Aldi mentap Reyna dengan pandangan rumit. Dia tidak ingin Reyna curiga padanya.
"Semoga saja apa yang kau katakan semuanya benar, Mas."
"Reyna, kenapa kau masih tak percaya kepadaku? Sudah kukatakan tidak ada yang terjadi tadi malam kecuali hanya karena kami meeting hingga larut! Dan aku tidak punya hubungan apapun dengan wanita itu !" bentak Aldi dengan bulir-bulir keringat menuruni pelipisnya. Entah kentara atau tidak, tapi jantungnya berdetak kencang, merasa sangat khawatir dengan persepsi tajam istrinya.
Beberapa saat yang lalu, Aldi baru saja berhasil menjelaskan pada istrinya mengenai apa yang terjadi di malam sebelumnya. Yah, tentu saja dengan setumpuk skenario palsu yang dia bangun dalam benaknya.
"Lalu siapa wanita yang aku dengar memanggil namamu dengan begitu mesra, Mas?" pertanyaan itu sempat dilemparkan kepada Aldi beberapa saat yang lalu.
Lalu, apa jawaban Aldi? Mengatakan bahwa Nadia adalah wanita yang tanpa sengaja dia tiduri kemarin? Tentu saja, tidak!
Aldi menjelaskan bahwa Nadia adalah perwakilan dari partner perusahaan terbarunya, dan kebetulan wanita itu duduk di sebelahnya sehingga suaranya kemarin terdengar begitu jelas di telepon. Seribu satu cara Aldi gunakan untuk menutupi perzinahan yang dia lakukan di hari yang lalu. Namun, Reyna masih bersikeras menyatakan bahwa dia tak percaya dengan ucapan Aldi.
Tangan Aldi menyisir rambutnya, membuat sosoknya yang tampan terlihat begitu kelelahan. Kemudian, dia menggenggam tangan Reyna dengan lembut. "Sayang, percayalah, aku tidak akan mengkhianatimu. Kau adalah satu-satunya wanita bagiku." Itu bukanlah kebohongan. Kalau bukan karena lengah, Aldi tak mungkin berzinah dengan Nadia.
Namun, apa dengan begitu, kenyataan bahwa dirinya telah berselingkuh dengan Nadia akan terhapus?
Mata Reyna menatap lurus ke arah Aldi, berharap dia akan menemukan kejujuran di sana. Walau hatinya masih begitu bimbang, tapi wanita itu akhirnya memutuskan untuk mempercayai ucapan suaminya.
"Kau percaya padaku, bukan?" tanya Aldi lagi.
Dengan sangat dipaksakan, dan juga cinta yang masih tertanam di hatinya, Reyna memaksakan sebuah senyuman. Lalu, wanita itu mengangguk. "Aku percaya padamu, Mas." Setengah dusta.
"I love you, honey," bisik Aldi dengan lirih. Kemudian, pria itu memeluk istrinya dengan erat. Di saat itu, matanya terbuka dan memancarkan kekhawatiran yang mendalam, "Semuanya akan baik-baik saja, Nadia sendiri berkata bahwa kejadian tadi malam akan dianggap tidak pernah terjadi." Pria itu menutup matanya, menikmati kehangatan Reyna. "Semuanya akan baik-baik saja," tegasnya lagi dalam hati.
****
Enam Minggu Kemudian …
Di sebuah kafe terlihat seorang wanita cantik yang duduk berhadapan dengan seorang pria tampan. Sesekali terlihat sosok wanita itu meremas tangannya karena gelisah.
"Ada apa, Nadia? Ada yang ingin kau bicarakan padaku. Kenapa tidak langsung ke kantor saja?" tanya Aldi menatap Nadia yang sejak tadi terlihat gugup.
"A-ku hamil, Pak Aldi." Nadia mengatakan itu tanpa memikirkan apa pun.
Cangkir berisi kopi panas yang laki-laki itu pegang terlihat bergetar. “Apa? Hamil?" ulang Aldi dengan suara ikut bergetar tidak percaya.
Sungguh laki-laki itu terkejut dengan pengakuan Nadia yang sudah bisa ia duga kelanjutan dari pembicaraan mereka ini. Nadia mengambil amplop dari tasnya, dia lalu menyerahkannya pada Aldi.
"Bukalah dan baca," pinta Nadia pada Aldi dengan nada bicara yang sengaja didramatisir.
Aldi membuka selembar kertas dari amplop berlogo rumah sakit bersalin, lembar pemeriksaan yang menyatakan Nadia hamil dan selembar foto USG yang menyatakan usia janin saat ini adalah tujuh minggu.
"Apa dia?" tanya Aldi menatap foto USG yang dia pegang.
Mata wanita itu membulat, dia kesal karena orang di hadapannya seperti meragukan ucapannya. "Tentu saja, Pak. Aku hanya melakukannya padamu," potong Nadia seakan tahu isi hati Aldi.
"Tapi, malam itu bukan yang pertama buatmu, bukan?" tanya Aldi masih belum yakin jika anak yang dikandung Nadia adalah anaknya.
Wanita itu kembali meremas tangannya. "Apa Pak Aldi meragukan aku? Aku bersedia melakukan tes DNA jika kau masih ragu" jawab Nadia menantang Aldi.
"Bukan begitu, Nadia. Kau tahu ini bukan hal yang mudah bagiku. Aku memiliki istri yang sangat aku cintai. Bagaimana mungkin aku harus menikahimu?" Aldi menjelaskan sambil membayangkan wajah Reyna yang sudah pasti akan hancur ketika dia tahu kenyataan yang terjadi saat ini.
"Maksud Pak Aldi? Bapak tidak akan bertanggung jawab untuk anak ini?"
Aldi terdiam karena pertanyaan itu. Benak dan kesadaran tentu saja menolak jika dia lari dari tanggung jawab. Aldi masih berpikir keras dan tak lama laki-laki tampan tapi terlihat sangat dingin dan angkuh itu pun mulai mengutarakan pendapat.
"Bagaimana jika saat anak itu lahir, kau berikan saja dia pada kami. Aku dan istriku yang akan menjadi orang tua kandung untuk dia. Aku bisa mengatur seolah-olah anak itu dilahirkan oleh istriku. Dan, dia pun akan terdaftar di kartu keluargaku sebagai anak kandung, bukan sebagai anak adopsi. Lalu, kau masih bisa bebas kembali pada kekasihmu," tawar Aldi berharap Nadia menyetujui usulnya.
Aldi yakin jika dia membawa anak itu pada Reyna, dia tidak akan ditinggalkan karena Reyna pun sangat mendambakan seorang anak. Dengan alasan dia mengadopsi anak itu sebagai pancingan agar Reyna benar-benar hamil dikemudian hari.
Nadia mendengus mendengar usul laki-laki tampan yang membuatnya tergila-gila, sepertinya dia harus bekerja keras untuk meminta Aldi menikahinya.
"Kau pikir aku ibu yang mudah memberikan anaknya pada orang lain untuk diakui sebagai anak kandungnya," ujar wanita itu tentu saja tidak setuju dengan usul Aldi. Sedangkan tujuan awal adalah menjadi istri lelaki itu. Dan, Nadia yakin hanya anak itulah kelak yang bisa mempersatukan dia dengan Aldi.
Aldi merasa kesal, dia terlihat gusar karena bujuk rayunya tidak mempan membuat Nadia setuju. Wanita itu bahkan tidak terlihat tertarik sedikit pun dengan tawaran Aldi, memperlihatkan betapa keras kepalanya wanita itu.
"Nadia, kau tahu posisiku dan keadaanku, bukan? Malam itu adalah sebuah kesalahan, kau pun tahu jika malam itu kita melakukan dalam keadaan setengah tidak sadar."
"Pak Aldi pikir, aku sengaja membuat diriku hamil anakmu, hah?" tanya Nadia marah.
Aldi tidak peduli dengan kemarahan Nadia, dia masih berupaya membujuk Nadia untuk mengikuti saran darinya. "Begini saja, aku akan bertanggung jawab kepada anakku. Semua biaya saat kau hamil, akan aku tanggung sepenuhnya. Kirim segera nomor rekeningmu, satu milyar rupiah untuk biaya anak itu sampai dia lahir sudah lebih dari cukup!”
Aldi mengambil kopi yang ada di hadapannya, menyeruputnya sedikit untuk menepis kegundahan hatinya, setelah itu terdengar suara berat keluar dari bibirnya. "Nanti setelah lahir berikan dia padaku dan biarkan aku yang akan membesarkannya," lanjut Aldi lagi dengan angkuh dan masih berusaha membujuk Nadia untuk menyetujui ide itu.
Wajah Nadia berubah menjadi merah. Dia tersinggung dengan ucapan Aldi. "Pak Aldi pikir anakku barang dagangan? Aku tahu Pak Aldi banyak uang. Tapi, maaf, anak ini anakku. Aku tidak akan membiarkan bayi ini pergi dariku dan berada dipangkuan orang yang bukan ibu kandungnya, kecuali Pak Aldi bersedia menikahiku dan aku satu-satunya ibu anak ini, bukan orang lain!" ancam Nadia.
Aldi merasa tersudut. Di satu sisi dia tidak sanggup untuk menyakiti hati Reyna. Namun, di sisi lain dia harus bertanggung jawab untuk bayi yang dikandung Nadia. Apalagi ini adalah darah dagingnya. Anak yang selama ini sangat dia inginkan. Aldi mengusap wajahnya dengan kasar. Peluh membasahi keningnya di ruang ber-AC. Wanita dihadapannya tetap saja tidak ada tanda-tanda untuk menerima tawarannya
"Aku akan menikahimu secara siri. Hanya untuk kepentingan status anak ini, jangan berharap lebih! Jika kau sanggupi, maka kita akan menikah secepatnya. Tanpa acara apa pun, hanya kita, saksi, dan penghulu." Mau tidak mau Aldi melontarkan kalimat itu.
Dalam benak pria itu yang penting bayi itu memiliki ayah dan tidak menjadi bahan hinaan masyarakat. Untuk selanjutnya, akan dia pikirkan saja nanti. Yang penting Reyna tidak sampai tahu masalah ini.
"Aku setuju," jawab Nadia cepat. Nadia tidak peduli, dia sudah sangat senang Aldi bersedia untuk menikah. Dan yang terpenting dia punya kesempatan untuk merebut hati Aldi dan kelak anak yang dia kandung memiliki ayah yang mengakuinya. Hanya itu yang ada di dalam pikiran Nadia saat ini.
Wanita cantik dengan pakaian yang menonjolkan bentuk tubuhnya itu tersenyum tipis, dia benapas lega. Setidaknya rencana lanjutan yang telah dia persiapkan telah berjalan mulus.
"Kau sudah masuk perangkapku, sayang, babak berikutnya akan berlanjut, setelah babak pertama dan kedua berhasil," gumamnya dalam hati.
Nadia kembali flash back dengan rencana awal dia dengan seseorang untuk menjebak Aldi. Tujuan utama untuk menghancurkan keluarga bahagia itu, Aldi dan Reyna.
****
Author Note:
Bagaiaman kelanjutannya? Tambah seru dan mulai panas nih!
Kuy ikutin teruz yak...jangan lupa tinggalin jejak dengan komentar dan beri bintang 5 untuk cerita ini ya, biar Author tetap semangat lanjut.
Love you all.
*Flashback on*Manik hitam kecokelatan itu tak bergeming, menatap tajam ke arah satu sosok maskulin yang terduduk di hadapannya. Terlihat sebuah senyuman angkuh terlukis di wajah pria tampan tersebut, membuat wanita yang memandang ke arah pria itu menghela napas."Setelah meeting bessok" tanya wanita tersebut, ada keraguan dalam nada bicaranya. "Aku merasa sedikit khawatir, David," ujarnya kepada pria tampan bernama David tersebut."Ayolah, Nadia," David memutar bola matanya sembari mendengus. Jari pria itu kemudian tertuju ke arah Nadia."Kau menyukainya, bukan? Dengan begitu kau hanya perlu mengikuti rencanaku saja! Setelah itu, kau bisa mendapatkan Aldi."Pandangan Nadia kembali bergeser kepada David. "Apa yang sebenarnya Aldi dan Reyna lakukan padamu sampai kau begitu bertekad untuk menghancurkannya?" tanya Nadia kali ini seakan menusuk manik mata David meminta
Prang! Bersamaan itu lantai kamar telah penuh dengan semua alat rias Reyna. Barang-barang yang ada di atas nakas telah berpindah tempat dan hancur tak berbentuk. "Brengsek!' Reyna terkejut, wanita itu menatap Aldi dengan gamang. Sedih dan kecewa terhadap reaksi tadi. Tidak terbersit di benak akan dibentak dengan kasar. Selama tiga tahun pernikahan, baru kali ini Mas Aldi berkata kasar padaku, batin Reyna dalam benak. Benar-benar menyakitkan, lanjut Reyna dalam hati. Tanpa sadar air mata menetes dan membanjiri pipi. Tidak terbayangkan suami yang sangat dicinta telah melontarkan kata kasar. "Tidak perlu melakukan itu untuk membuatku percaya dengan apa yang kau katakan, Mas," ucap Reyna terisak sedih. Aldi terdiam dan tersadar saat itu juga. Emosi di hati tiba-tiba luruh begitu saja ketika melih
Beberapa minggu berikutnya ...Aldi segera beranjak dari kursi dan menutup laptop. Laki-laki itu melirik ke arah layar ponsel. Sekilas mata menangkap bayangan jarum jam di dinding, menegaskan bahwa malam sudah mulai larut. Dia kemudian menggeser tombol hijau untuk menjawab.“Ada apa?" bisik Aldi menjawab panggilan itu seraya perlahan menutup kamar agar tidur Reyna tidak terganggu.“Dedek bayi ingin makan gudeg langgananku, Pak," jawab wanita di seberang sana."Kirimkan saja nama dan lokasi warung makannya, nanti aku akan minta jasa ojek online untuk mengantarkan padamu.""Dedek maunya diantar langsung oleh papanya," ucap Nadia pelan.Sesaat Aldi membisu, keinginan itu artinya menyatakan bahwa dia harus langsung bertemu dengan Nadia untuk membawakan apa yang diinginkan calon bayi mereka, Aldi dan Nadia.&ldq
“Mas, mengapa ada suara wanita? Siapa dia?” tanya Reyna beberapa saat setelah mereka terdiam, dia menatap Aldi tajam dari layar ponsel meminta penjelasan. Aldi menutupi rasa cemas di wajahnya, pertanyaan dari wanita yang dia cintai selalu saja menyudutkan, membawa tangan kanannya untuk menyeka peluh yang menetes dari kening. “Oh, itu ibu yang jaga rumah dinas di sini. Dia yang akan menyiapkan semua kebutuhanku selama aku di sini. Ya sudah, Sayang, aku makan dulu.” Aldi segera menutup ponsel tanpa menunggu jawaban dari Reyna. “Aku tidak percaya suara itu berasal dari penjaga rumah dinas. Aku tidak tahu entah apa alasan kecurigaanku ini. Hatiku hanya tidak memercayai suamiku saat ini.” Reyna bicara pada diri sendiri. “Aku yakin, suara tadi dari ibu si bayi yang bersama Mas Aldi.” Reyna diam untuk sesaat dan merasakan beratnya hati seorang istri. “Mas, mengapa kau membohongiku?”
Aku tidak peduli! Jawab pertanyaanku tadi!" ucap Aldi dengan suara keras. Reyna meringis kecil karena Aldi masih saja tidak melepaskan tangannya. "Kau selalu saja ingin aku mengikuti apa maumu dan aku selalu patuh. Tapi, hanya karena aku makan siang di sini tanpa izinmu, kau semarah ini? Sedangkan kau? Kau pergi ke mana, bersama siapa dan di mana, kau tidak pernah meminta izinku atau hanya sekedar memberi kabar padaku. Kau egois, Mas!" teriak Reyna ikut emosi. "Kau harusnya tahu alasannya." Aldi merasa dia sebagai suami berhak membatasi langkah Reyna. Segala sesuatu yang dikerjakan istrinya harus seizin dia dan sepengetahuan dia sebagai suami. "Aku keluar semua karena kepentingan pekerjaan, untuk apa aku harus izin padamu? Aku tidak wajib memberitahukan apa yang aku lakukan, Reyna," lanjut Aldi sombong penuh keangkuhan. Reyna mengigit bibirnya kesal. Wanita
Seorang laki-laki terlihat datang menghampiri Aldi, "Hei, bro! Kenapa kau kacau begini?" tanyanya menepuk pundak Aldi. Aldi menyipitkan matanya seraya menatap pria itu dengan seksama. Akibat efek minuman yang dia minum, membuat pandangan tidak jelas. Berulang kali dia menggelengkan kepala untuk mengamati wajah pria di depannya. "David?" "Iya, Bro. Ini aku," jawab David meyakinkan. Dijawab dengan anggukan oleh Aldi. Kemudian laki-laki itu terkekeh kecil beberapa saat, dia lalu menunjuk ke arah wajah David dengan mata yang telah memerah. "Kau benar, David. Reyna ternyata mencintai laki-laki itu," ucap Aldi lalu menurunkan tangannya kembali ke arah meja. Dia kemudian menundukkan kepala seraya menatap gelas minumannya. David tersenyum penuh arti, "Abi memang laki-laki yang pernah dekat dengan Reyna saat masih kuliah, bahkan mereka se
Aldi membelalakkan mata menatap Reyna, dia memegang kepala yang masih agak berat. Aldi kemudian mengingat aktifitas intim yang belum lama mereka lakukan. "Kenapa aku ada di sini? Dan kenapa kau masih sudi tidur di kamar yang sama denganku?" tanya Aldi menatap Reyna tajam. Laki-laki itu teringat kembali dengan pengakuan Reyna yang mencintai laki-laki lain. Dan meminta agar mereka berpisah. Aldi menahan geram karena marah. "Kita masih suami istri, Mas. Dan aku harap kau beristirahat. Ini sudah hampir subuh, Mas tadi pulang dalam keadaan mabuk," jelas Reyna. "Kau mengaku mencintai laki-laki lain. Tapi kenapa kau masih bisa bercinta denganku? Apa kau juga sering melakukan itu bersama kekasihmu secara diam-diam? Apa kau sudah tidur dengan laki-laki itu, Reyna! Katakan padaku! Benar dugaanku, bukan? Hah! Murahan sekali," umpat Aldi seraya bangkit dari tempat tidur. Reyna meraba dadanya
Nadia menerima panggilan telpon dari Reyna.. "Hallo, Mas Aldi, ini sudah jam 7 malam. Kenapa belum pulang? Mas lembur malam ini?" tanya Reyna terdengar khawatir di ponsel. "Emm ... hallo. Pak Aldi sedang tidur mbak." jawab Nadia singkat. "Tidur di mana? Maaf ini dengan siapa?" tanya Reyna. Ponsel dimatikan Nadia seraya menatap Aldi yang juga sejak tadi memperhatikan Nadia. "Apa dia menanyakan dirimu?" tanya Aldi. "Iya, Papa Azlea kenapa tidak berterus terang saja tentang aku. Jika seorang wanita tahu dia dibohongi, aku yakin dia akan benci dan meninggalkanmu. Jadi kenapa tidak jujur saja?" "Sudahlah, biarkan ini menjadi urusan kami," ucap Aldi seraya bangkit dari tempat tidur. Nadia menatap bingung kepada tingkah laku Aldi. "Kau mau kemana, Pa," tanya Nadia heran melihat Aldi ke
"Mas Aldi?" tanya Reyna dengan wajah bingung. Abi mengangguk yakin. Dia mengamati reaksi Reyna yang terlihat masih tidak percaya. "Kau tidak percaya?" tanya Abi. Reyna mengangguk, dia yakin Aldi tidak akan mungkin berbuat jahat padanya dan Evan, anak kandungnya sendiri. Abi membuka ponselnya, lalu menekan rekaman suara seseorang. "Jangan sampai Reyna tahu aku yang mengatur semua nya. Pastikan semua tersusun rapi sampai waktunya tiba. Aku punya alasan sendiri untuk melakukan ini," suara Aldi terdengar jelas dari ponsel Abi. "Masih tidak percaya padaku?" tanya Abi pada Reyna yang diam mematung. Sungguh dia tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar. Tapi rekaman itu menyatakan Aldi yang seolah-olah mengatur semua nya. Reyna menggeleng sekali lagi. Dia sungguh tidak ingin percaya dengan apa yang dikata
"Jadi kemana kau akan pergi setelah ini Reyna?" Sosok pria tampan itu maaih menatap Reyna dengan pandangan rumit. Reyna tidak menjawab, dia justru asyik membantu menyuapi Evan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendongak menatap pria itu seraya tersenyum. "Aku akan ke suatu tempat yang menbuat Aldi tidak bisa menemukan aku. Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu tentang masalahku dan alasanku pergi?" Pria itu menghampiri Evan dan membelai puncak kepala bocah itu. Evan melirik tidak suka. "Jangan pegang-pegang kepala, Evan!" protesnya membuat pria itu tertawa. Reyna menggeleng lalu membersihkan mulut Evan setelah menghabiskan suapan nya. Dia mengerti sifat Evan yang tidak bisa cepat akrab pada orang yang baru dia kenal. Untuk itu Reyna heran saat Evan cepat akrab dengan Aldi ketika pertama kali mereka bertemu. Mungkin ikatan anak dan ayah membuat Evan mera
Aldi membuka matanya perlahan, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ia tempati. "Tuan, sudah sadar?" Andre yang melihat pergerakan atasan nya segera beranjak dari sofa tempatnya duduk. "Mana Reyna?" Andre terdiam, ada keraguan untuk menjawab pertanyaan Aldi. Pria itu takut Aldi mengambil tindakan yang salah, padahal dia masih harus menjalankan perawatan. "Emm, itu Tuan, Nyonya harus mengunjungi perusahaan nya di luar kota. Ada yang dia harus selesaikan," ucap Andre tanpa berani menatap atasan nya. Aldi mengernyit, diantidka menyangka Reyna pergi di saat dia sedang tidak baik-baik saja. "Kau sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan tentang kejadian yang menimpaku ini?" tanya Aldi mengalihkan topik. Andre menyodorkan amplop coklat tertutup pada atasan nya. Dia memperlihatkan kepada Aldi data
"Apalagi ini Tuhan, kenapa cobaan untuk hidupku tidak pernah berhenti?" Reyna menaltap nanar isi tulisan dalam kertas itu. Dia segera meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan tubuh yang masih gemetar Reyna melangkahkan kakinya mendekati Aldi. Langkahnya gontai seraya menatap Aldi yang saat ini kembali tertidur. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah pria itu, setelah itu tangan Reyna mengusap kepala Aldi lembut. "Maafkan aku, Mas. Aku kembali harus menyusahkanmu. Semoga setelah ini semua akan baik-baik saja. Kau harus selalu bahagia, aku tidak ingin ada yang menyakitimu karena aku," bisik Reyna dengan air mata yang menetes. Reyna mengecup kening Aldi lalu bergegas keluar ruangan dengan menarik tas nya. Wanita itu berlari melewati koridor rumah sakit. Dia menuju ke arah pintu gerbang rumah sakit. Reyna menoleh ketika dia merasa ada langkah
Aldi telah dipindah ke ruang rawat inap setelah selesai melakukan operasi untuk membuang peluru yang bersarang di punggung kiri nya. Menurut dokter yang menangani, jarak peluru tidak terlalu dalam namun, Aldi kehilangan banyak darah. Untuk itu laki-laki itu harus dirawat untuk memulihkan bekas operasi dan kondisinya. Keesokan harinya, kondisi Aldi sudah mulai membaik. Reyna menatap nanar ke arah sosok pria yang sedang terbaring di tempat tidur kamar perawatan. Wanita cantik yang matanya masih terlihat sembab itu menggenggam tangan Aldi. "Mas, beneran tidak apa-apa?" tanya Reyna lembut. Aldi baru saja tersadar dari pengaruh obat bius. Pria itu berusaha tersenyum untuk menenangkan hati Reyna. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu cemas, ya," jawab Aldi mengusap punggung tangan Reyna. Reyna memperhatikan pria yang masih terbaring lemah. Dia tahu Aldi belum pulih walau seny
Seminggu ini Reyna kembali di teror oleh orang yang sama. Laki-laki bertopi yang acap.kali tiba-tiba hadir entah mengikutinya, atau sekedar lewat di depan kantor nya. Pernah Reyna merasa pria asing itu mondar mandir di depan rumahnya dengan menggunakan sepeda motor. Yang membuat Reyna heran saat Aldi ada di sampingnya atau berada di dekatnya, gangguan teror itu tidak pernah hadir, kecuali saat mereka ada di taman beberapa waktu lalu. Reyna sungguh merasa hidupnya tidak tenang. Beberapa kali dia berpikir akan pergi membawa Evan ke tempat yang lebih aman, tetapi wanita itu memikirkan kandungannya yang tambah besar. "Apakah pergi solusi terbaik untuk kami? apakah akan menjamin keselamatan kami?" Benak Reyna bermonolog. Kegelisahan menyelimuti hati wanita itu untuk mengambil keputusan, namun dia juga tidak ingin membicarakan keinginannya dengan Aldi.
"Apa itu, Bunda?" tanya Aldi pada Reyna. Reyna menaikkan bahunya dan kemudian mengambil sesuatu yang di pegang Evan. Miniatur robot yang tangan nya tidak lengkap. Hilang sebelah. "Evan di kasih om yang tadi, Bunda. Katanya buat Evan main, tapi kata Om nya tangan robot nya harus Evan sembuhkan dulu, karena lepas sebelah. Evan bilang, nanti Evan aja yang bawa ke dokter," ucap bocah itu lucu. Reyna dan Aldi berpandangan. Mereka menerka-nerka maksud pria bertopi tadi. "Evan tidak apa-apa kan,Nak? Om tadi tidak menyakiti Evan?" Bocah tampan itu menggeleng seraya melingkarkan tangan nya di leher Aldi. Dia tidak mengerti jika kedua orang tua nya sangat cemas pada nya. Keduanya terlihat lega. Reyna mencium pipi Evan dengan rasa syukur dan lega yang luar biasa. Kecemasan masih terlihat di wajahnya tapi wanita itu sudah bisa tersenyum sera
"Daddy, Evan mau ke taman," pinta bocah kecil memeluk kaki Aldi dengan wajah membujuk. Aldi menunduk memperhatikan tatapan Evan, mengelus puncak kepala bocah itu dengan penuh kasih. "Evan mau ke taman sama Daddy?" Aldi balik bertanya. Evan mengangguk penuh harap. Membiarkan Aldi memainkan pipi gembul nya. "Bunda gimana dong? Tega neinggalin bundanya di rumah?" "Bunda mau kok, tadi bunda bilang ke Evan, asal Daddy nemenin, bunda pasti ikut." Aldi tersenyum lalu menggendong Evan dan memeluknya erat. Hatinya bahagia, momen untuk bersama putranya dan Reyna tidak akan di sia-siakan. "Yuk, ganti baju dulu ya, Tuan muda," ajak Aldi menemani Evan ke kamarnya. Aldi tidak bisa melepaskan pandangan nya pada wanita cantik di depan nya. Wali pun perut wanita itu sudah terlihat membuncit, namun kec
Hari ini akhir pekan, Aldi tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bersama putranya dan Reyna. Namun kesehatan Reyna masih belum pulih. Beda dengan Evan yang sekarang sudah mulai bermain kembali. Aldi mengetuk kamar Reyna lalu membukanya perlahan saat suara Reyna mempersilahkan dia masuk. Aldi menghampiri Reyna lalu meraba kening wanita itu. "Udah minum obat?" tanya Aldi. Reyna menggeleng. Wajahnya masih terlihat pucat. Akibat teror yang dia alami membuatnya malas makan dan stress, untuk itu dokter Mario menyuruh Reyna untuk bedrest, apalagi kehamilannya masih masuk tri semester pertama. "Pasti belum sarapan? Kau harus makan dulu sebelum minum obat." Reyna kembali menggeleng lemah. Entah kenapa dia tidak nafsu makan. Tubuh nya masih terasa lemah. Aldi keluar kamar sebentar lalu masuk k