskan bajunya segera berlari ke arah kasurnya, yang sebentar lagi sepertinya akan roboh.
"Enak aja! Badan gue itu body goals paripurna tiada tara!"
"Body goals? Bodyguard kali"
"Iri? Bilang boss"
"Iri sama lo? Mimpi"
Dan terjadilah perang lempar bantal di dalam kamar yang cukup untuk di huni lima orang. Sedangkan Aqia tidak menghiraukan mereka dan tetap sibuk membereskan barang-barang nya dan saudaranya.
Keesokan hari nya, tepat satu jam sebelum mereka berangkat, Adila menghilang. Dan itu membuat mereka panik karena waktu penerbangan mereka sebentar lagi tiba.
"Perhatian, para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA737 tujuan Sanghai dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu A12. Terimakasih."
Pengumuman boarding dari pesawat tujuan mereka membuat mereka terpaksa meninggalkan Adila.
*****
"Aku harap kamu enggak lupa" Afia kembali mengingatkan Adila."Oke, mungkin itu memang benar. Tetapi bagaimana mana penjelasan kalian tentang Kak Lana? Kenapa kalian diam? Kenapa kalian tidak membantunya? Dan yang paling gue pertanyakan...kenapa kalian enggak memberitahu Gue!" Adila meninggikan suaranya beberapa oktaf di akhir kalimat.
Afia dan Aqia menundukkan kepalanya tidak bisa menjawab.
"Ah gue tahu. Karena kalian adalah orang paling pengecut di dunia ini. Sekarang mending kalian pergi! Dan jangan pernah muncul di hadapan gue lagi!" bentak Adila kepada mereka berdua.
Tanpa sepatah kata pun mereka berdua meninggalkan Adila sendirian di kamar, tidak ada yang membuka suara untuk berbicara sampai mereka berpapasan dengan Mama Adila di lorong.
"Kalian mau kemana?" tanya Vara bingung melihat kedua gadis di depannya.
"Emmm, itu tante kami mau pulang dulu" jelas Aqia
"Oh yaudah hati-hati ya. Dan jangan lupa besok pagi kalian udah bisa pindah"
Mereka berdua menyalami Vara dan bergegas pergi menuju ke tempat mobil mereka terparkir.
*****
"APA?!?!"
"Jangan teriak-teriak, Adila...anak cewek enggak boleh teriak-teriak"
"Kenapa sih? Kalau mau pergi yaudah pergi aja! Enggak usah ngurusin hidup orang lain." Adila memperotes tentang keputusan Mama nya.
"Mama bukannya mau ikut campur, ini juga demi kebaikan kamu. Lihat, kamu sekarang lagi sakit dan di rumah cuman sendiri, gimana Mama enggak khawatir. Kalian itu tumbuh bersama, kalau ada masalah ya di selesaikan jangan cuman diem-dieman aja. Pokoknya ini sudah menjadi keputusan Mama, kamu mau setuju atau tidak terserah."
Adila menghela napas melihat punggung tegap Mama nya yang mulai menghilang di balik pintu. Apa yang Mama nya bilang memang benar, tapi bukan berarti dirinya tidak mau menyelesaikannya, hanya saja dia belum siap membuka kembali luka lama di hatinya.
Setiap dia mengingatnya, kepalanya serasa akan pecah. Otaknya memaksa dirinya mengingat suatu hal yang terlupakan, tetapi semakin dia mengingatnya semakin sakit kepalanya.
"Kak, apakah aku melupakan sesuatu yang sangat penting? Kenapa aku merasa ada yang sesuatu yang terlupakan?" tanya Adila kepada wanita cantik dengan dress putih yang berdiri di depannya.
"Aku cuman ingat...pertandingan dengan Noval beberapa bulan yang lalu, tetapi kenapa ada yang janggal? Dan siapa yang merencanakan kejadian di sekolah? Itu tidak mungkin hanya kebetulan. Seolah-olah ini semua sudah ada yang merencanakan, tetapi siapa? Black Lotus? Fairi? Atau siapa?"
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di otaknya, tetapi satupun tidak ada yang bisa dia jawab. Dirinya seperti sedang mengalami lupa ingatan.
(Cepat atau lambat, semuanya akan terungkap. Perlahan-lahan semuanya akan kembali lengkap, siap tidak siap itu semua harus kamu hadapi)
TBC.
"Api nya woi, matiin!" "Aaaa...kebakaran. Lontong, help me. Pangeran berkuda, tolong princess!" "Enggak usah halu, buruan matiin. Keburu hangus kebakar rumahnya" Suara teriakan-teriakan barusan, membangunkan Adila yang masih tidur nyenyak di kamar nya, entah jam berapa sekarang yang pasti ini hari libur dan dia ingin tidur dengan tenang. Tapi semua itu hanya angan-angan belakang, nyatanya tidurnya di ganggu oleh dua orang yang sedang melawan hukum alam. "Udah tau enggak bisa masak, masih aja maksa. Hobi banget melawan hukum alam," gumam Adila yang kembali merapatkan selimut nya, dan tidak perduli jika nanti rumah nya akan terbakar karena ulah ke-dua saudaranya. "Huh huh huh. Pokok nya gue enggak mau kalau di suruh masak lagi, titik!" Aqia menjitak kepala Afia yang duduk dengan nafas terengah-
Hari ini, hari senin. Sekolah masuk seperti biasanya, upacara baru saja selesai di laksanakan, para siswa-siswi berbondong-bondong meninggalkan lapangan. Termasuk sang tokoh utama kita, Adila Dirgantara. Dia sedang berjalan bersama Bagas dan duo kembar. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi sepertinya itu adalah hal serius. "Lo tau enggak?" tanya Farel kepada teman-teman nya. "Nggak!" Farel menatap sinis ke arah Kakak kembarnya, "Apa sih Bang, nyahut aja kayak listrik!" Farhan mengarahkan jari telunjuk dan jari tengahnya kearah mata Farel, "Mata lo mau gue colok pakek garfu!" "Kalian kalau berantem gue tampol nih!" ancam Adila kepada ke-duanya, yang membuat mereka segera diam "lanjutin!" "Ada anak baru katanya. Gila cuy cantik-cantik" Farel berujar dengan heboh, bah
Di dalam kamar, Adila hanya tiduran di kasur tanpa ada kegiatan apapun. Sampai suara notif handphone nya mengusir kebosanannya. Radenbagong. 'La... Datang ke tempat biasanya, sekarang!' 'Mau ngapain?' 'Udah, dateng aja. Aku tunggu di depan' 'Loh, eh Raden! Malah di tinggal off' "Ck. Kebiasaan, awas aja lo!" Adila meremat handphonenya karena kesal. Setelah beberapa menit bersiap-siap, Adila sudah duduk manis di motor besarnya. Dia menggunakan celana hitam panjang dengan sepatu booth warna coklat, jaket denim coklat dengan dalaman hitam. "Lepasin gue!" Saat melewati
"Sumpah, di pintu dapur rumah banyak cicak geprek. Kalau enggak percaya, besok liat sendiri!" Adila, Afia, dan Aqia sedang berkumpul di ruang tengah bersama para cowok yang bermain game. Mereka mendengarkan Adila yang bercerita tentang cicak geprek di pintu dapur rumahnya. Aqia bergidik mendengarkan cerita Adila, "Pantesan kemarin gue mau nutup pintu susah, taunya banyak cicak geprek" "Instagram lo gimana? Udah bisa pasang foto profil?" tanya Afia mengalihkan pembicaraan. Sejak tadi dia menahan mual mendengar cerita Adila, karena saat berangkat kesini dia makan sampai kekenyangan. "Jangankan pasang poto profil, instagram gue di pencet aja enggak bisa!" "Kok lo ngomong nya jadi lo/gue?" Adila merasa heran dengan saudranya itu. "Hehehe. Biasa, biar lo mau maafin kita. Siapa tau kalau lo lihat si
"Eh, kalian udah denger belum? Katanya ekstra PBB udah di mulai besok. Hari jumat!" Pagi-pagi sekali, sekolah di hebohkan dengan dimulainya ekstra PBB— lebih tepatnya kelas 10. "Yahhhh. Nanti kita di jemur donggg!" teriak salah satu siswi, yang selalu mementingkan penampilan. "Emang Pak Firman udah pulang?" tanya Bagas mewakili pertanyaan semua siswa-siswi. "Udah, barusan gue lihat ada di kantor" "Pak Firman siapa?" tanya Adila yang baru saja masuk kelas. "Itu, guru PBB di sekolah kita" Adila hanya mengangguk sebagai jawabannya. Pagi ini dirinya berangkat bersama ke-dua saudaranya menggunakan mobil yang di kendarai oleh Aqia. Asal kalian tahu, Adila mabuk kendaraan sepert
Adila sedang duduk dengan kepala menunduk di dalam UKS. Di depannya ada Raden, Jovan, dan ke-dua saudaranya yang menatap dirinya dengan tajam. Sedangkan di belakang mereka, ada Revano, marvin, Jenan, Dan Lean yang berdiri menyaksikan apa yang akan terjadi. Sedangkan sang pemeran utama hanya menunduk kan kepala menatap kakinya yang saling bertautan. Raden menegakkan duduk Adila, dan menyamakan tingginya dengan Adila, "Jadi..." tanya Raden menggantung. Adila menggaruk kepalanya, "Jadi...ya gitu" "Berapa kali harus gue bilang, jangan berantem, jangan cari masalah yang bikin kaki lo kambuh" sekarang giliran Jovan yang menceramahi nya. Dengan tatapan memelas, Adila menatap Afia memohon bantuan yang justru di hadiahi pelototan dari Afia.
Hari ini Adila dan ke-dua saudaranya berada di kantin, yang kebanyakan adalah siswa-siswi kelas Adila. Sudah 3 hari yang lalu kejadian di mana Aqia tidak sengaja ketahuan memotret Raden, tetapi sampai saat ini dirinya masih di jadikan bualan oleh yang lain. "Fi, Fi pose dong," ucap Adila dan membentuk tangannya seperti kamera. Ya seperti Adila tadi contohnya, tetapi yang terparah adalah... Flashback. "Kak Raden, Dedek Aqia nya malu-malu tapi mau nih!!!" teriak Adila, belum lagi Afia yang tiba-tiba menyahuti. "Kak Raden. Dedek Aqia nya mau panggil Mas, boleh enggak?" teriak Afia menyahuti. "Mas Raden!!!" bukan Aqia yang memanggil, tetapi Adila yang berteriak tepat di depan kelas Raden—l
Di halte bus, Adila sedang menunggu seseorang yang sudah dia tunggu selama 30 menit yang lalu. Hari ini adalah hari rabu, sekolah sudah di pulangkan sejak tadi. Saat ini pasti siswa-siswi yang lain sedang merasakan nikmatnya kasur di rumah mereka. Hanya Adila yang masih di area sekolah, dan beberapa siswa-siswi yang masih ada jam mapel kejuruan. Saat ini Adila benar-benar menyesali perbuatannya yang menyuruh ke-dua Saudara untuk pulang terlebih dahulu, seharusnya tadi dia meminta mereka untuk menemaninya, jadi dirinya tidak seperti anak hilang.Flashback. "Kalian duluan aja, gue pulangnya nanti" ucap Adila kepada ke-dua saudranya yang sudah menunggu di depan pintu kelasnya. "Mau kemana lo?" tanya Aqia
Setelah pertandingan minggu lalu, Adila tidak masuk sekolah selama hampir satu minggu. Entah apa yang terjadi, saat ini dia seperti di musuhi satu sekolah, bahkan ke-dua sepupunya pun seperti membenci dia. "Bukan gue, La. Gue enggak ada hubungan apa-apa sama kekalahan lo di pertandingan." Adila mengernyitkan dahinya bingung. Tadi dia berencana menuju ke kantin untuk makan siang, tetapi entah datang darimana rubah sialan ini tiba-tiba menabraknya dan berperilaku seolah-olah dia sedang membully nya. "Kalah karena kemampuan sendiri yang buruk, tapi nyalahin orang." "Seketika gue menyesal karena merekomendasikan dia." "Kasihan Gina, padahal dia yang selalu membela Adila di saat yang lain menjelekkan nya." 
Adila terbangun saat mendengar nada dering di ponselnya. Dia ingin menggerakkan tangan dan kakinya tetapi tidak bisa, seperti ada yang memeganginya. Adila membuka matanya dan melihat sekitarnya gelap, dia merasa seperti di sebuah ruangan yang sunyi dan dingin. "Gue enggak mati, 'kan?" gumamnya. Adila berteriak saat mengira jika dia sudah mati dan sedang berada di alam kubur. Di sisi lain Revano yang belum bisa tidur pun segera menghampiri kamar sebelah menggunakan senter handphone nya. Sekaramg jam tiga dini hari, dan sedang ada pemadaman listrik.Revano. Sudah satu jam gue hanya memandangi langit-langit ruangan yang gelap. Tepat pukul 03.00 listrik di sini mati. Gelap, sunyi dan dingin. Awalnya gue berniat membangunkan Raden, tetapi suara teriakan seseorang yang gue k
Saat ini Adila dan yang lainya sedang berada di pasar, mereka berencana membuat nasi kuning. Sedangkan Erchan dan para laki-laki sedang mencari gudeg, sejak kemarin Erchan merengek meminta gudeg. "Barangnya udah semua, 'kan?" Aqia bertanya untuk memastikan tidak ada yang kurang, sehingga nanti mereka tidak susah-susah untuk kembali. Adila membaca catatan di kertas yang dia pegang, sedangkan Lisa dan Afia mengecek keranjang belanjaan yang mereka letakkan di bawah. Merasa sudah lengkap, mereka kembali berjalan menuju parkiran, sampai sebuah suara membuat mereka yang tadinya bercanda terdiam seketik— terutama Aqia. "Qia?" Aqia yang melihat laki-laki di depanya pun seketika terdiam, dia menunduk dan berjalan mendahului yang lain. Andre, laki-laki
"Adila masih belum mau makan apa apa, Nek?" tanya Afia yang baru saja melihat Nenek nya keluar dari kamar yang di tempati Adila. "Belum. Anak itu kalau sakit ndak mau makan opo opo, Nenek sendiri 'akhire sek' pusing," jawab Nenek Indah. Karena belum berhasil membujuk Adila untuk makan, bahkan minum pun Adila enggan. "Gue bawain kue putu, nih." Lisa dan Erchan yang baru saja masuk langsung menyahuti yang membuat mereka semua menoleh. "Yang sopan dong Lis., ada Nenek ini, salim dulu napa." Erchan berucap sambil menoyor kepala Lisa. "Eh? Nek, saya Lisa. Temanya Adila," ucap Lisa, dan mengalami Nenek Indah. "Saya Erchan, Nek." "Kalau saya Bagas, bukan bagi ganas tapi Nek." Bagas tertawa saat nenek mengusap rambutnya gemas. "Temanya Adila b
Setelah perjalanan cukup lama dan melelahkan, akhirnya mereka sampai di rumah nenek Adila dan ke-dua saudaranya. Rumah yang terbuat dari kayu tingkat dua, dengan sungai jernih di belakang rumah sebagai sumber air. Rumah Nenek Indah (Nenek Adila, Afia, San Aqia) termasuk di desa plosok, desa yang masih terjaga alam nya. Bertani dan berdagang adalah mata pencaharian utama mereka, Nenek Indah adalah seorang petani, umurnya 78 tahun. Meski pun sudah tua, beliau tidak bisa jika di suruh diam di rumah, Suaminya sudah meninggal saat umurnya 60 tahun. Saat melihat rumahnya di datangi 3 mobil sekaligus membuat tetangganya heran, mereka menebak-nebak siapa tamu Nenek Indah. Karena memang Nenek indah tidak pernah bercerita tentang anak cucunya di kota. "Nenek!" teriak Afia dan Aqia saat sudah keluar dari mobil. "Cucu Nenek sudah besar ternyata,
Tepat jam tiga pagi Adila sedang bersiap-siap di kamarnya. Setelah menempuh ujian yang melelahkan, akhirnya hari ini dia bisa mengunjungi Nenek nya di Jogja. Dia sangat merindukan masakan buatan Neneknya, tidak hanya dia tetapi juga ke-dua saudaranya akan ikut bersama nya. "Gue tahu kalian di luar, masuk aja!" teriak Adila saat menyadari ke-dua saudaranya berbisik-bisik di depan pintu kamarnya. Setelah Adila berteriak Afia dan Aqia memasuki kmara nya dengan canggung. Adila tahu apa yang ingin mereka bicara'kan. "Kita minta maaf..." lirih Aqia. "Buat?" "Sikap kita sama lo. Selama ini kita enggak ada niatan buat jauhin lo, ini semua rencana Gina..." "Gue tahu." Adila berucap dengan mantap. "Aqia kemarin udah bilang sama gue" &nb
"Gue capek ngikutin kemauan lo!" "Tapi sayang nya lo harus ngikutin," ucap gadis di depan nya sinis. "Lo licik! Di sini kita yang lo buat rugi!" ***** Seperti nya The sibling's benar-benar bubar, mereka berhenti di sini tanpa ada penjelasan. Adila yang memang malas mencari tahu hanya diam sampai semua nya terungkap sendiri. Dia juga malas melihat Gina yang selalu memanasi diri nya dengan menempel kepada Revano. Adila saat ini berada di toilet, dia membasuh mukanya yang memerah karena menahan amarah. "Wah, gimana? Pertunjukan gue seru, 'kan?" tanya Gina yang berdiri di samping Adila. Adila hanya melirik nya sekilas tanpa mau merespon. Entah kenapa tiba-tiba Gina mendorong Adila sampai hampir terjatuh jika dia tidak berpegangan dengan wastafel. &nb
"Udah ganjen sama gebetan orang, mau celakain orang lain lagi!" "Gue ngimpi apa dulu sampek punya sudara kayak dia!" Setelah pulang sekolah, Adila di sindir habis-habisan oleh ke-dua saudaranya. Sedangkan Gina, dia sedang beristirahat di dalam kamar. "Kalian kalau punya masalah sama gue bilang! Punya mulut buat ngomong langsung, bukan nyindir!" desis Adila tepat di depan mereka. Aqia memutar bola matanya malas, "Lo kesindir?" "Enggak," ucap Adila sambil tersenyum sinis, "gue enggak kesindir. Tapi mata kalian bilang kalau itu gue, kalau kalian mendeskripsikan diri sendiri, gue enggak masalah!" ucap Adila dan berlalu pergi meninggalkan mereka dengan perasaan sebal. "Lo harusnya tahu, kalau gue suka sama Revano! Tapi kenapa lo malah jadian sama dia!" Adila
"Gue berangkat sendiri!" "Enggak!" Sudah satu bulan setelah dia keluar dari rumah sakit, dan setelah itu juga hidupnya benar-benar sangat sulit karena ulah Raden dan Revano. Mereka selalu berebut siapa yang berangkat dengan Adila, siapa yang duduk di samping Adila, siapa yang membeli kan makanan Adila, dan siapa yang akan di terima Adila. "Mending kalian berangkat berdua, terus gue sama Kak Nana. Gampang'kan?" ucapnya sambil tersenyum manis. Dia tidak tahu apa alasan mereka melakukan itu, yang jelas itu sangat menganggu. Tentang ke-dua saudara nya, mereka sudah berangkat terlebih dahulu sejak jam enam pagi. Entah kenapa akhir-akhir ini hubungan mereka merenggang, Adila tidak mau ambil pusing. Lagi pula saudara nya itu memang selalu bersikap aneh. &n