Baru saja aku hendak kembali ke kelas, beberapa orang tiba-tiba memanggilku.
"Clara?" panggil mereka. Ya, aku tahu nama ini memang mirip merek sampo clear, tapi itu pemberian dari emak dan bapakku. Masa iya aku harus minder hanya karena hal sepele begitu? "Ada apa?" tanyaku dengan wajah sedikit bingung. Setahuku, aku tak pernah berurusan dengan mereka, apalagi dengan cowok-cowok kampus. Bukannya sok eksklusif, tapi aku memang lebih suka menjaga jarak. Bukan berarti aku kuper, hanya saja aku malas membuang energi untuk hal-hal nggak penting. "Kami butuh bantuan kamu," ujar salah satu dari mereka dengan nada memelas. "Bantuan apa? Asal bukan yang aneh-aneh," jawabku sambil mengangkat alis. Jangan sampai aku disuruh ikut-ikutan membully orang atau hal konyol lainnya. Bisa-bisa aku kena masalah besar. "Bukan, kok. Cuma nemenin kita ke rumah Pak Dosen Maut buat ngerjain tugas. Nanti kita kasih kamu uang yang lumayan," ujar mereka lagi, seakan tahu aku sedang butuh uang. Sepertinya mereka tahu betul aku tidak akan menolak tawaran seperti ini. Sebenarnya sih malas, tapi apa daya, belum ada pekerjaan lain. Lumayanlah, uangnya bisa aku pakai buat jajan dan bantu emak di rumah, meskipun cuma sedikit. "Kerja apa? Cuma nemenin doang, kan? Jangan macem-macem deh!" tanyaku memastikan untuk terakhir kali. Mereka serempak mengangguk. Kalau begini, aku jadi lebih tenang. "Ya sudah, tunggu sampai jam kampus selesai," jawabku akhirnya. Mereka langsung bersorak kecil seolah beban mereka terangkat. Dalam hati aku bergumam, Lumayanlah, cuma jadi 'tameng' doang. Kalau pun nanti mulut pedas Pak Dosen itu mengarah ke aku, anggap aja itu risiko tambahan. Sungguh ironis. Pak Dosen ini sebenarnya ganteng, terlalu ganteng malah, tapi mulutnya lebih tajam daripada samurai bahkan jarum. Sekali bicara, mood orang bisa hancur berkeping-keping. Beberapa jam kemudian, di sinilah aku berdiri. Di depan rumah besar dan megah milik Pak Dosen yang terkenal "maut" itu. Bersama beberapa kakak senior yang terlihat lebih tegang dariku. Jangan tanya kenapa aku mau terjebak di sini. Tugasku cuma menemani mereka, bukan ikut campur soal urusan bimbingan mereka. Aku menekan bel pelan-pelan. Tak lama kemudian, pintu gerbang terbuka, dan yang muncul adalah sosok yang paling aku benci junior soker di kampus yang kerjaannya cuma ngusilin aku. "Ada Kak Clara nih! Mau ikut bimbingan juga, ya? Bukannya baru tingkat dua?" tanyanya dengan senyum nyebelin. Wajah tengilnya bikin mood langsung turun. Kalau kakaknya dingin seperti pangeran es, bocah ini malah mirip kerikil tajam kecil tapi bikin nyebelin. "Gak usah kepo," jawabku malas. Tapi dasar bocah nggak tahu malu, dia malah cengar-cengir kayak orang baru dapat hadiah dorprais. "Galak amat, Kak. Mana ada abang yang mau sama senior galak begini," godanya lagi. Aku hanya mendelik tajam ke arahnya, berharap tatapan mataku cukup bikin dia diam. Bukannya kapok, dia malah ketawa kecil seperti anak yang puas bikin orang kesal. Aku malas meladeninya. Langsung saja aku mengikuti langkah senior-senior lain yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Begitu masuk dan bertemu Pak Dosen maut alias Pak Aris,seperti biasa, tatapannya langsung menohok ke arahku. Bahkan sebelum ia membuka mulut, aku sudah bisa menebak kalimat pedas apa yang akan keluar. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya tajam, seperti biasa. "Saya nganter kakak kelas yang mau bimbingan, Pak," jawabku pelan, berusaha sopan meski dalam hati aku gemas. Kenapa sih nggak pura-pura nggak lihat aja? "Saya bukan malaikat pencabut nyawa. Kalian bisa bimbingan dengan tenang. Dan kamu," ujarnya sambil menunjuk ke arahku. "I-iya, Pak?" jawabku dengan hati dag-dig-dug, yakin kali ini pasti ada hukuman aneh lagi. "Ke dapur. Bikin saya kopi!" ucapnya singkat, tegas, dan nyebelin. Lah ini rumah apa kedai kopi, sih? pikirku dalam hati. Tapi aku cuma bisa patuh. Nolak berarti bikin masalah lagi, dan dosen maut ini bukan tipe yang suka main-main. Aku berjalan mencari dapur di rumah besar ini, tapi malah bingung sendiri. Baru saja aku mau frustrasi, tiba-tiba si junior soto muncul lagi. "Kak Clara cari apa?" tanyanya lagi-lagi dengan senyum menyebalkan. "Cari kandang ayam," jawabku kesal. Kalau ada sekop, mungkin sudah aku timbun ini bocah. Dia malah tertawa ngakak kayak mendengar lelucon lucu. "Dapurnya di depan, belok kiri," ujarnya akhirnya sambil terkikik. Aku langsung melengos pergi, malas berurusan dengannya lagi. Sampai di dapur, aku langsung mengambil kopi hitam dan menyiapkannya. Untung aku tahu selera kopi Pak Aris—hitam, pahit, nggak kental, tapi juga nggak bening. Pernah dia sebutkan sendiri di kelas. Aku berusaha menuangkannya dengan takaran pas, sambil berdoa semoga ini cukup menyelamatkan nilai semesterku. Kopi selesai, aku membawanya kembali ke ruang bimbingan. "Ini, Pak," ujarku sambil meletakkan cangkir di mejanya dengan hati-hati. "Hmm," jawabnya singkat tanpa melihatku. Dingin seperti biasa. Bodo amat. Aku berniat meninggalkan ruangan, tapi para kakak senior menatapku dengan pandangan memelas seolah-olah memohon agar aku tidak meninggalkan mereka sendirian. Dengan terpaksa, aku duduk di belakang dan pura-pura sibuk bermain ponsel. Ya, anggap saja ini bonus belajar gratis. Satu hal yang mengganggu—entah kenapa, aku merasa ada seseorang yang diam-diam memperhatikan aku sejak tadi. Dua jam berlalu. Bimbingan selesai. Kakak-kakak senior itu membayar jasaku dengan dua lembar uang merah sesuai kesepakatan. Lumayan, pikirku. Setelahnya, mereka buru-buru pergi meninggalkanku sendirian. Langit mendung. Aku buru-buru berniat pulang dan berpamitan. "Pak, saya pulang dulu," ucapku sopan. Pak Aris hanya melirik ke luar jendela sebentar. "Ya," jawabnya singkat. Baru saja aku melangkah keluar, DUAR!!!! Hujan turun deras tanpa aba-aba. Langit yang tadinya cuma mendung langsung berubah menjadi kelabu pekat. "Ya Tuhan... hujan," gumamku, pasrah. Di luar sudah mulai gelap.Dan aku, sialnya, terjebak di rumah ini."Yah, hujan besar," gumamku pelan, masih berdiri di depan pintu rumah Pak Dosen, tepatnya Pak Aris. Aku mendesah gusar. "Bagaimana ini? Masa iya aku harus pulang hujan-hujanan." DUAR!!! Suara petir yang menyambar membuatku sontak menutup telinga. Aku selalu memanggil nama tuhan beberapa kali, berharap hatiku yang takut ini bisa sedikit tenang. "Tuhan, tolong redain hujan ini..." batinku, sambil terus memandang jalanan yang mulai tergenang air. Lalu, suara berat dan tegas datang dari belakangku, membuatku sedikit melompat kaget. "Kamu belum pulang?" Aku menoleh perlahan. Pak Aris berdiri di sana, mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku. Dengan ekspresi datar khas dirinya, ia memandangku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng cepat. Dalam hati, aku mengomel, Udah jelas-jelas belum pulang, masih aja ditanya. Dia ngak liat apa, nyawa dan jiwa raga masih di depan rumahnya. Tapi tentu saja aku tak berani mengatakannya. Ia menghela napas panjang, lalu tanpa basa-
Aku pulang ke rumah dengan hati yang kacau, meninggalkan Pak Aris bersama kakak sepupuku. Kalau dia macam-macam sama Pak Aris gimana? Pikiran itu terus berputar di kepalaku, membuat langkahku terasa berat. "Masuk rumah, biar dia saya yang urus," ucapnya tadi, yang terngiang-ngiang di telingaku. Suara itu mengganggu ketenanganku. Tiba-tiba suara emak menyadarkan ku dari lamunan. "Nak, baru balik? Kenapa malam sekali?" tanya emak penuh kekhawatiran. Raut wajahnya yang tua semakin menunjukkan kerisauan. "Maaf, Mak. Tadi hujan deras, jadi lama pulangnya. Clara minta maaf, ya, Mak," ucapku sambil mencium tangan emak yang sudah keriput dimakan usia. Ada rasa bersalah menyelimuti ku. "Ya sudah, yang penting selamat sampai rumah. Tapi ingat, sayang, jangan kebiasaan pulang malam-malam begini," nasihat emak lembut, walau masih menyimpan rasa cemas. "Lebih baik istirahat, yuk, Mak. Udah malam ini," ajak ku cepat, tak ingin emak terus khawatir. Emak menatapku lekat-lekat, seolah in
"Bismillahirrahmanirrahim, saya terima nikahnya Clara binti Bapak Ardi dengan mas kawin 25 gram emas beserta alat salat dibayar kontan," ucap Pak Aris dengan lancar. Aku masih merasa ini mimpi. Kenapa aku mendadak mengiyakan waktu itu untuk menikah dengan Pak Dosen? "Bagaimana para saksi?" tanya sang penghulu. "Sah," ucap para tamu undangan yang hadir di acara akad nikahku dengan Pak Aris. Tidak banyak, hanya sekitar 50 orang, itu pun kebanyakan dari pihak Pak Aris. Dari pihakku hanya ada aku, Emak, dan pamanku yang menjadi wali nikahku. Pak Aris mengulurkan tangannya ke arahku, dan ibu mengisyaratkan agar aku menerima dan mencium tangan Pak Aris bukan bibirnya, jangan ngarep! Setelah mencium tangannya, giliran Pak Aris yang mencium keningku, lalu berdoa di atas ubun-ubun ku sebelum mengecupnya. Rasanya deg-degan menikah dengan pria populer seperti Pak Aris. "Selamat ya, Clara. Akhirnya ada laki-laki yang mau tanggung jawab," ucap pamanku dengan mulut sembrononya. Kalau dia bukan
Sumpah rasanya aku malu luar biasa, tak bisa melihat pak Aris lagi, pak Aris melihat semuanya tapi masih bersikap biasa dia normal atau tidak. "Rambut basah jangan langsung di tutup."ucap pak Aris, yang tiba-tiba saja menghardrayer rambutku antara romantis dan menyeramkan, menyeramkan ya begitu aku mencoba menjadi perempuan ber otak bersih tapi entah kenapa ya Allah, mataku malah melihat ke arah lain. "Terimakasih pak?"ucapku,dia dengan tatapan teduh masih mengeringkan rambutku. "Saya bukan bapak kamu," balasnya pelan, emang bener sih tapi kan bapak Dosen. "Kan bapak Dosen."ucapku tak mau kalah, pak Aris mematikan hardrayernya kemudian dia, sedikit membungkukan badannya dan menatap mataku dengan tatapan yang aduhai bikin kaki lemas tak berdaya. Dia cuma diem dan terus menatapku, apa dia berencana menggodaku, oke aku tatap balik matanya siapa takutkan. Kami saling tatap-tatapan, sampai aku duluan yang memalingkan wajah, damagenya bukan main apa lagi pas liat dia senyum. "Bapak g
"mas Aris besok harus kekampus."aku merasakan kalau mas Aris menciumi tengkukku, bulu bulu kumis dan jenggotnya yang baru tumbuh bikin geli. Sekarang aku tahu Mas Aris menikahiku bukan karna cinta, tapi Karna sebatas ingin halal dan menyentuh tubuhku. "Ya udah tidurlah."mas Aris memelukku dengan erat, dagunya di simpan di kepalaku, kaki besarnya menindih pinggulku. Kalau begini, bagaimana caranya aku gerak. Apa mungkin dia ngambek ya, ah masa bodo besok ada kelasnya aku gak boleh kesiangan. Besok paginya. Sehabis sholat subuh, aku segera turun untuk pergi memasak dan juga menyiapkan kopi, serta cemilan untuk mas Aris. Emang gak di suruh tapi sebagai istrikan harus bisa merawa suami, walaupun awalnya suami tak di inginkan, tapi selama bisa di perjuangkan tidak boleh gampang menyerahkan. Lagian mas Aris kurang apa coba, ya mungkin kurang waras aja, sisanya kurang minum obat. ."ini mas kopinya sama pisang goreng."ucapku, Alis mas Aris terlihat di angkat, meremehkan makan
Mas Aris menarikku ke dalam pangkuannya, setelah aku ijin ke mama mertua mau mandi dulu.Kaget sumpah, apa lagi aku duduk pas di tengah-tengah."Mas ngapain,"Tapi mas Aris tidak bicara apa-apa, dia malah menatap mataku dalam diam.Dia gak ngomong apa-apa, mengambil tanganku yang di pegang Raditya tadi, setelah itu dia menjilatinya dengan lidahnya, astaghfirullah kelakuannya membuat ku deg-degan terus."Tidak boleh ada pria lain yang menyentuh mu, selain mas."Ucapnya."Apa?"aku bertanya, takut pendengaranku salah."Mas, aku mau mandi mau..Kata-kataku terhenti saat wajah mas libra, mencium bibirku lalu melumatnya pelan."Kamu istri mas, gak boleh dekat sama lelaki lain."ucapannya malah membuat aku semakin tidak percaya. "Terus mas bisa dekat dengan perempuan lain gitu, "ucapku dengan perasaan masih berdebar - debar, aku kan udah janji gak bakal suka mas Libra, tapi kok jadi begini kalau deket sama pisik mas Aris suka gugup gak jelas."Mau gimana lagi mas kan dosen."ucapnya membela di
"Mas nanti malam minta hak, mau tak mau, kamu harus mau." ucapnya mutlak.Aku mendadak keringat dingin, kalau mas Aris minta haknya, berarti hak nganu donk."Tapi Mas Aris,' ""Gak boleh nolak, itu sudah kewajiban kamu."ucapnya kemudian dia mengecup keningku, dan berkata lagi dengan wajah datarnya."Badanmu bau laki-laki itu, sekarang mandi dan ganti baju, kemudian temui mas di depan."Habis ngomong gitu, mas Aris pergi begitu saja, yang terbayang di otakku adalah kata Hak.Mas Aris minta hak, di otaku terbayang adegan yang pernah aku baca di novel dewasa, di cium dadakan juga masih salting setengah mati, ini minta hak bisa pingsan duluan sebelum selesai, apa lagi badan mas Aris kan bagus, gimana ini kok aku yang jadi berdebar sendiri, aku harus membersihkan otak ku dengan mandi pokoknya, kuraih handuk dan peralatan mandi yang lainnya.Mas Aris kenapa minta harus bilang-bilang dulu, langsung juga pasti di kasih eh. Otaku makin gak beres, aku harus cepat-cepat beres..Clara pop End.D
Aku merapikan penampilanku ,hari ini aku ingin tampil sedikit beda, aku ingin membuat mas Aris marah dan kesal, ya syukur -syukur kalau sampai emosi.Meskipun badanku masih lelah gara-gara ah entahlah memikirkannya juga jadi malu, aku harus tetap masuk kuliah.Kakiku masih linu buat jalan, untungnya mama mertuaku yang baik hati dan tidak sombong memberikan ramuan penghilang nyeri, kayaknya mama tau aku habis di unboxing anaknya dengan kejam."Habiskan ini nak, biar rasa sakitnya cepat hilang."ucap mamah mertuaku, melihatnya jadi ingat emakku, nanti habis kuliah aku harus ve dia."Iya mah, makasih."aku mengambil minuman itu dan segera meminumnya, jangan di Tanya rasanya seperti apa, rasanya seperti janji-janji manta dulu, manis -manis sepet pahit.Pagi tadi saat Bangun tidur badanku remuk semua rasanya, bagian kemaluanku sakit dan perih, si pelaku jangan di tanya dia ngapain aja, dia cuma natap aku tanpa kedip pula, apa aku se aneh itu?"Aris kasar sama kamu ya nak?" Pertanyaan mamah m
"Mas, ngapain." Aku mundur kebelakang, ketika mas Aris terus berjalan sambil menatap ke arah ku, sehabis makan malam tadi saman kawan-kawannya dia jadi anehkan."Jadi kamu terpaksa nikah sama mas, " Ucap mas Aris, aku kepentok di dekat pintu kamar mandi."Awalnya sih mas, tapi sekarang enggak, "Aku jawab jujur aja ah, takut mas Aris hilap dan skripsiku di tahan kelak.Mas Aris masih berdiri di depanku, tangannya menghalangiku, dari arah kiri dah mana. Dia gak ngomong apa-apa cuma diem."Mas, ".."Hmm""Ngejauh gak, " Aku sesak banget liat badan mas Aris yang gede, gede sama otot-otot nga gatal kali nih tangan pingin ngeraba eh, tapi jangan deh, jaga harga diri."Kenapa harus ngejauh? " Tanya Mas Aris, aku gak punya alasan logis lagi, masa iya harus mempermalukan diriku sendiri."Aku mau kentut, " Balas ku dengan wajah panas, menahan rasanya malu sekali."Tinggal kentut. " Ucap mas Aris gampang.Gampang kali dia kalau ngomong, tak tau perasaan ku membuncah, ingin menyentuh tubuhmu mass.
"Mas mau pernikahan kita di publikasikan, sayang, "ucap Aris pada Clara, Clara yang tadinya mau balik ke kelas kaget sekali, jadi alesannya ini, masnya tadi bawa dia masuk kedalam kampus pake mobilnya."Mas waras?"tanya Clara pada Aris."Kalau mau tau, mas waras atau ngk nya kemari lah, "ucap Aris sambil menyeruput kopi hitam buatan Clara.Clara menyesal, kenapa dia tidak menggantinya dengan garam tadi, biar tahu rasa dia minum kopi rasa air laut."Aku harus kuliah mas, Assalamualaikum"Clara langsung pergi, dari ruangan Aris.Satu ruangan dengan dosen menyebalkannya itu, membuatnya merasakan perasaan bumbu pecel, pedas, gurih, manis, semuanya terasa di relung hati.Sesampainya di kelas, dia jadi tatapan satu kelas, biasanya kan pada cuek, mau dia salto kek, jungkir balik kek tidur ngorok kek gak pernah ada yang peduli.Tapi sekarang setiap langkahnya Clara, selalu jadi tatapan kepo dari mereka, seperti ada harta Karun di bawah kakinya.Clara segera duduk di tempat duduknya, tapi kok a
Aku merapikan penampilanku ,hari ini aku ingin tampil sedikit beda, aku ingin membuat mas Aris marah dan kesal, ya syukur -syukur kalau sampai emosi.Meskipun badanku masih lelah gara-gara ah entahlah memikirkannya juga jadi malu, aku harus tetap masuk kuliah.Kakiku masih linu buat jalan, untungnya mama mertuaku yang baik hati dan tidak sombong memberikan ramuan penghilang nyeri, kayaknya mama tau aku habis di unboxing anaknya dengan kejam."Habiskan ini nak, biar rasa sakitnya cepat hilang."ucap mamah mertuaku, melihatnya jadi ingat emakku, nanti habis kuliah aku harus ve dia."Iya mah, makasih."aku mengambil minuman itu dan segera meminumnya, jangan di Tanya rasanya seperti apa, rasanya seperti janji-janji manta dulu, manis -manis sepet pahit.Pagi tadi saat Bangun tidur badanku remuk semua rasanya, bagian kemaluanku sakit dan perih, si pelaku jangan di tanya dia ngapain aja, dia cuma natap aku tanpa kedip pula, apa aku se aneh itu?"Aris kasar sama kamu ya nak?" Pertanyaan mamah m
"Mas nanti malam minta hak, mau tak mau, kamu harus mau." ucapnya mutlak.Aku mendadak keringat dingin, kalau mas Aris minta haknya, berarti hak nganu donk."Tapi Mas Aris,' ""Gak boleh nolak, itu sudah kewajiban kamu."ucapnya kemudian dia mengecup keningku, dan berkata lagi dengan wajah datarnya."Badanmu bau laki-laki itu, sekarang mandi dan ganti baju, kemudian temui mas di depan."Habis ngomong gitu, mas Aris pergi begitu saja, yang terbayang di otakku adalah kata Hak.Mas Aris minta hak, di otaku terbayang adegan yang pernah aku baca di novel dewasa, di cium dadakan juga masih salting setengah mati, ini minta hak bisa pingsan duluan sebelum selesai, apa lagi badan mas Aris kan bagus, gimana ini kok aku yang jadi berdebar sendiri, aku harus membersihkan otak ku dengan mandi pokoknya, kuraih handuk dan peralatan mandi yang lainnya.Mas Aris kenapa minta harus bilang-bilang dulu, langsung juga pasti di kasih eh. Otaku makin gak beres, aku harus cepat-cepat beres..Clara pop End.D
Mas Aris menarikku ke dalam pangkuannya, setelah aku ijin ke mama mertua mau mandi dulu.Kaget sumpah, apa lagi aku duduk pas di tengah-tengah."Mas ngapain,"Tapi mas Aris tidak bicara apa-apa, dia malah menatap mataku dalam diam.Dia gak ngomong apa-apa, mengambil tanganku yang di pegang Raditya tadi, setelah itu dia menjilatinya dengan lidahnya, astaghfirullah kelakuannya membuat ku deg-degan terus."Tidak boleh ada pria lain yang menyentuh mu, selain mas."Ucapnya."Apa?"aku bertanya, takut pendengaranku salah."Mas, aku mau mandi mau..Kata-kataku terhenti saat wajah mas libra, mencium bibirku lalu melumatnya pelan."Kamu istri mas, gak boleh dekat sama lelaki lain."ucapannya malah membuat aku semakin tidak percaya. "Terus mas bisa dekat dengan perempuan lain gitu, "ucapku dengan perasaan masih berdebar - debar, aku kan udah janji gak bakal suka mas Libra, tapi kok jadi begini kalau deket sama pisik mas Aris suka gugup gak jelas."Mau gimana lagi mas kan dosen."ucapnya membela di
"mas Aris besok harus kekampus."aku merasakan kalau mas Aris menciumi tengkukku, bulu bulu kumis dan jenggotnya yang baru tumbuh bikin geli. Sekarang aku tahu Mas Aris menikahiku bukan karna cinta, tapi Karna sebatas ingin halal dan menyentuh tubuhku. "Ya udah tidurlah."mas Aris memelukku dengan erat, dagunya di simpan di kepalaku, kaki besarnya menindih pinggulku. Kalau begini, bagaimana caranya aku gerak. Apa mungkin dia ngambek ya, ah masa bodo besok ada kelasnya aku gak boleh kesiangan. Besok paginya. Sehabis sholat subuh, aku segera turun untuk pergi memasak dan juga menyiapkan kopi, serta cemilan untuk mas Aris. Emang gak di suruh tapi sebagai istrikan harus bisa merawa suami, walaupun awalnya suami tak di inginkan, tapi selama bisa di perjuangkan tidak boleh gampang menyerahkan. Lagian mas Aris kurang apa coba, ya mungkin kurang waras aja, sisanya kurang minum obat. ."ini mas kopinya sama pisang goreng."ucapku, Alis mas Aris terlihat di angkat, meremehkan makan
Sumpah rasanya aku malu luar biasa, tak bisa melihat pak Aris lagi, pak Aris melihat semuanya tapi masih bersikap biasa dia normal atau tidak. "Rambut basah jangan langsung di tutup."ucap pak Aris, yang tiba-tiba saja menghardrayer rambutku antara romantis dan menyeramkan, menyeramkan ya begitu aku mencoba menjadi perempuan ber otak bersih tapi entah kenapa ya Allah, mataku malah melihat ke arah lain. "Terimakasih pak?"ucapku,dia dengan tatapan teduh masih mengeringkan rambutku. "Saya bukan bapak kamu," balasnya pelan, emang bener sih tapi kan bapak Dosen. "Kan bapak Dosen."ucapku tak mau kalah, pak Aris mematikan hardrayernya kemudian dia, sedikit membungkukan badannya dan menatap mataku dengan tatapan yang aduhai bikin kaki lemas tak berdaya. Dia cuma diem dan terus menatapku, apa dia berencana menggodaku, oke aku tatap balik matanya siapa takutkan. Kami saling tatap-tatapan, sampai aku duluan yang memalingkan wajah, damagenya bukan main apa lagi pas liat dia senyum. "Bapak g
"Bismillahirrahmanirrahim, saya terima nikahnya Clara binti Bapak Ardi dengan mas kawin 25 gram emas beserta alat salat dibayar kontan," ucap Pak Aris dengan lancar. Aku masih merasa ini mimpi. Kenapa aku mendadak mengiyakan waktu itu untuk menikah dengan Pak Dosen? "Bagaimana para saksi?" tanya sang penghulu. "Sah," ucap para tamu undangan yang hadir di acara akad nikahku dengan Pak Aris. Tidak banyak, hanya sekitar 50 orang, itu pun kebanyakan dari pihak Pak Aris. Dari pihakku hanya ada aku, Emak, dan pamanku yang menjadi wali nikahku. Pak Aris mengulurkan tangannya ke arahku, dan ibu mengisyaratkan agar aku menerima dan mencium tangan Pak Aris bukan bibirnya, jangan ngarep! Setelah mencium tangannya, giliran Pak Aris yang mencium keningku, lalu berdoa di atas ubun-ubun ku sebelum mengecupnya. Rasanya deg-degan menikah dengan pria populer seperti Pak Aris. "Selamat ya, Clara. Akhirnya ada laki-laki yang mau tanggung jawab," ucap pamanku dengan mulut sembrononya. Kalau dia bukan
Aku pulang ke rumah dengan hati yang kacau, meninggalkan Pak Aris bersama kakak sepupuku. Kalau dia macam-macam sama Pak Aris gimana? Pikiran itu terus berputar di kepalaku, membuat langkahku terasa berat. "Masuk rumah, biar dia saya yang urus," ucapnya tadi, yang terngiang-ngiang di telingaku. Suara itu mengganggu ketenanganku. Tiba-tiba suara emak menyadarkan ku dari lamunan. "Nak, baru balik? Kenapa malam sekali?" tanya emak penuh kekhawatiran. Raut wajahnya yang tua semakin menunjukkan kerisauan. "Maaf, Mak. Tadi hujan deras, jadi lama pulangnya. Clara minta maaf, ya, Mak," ucapku sambil mencium tangan emak yang sudah keriput dimakan usia. Ada rasa bersalah menyelimuti ku. "Ya sudah, yang penting selamat sampai rumah. Tapi ingat, sayang, jangan kebiasaan pulang malam-malam begini," nasihat emak lembut, walau masih menyimpan rasa cemas. "Lebih baik istirahat, yuk, Mak. Udah malam ini," ajak ku cepat, tak ingin emak terus khawatir. Emak menatapku lekat-lekat, seolah in