A U T U M N
Dasar sialan! Dasar Kutu Buku sialan! Sejak kelas Matematika di jam kedua, aku terus mencatat alasan mengapa dia berada di gang malam itu, memandangku layaknya pecandu. Sekarang di jam ketujuh dan entah mau berapa lama aku membuang waktuku untuk memikirkannya, aku tidak menemukan satu pun jawaban yang tepat. Dia siswa terbaik di sekolah ini, jadi mengapa dia melakukan itu untuk merusak prestasinya dan mungkin membuatnya dikeluarkan dari sekolah jika rahasianya terbongkar.
Pertanyaan yang paling tidak penting, yang masih menggangguku—meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya—adalah, “Kenapa dia menciumku?” Tubuhku bergidik ngeri setiap kali aku mengingat ciuman itu, itu bukan ciuman yang buruk, sebenarnya terasa menyenangkan. Meskipun bibirnya melumat bibirku dengan kasar, ada sesuatu yang terasa manis, bahkan lembut dalam ciuman itu.
Berhenti memikirkan ciuman itu, Autumn! Itu tidak penting!
Aku tahu seharusnya aku menamparnya ketika dia menciumku, justru sebaliknya aku malah menikmati ciuman itu, benar-benar termakan olehnya, yang mana benar-benar membuatku seperti orang tolol, yang membiarkan dia menyentuhku. Aku mengerang pada kenyataan.
“Hei, kau baik-baik saja, Autumn?” Mey, yang duduk di sebelahku, mencondongkan tubuhnya lebih dekat dan berbisik. Saat itu ujian bahasa Inggris, dan aku sudah selesai sekitar sepuluh menit lebih awal sebelum menghabiskan waktuku dengan memikirkan si Kutu Buku.
“Yeah, jangan khawatir. Bukan apa-apa.” Aku mengangguk dan melemparkan senyuman kecil padanya.
Sebuah suara familier dan menyebalkan mengganggu kami. “Mr. Rodriguez, bukankah kita seharusnya mengerjakan ujian sendiri?” Bukanlah Ellie Sundal Lawson jika dia tidak memanfaatkan setiap kesempatan untuk merecokiku.
Joe mengangkat satu alisnya. “Ya, Ms. Lawson. Itulah kenapa disebut ujian.”
Berbicara soal nada paling manisnya yang membuatku ingin meninjunya, dia memberikan tatapan polosnya dan mencibir, “Lalu kenapa kau membiarkan Autumn dan Mey bekerja sama?”
Aku ingin sekali menghajar bibirnya itu, menghantamkan wajahnya ke meja, ketika sohibnya, Rosie—alias sundal nomor dua—yang selalu sekelas dengan Ellie, mengangkat tangannya dan berkata, “Aku melihat mereka berbicara, Mr. Rodriguez.” Tipikal komplotan.
Ellie menyibakkan rambutnya dan tersenyum. “Kukira tidak ada perlakuan khusus di Carlton.”
Aku menatap Joe, yang kini sedang memandang kami cemas. Kami berdua tahu bahwa kami tidak menyontek atau apa pun, tetapi Ellie menempatkannya di posisi yang tidak menguntungkan. Dia memejamkan mata dan ketika dia membukanya, aku tahu sebuah keputusan telah dibuat.
“Ms. Summers, Ms. Wang, temui saya sepulang sekolah untuk ujian ulang dengan pertanyaan berbeda. Kalian punya waktu untuk belajar sampai jam pulang sekolah.” Dengan itu, dia mengambil kertas ujianku dan Mey. Aku memandang sahabatku dan aku bisa melihat dia seperti ingin menangis. Seperti yang pernah kukatakan, dia polos, orang yang paling baik hati yang pernah kutemui. Hal seperti ini tentu mengguncangnya meskipun dia tidak melakukan hal yang salah. Ini salah sundal itu.
Aku menyambar tasku dari lantai dan mengirimkan isyarat pada Mey untuk mengikutiku.
“Dadah, Tukang Sontek.” Ellie melemparkan senyuman naifnya dan melambaikan kuku tangan panjangnya.
Berbalik, aku tersenyum miring. “Kau tahu, Ellie, iri itu penyakit. Semoga lekas sembuh, Sundal!”
“Ms. Summers, tidak boleh mengumpat di kelas.” Nada Joe memperingatkanku bahwa dia tidak bisa selalu membiarkan hal-hal ini terjadi begitu saja.
Aku mengganti pandang ke arahnya dan mengangkat bahu. “Maaf, Mr. Rodriguez, sampai nanti.”
“Kau benar-benar baik-baik saja?” Mey bertanya ketika kami sudah berada di luar. Kami punya waktu lima belas menit sebelum pelajaran berikutnya dimulai, jadi kami memilih untuk pergi ke loker kami. “Kau seperti bukan dirimu saja.”
Aku memegang pundaknya dan memeluknya. “Yeah, hanya kram.” Aku melepaskan pelukan dan memandangnya. “Aku benar-benar minta maaf. Aku telah menyeretmu dalam masalah ini.”
“Tak apa.” Mey menggeleng, tersenyum. “Ellie itu sundal.”
Mataku melebar dan tawaku meledak telak. “Wow!” Mey tersipu. “Mey Wang baru saja menggunakan umpatan, semuanya!” Kami berdua tertawa.
Kami berada di loker Mey, yang mana berjarak tiga loker dari lokerku, ketika aku mendapati pergerakan dan melirik. Si Kutu Buku berjalan ke arah kami. Di balik kacamata tebalnya, matanya memandangku seperti seekor predator yang mengincar mangsanya di National Geographic. Dia terlihat normal, membosankan dengan kemeja berkancingnya berbalut sweter dan celana cokelat.
Tepat ketika dia melewati kami, dia memberikan tatapan penuh arti dan ada sesuatu di matanya yang membuatku gemetar.
Aku menelan ludah dan bersyukur bahwa Mey sibuk membicarakan tentang ujian Kimia nanti, jadi dia tidak menyadari bahwa aku membatu seperti patung di tengah lorong.
* * *
TIDAK ADA YANG NAMANYA PACAR SEMPURNA, dan kau tidak bisa mengharapkan seseorang menjadi sempurna ketika kau sendiri tidak bisa.
Itulah yang kusimpulkan setelah menunggu Ashton selama satu setengah jam untuk datang dan menjemputku dari sekolah.
Ponselku berkedip. Aku menatap layar ponsel dan menyadari bahwa itu berasal dari obrolan grup kami berempat: Jess, Mey, Norma, dan aku.
Kami membuat grup ini bertahun-tahun lalu dan namanya berubah beberapa kali jika bukan dua belas kali. Bermula dari The Chamber of Secrets ke The Game of Phones, tetapi sekarang, A Gaggle of Giggles, kredit untuk Norma.
Alih-alih menjadi populer dan apa pun itu, kami tetaplah gadis dan manusia biasa jadi kami semua menjadi bagian paling tidak satu fandom. Melihat dari nama pengguna kami, kau mungkin bisa menebak fandom mana.
Berbicara soal Norma, dia baru saja mengirimkan pesan.
CupBTargaryen (Norma): Dia sudah di sini?
17yearsOfSummers (me): Belum 😕
1DNarry4ever (Jess): Akan kuhajar kepala sialannya itu dan membenamkannya ke WC terdekat 😡
AsianPotterhead (Mey): Sudah ditelpon?
17yearsOfSummers: Sudah 10 menit lalu. Dia bilang lagi di jalan. Jangan khawatir, beb 😚
1DNarry4ever: Semoga saja 😒
CupBTargaryen: Enyahkan saja dia! Ayo ikut kami saja, kami barusan beli tiket!
17yearsOfSummers: Menggoda 🤔
Mereka akan menonton film baru berjudul Kingsman, dan aku sangat tergoda untuk melenyapkan Ashton untuk Taron Egerton, tetapi aku sudah berjanji untuk tinggal, dan dia sudah mengirimkan pesan padaku sepuluh menit lalu kalau dia sudah di jalan dan “hampir sampai”.
CupBTargaryen: Kalau begitu, sinilah, Nak! 😂
17yearsOfSummers: Enggak, Beb. Enggak papa. Bersenang-senanglah kalian! XO 😘
1DNARRY4EVER: Kalau kamu bilang gitu. Panggil saja kalau kamu berubah pikiran dan aku akan ke sana secepat mungkin 😉
Aku memandang sekilas jam di layar ponselku sebelum menaruhnya kembali di saku depanku.
Sepuluh menit berlalu dan Ashton belum menunjukkan batang hidungnya. Benar-benar mengesalkan, aku masuk kembali ke sekolah dan berjalan menyusuri koridor. Untuk menenangkan diri, aku mengeluarkan earphone dan memutar lagu favoritku saat ini: Strip that Down oleh Liam Payne. Aku bukanlah Directioner, itu Jess, tetapi lagu itu menancap di kepalaku lebih lama dari kemungkinan yang kubayangkan.
Aku melewati beberapa kelas kosong dan ketika lagu itu refrein, tubuhku bergoyang mengikuti iramanya. Aku benar-benar tidak sadar hingga sebuah suara mengganggu ketenanganku. “Bersenang-senang, huh?” Aku bukanlah tipe orang yang mudah terganggu oleh apa pun atau siapa pun, tetapi cara dia membawakan pertanyaannya membuat jantungku berdebar dan getaran dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Aku mengenal suara itu dengan baik. Bukan karena “aku sudah mengenalnya seumur hidupku” seperti film-film yang klise, melainkan karena suaranya mirip orang, yang benar-benar membuatku kikuk beberapa malam lalu di suatu gang di belakang kelab.
Ketika aku berbalik, netranya menunjukkan sedikit humor saat dia menembusnya intens. Itu membuatku merasa seperti aku terpergok melakukan sesuatu yang salah ketika aku benar-benar tidak bersalah. Well, aku tidak sepolos itu; kupikir fakta itu benar. Akan tetapi, untuk urusan ini, aku benar-benar tidak bersalah.
“Kenapa? Kau suka melihatnya?” Aku tahu orang-orang biasanya menceploskan kalimat ini bersamaan dengan mengangkat alis mereka atau mengukir seulas senyum seksi untuk menantang lawan mereka. Tidak untuk kasus ini. Kata-kata itu tertelan kembali diikuti memutar bola mata. Tidak seperti kejadian lainnya, dia bukanlah seseorang yang ingin kukesankan.
Apa pun itu, aku tidak hanya merasa jengkel tentang ciuman itu; aku benar-benar marah.
“Kalau aku bilang iya, bagaimana?” Dia menjilat bibir bawahnya dan bentuk lidahnya mengingatkanku tentang ciuman sialan itu lagi.
Saat aku tidak menjawab, dia terkikik dan tersenyum. “Jangan khawatir, kamu bukan tipeku.”
Dia berhak mendapatkan putaran bola mata lainnya. “Puji Tuhan, si Kutu Buku mengatakan aku bukan tipenya! Akhirnya hidupku tidak seperti film drama remaja omong kosong.” Aku berbalik dan memasang earphone-ku lagi. Dia benar-benar membuatku merindukan suara seksi Liam yang menakjubkan. Geez.
Aku berbelok ke kanan dan memasuki kelas kosong secara acak. Aku pergi ke barisan belakang dan menarik kursi dari meja. Saat aku duduk, aku menaruh kedua kakiku di atas meja dan bersandar dengan sandaran kursi, akhirnya kembali membangun ketenangan jiwaku sekali lagi.
Suara indah Shawn Mendes membuatku rileks. Aku menutup mataku dan membiarkan diriku terpikat oleh kata-kata yang dilantunkannya tentang memohon pengampunan. Jikalau ada laki-laki yang seperti itu. Bahkan Ashton tidak seromantis itu. Kami sudah berkencan selama dua tahun, tetapi satu-satunya hal romantis yang pernah dilakukannya hanyalah membelikan sebuket mawar di hari jadi kami.
Apa yang kuharapkan? Pacar sempurna hanya ada di buku Nicholas Sparks dan Titanic.
Memalukan karena aku punya sisi romantis.
Lagu telah berakhir dan lagu lainnya bercerita tentang memperlakukan pacarnya lebih baik karena dia layak mendapatkan laki-laki yang baik. Aku tersenyum dan berharap Shawn tidak tinggal di Kanada. Peluangnya kecil, tetapi pasti akan menyenangkan kalau tahu dia tinggal di negara yang sama denganku.
Aku menyalahkan diriku karena terlalu asyik memikirkan tentang Shawn Mendes akan menjadi pacar sempurna saat aku tidak menyadari bahwa aku tidak sendirian lagi di ruangan ini. Seseorang berdiri tepat di belakangku, dan ketika aku menyadari kehadirannya, satu tangan membekapku.
“Ssshh. Tidak akan terjadi apa pun, sayang.” Itulah hal terakhir yang kudengar.
B A B 5 : P R O M I S E A U T U M N DIA MEMBALIKKANKU, dan hal selanjutnya yang kutahu bahwa aku dicium. Bibirnya menangkap bibirku selepas kata-kata keluar dari mulutnya. Aku benar-benar bingung karena yang bisa kulakukan hanyalah memandang seorang lelaki sedang menciumku penuh gairah. Dia berhenti beberapa saat setelahnya, mungkin menyadari bahwa aku tidak menanggapi. Aku benar-benar membeku, tetapi entah kenapa mulutku bisa menyembur apa pun yang kupikirkan. “Kita di sekolah.” Aku menjilat bibirku dan memandangnya. Dia berdiri dengan tinggi 6,4 kaki, menunggu di dekatku. “Yeah, jadi?” Dia terengah-engah, berusaha mengatur napasnya. Aku beranjak dari bangku dan menjumput earphone
B A B 6 : T H A T K I S S A U T U M N S U M M E R S "Ini masih jauh dari selesai, Sayang." Dia menatapku dengan intens, dan aku bisa melihat kegembiraan bercampur dengan sesuatu yang lain berkilauan di matanya yang gelap. Perpustakaan tiba-tiba terasa lebih kecil dan meskipun udara dingin, rasanya lebih panas. Aku menelan ludah dengan gugup. Kendalikan dirimu, Autumn! Hanya Tyler Vincent. Sekolah Nerd, demi Tuhan! Cukup dengan omong kosongnya. Aku menyipitkan mataku dan mengarahkan pandanganku. "Apa yang kamu inginkan?" "Jadilah gadis yang baik, oke?" Aksennya muncul ketika dia mengucapkan kata-kata itu, membuatku sadar bahwa dia orang Kanada. Lucu bagaimana dia berbagi kebangsaan yang sama dengan pacar internet yang sempurna, Shawn Mendes, namun dia tidak memiliki sikap seperti pria yang sama. Kanada. Orang asing. Itu memberiku ide.
Autumn POV Tyler. Matanya yang gelap melembut dan ketika ia bertanya kepadaku, nadanya suaranya sudah melupakan. “Apa kamu baik-baik saja?” Aku tahu saat ini aku pasti terlihat menyedihkan apalagi setelah mewek barusan. Aku berusaha melawan keinginan untuk pergi dan mengaca di cermin. Sudah pasti mascara ku berantakan kemana-mana. Tyler masih menatapku dan mengharapkan jawaban, maka aku pun mengangguk. “Aku nggak papa.” “Kamu bohong.” Tyler menghela napas putus asa. Senyuman sedih terukir di wajahnya. “Aku benar-benar minta maaf atas apa yang aku bilang ke kamu di perpustakaan tadi.” Pemuda itu mengacak-acak rambutnya yang acak-acakan dengan satu tangan. “Kamu benar. Aku tidak seharusnya menghakimimu. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang kamu. Kita hanya dua orang asing yang kebetulan sekelas di pelajaran Matematika.” Dia tersenyum meminta maaf. “Ya, perfect strangers.” Aku memba
B A B S A T U : M a t c h a n d G a s o l i n e Kilas Balik Tidak diketahui ( P e n j a h a t X ) Dua tahun lagi. Aku sudah setengah jalan dalam empat tahun penjara yang mereka sebut SMA. Aku bisa melakukannya, aku mengatakannya berulang kali seperti mantra ketika aku berjalan melewati pintu. Pandanganku menyapu kantin, semua murid sedang istirahat makan siang sekarang dan sepertinya seluruh bangku sudah terisi. Aku sedang tidak berselera untuk makan siang, tidak setelah berita mengejutkan yang kuterima pagi ini. Akan tetapi, satu hal yang kutahu tentang SMA adalah untuk tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya. Tidak peduli apa pun itu, orang-orang selalu men
B A B D U A : R a h a s i a S i N e r d A U T U M N S U M M E R S NAMAKU MENYEBALKAN, and aku sudah tahu fakta itu selama aku hidup. Bahkan nama North West lebih baik daripada Autumn Summers. Satu-satunya hal bagus adalah aku tidak mendapat perundungan karena itu. Well, aku tidak mendapat perundungan secara keseluruhan karena aku seorang Queen Bee. Aku mengatur sekolah seperti membalikkan telapak tangan. Tidak ada yang berani merundungku. Tidak untuk namaku ataupun betapa kacaunya keluargaku. Ayahku, Thornton Summers, seorang bajingan tampan. Semua orang—dari penulis ma
B A B T I G A : F i r s t K i s s A U T U M N "M-MILIKKU?" Mataku seolah ingin melompat keluar dari tempatnya ketika aku bertanya dengan gugup. Apa yang dia maksud dengan ‘Aku akan menjadi milikmu’? Dengan tubuh kami yang saling berdekatan, aku bisa merasakan getaran saat dia tertawa kecil. “Maksudku, aku akan menjadi rahasiamu.” Dia tersenyum dan netra gelapnya berpendar di bawah cahaya lampu jalanan. Aku memandangnya tidak percaya. Sangat sulit untuk memercayai bahwa dia adalah Tyler yang sama yang selalu kukutuk di setiap pelajaran Matematika karena terlalu pintar sehingga aku tidak bisa mengalahkan nilainya. “Kenapa? Kau benar-benar menginginkanku?” Dia terbahak. “Kau benar-benar Tyler Vincent dan bukan kem
Autumn POV Tyler. Matanya yang gelap melembut dan ketika ia bertanya kepadaku, nadanya suaranya sudah melupakan. “Apa kamu baik-baik saja?” Aku tahu saat ini aku pasti terlihat menyedihkan apalagi setelah mewek barusan. Aku berusaha melawan keinginan untuk pergi dan mengaca di cermin. Sudah pasti mascara ku berantakan kemana-mana. Tyler masih menatapku dan mengharapkan jawaban, maka aku pun mengangguk. “Aku nggak papa.” “Kamu bohong.” Tyler menghela napas putus asa. Senyuman sedih terukir di wajahnya. “Aku benar-benar minta maaf atas apa yang aku bilang ke kamu di perpustakaan tadi.” Pemuda itu mengacak-acak rambutnya yang acak-acakan dengan satu tangan. “Kamu benar. Aku tidak seharusnya menghakimimu. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang kamu. Kita hanya dua orang asing yang kebetulan sekelas di pelajaran Matematika.” Dia tersenyum meminta maaf. “Ya, perfect strangers.” Aku memba
B A B 6 : T H A T K I S S A U T U M N S U M M E R S "Ini masih jauh dari selesai, Sayang." Dia menatapku dengan intens, dan aku bisa melihat kegembiraan bercampur dengan sesuatu yang lain berkilauan di matanya yang gelap. Perpustakaan tiba-tiba terasa lebih kecil dan meskipun udara dingin, rasanya lebih panas. Aku menelan ludah dengan gugup. Kendalikan dirimu, Autumn! Hanya Tyler Vincent. Sekolah Nerd, demi Tuhan! Cukup dengan omong kosongnya. Aku menyipitkan mataku dan mengarahkan pandanganku. "Apa yang kamu inginkan?" "Jadilah gadis yang baik, oke?" Aksennya muncul ketika dia mengucapkan kata-kata itu, membuatku sadar bahwa dia orang Kanada. Lucu bagaimana dia berbagi kebangsaan yang sama dengan pacar internet yang sempurna, Shawn Mendes, namun dia tidak memiliki sikap seperti pria yang sama. Kanada. Orang asing. Itu memberiku ide.
B A B 5 : P R O M I S E A U T U M N DIA MEMBALIKKANKU, dan hal selanjutnya yang kutahu bahwa aku dicium. Bibirnya menangkap bibirku selepas kata-kata keluar dari mulutnya. Aku benar-benar bingung karena yang bisa kulakukan hanyalah memandang seorang lelaki sedang menciumku penuh gairah. Dia berhenti beberapa saat setelahnya, mungkin menyadari bahwa aku tidak menanggapi. Aku benar-benar membeku, tetapi entah kenapa mulutku bisa menyembur apa pun yang kupikirkan. “Kita di sekolah.” Aku menjilat bibirku dan memandangnya. Dia berdiri dengan tinggi 6,4 kaki, menunggu di dekatku. “Yeah, jadi?” Dia terengah-engah, berusaha mengatur napasnya. Aku beranjak dari bangku dan menjumput earphone
B A B E M P A T : P e r f e c t B o y f r i e n d , P e r f e c t I l l u s i o n A U T U M N Dasar sialan! Dasar Kutu Buku sialan! Sejak kelas Matematika di jam kedua, aku terus mencatat alasan mengapa dia berada di gang malam itu, memandangku layaknya pecandu. Sekarang di jam ketujuh dan entah mau berapa lama aku membuang waktuku untuk memikirkannya, aku tidak menemukan satu pun jawaban yang tepat. Dia siswa terbaik di sekolah ini, jadi mengapa dia melakukan itu untuk merusak prestasinya dan mungkin membuatnya dikeluarkan dari sekolah jika rahasianya terbongkar. Pertanyaan yang paling tidak penting, yang masih menggangguku—meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya—adalah, “Kenapa dia menciumku?” Tubuhku bergidik ngeri setiap kali aku mengingat ciuman itu, itu bukan ciuman yang buruk, sebenarnya teras
B A B T I G A : F i r s t K i s s A U T U M N "M-MILIKKU?" Mataku seolah ingin melompat keluar dari tempatnya ketika aku bertanya dengan gugup. Apa yang dia maksud dengan ‘Aku akan menjadi milikmu’? Dengan tubuh kami yang saling berdekatan, aku bisa merasakan getaran saat dia tertawa kecil. “Maksudku, aku akan menjadi rahasiamu.” Dia tersenyum dan netra gelapnya berpendar di bawah cahaya lampu jalanan. Aku memandangnya tidak percaya. Sangat sulit untuk memercayai bahwa dia adalah Tyler yang sama yang selalu kukutuk di setiap pelajaran Matematika karena terlalu pintar sehingga aku tidak bisa mengalahkan nilainya. “Kenapa? Kau benar-benar menginginkanku?” Dia terbahak. “Kau benar-benar Tyler Vincent dan bukan kem
B A B D U A : R a h a s i a S i N e r d A U T U M N S U M M E R S NAMAKU MENYEBALKAN, and aku sudah tahu fakta itu selama aku hidup. Bahkan nama North West lebih baik daripada Autumn Summers. Satu-satunya hal bagus adalah aku tidak mendapat perundungan karena itu. Well, aku tidak mendapat perundungan secara keseluruhan karena aku seorang Queen Bee. Aku mengatur sekolah seperti membalikkan telapak tangan. Tidak ada yang berani merundungku. Tidak untuk namaku ataupun betapa kacaunya keluargaku. Ayahku, Thornton Summers, seorang bajingan tampan. Semua orang—dari penulis ma
B A B S A T U : M a t c h a n d G a s o l i n e Kilas Balik Tidak diketahui ( P e n j a h a t X ) Dua tahun lagi. Aku sudah setengah jalan dalam empat tahun penjara yang mereka sebut SMA. Aku bisa melakukannya, aku mengatakannya berulang kali seperti mantra ketika aku berjalan melewati pintu. Pandanganku menyapu kantin, semua murid sedang istirahat makan siang sekarang dan sepertinya seluruh bangku sudah terisi. Aku sedang tidak berselera untuk makan siang, tidak setelah berita mengejutkan yang kuterima pagi ini. Akan tetapi, satu hal yang kutahu tentang SMA adalah untuk tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya. Tidak peduli apa pun itu, orang-orang selalu men