Fitnah dari keluarga

Aku pulang ke rumah dengan hati yang kacau, meninggalkan Pak Aris bersama kakak sepupuku. Kalau dia macam-macam sama Pak Aris gimana? Pikiran itu terus berputar di kepalaku, membuat langkahku terasa berat.

"Masuk rumah, biar dia saya yang urus," ucapnya tadi, yang terngiang-ngiang di telingaku. Suara itu mengganggu ketenanganku.

Tiba-tiba suara emak menyadarkan ku dari lamunan.

"Nak, baru balik? Kenapa malam sekali?" tanya emak penuh kekhawatiran. Raut wajahnya yang tua semakin menunjukkan kerisauan.

"Maaf, Mak. Tadi hujan deras, jadi lama pulangnya. Clara minta maaf, ya, Mak," ucapku sambil mencium tangan emak yang sudah keriput dimakan usia. Ada rasa bersalah menyelimuti ku.

"Ya sudah, yang penting selamat sampai rumah. Tapi ingat, sayang, jangan kebiasaan pulang malam-malam begini," nasihat emak lembut, walau masih menyimpan rasa cemas.

"Lebih baik istirahat, yuk, Mak. Udah malam ini," ajak ku cepat, tak ingin emak terus khawatir.

Emak menatapku lekat-lekat, seolah ingin memastikan aku baik-baik saja. "Tadi kamu diantar siapa, Nam?" tanyanya lagi, membuat dadaku berdegup kencang. Aku gawat. Ini harus jujur atau gimana? Tapi kalau berbohong, suatu saat emak pasti tahu juga.

"Diantar dosen, Mak," jawabku akhirnya, mencoba tegar. Apapun risikonya, yang penting aku jujur. Mau dimarahi atau disuruh ngitung pasir seharian juga nggak masalah, asal emak jangan marah atau merajuk.

Emak terdiam sejenak sebelum menatapku lagi. "Nak, Mak nggak masalah kamu dekat sama siapapun. Tapi ingat, kita ini siapa. Kita perlu sadar diri dan tetap jaga jarak sama lawan jenis, sebaik apapun dia," nasihat emak, lembut tapi dalam. Aku mengangguk pelan, menghargai setiap kata emak.

"Mak, ayo bobok. Besok Clara ada kuliah pagi," ujarku cepat, mencoba mengganti topik.

Keesokan paginya, seperti biasa, aku bergegas hendak memberi emak uang sisa kemarin. Tapi saat aku mencari emak, rumah justru dipenuhi suara ribut-ribut dari depan. Suara itu sangat familiar dengan suara yang sering membuat darah tinggi ku naik dan mendidih. Siapa lagi kalau bukan bibiku, kakak emak sendiri. Andai bibiku ini kelakuannya seperti kelelawar tidur siang terus , mungkin pagi pagi tidak akan seribut ini.

Aku berdiri mematung di ambang pintu, menyaksikan bibiku mengeraskan suaranya pada emak. Selama ini aku diam, menahan rasa kesal demi menghormati emak. Tapi kali ini, rasanya sabarku sudah habis melihat tingkah lakunya yang sama seperti serigala. Mentang-mentang dia orang berada, hobinya merendahkan orang kecil seperti kami. Mirip cobek sambal, bisanya cuma menghancurkan perasaan orang lain.

"Cukup sudah, Bibi!" seruku lantang, keluar dari dalam rumah sambil membawa sapu lidi di tangan. Jaga-jaga kalau bibiku ngajak ribut sekalian.

"Ah, itu pelacurnya keluar! Kupu-kupu malam! Jual diri!

"hina bibiku tajam.

Aku menggeleng pelan, tak percaya dengan mulut kotornya itu. "Itu mulut apa lap kandang sapi, sih? Kotor banget! Kalau aku punya salah, langsung ngomong sama aku, bukan sama emak!" balasku dengan suara bergetar menahan emosi. Kata orang, semut yang diinjak terus-terusan pun akhirnya menggigit. Mungkin aku sudah terlalu lama diam.

Bibiku tampak semakin menjadi-jadi. "Hei, pelacur! Ibumu nggak pandai mendidik mu sampai berani ngelawan orang tua!" ucapnya sombong.

Aku hanya tersenyum sinis. Rasanya percuma meladeni orang seperti dia. Toh, mulut harimau macam itu suatu saat pasti akan hancur dengan sendirinya. Lebih baik yang waras mengalah.

"Tidak ada gunanya sekolah tinggi kalau mulut masih nggak bisa dijaga, Bi. Sebelum melihat kesalahan anak orang lain, coba lihat anak sendiri itu seperti apa!" ucapku tajam, menatapnya penuh ketegasan. Bibiku kelabakan, apalagi mendengar bisik-bisik tetangga tentang anaknya sendiri.

"Hei, anak saya bilang kamu keluar dari mobil orang kaya tengah malam! Pantesan bisa kuliah! Ternyata jual diri!" lanjutnya dengan tuduhan yang semakin keji.

Aku menghela napas panjang, menahan diri agar tak meledak. Ini yang emak takutkan. Tapi aku tak peduli lagi aku tahu siapa diriku.

Emak, yang biasanya diam dan mengalah, kali ini angkat bicara. Dengan tangan bergetar, emak menampar bibiku. Tamparan yang begitu keras, seolah melepaskan semua beban yang selama ini emak tahan.

"Sekolahmu yang tinggi itu nggak ada gunanya kalau mulutmu kotor begini, Kak. Anak saya ini, baik buruknya, adalah hasil didikan saya. Dia nggak makan uangmu sepeser pun. Urus saja anakmu sendiri sebelum mencampuri urusan saya!" Emak menatap bibiku dengan tegas. Suaranya bergetar, tapi penuh wibawa.

Setelah itu, emak berbalik padaku. "Ayo, Nak. Kita beres-beres. Rumah ini sudah tidak nyaman lagi untuk kita tempati," ucap emak pelan. Aku mengangguk cepat. Hari itu aku memutuskan mencari rumah kontrakan bersama emak.

Sore itu, setelah pindah, aku berjalan mencari makan untuk emak. Aku menghitung uang yang ada di sakuku dua lembar dua puluh ribu dan beberapa ribu rupiah receh. Cukup nggak, ya, untuk makan tiga hari? Gumamku penuh kekhawatiran.

"Apa aku benar-benar mirip pelacur ya, Tuhan?" lirihku sambil duduk di trotoar, menunduk menyembunyikan rasa sedih di balik lututku. Air mata menetes tanpa bisa kutahan.

Tiba-tiba suara yang familiar memecah lamunanku. "Kamu bolos kuliah dan malah jadi gelandangan begini?" suara itu tajam, setajam tusuk sate menusuk dada ayam.

Aku menoleh dan mendapati Pak Aris berdiri sambil merokok. Aku buru-buru menyeka air mataku. "Bukan urusan bapak!" jawabku keras.

"Kamu butuh kerjaan, kan?" tanyanya tiba-tiba.

"Apaan, Pak? Kalau nawarin kerjaan jadi pelacur, mending nggak usah!" seruku penuh emosi.

Pak Aris menatapku tajam. "Clara, kamu itu suka nyimpulin sendiri," emang aku ini seperti mafia ya? Balasnya datar.

Singkat cerita, aku menunjukkan kontrakan tempat aku dan emak tinggal. Dan kejadian absurd itupun terjadi.

"Saya calon suami anak ibu," ucap Pak Aris tiba-tiba di depan emak.

Tai**k emang dosen seperti ini ya, mulutnya tidak boleh dijaga.

Emak membelalakkan mata, hampir saja pingsan. "Apa maksudnya ini?" tanyaku panik, tapi emak justru menyambutnya dengan penuh harap.

"Jadi, kapan Anda menikahi anak saya?" tanya emak girang.

Pak Aris tersenyum kecil. "Lusa ." Jawabnya dengan dingin.

Dan di saat itu, aku hanya bisa melongo. Apa aku benar -benar menikah. Pernikahan macam apa ini?

"Emak rela pergi menyusul bapak kalau kamu sudah ada yang menjaga, Nak," ucap emak sambil memelukku erat.

Aku hanya terdiam. Rasanya dunia berputar lebih cepat dari yang bisa ku pahami.