“Mas, mengapa ada suara wanita? Siapa dia?” tanya Reyna beberapa saat setelah mereka terdiam, dia menatap Aldi tajam dari layar ponsel meminta penjelasan.
Aldi menutupi rasa cemas di wajahnya, pertanyaan dari wanita yang dia cintai selalu saja menyudutkan, membawa tangan kanannya untuk menyeka peluh yang menetes dari kening.
“Oh, itu ibu yang jaga rumah dinas di sini. Dia yang akan menyiapkan semua kebutuhanku selama aku di sini. Ya sudah, Sayang, aku makan dulu.” Aldi segera menutup ponsel tanpa menunggu jawaban dari Reyna.
“Aku tidak percaya suara itu berasal dari penjaga rumah dinas. Aku tidak tahu entah apa alasan kecurigaanku ini. Hatiku hanya tidak memercayai suamiku saat ini.” Reyna bicara pada diri sendiri. “Aku yakin, suara tadi dari ibu si bayi yang bersama Mas Aldi.” Reyna diam untuk sesaat dan merasakan beratnya hati seorang istri. “Mas, mengapa kau membohongiku?”
Di bawah temaramnya lampu kamar, Reyna membayangkan Aldi bersama sosok wanita dan bayinya yang sedang bercanda dan bermesraan selayaknya keluarga kecil. Hatinya seakan tersayat dan terluka. Beberapa kali wanita itu mencoba menghapus bayangan itu dari pikirannya. Berpikir dan berharap apa yang dia takutkan saat ini, tidak terjadi.
“Mereka pasti sedang tertawa bahagia saat ini.” Reyna membayangkan keluarga kecil itu tertawa bahagia.
***
Siang ini Reyna melajukan mobil dari butik ke sebuah kafe. Reyna merasa lapar dan ingin makan siang di kafe yang letaknya tidak jauh dari tepi pantai, tempat favorit Reyna. Biasanya Reyna mengunjungi kafe ini bersama Aldi. Tapi kali ini dia pergi sendiri tanpa mengajak Aldi.
"Reyna?" Suara laki-laki dewasa terdengar memanggil namanya.
Reyna menoleh Terlihat dua orang laki-laki berjalan menghampiri dia. Senyum mengembang, terlihat sangat indah dan keanggunan dari seorang wanita terpancar.
"Kak Abi, kapan datang? Kok, tidak berkabar? Kak Abi tidak pernah ada kabar lagi sejak selesai dan melanjutkan S2 di luar negeri," cecar Reyna bertubi-tubi. Dia terkejut seraya tersenyum menatap laki-laki bernama Abi.
"Hei, kalian kalau sudah bertemu, aku diacuhkan," protes laki-laki yang satu lagi
.
"Oh, ya, Kak David. Maaf … aku hanya kaget ketemu Kak Abi di sini. Kok kalian bisa ada di sini?" tanya Reyna dengan perasaan bersalah.
"Aku sampai di Indonesia seminggu lalu dan aku serta David rencana makan siang sekalian ngobrol tentang bisnis yang akan kami jalankan. Apa kabarmu, Nana?" tanya Abi memanggil nama panggilan kesayangan untuk Reyna, sahabat ketika mereka kuliah.
Abi dan David adalah senior Reyna saat kuliah dulu. Mereka berasal dari universitas yang sama. Dan Abi adalah laki-laki yang pernah terlihat dekat dengan Reyna. Walau mereka tergolong teman dekat, tapi tanpa ikatan apa pun di antara mereka.
"Aku seperti yang Kak Abi lihat, baik-baik saja, bukan?" ujar Reyna tersenyum.
Abi memgangguk setuju tanpa melepaskan tatapan dari Reyna. "Long time no see, right?" tanya Abi menatap Reyna sendu.
Wanita di hadapannya adalah wanita yang dia inginkan sejak zaman kuliah. Namun dia tahu Reyna tidak mencintainya. Reyna selalu menganggap dia hanya sebagai seorang saudara dan sahabat baik, tidak lebih. Reyna hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Wanita itu terlihat senang bertemu sahabat lama.
"Bahkan sejak Reyna menikah, baru kali ini dapat bertemu. Tapi kenapa sendirian di sini?" tanya David menatap Reyna seraya mengedarkan pandangannya seperti mencari seseorang yang tidak dia temukan
"Lagi ingin ke sini sendiri, Kak," jawab Reyna tersenyum.
"Aku dengar kau punya bisnis fashion yang sukses, ya?" tanya David lagi.
Reyna mengangguk sembari memyeruput sedikit minuman yang baru saja dia pesan. "Tidak, Kak. Hanya bisnis fashion kecil-kecilan," jawab Reyna merendah.
"Aku ingin sesekali mengunjungi butikmu. Siapa tahu ada yang bisa aku beli," ucap David tersenyum.
"Iya, aku akan tunggu kalian berkunjung ke butik ku," jawab Reyna seraya melirik Abi yang lebih banyak diam.
"Boleh minta kartu namamu, Reyna?" tanya David.
Reyna mengambil dua kartu namanya untuk David dan Abi. Kemudian mereka duduk dan berbincang. Selama mereka bercerita terlihat obrolan mereka hanya didominasi oleh David yang selalu antusias bertanya dan bercerita pada Reyna. Abi hanya sesekali berbicara. Itu pun ketika Reyna bertanya padanya. Namun, mata Abi tidak lepas menatap Reyna sejak awal mereka berjumpa.
Beberapa saat kemudian mereka terlihat menikmati hidangan makan siang. David pamit sebentar untuk mengambil berkas yang katanya tertinggal di mobil.
"Maaf Reyna ada serangga di rambutmu," izin Abi untuk mengambil serangga yang berjalan di rambut Reyna.
Abi mengambil semut serangga itu tanpa mengalihkan pandangan pada wajah cantik di depannya. Tangan Abi bahkan tanpa sadar membelai rambut Reyna.
"Sudah tidak ada, Kak, serangganya?" tanya Reyna terlihat tegang membayangkan ada serangga di rambutnya.
"Sstt, tenanglah," bisik Abi menatap wajah Reyna dan tangan yang masih membelai rambut wanita itu, nampak wajah Abi yang penuh kerinduan.
Di daerah kafe itu kebetulan banyak pohon kelapa yang berjajar di tepi pantai yang sangat dekat dengan posisi kafe berada. Kemungkinan serangga itu berasal dari pohon-pohon itu dan jatuh ke rambut Reyna.
Reyna terkejut dengan mata yang membulat ketika melihat sosok yang dia kenal tiba-tiba ada di hadapan mereka dengan wajah marah. Abi baru saja menurunkan tangannya saat yang bersamaan Aldi telah berada di hadapan mereka.
"Mas Aldi," gumam Reyna terpaku melihat wajah Aldi yang merah karena marah.
"Kita pulang!" perintah Aldi menarik tangan Reyna tanpa memedulikan Abi yang terkesiap dengan kehadiran Aldi.
Abi memandang tidak suka dengan kelakuan Aldi yang kasar. Namun Abi tidak mampu berbuat banyak. Ia membiarkan pasangan suami istri itu pergi.
"Mas, ada apa? Kenapa tiba-tiba ada di sini?" tanya Reyna heran.
"Kenapa? Tidak suka aku datang? Mengganggu kalian berkencan?" tanya Aldi sinis dan masih berusaha menahan emosi karena mereka ada di tempat umum.
"Kami tidak berkencan. Kau salah paham, Mas!" tolak Reyna atas tuduhan Aldi.
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Istriku sedang bermesraan dengan laki-laki lain. Di saat aku pikir, istriku sedang sibuk bekerja."
Reyna tidak terima Aldi menuduhnya bermesraan dengan Abi, dia tidak merasa melakukan apa yang dituduhkan suaminya."Tidak seperti itu, kami tidak melakukan seperti apa yang kau pikirkan."
"Oh ya? Lalu apa tadi? Apa yang kalian lakukan di sini? Kalian pasti sudah janjian bertemu di sini, bahkan kau ke sini tanpa izin dariku!"
"Aku ke sini hanya untuk makan siang. Aku tidak ingin mengganggumu makanya aku tidak memberitahumu, Mas. Lalu kenapa? apa yang salah?" Reyna justru kembali membuat Aldi meradang.
"Tentu saja salah. Aku suamimu, asal kau ingat! Kau tidak boleh kemana-mana tanpa izinku. Berulang kali aku selalu mengatakan itu dan kau sudah menyetujuinya, ini sudah jadi komitmen kita di awal kita hidup bersama," ucap Aldi penuh penekanan.
"Mas Aldi jahat! Aku tidak melakukan sesuatu yang salah, Mas. Kenapa hanya untuk makan siang saja aku harus izin padamu juga?" tanya Reyna keberatan.
"Tentu saja, harus! Aku suamimu, Reyna. Aku harus tahu ke mana pun dan apa pun yang kau lakukan. Itulah gunanya aku menjadi suami, agar aku bisa melindungimu jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan denganmu. Aku punya tanggung jawab besar untuk istriku." Aldi kembali bersikap posesif.
Reyna menggeleng tidak setuju dengan pendapat suami nya "Tapi, tidak semua harus kau tahu saat itu juga, Mas. Aku tidak memberitahumu bukan berarti aku akan melakukan sesuatu yang buruk dan memalukan. Aku hanya makan siang, dan kami kebetulan bertemu di sini."
"Hanya makan siang? Aku baru saja melihat kau bermesraan dengan laki-laki lain. Itu yang kau katakan hanya makan siang? Katakan padaku apa hubunganmu dengan laki-laki itu. Akui saja, i dia kekasih gelapmu, Reyna," tuduh Aldi.
Reyna menatap Aldi tidak percaya. Begitu mudahnya Aldi menuduh dia selingkuh dengan laki-laki lain tanpa mencari kebenarannya terlebih dahulu. Hati Reyna panas. Dia tidak terima dengan tuduhan Aldi, namun karena kesal dan kecewa dengan Aldi akhirnya kata-kata membenarkan yang keluar dari bibir Reyna.
"Jika laki-laki itu benar kekasihku, Mas mau apa?" tantang Reyna dengan kesal dan emosi.
Wanita itu tidak suka dengan sikap Aldi yang Arogant dan seenaknya menyimpulkan sesuatu hal. Aldi terkejut sambil menghentikan langkahnya. Dia lalu menarik tangan Reyna dan membawa Reyna ke pinggir pantai tidak jauh dari mobil yang mereka parkir.
"Apa maksudmu? Kau mengakui dia kekasihmu? Jadi benar dia kekasihmu?" tanya Aldi dengan wajah menahan marah seraya mencengkeram tangan Reyna yang dia genggam dengan keras.
"Mas, sa-kit," rintih Reyna saat Aldi mencengkeram tangannya.
****
AN:
Hi, reader sayangku, makasih selalu mengikuti cerita Reyna dan Aldi.
Jangan lupa komen dan five starnya dikirim yak...
Buat yang pengen nanya-nanya seputar novel dan author, boleh aja via DM Ig
Love u much.
Aku tidak peduli! Jawab pertanyaanku tadi!" ucap Aldi dengan suara keras. Reyna meringis kecil karena Aldi masih saja tidak melepaskan tangannya. "Kau selalu saja ingin aku mengikuti apa maumu dan aku selalu patuh. Tapi, hanya karena aku makan siang di sini tanpa izinmu, kau semarah ini? Sedangkan kau? Kau pergi ke mana, bersama siapa dan di mana, kau tidak pernah meminta izinku atau hanya sekedar memberi kabar padaku. Kau egois, Mas!" teriak Reyna ikut emosi. "Kau harusnya tahu alasannya." Aldi merasa dia sebagai suami berhak membatasi langkah Reyna. Segala sesuatu yang dikerjakan istrinya harus seizin dia dan sepengetahuan dia sebagai suami. "Aku keluar semua karena kepentingan pekerjaan, untuk apa aku harus izin padamu? Aku tidak wajib memberitahukan apa yang aku lakukan, Reyna," lanjut Aldi sombong penuh keangkuhan. Reyna mengigit bibirnya kesal. Wanita
Seorang laki-laki terlihat datang menghampiri Aldi, "Hei, bro! Kenapa kau kacau begini?" tanyanya menepuk pundak Aldi. Aldi menyipitkan matanya seraya menatap pria itu dengan seksama. Akibat efek minuman yang dia minum, membuat pandangan tidak jelas. Berulang kali dia menggelengkan kepala untuk mengamati wajah pria di depannya. "David?" "Iya, Bro. Ini aku," jawab David meyakinkan. Dijawab dengan anggukan oleh Aldi. Kemudian laki-laki itu terkekeh kecil beberapa saat, dia lalu menunjuk ke arah wajah David dengan mata yang telah memerah. "Kau benar, David. Reyna ternyata mencintai laki-laki itu," ucap Aldi lalu menurunkan tangannya kembali ke arah meja. Dia kemudian menundukkan kepala seraya menatap gelas minumannya. David tersenyum penuh arti, "Abi memang laki-laki yang pernah dekat dengan Reyna saat masih kuliah, bahkan mereka se
Aldi membelalakkan mata menatap Reyna, dia memegang kepala yang masih agak berat. Aldi kemudian mengingat aktifitas intim yang belum lama mereka lakukan. "Kenapa aku ada di sini? Dan kenapa kau masih sudi tidur di kamar yang sama denganku?" tanya Aldi menatap Reyna tajam. Laki-laki itu teringat kembali dengan pengakuan Reyna yang mencintai laki-laki lain. Dan meminta agar mereka berpisah. Aldi menahan geram karena marah. "Kita masih suami istri, Mas. Dan aku harap kau beristirahat. Ini sudah hampir subuh, Mas tadi pulang dalam keadaan mabuk," jelas Reyna. "Kau mengaku mencintai laki-laki lain. Tapi kenapa kau masih bisa bercinta denganku? Apa kau juga sering melakukan itu bersama kekasihmu secara diam-diam? Apa kau sudah tidur dengan laki-laki itu, Reyna! Katakan padaku! Benar dugaanku, bukan? Hah! Murahan sekali," umpat Aldi seraya bangkit dari tempat tidur. Reyna meraba dadanya
Nadia menerima panggilan telpon dari Reyna.. "Hallo, Mas Aldi, ini sudah jam 7 malam. Kenapa belum pulang? Mas lembur malam ini?" tanya Reyna terdengar khawatir di ponsel. "Emm ... hallo. Pak Aldi sedang tidur mbak." jawab Nadia singkat. "Tidur di mana? Maaf ini dengan siapa?" tanya Reyna. Ponsel dimatikan Nadia seraya menatap Aldi yang juga sejak tadi memperhatikan Nadia. "Apa dia menanyakan dirimu?" tanya Aldi. "Iya, Papa Azlea kenapa tidak berterus terang saja tentang aku. Jika seorang wanita tahu dia dibohongi, aku yakin dia akan benci dan meninggalkanmu. Jadi kenapa tidak jujur saja?" "Sudahlah, biarkan ini menjadi urusan kami," ucap Aldi seraya bangkit dari tempat tidur. Nadia menatap bingung kepada tingkah laku Aldi. "Kau mau kemana, Pa," tanya Nadia heran melihat Aldi ke
"Mas, saat ini kita sudah punya jalan masing-masing. Pisah adalah jalan terbaik. Ikhlaskan aku dengan laki-laki yang aku cintai, dan kau ... bisa bebas bersama istri dan anakmu," ucap Reyna dengan suara bergetar menahan sesak dan air mata yang bersamaan membanjiri wajahnya. Laki-laki dihadapan Reyna terpaku dengan wajah terkejut. Aldi melangkah mendekati Reyna, menatap dengan hati yang bergejolak. "Maksudmu? Is-tri dan a-nak?" tanyanya terbata-bata, kaki dan tangannya terasa gemetar. Reyna menundukkan wajahnya, dia menahan semua perasaan yang selama ini telah lama ida pendam. Namun dia sudah tidak sanggup lagi menyembunyikan semua kenyataan pahit. Semua rahasia Aldi yang sudah dia ketahui. "Sayang, ka-u?" tanya Aldi dengan keraguan dan dada yang bergetar hebat. Sesuatu yang dia takutkan ternyata telah terjadi. Pria itu menyentuh wajah Reyna lalu mengangkat dagunya u
Pagi ini Aldi sudah ke kantor tanpa pamit. Hal yang tidak pernah dia lakukan pada Reyna. Tentu saja karena Reyna masih belum terbangun. Semalam wanita itu tidak bisa memejamkan mata hingga jam empat subuh. Aldi yang sadar tidak melihat Reyna yakin bahwa wanita itu semalam pasti tidak bisa tidur. Sama seperti dirinya yang gelisah dan tidak bisa tidur pulas, perbincangan malam tadi membuat mereka gelisah dengan kesimpulan Aldi tetap bersikukuh mempertahankan Reyna. Saat Aldi bangun dan tidak menemukan istrinya, Aldi khawatir, dia takut Reyna jatuh sakit. Laki-laki itu masuk ke kamar Reyna dan kemudian meraba keningnya. "Ah, dia tidak demam, syukurlah kau baik-baik saja," gumam Aldi. Pria itu kemudian menunduk dan mengecup kening Reyna. Dia tidak merasakan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, namun dia melihat mata Reyna yang sembab usai menangis. "Kau menyakiti dirimu dan aku. Apa sebe
David menggeleng saat sosok pelayan yang menabrak Reyna telah menghilang dari pandangan mereka. "Cepat sekali dia menghilang," gumam David terdengar kesal. Laki-laki dihadapan Reyna menoleh dan menatap Reyna dengan wajah menyesal. "Maaf Reyna," ucap David dengan kejadian yang baru saja terjadi. "Oh, tidak apa-apa Kak. Pelayan itu saja yang ceroboh tidak melihat kehadiran kita di sini." Setelah itu David mengajak Reyna masuk ke resto hotel untuk makan siang, mereka membicarakan sistem kerjasama yang akan David tawarkan. "Ini hard copy untuk perjanjian kerjasama yang aku tawarkan. Dan soft copy nya telah aku email. Kau bisa mempelajari kembali. Jika ada point yang kira-kira berat untuk kau setujui, kau bisa diskusi denganku," jelas David pada Reyna. Reyna mengangguk paham. Dia lalu berbasa basi sebentar dan kemudian pam
Jelaskan padaku! Untuk apa kau ke hotel dan bertemu dengan laki-laki itu! Apa untuk menjual dirimu? Apa uang yang aku berikan masih kurang, hm? Dasar pelacur!" Reyna mengikuti langkah Aldi dengan sorot matanya. Menatap punggung suaminya yang melangkah keluar dari kamar setelah puas melempar cacian untuknya. Reyna kembali menggeser pandangan ke arah gambar dirinya yang dia duga hasil print dari ponsel seseorang. Entah siapa pelaku yang ingin membuat dia dan suaminya kembali perang. Foto yang dia pegang memperlihatkan gambar Reyna yang dipeluk dengan intim oleh seorang laki-laki yang membelakangi kamera. Hanya terlihat wajah Reyna dengan jelas berada di dalam pelukan laki-laki itu. Sedangkan wajah laki-laki itu tidak terlihat sama sekali. "Ada yang sengaja ingin memfitnahku agar mas Aldi jadi bertambah benci padaku." Reyna menghela napas dan membuangnya sedikit kasar.&nb
"Mas Aldi?" tanya Reyna dengan wajah bingung. Abi mengangguk yakin. Dia mengamati reaksi Reyna yang terlihat masih tidak percaya. "Kau tidak percaya?" tanya Abi. Reyna mengangguk, dia yakin Aldi tidak akan mungkin berbuat jahat padanya dan Evan, anak kandungnya sendiri. Abi membuka ponselnya, lalu menekan rekaman suara seseorang. "Jangan sampai Reyna tahu aku yang mengatur semua nya. Pastikan semua tersusun rapi sampai waktunya tiba. Aku punya alasan sendiri untuk melakukan ini," suara Aldi terdengar jelas dari ponsel Abi. "Masih tidak percaya padaku?" tanya Abi pada Reyna yang diam mematung. Sungguh dia tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar. Tapi rekaman itu menyatakan Aldi yang seolah-olah mengatur semua nya. Reyna menggeleng sekali lagi. Dia sungguh tidak ingin percaya dengan apa yang dikata
"Jadi kemana kau akan pergi setelah ini Reyna?" Sosok pria tampan itu maaih menatap Reyna dengan pandangan rumit. Reyna tidak menjawab, dia justru asyik membantu menyuapi Evan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendongak menatap pria itu seraya tersenyum. "Aku akan ke suatu tempat yang menbuat Aldi tidak bisa menemukan aku. Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu tentang masalahku dan alasanku pergi?" Pria itu menghampiri Evan dan membelai puncak kepala bocah itu. Evan melirik tidak suka. "Jangan pegang-pegang kepala, Evan!" protesnya membuat pria itu tertawa. Reyna menggeleng lalu membersihkan mulut Evan setelah menghabiskan suapan nya. Dia mengerti sifat Evan yang tidak bisa cepat akrab pada orang yang baru dia kenal. Untuk itu Reyna heran saat Evan cepat akrab dengan Aldi ketika pertama kali mereka bertemu. Mungkin ikatan anak dan ayah membuat Evan mera
Aldi membuka matanya perlahan, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ia tempati. "Tuan, sudah sadar?" Andre yang melihat pergerakan atasan nya segera beranjak dari sofa tempatnya duduk. "Mana Reyna?" Andre terdiam, ada keraguan untuk menjawab pertanyaan Aldi. Pria itu takut Aldi mengambil tindakan yang salah, padahal dia masih harus menjalankan perawatan. "Emm, itu Tuan, Nyonya harus mengunjungi perusahaan nya di luar kota. Ada yang dia harus selesaikan," ucap Andre tanpa berani menatap atasan nya. Aldi mengernyit, diantidka menyangka Reyna pergi di saat dia sedang tidak baik-baik saja. "Kau sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan tentang kejadian yang menimpaku ini?" tanya Aldi mengalihkan topik. Andre menyodorkan amplop coklat tertutup pada atasan nya. Dia memperlihatkan kepada Aldi data
"Apalagi ini Tuhan, kenapa cobaan untuk hidupku tidak pernah berhenti?" Reyna menaltap nanar isi tulisan dalam kertas itu. Dia segera meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan tubuh yang masih gemetar Reyna melangkahkan kakinya mendekati Aldi. Langkahnya gontai seraya menatap Aldi yang saat ini kembali tertidur. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah pria itu, setelah itu tangan Reyna mengusap kepala Aldi lembut. "Maafkan aku, Mas. Aku kembali harus menyusahkanmu. Semoga setelah ini semua akan baik-baik saja. Kau harus selalu bahagia, aku tidak ingin ada yang menyakitimu karena aku," bisik Reyna dengan air mata yang menetes. Reyna mengecup kening Aldi lalu bergegas keluar ruangan dengan menarik tas nya. Wanita itu berlari melewati koridor rumah sakit. Dia menuju ke arah pintu gerbang rumah sakit. Reyna menoleh ketika dia merasa ada langkah
Aldi telah dipindah ke ruang rawat inap setelah selesai melakukan operasi untuk membuang peluru yang bersarang di punggung kiri nya. Menurut dokter yang menangani, jarak peluru tidak terlalu dalam namun, Aldi kehilangan banyak darah. Untuk itu laki-laki itu harus dirawat untuk memulihkan bekas operasi dan kondisinya. Keesokan harinya, kondisi Aldi sudah mulai membaik. Reyna menatap nanar ke arah sosok pria yang sedang terbaring di tempat tidur kamar perawatan. Wanita cantik yang matanya masih terlihat sembab itu menggenggam tangan Aldi. "Mas, beneran tidak apa-apa?" tanya Reyna lembut. Aldi baru saja tersadar dari pengaruh obat bius. Pria itu berusaha tersenyum untuk menenangkan hati Reyna. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu cemas, ya," jawab Aldi mengusap punggung tangan Reyna. Reyna memperhatikan pria yang masih terbaring lemah. Dia tahu Aldi belum pulih walau seny
Seminggu ini Reyna kembali di teror oleh orang yang sama. Laki-laki bertopi yang acap.kali tiba-tiba hadir entah mengikutinya, atau sekedar lewat di depan kantor nya. Pernah Reyna merasa pria asing itu mondar mandir di depan rumahnya dengan menggunakan sepeda motor. Yang membuat Reyna heran saat Aldi ada di sampingnya atau berada di dekatnya, gangguan teror itu tidak pernah hadir, kecuali saat mereka ada di taman beberapa waktu lalu. Reyna sungguh merasa hidupnya tidak tenang. Beberapa kali dia berpikir akan pergi membawa Evan ke tempat yang lebih aman, tetapi wanita itu memikirkan kandungannya yang tambah besar. "Apakah pergi solusi terbaik untuk kami? apakah akan menjamin keselamatan kami?" Benak Reyna bermonolog. Kegelisahan menyelimuti hati wanita itu untuk mengambil keputusan, namun dia juga tidak ingin membicarakan keinginannya dengan Aldi.
"Apa itu, Bunda?" tanya Aldi pada Reyna. Reyna menaikkan bahunya dan kemudian mengambil sesuatu yang di pegang Evan. Miniatur robot yang tangan nya tidak lengkap. Hilang sebelah. "Evan di kasih om yang tadi, Bunda. Katanya buat Evan main, tapi kata Om nya tangan robot nya harus Evan sembuhkan dulu, karena lepas sebelah. Evan bilang, nanti Evan aja yang bawa ke dokter," ucap bocah itu lucu. Reyna dan Aldi berpandangan. Mereka menerka-nerka maksud pria bertopi tadi. "Evan tidak apa-apa kan,Nak? Om tadi tidak menyakiti Evan?" Bocah tampan itu menggeleng seraya melingkarkan tangan nya di leher Aldi. Dia tidak mengerti jika kedua orang tua nya sangat cemas pada nya. Keduanya terlihat lega. Reyna mencium pipi Evan dengan rasa syukur dan lega yang luar biasa. Kecemasan masih terlihat di wajahnya tapi wanita itu sudah bisa tersenyum sera
"Daddy, Evan mau ke taman," pinta bocah kecil memeluk kaki Aldi dengan wajah membujuk. Aldi menunduk memperhatikan tatapan Evan, mengelus puncak kepala bocah itu dengan penuh kasih. "Evan mau ke taman sama Daddy?" Aldi balik bertanya. Evan mengangguk penuh harap. Membiarkan Aldi memainkan pipi gembul nya. "Bunda gimana dong? Tega neinggalin bundanya di rumah?" "Bunda mau kok, tadi bunda bilang ke Evan, asal Daddy nemenin, bunda pasti ikut." Aldi tersenyum lalu menggendong Evan dan memeluknya erat. Hatinya bahagia, momen untuk bersama putranya dan Reyna tidak akan di sia-siakan. "Yuk, ganti baju dulu ya, Tuan muda," ajak Aldi menemani Evan ke kamarnya. Aldi tidak bisa melepaskan pandangan nya pada wanita cantik di depan nya. Wali pun perut wanita itu sudah terlihat membuncit, namun kec
Hari ini akhir pekan, Aldi tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bersama putranya dan Reyna. Namun kesehatan Reyna masih belum pulih. Beda dengan Evan yang sekarang sudah mulai bermain kembali. Aldi mengetuk kamar Reyna lalu membukanya perlahan saat suara Reyna mempersilahkan dia masuk. Aldi menghampiri Reyna lalu meraba kening wanita itu. "Udah minum obat?" tanya Aldi. Reyna menggeleng. Wajahnya masih terlihat pucat. Akibat teror yang dia alami membuatnya malas makan dan stress, untuk itu dokter Mario menyuruh Reyna untuk bedrest, apalagi kehamilannya masih masuk tri semester pertama. "Pasti belum sarapan? Kau harus makan dulu sebelum minum obat." Reyna kembali menggeleng lemah. Entah kenapa dia tidak nafsu makan. Tubuh nya masih terasa lemah. Aldi keluar kamar sebentar lalu masuk k