Beberapa minggu berikutnya ...
Aldi segera beranjak dari kursi dan menutup laptop. Laki-laki itu melirik ke arah layar ponsel. Sekilas mata menangkap bayangan jarum jam di dinding, menegaskan bahwa malam sudah mulai larut. Dia kemudian menggeser tombol hijau untuk menjawab.
“Ada apa?" bisik Aldi menjawab panggilan itu seraya perlahan menutup kamar agar tidur Reyna tidak terganggu.
“Dedek bayi ingin makan gudeg langgananku, Pak," jawab wanita di seberang sana.
"Kirimkan saja nama dan lokasi warung makannya, nanti aku akan minta jasa ojek online untuk mengantarkan padamu."
"Dedek maunya diantar langsung oleh papanya," ucap Nadia pelan.
Sesaat Aldi membisu, keinginan itu artinya menyatakan bahwa dia harus langsung bertemu dengan Nadia untuk membawakan apa yang diinginkan calon bayi mereka, Aldi dan Nadia.
“Di mana tempat penjual nasi gudeg itu?” tanya Aldi pelan seraya melirik ke arah pintu kamar utama untuk meyakinkan bahwa Reyna masih lelap dalam tidur. Aldi memutuskan untuk mengabulkan permintaan Nadia dan calon bayinya.
"Sekitar satu kilometer dari rumahku, tepatnya di pinggir jalan utama dengan nama Gudeg Jogja Arumsari, sebelah kiri jalan," jawab Nadia menjelaskan.
“Yes. Akhirnya dia mau juga. Setelah beberapa kali mencoba, sekarang aku berhasil membawa dia ke sini. Tentu saja dengan alasan bayi ini,” seru Nadia girang setelah mereka mengakhiri percakapan telepon.
Begitu pula dengan Aldi, bergegas mengambil kunci mobil. Selama ini Aldi tidak mengantar langsung ketika sang calon bayi menginginkan sesuatu, ia selalu menggunakan jasa online untuk mengantar pesanan Nadia.
“Saya harus kembali ke kantor. Ada berkas penting yang harus saya kerjakan malam ini karena audit eksternal akan datang,” kata Aldi pada satpam rumahnya. “Kalau nyonya bertanya, katakan saja seperti itu,” sambung Aldi dengan nada perintah.
“Baik, Pak,” jawab satpam patuh.
Setelah menitipkan pesan, Aldi meninggalkan rumah dan membawa mobil dengan kecepatan sedang. “Cuma itu alasan yang masuk akal karena aku meninggalkan rumah malam-malam begini.” Aldi berbicara sendiri sambil menyetir.
Sekitar hampir dua jam kemudian, Aldi sampai di rumah Nadia. "Ini pesanan anakku, makanlah dan kembali tidur, kau dan anakku butuh istirahat,” kata Aldi seraya menyerahkan makanan itu dan bersiap akan kembali pulang.
Nadia menahan tangan Aldi seraya menggeleng. Dia tidak ingin Aldi pergi meninggalkannya. Raut wajah permohonan sangat terlihat pada wanita itu. Wajah heran Aldi menatap Nadia, wanita berbadan dua itu malam ini terlihat mulai berani menahan dirinya. Refleks Aldi melirik tangannya yang di gengam Nadia.
"Dedek bayi ingin dielus papanya agar bisa tidur dan tidak gelisah," bisik Nadia mengelus perut yang sudah masuk usia empat bulan seraya masih menahan tangan Aldi.
Aldi terdiam, dia menepis pelan tangan Nadia, lalu menggeser pandangannya ke arah tangan Nadia yang berpindah memegang perut. Sebagai pria yang sadar bahwa ada makhluk kecil yang merupakan darah daging sendiri membuat hatinya menghangat. Tanpa bisa mengelak Aldi mengaku ada kebahagiaan tersendiri mengingat bayi itu adalah anak kandungnya, darah daging Aldi. Meski sampai saat ini dia sama sekali tidak mencintai Nadia, ibu dari calon bayinya.
Sejenak Aldi memandang perut Nadia yang terlihat mulai membesar. Tanpa sadar tangan laki-laki itu terangkat lalu memegang perut Nadia lembut.
"Hm, papa di sini, Nak," ucap Aldi seraya mensejajarkan wajahnya di depan perut Nadia, tangan pun mengelus perut.
Nadia melonjak senang di dalam hati dia lalu menggamit tangan Aldi seraya menuntun ke kamar. Wanita itu lalu memberikan Aldi piyama tidur untuk dia pakai.
Bagaimanapun juga, bayi itu anakku. Darah dagingku. Pasti dia ingin berada didekatku, kata Aldi dalam hati membenarkan ajakan Nadia.
Setelah berpikir cukup, dia berbaring di samping Nadia seraya mengelus perut Nadia. Tentu saja Nadia merasa sangat bahagia. Selama dia menikah, Nadia selalu mencari alasan agar Aldi selalu dekat dengannya, namun, usahanya tidak berhasil. Dan malam ini keinginan Nadia terwujud.
Nadia mendekatkan bibirnya ke arah bibir suaminya. Mencoba mencuri ciuman untuk memulai keinginan yang telah lama dia pendam. Menyadari itu Aldi menghindar dan bergerak memunggungi Nadia.
"Tidurlah, Nadia, aku sangat lelah. Subuh aku harus kembali ke rumah sebelum Reyna bangun, aku tidak ingin dia khawatir," ucap Aldi.
Nadia kecewa, terlihat jelas dan nyata Aldi menolaknya. Padahal gairah wanita itu seakan terbakar penuh hasrat. Ingin sekali dia meminta Aldi untuk menyentuh dan mencumbu.
Entah mengapa sejak hamil hasrat untuk bercinta begitu tinggi. Apa itu bawaan bayi, ya? tanya Nadia dalam hati.
"Pak Aldi, emm ... dedek minta disayang lagi," bisik Nadia mencoba membuat Aldi menghadap ke arahnya.
Usaha Nadia tidak sia-sia, Aldi kembali membalikkan tubuhnya menghadap Nadia. Tangan Aldi menggapai perut Nadia dan membuat gerakan turun naik dengan pelan, namun, mata laki-laki itu tetap terpejam.
Tampan sekali, puji Nadia dalam hati
Menatap wajah suaminya dengan kekaguman yang tidak dapat dia sembunyikan. Baru kali ini dia bisa menatap wajah Aldi dari dekat. Rasa ingin menjamah bibir suaminya teramat menggoda hati. Namun, wanita itu menahannya agar tidak kembali kecewa.
Aku memang harus menahannya. Tidak perlu terburu-buru, ucap hati Nadia, lalu memutuskan untuk melanjutkan tidur.
Aldi terbangun dengan posisi tangannya yang masih berada di perut Nadia. Aldi merasakan suatu kehangatan saat menatap perut Nadia yang mulai membesar.
"Anakku, baik-baik di sana ya, Sayang? Papa merindukanmu. Segeralah lahir agar kita bertemu," bisik Aldi di depan perut Nadia. Dia segera bersiap untuk kembali pulang sebelum Reyna terbangun dari tidur.
***
1 tahun kemudian ....
“Pak Aldi, Azlea sakit. Sejak kemarin anakmu demam dan rewel,” adu Nadia di ponsel terdengar cemas.
“Sejak kemarin? Dan kau baru mengatakannya sekarang!" hardik Aldi kesal. "Tunggu, aku akan ke sana!" seru Aldi marah lalu menutup panggilan di ponsel dengan kesal.
"Siapa yang menelponmu, Mas?" tanya Reyna mengejutkan Aldi. Laki-laki itu menoleh dan menghampiri istrinya. Dia kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Reyna.
"Manajemen perusahaan induk menugaskan aku pagi ini untuk dinas luar. Semua serba dadakan," keluh Aldi dengan wajah menyesal.
Reyna kemudian memeluk suaminya dengan manja Hal yang selalu ia lakukan ketika suaminya terlihat gusar dan cemas. Reyna ingin suaminya selalu ceria dan semangat dalam bekerja.
"Pergilah, Mas. Bukankah tugas Mas Aldi lebih penting?" ucap Reyna tanpa curiga sedikit pun.
"Iya, Sayang. Maafkan aku harus meninggalkanmu lagi," ucap Aldi seraya mengecup kening Reyna.
Sore hari, Reyna akan pergi ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari yang sudah menipis. Biasanya saat belanja seperti ini Reyna selalu ditemani Aldi. Tapi saat Aldi dinas, Reyna diizinkan keluar tanpa ditemani Aldi, dengan catatan dalam keadaan urgent. Reyna berinisiatif sendiri untuk berbelanja dengan memesan taksi online agar ada yang membantu untuk mengangkat belanjaan ke dalam mobil.
Reyna telah berada di supermarket langganannya. Keranjang belanja sudah penuh dengan semua barang-barang yang Reyna butuhkan.
"Sepertinya sudah cukup," gumam Reyna seraya memesan taksi online untuk kembali pulang.
Reyna mengedarkan pandangan sambil menunggu taksi pesanan, hingga dia menangkap sesosok tubuh laki-laki yang sangat dia kenal.
"Mas Aldi?" ucap Reyna tidak percaya seraya memperhatikan baik-baik sosok laki-laki yang sedang membawa goody bag dan menuju parkiran mobil.
"Benar, itu mobil Mas Aldi," gumam Reyna. "Pak ikuti mobil yang baru keluar itu," tunjuk Reyna saat taksi pesanannya tiba.
Satu jam perjalanan, Reyna menyadari ada orang lain di dalam mobil Aldi. Ada sosok seorang wanita yang tidak dia kenal. Dada Reyna bergemuruh kencang. Tubuh dan tangan terasa bergetar.
“Siapa?” tanya Reyna pada diri sendiri.
Di depan mata Reyna, Aldi membawa mobil masuk ke dalam satu trumah minimalis. Setelah mobil terparkir, Aldi turun bersama seorang wanita cantik dengan rambut tergerai sembari menggendong seorang bayi.
Masih dari dalam mobil, Reyna mengamati aktivitas Aldi yang menurunkan goody bag dari dalam mobil lalu masuk ke dalam rumah mengikuti wanita dan bayi itu. Reyna menatap nanar ke arah pasangan yang dia yakini ibu dan anak.
“Astaga, kenapa rasanya sakit sekali? Seperti ada ribuan jarum yang menusuk sekaligus,” lirih Reyna yang sesaat termangu. “Mas Aldi pasti hanya membantu wanita dan bayi itu,” ucap Reyna meyakinkan diri sendiri. “Ya … hanya kebetulan membantu saja.” Dia berusaha menolak semua yang melintas di dalam pikiran buruk tentang Aldi, wanita dan bayi itu.
"Pak, kita kembali ke alamat semula, ya," ucap Reyna dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.
"Baik, Bu," ucap sopir taksi tersebut.
Sekilas sang sopir melirik ke arah kaca spion untuk melihat keadaan wanita yang menjadi penumpangnya, dia bisa menerka apa yang terjadi, tapi untuk bertanya, laki-laki itu segan karena tidak ingin membuat penumpangnya tidak nyaman. Ada rasa iba di dalam pandangan matanya.
Sampai Reyna di rumah, dia kembali membayangkan kejadian yang baru saja dia lihat. Sungguh perasaan Reyna tidak tenang, membayangkan suaminya bersama dengan wanita lain dengan seorang bayi membuat dada terasa tercabik-cabik. Kehadiran bayi itu membuat Reyna menyimpulkan sesuatu yang sudah pasti terjadi di kehidupan suaminya dan itu sangat menyakitkan.
Reyna lalu meraih ponsel dan menekan nomor yang ingin dia tuju. Dia melakukan panggilan video dan berharap agar orang yang ia hubungi segera menjawab panggilannya.
“Sayang, maaf aku tadi di kamar mandi,” jawab laki-laki di seberang sana setelah panggilan yang ketiga kalinya.
“Mas Aldi, di mana? Apa sudah tiba?” tanya Reyna memperhatikan sekeliling ruangan yang Aldi tempati. Reyna berpikir Aldi berada di dalam ruang kerja.
“Aku ada di rumah dinas, Sayang. Aku sedang mengerjakan laporan yang besok pagi sudah harus selesai,” jawab Aldi.
Dia berbohong. Suara hati Reyna berbicara. Kembali bayangan wanita yang bersama Aldi menusuk dan menoreh luka di dada.
“Mas Aldi dinas di kota mana?” tanya Reyna menyelidiki.
“Aku berada di Bogor, Sayangku. Maaf, aku lupa memberitahumu. Semua serba mendadak."
Tok ... Tok ... Tok!
Terdengar suara ketukan pintu dari luar ruang yang Aldi tempati.
"Pak Aldi, Makanan sudah siap. Ayo makan dulu," panggil seorang wanita dari balik pintu membuat Aldi dan Reyna terdiam sejenak.
Reyna menatap wajah Aldi yang terlihat gugup. Reyna tahu ini saatnya dia bertanya tentang wanita yang dia lihat tadi
“Mas, mengapa ada suara wanita? Siapa dia?” tanya Reyna beberapa saat setelah mereka terdiam, dia menatap Aldi tajam dari layar ponsel meminta penjelasan.
****
AN:
Apakah Akdi akan berkata jujur? Tambah seru, bukan?
Lanjut terus ya para readers yang paling aku sayang.
Cinta kalian akutuh.
“Mas, mengapa ada suara wanita? Siapa dia?” tanya Reyna beberapa saat setelah mereka terdiam, dia menatap Aldi tajam dari layar ponsel meminta penjelasan. Aldi menutupi rasa cemas di wajahnya, pertanyaan dari wanita yang dia cintai selalu saja menyudutkan, membawa tangan kanannya untuk menyeka peluh yang menetes dari kening. “Oh, itu ibu yang jaga rumah dinas di sini. Dia yang akan menyiapkan semua kebutuhanku selama aku di sini. Ya sudah, Sayang, aku makan dulu.” Aldi segera menutup ponsel tanpa menunggu jawaban dari Reyna. “Aku tidak percaya suara itu berasal dari penjaga rumah dinas. Aku tidak tahu entah apa alasan kecurigaanku ini. Hatiku hanya tidak memercayai suamiku saat ini.” Reyna bicara pada diri sendiri. “Aku yakin, suara tadi dari ibu si bayi yang bersama Mas Aldi.” Reyna diam untuk sesaat dan merasakan beratnya hati seorang istri. “Mas, mengapa kau membohongiku?”
Aku tidak peduli! Jawab pertanyaanku tadi!" ucap Aldi dengan suara keras. Reyna meringis kecil karena Aldi masih saja tidak melepaskan tangannya. "Kau selalu saja ingin aku mengikuti apa maumu dan aku selalu patuh. Tapi, hanya karena aku makan siang di sini tanpa izinmu, kau semarah ini? Sedangkan kau? Kau pergi ke mana, bersama siapa dan di mana, kau tidak pernah meminta izinku atau hanya sekedar memberi kabar padaku. Kau egois, Mas!" teriak Reyna ikut emosi. "Kau harusnya tahu alasannya." Aldi merasa dia sebagai suami berhak membatasi langkah Reyna. Segala sesuatu yang dikerjakan istrinya harus seizin dia dan sepengetahuan dia sebagai suami. "Aku keluar semua karena kepentingan pekerjaan, untuk apa aku harus izin padamu? Aku tidak wajib memberitahukan apa yang aku lakukan, Reyna," lanjut Aldi sombong penuh keangkuhan. Reyna mengigit bibirnya kesal. Wanita
Seorang laki-laki terlihat datang menghampiri Aldi, "Hei, bro! Kenapa kau kacau begini?" tanyanya menepuk pundak Aldi. Aldi menyipitkan matanya seraya menatap pria itu dengan seksama. Akibat efek minuman yang dia minum, membuat pandangan tidak jelas. Berulang kali dia menggelengkan kepala untuk mengamati wajah pria di depannya. "David?" "Iya, Bro. Ini aku," jawab David meyakinkan. Dijawab dengan anggukan oleh Aldi. Kemudian laki-laki itu terkekeh kecil beberapa saat, dia lalu menunjuk ke arah wajah David dengan mata yang telah memerah. "Kau benar, David. Reyna ternyata mencintai laki-laki itu," ucap Aldi lalu menurunkan tangannya kembali ke arah meja. Dia kemudian menundukkan kepala seraya menatap gelas minumannya. David tersenyum penuh arti, "Abi memang laki-laki yang pernah dekat dengan Reyna saat masih kuliah, bahkan mereka se
Aldi membelalakkan mata menatap Reyna, dia memegang kepala yang masih agak berat. Aldi kemudian mengingat aktifitas intim yang belum lama mereka lakukan. "Kenapa aku ada di sini? Dan kenapa kau masih sudi tidur di kamar yang sama denganku?" tanya Aldi menatap Reyna tajam. Laki-laki itu teringat kembali dengan pengakuan Reyna yang mencintai laki-laki lain. Dan meminta agar mereka berpisah. Aldi menahan geram karena marah. "Kita masih suami istri, Mas. Dan aku harap kau beristirahat. Ini sudah hampir subuh, Mas tadi pulang dalam keadaan mabuk," jelas Reyna. "Kau mengaku mencintai laki-laki lain. Tapi kenapa kau masih bisa bercinta denganku? Apa kau juga sering melakukan itu bersama kekasihmu secara diam-diam? Apa kau sudah tidur dengan laki-laki itu, Reyna! Katakan padaku! Benar dugaanku, bukan? Hah! Murahan sekali," umpat Aldi seraya bangkit dari tempat tidur. Reyna meraba dadanya
Nadia menerima panggilan telpon dari Reyna.. "Hallo, Mas Aldi, ini sudah jam 7 malam. Kenapa belum pulang? Mas lembur malam ini?" tanya Reyna terdengar khawatir di ponsel. "Emm ... hallo. Pak Aldi sedang tidur mbak." jawab Nadia singkat. "Tidur di mana? Maaf ini dengan siapa?" tanya Reyna. Ponsel dimatikan Nadia seraya menatap Aldi yang juga sejak tadi memperhatikan Nadia. "Apa dia menanyakan dirimu?" tanya Aldi. "Iya, Papa Azlea kenapa tidak berterus terang saja tentang aku. Jika seorang wanita tahu dia dibohongi, aku yakin dia akan benci dan meninggalkanmu. Jadi kenapa tidak jujur saja?" "Sudahlah, biarkan ini menjadi urusan kami," ucap Aldi seraya bangkit dari tempat tidur. Nadia menatap bingung kepada tingkah laku Aldi. "Kau mau kemana, Pa," tanya Nadia heran melihat Aldi ke
"Mas, saat ini kita sudah punya jalan masing-masing. Pisah adalah jalan terbaik. Ikhlaskan aku dengan laki-laki yang aku cintai, dan kau ... bisa bebas bersama istri dan anakmu," ucap Reyna dengan suara bergetar menahan sesak dan air mata yang bersamaan membanjiri wajahnya. Laki-laki dihadapan Reyna terpaku dengan wajah terkejut. Aldi melangkah mendekati Reyna, menatap dengan hati yang bergejolak. "Maksudmu? Is-tri dan a-nak?" tanyanya terbata-bata, kaki dan tangannya terasa gemetar. Reyna menundukkan wajahnya, dia menahan semua perasaan yang selama ini telah lama ida pendam. Namun dia sudah tidak sanggup lagi menyembunyikan semua kenyataan pahit. Semua rahasia Aldi yang sudah dia ketahui. "Sayang, ka-u?" tanya Aldi dengan keraguan dan dada yang bergetar hebat. Sesuatu yang dia takutkan ternyata telah terjadi. Pria itu menyentuh wajah Reyna lalu mengangkat dagunya u
Pagi ini Aldi sudah ke kantor tanpa pamit. Hal yang tidak pernah dia lakukan pada Reyna. Tentu saja karena Reyna masih belum terbangun. Semalam wanita itu tidak bisa memejamkan mata hingga jam empat subuh. Aldi yang sadar tidak melihat Reyna yakin bahwa wanita itu semalam pasti tidak bisa tidur. Sama seperti dirinya yang gelisah dan tidak bisa tidur pulas, perbincangan malam tadi membuat mereka gelisah dengan kesimpulan Aldi tetap bersikukuh mempertahankan Reyna. Saat Aldi bangun dan tidak menemukan istrinya, Aldi khawatir, dia takut Reyna jatuh sakit. Laki-laki itu masuk ke kamar Reyna dan kemudian meraba keningnya. "Ah, dia tidak demam, syukurlah kau baik-baik saja," gumam Aldi. Pria itu kemudian menunduk dan mengecup kening Reyna. Dia tidak merasakan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, namun dia melihat mata Reyna yang sembab usai menangis. "Kau menyakiti dirimu dan aku. Apa sebe
David menggeleng saat sosok pelayan yang menabrak Reyna telah menghilang dari pandangan mereka. "Cepat sekali dia menghilang," gumam David terdengar kesal. Laki-laki dihadapan Reyna menoleh dan menatap Reyna dengan wajah menyesal. "Maaf Reyna," ucap David dengan kejadian yang baru saja terjadi. "Oh, tidak apa-apa Kak. Pelayan itu saja yang ceroboh tidak melihat kehadiran kita di sini." Setelah itu David mengajak Reyna masuk ke resto hotel untuk makan siang, mereka membicarakan sistem kerjasama yang akan David tawarkan. "Ini hard copy untuk perjanjian kerjasama yang aku tawarkan. Dan soft copy nya telah aku email. Kau bisa mempelajari kembali. Jika ada point yang kira-kira berat untuk kau setujui, kau bisa diskusi denganku," jelas David pada Reyna. Reyna mengangguk paham. Dia lalu berbasa basi sebentar dan kemudian pam
"Mas Aldi?" tanya Reyna dengan wajah bingung. Abi mengangguk yakin. Dia mengamati reaksi Reyna yang terlihat masih tidak percaya. "Kau tidak percaya?" tanya Abi. Reyna mengangguk, dia yakin Aldi tidak akan mungkin berbuat jahat padanya dan Evan, anak kandungnya sendiri. Abi membuka ponselnya, lalu menekan rekaman suara seseorang. "Jangan sampai Reyna tahu aku yang mengatur semua nya. Pastikan semua tersusun rapi sampai waktunya tiba. Aku punya alasan sendiri untuk melakukan ini," suara Aldi terdengar jelas dari ponsel Abi. "Masih tidak percaya padaku?" tanya Abi pada Reyna yang diam mematung. Sungguh dia tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar. Tapi rekaman itu menyatakan Aldi yang seolah-olah mengatur semua nya. Reyna menggeleng sekali lagi. Dia sungguh tidak ingin percaya dengan apa yang dikata
"Jadi kemana kau akan pergi setelah ini Reyna?" Sosok pria tampan itu maaih menatap Reyna dengan pandangan rumit. Reyna tidak menjawab, dia justru asyik membantu menyuapi Evan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendongak menatap pria itu seraya tersenyum. "Aku akan ke suatu tempat yang menbuat Aldi tidak bisa menemukan aku. Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu tentang masalahku dan alasanku pergi?" Pria itu menghampiri Evan dan membelai puncak kepala bocah itu. Evan melirik tidak suka. "Jangan pegang-pegang kepala, Evan!" protesnya membuat pria itu tertawa. Reyna menggeleng lalu membersihkan mulut Evan setelah menghabiskan suapan nya. Dia mengerti sifat Evan yang tidak bisa cepat akrab pada orang yang baru dia kenal. Untuk itu Reyna heran saat Evan cepat akrab dengan Aldi ketika pertama kali mereka bertemu. Mungkin ikatan anak dan ayah membuat Evan mera
Aldi membuka matanya perlahan, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ia tempati. "Tuan, sudah sadar?" Andre yang melihat pergerakan atasan nya segera beranjak dari sofa tempatnya duduk. "Mana Reyna?" Andre terdiam, ada keraguan untuk menjawab pertanyaan Aldi. Pria itu takut Aldi mengambil tindakan yang salah, padahal dia masih harus menjalankan perawatan. "Emm, itu Tuan, Nyonya harus mengunjungi perusahaan nya di luar kota. Ada yang dia harus selesaikan," ucap Andre tanpa berani menatap atasan nya. Aldi mengernyit, diantidka menyangka Reyna pergi di saat dia sedang tidak baik-baik saja. "Kau sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan tentang kejadian yang menimpaku ini?" tanya Aldi mengalihkan topik. Andre menyodorkan amplop coklat tertutup pada atasan nya. Dia memperlihatkan kepada Aldi data
"Apalagi ini Tuhan, kenapa cobaan untuk hidupku tidak pernah berhenti?" Reyna menaltap nanar isi tulisan dalam kertas itu. Dia segera meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan tubuh yang masih gemetar Reyna melangkahkan kakinya mendekati Aldi. Langkahnya gontai seraya menatap Aldi yang saat ini kembali tertidur. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah pria itu, setelah itu tangan Reyna mengusap kepala Aldi lembut. "Maafkan aku, Mas. Aku kembali harus menyusahkanmu. Semoga setelah ini semua akan baik-baik saja. Kau harus selalu bahagia, aku tidak ingin ada yang menyakitimu karena aku," bisik Reyna dengan air mata yang menetes. Reyna mengecup kening Aldi lalu bergegas keluar ruangan dengan menarik tas nya. Wanita itu berlari melewati koridor rumah sakit. Dia menuju ke arah pintu gerbang rumah sakit. Reyna menoleh ketika dia merasa ada langkah
Aldi telah dipindah ke ruang rawat inap setelah selesai melakukan operasi untuk membuang peluru yang bersarang di punggung kiri nya. Menurut dokter yang menangani, jarak peluru tidak terlalu dalam namun, Aldi kehilangan banyak darah. Untuk itu laki-laki itu harus dirawat untuk memulihkan bekas operasi dan kondisinya. Keesokan harinya, kondisi Aldi sudah mulai membaik. Reyna menatap nanar ke arah sosok pria yang sedang terbaring di tempat tidur kamar perawatan. Wanita cantik yang matanya masih terlihat sembab itu menggenggam tangan Aldi. "Mas, beneran tidak apa-apa?" tanya Reyna lembut. Aldi baru saja tersadar dari pengaruh obat bius. Pria itu berusaha tersenyum untuk menenangkan hati Reyna. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu cemas, ya," jawab Aldi mengusap punggung tangan Reyna. Reyna memperhatikan pria yang masih terbaring lemah. Dia tahu Aldi belum pulih walau seny
Seminggu ini Reyna kembali di teror oleh orang yang sama. Laki-laki bertopi yang acap.kali tiba-tiba hadir entah mengikutinya, atau sekedar lewat di depan kantor nya. Pernah Reyna merasa pria asing itu mondar mandir di depan rumahnya dengan menggunakan sepeda motor. Yang membuat Reyna heran saat Aldi ada di sampingnya atau berada di dekatnya, gangguan teror itu tidak pernah hadir, kecuali saat mereka ada di taman beberapa waktu lalu. Reyna sungguh merasa hidupnya tidak tenang. Beberapa kali dia berpikir akan pergi membawa Evan ke tempat yang lebih aman, tetapi wanita itu memikirkan kandungannya yang tambah besar. "Apakah pergi solusi terbaik untuk kami? apakah akan menjamin keselamatan kami?" Benak Reyna bermonolog. Kegelisahan menyelimuti hati wanita itu untuk mengambil keputusan, namun dia juga tidak ingin membicarakan keinginannya dengan Aldi.
"Apa itu, Bunda?" tanya Aldi pada Reyna. Reyna menaikkan bahunya dan kemudian mengambil sesuatu yang di pegang Evan. Miniatur robot yang tangan nya tidak lengkap. Hilang sebelah. "Evan di kasih om yang tadi, Bunda. Katanya buat Evan main, tapi kata Om nya tangan robot nya harus Evan sembuhkan dulu, karena lepas sebelah. Evan bilang, nanti Evan aja yang bawa ke dokter," ucap bocah itu lucu. Reyna dan Aldi berpandangan. Mereka menerka-nerka maksud pria bertopi tadi. "Evan tidak apa-apa kan,Nak? Om tadi tidak menyakiti Evan?" Bocah tampan itu menggeleng seraya melingkarkan tangan nya di leher Aldi. Dia tidak mengerti jika kedua orang tua nya sangat cemas pada nya. Keduanya terlihat lega. Reyna mencium pipi Evan dengan rasa syukur dan lega yang luar biasa. Kecemasan masih terlihat di wajahnya tapi wanita itu sudah bisa tersenyum sera
"Daddy, Evan mau ke taman," pinta bocah kecil memeluk kaki Aldi dengan wajah membujuk. Aldi menunduk memperhatikan tatapan Evan, mengelus puncak kepala bocah itu dengan penuh kasih. "Evan mau ke taman sama Daddy?" Aldi balik bertanya. Evan mengangguk penuh harap. Membiarkan Aldi memainkan pipi gembul nya. "Bunda gimana dong? Tega neinggalin bundanya di rumah?" "Bunda mau kok, tadi bunda bilang ke Evan, asal Daddy nemenin, bunda pasti ikut." Aldi tersenyum lalu menggendong Evan dan memeluknya erat. Hatinya bahagia, momen untuk bersama putranya dan Reyna tidak akan di sia-siakan. "Yuk, ganti baju dulu ya, Tuan muda," ajak Aldi menemani Evan ke kamarnya. Aldi tidak bisa melepaskan pandangan nya pada wanita cantik di depan nya. Wali pun perut wanita itu sudah terlihat membuncit, namun kec
Hari ini akhir pekan, Aldi tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bersama putranya dan Reyna. Namun kesehatan Reyna masih belum pulih. Beda dengan Evan yang sekarang sudah mulai bermain kembali. Aldi mengetuk kamar Reyna lalu membukanya perlahan saat suara Reyna mempersilahkan dia masuk. Aldi menghampiri Reyna lalu meraba kening wanita itu. "Udah minum obat?" tanya Aldi. Reyna menggeleng. Wajahnya masih terlihat pucat. Akibat teror yang dia alami membuatnya malas makan dan stress, untuk itu dokter Mario menyuruh Reyna untuk bedrest, apalagi kehamilannya masih masuk tri semester pertama. "Pasti belum sarapan? Kau harus makan dulu sebelum minum obat." Reyna kembali menggeleng lemah. Entah kenapa dia tidak nafsu makan. Tubuh nya masih terasa lemah. Aldi keluar kamar sebentar lalu masuk k