Kilas Balik
Tidak diketahui ( P e n j a h a t X )
Dua tahun lagi. Aku sudah setengah jalan dalam empat tahun penjara yang mereka sebut SMA. Aku bisa melakukannya, aku mengatakannya berulang kali seperti mantra ketika aku berjalan melewati pintu.
Pandanganku menyapu kantin, semua murid sedang istirahat makan siang sekarang dan sepertinya seluruh bangku sudah terisi. Aku sedang tidak berselera untuk makan siang, tidak setelah berita mengejutkan yang kuterima pagi ini.
Akan tetapi, satu hal yang kutahu tentang SMA adalah untuk tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya. Tidak peduli apa pun itu, orang-orang selalu menghakimimu. Kalau kamu mengutarakan kesedihanmu, mereka akan melihatnya sebagai kelemahan dan kemudian menggunakannya untuk melawanmu. Aku sudah melihat orang-orang mendapat perundungan hampir setiap hari, sial, bahkan aku pernah dirundung saat sekolah dasar. Ketika semua orang memiliki wadah bekal yang bagus dan aku hanya menggunakan kantong kertas, mereka menunjuk dan memanggilku dengan cacian.
Sebuah suara membuyarkan pikiranku dan aku berbalik untuk melihat siapa yang baru saja memanggilku. “Hei, ayo sini dan duduk dengan kami!” Seorang gadis berambut merah yang mengenakan seragam pemandu sorak melambai ke arahku. Namanya Cassandra dan dia adalah ketua pemandu sorak. Aku tidak biasa berteman dengan para pemandu sorak sejak mereka tidak terlalu bergaul dengan yang lain, selain tim pesepak bola. Namun pada kesempatan khusus seperti hari ini, ketika mereka merasa bahwa mereka perlu melakukan kebaikan dengan mengundang murid lain untuk duduk bersama mereka, mereka akan mengundangku ke meja mereka.
Aku mengerjapkan air mataku dan berkata pada diriku sendiri tentang fakta bahwa dokter menemukan tumor di otak ibuku kemarin yang tidak menyakitkan. Aku mengibarkan senyum lebar ketika aku berjalan ke meja mereka.
Hanya tersisa beberapa meja lagi ketika empat sosok menarik perhatianku. Sepertiku, mereka melangkah ke arah Cassandra. Untuk semenit, aku bingung saat aku memperhatikan mereka berjalan dengan percaya diri seakan-akan mereka bisa menghancurkan seluruh dinding untuk membersihkan jalan mereka.
Autumn, Jess, Norma, dan Mey. Itu nama mereka. Mereka sudah berteman lama selama yang kuingat. Kalau ada sesuatu yang kuinginkan lebih dari uang dari pengobatan ibuku, itulah yang mereka punya: persahabatan yang sesungguhnya.
Ketika aku mendekati Cassandra, Autumn sudah menaruh nampannya tepat di sebelah Cassandra di atas meja. Dia berbalik untuk menatapku dan tersenyum meminta maaf saat dia mengangkat nampannya lagi. “Apa kamu mau duduk di sini? Maaf, aku tidak tahu. Aku akan mencari tempat lain untuk duduk.”
Aku baru saja akan mengatakan padanya bahwa dia bisa duduk di sana karena aku juga tidak berselera makan, tetapi Cassandra berdiri dan memegang nampan Autumn. “Jangan bodoh. Kamu yang duduk di sini.” Dia mengambil nampan dan menaruhnya kembali di atas meja. Berbalik, dia mengangkat alis dan berkacak pinggang saat dia menatapku dengan senyum palsu di wajahnya. “Kamu, bagaimanapun, semoga beruntung mencari bangku lain.”
Apa-apaan?!
Kemarahan mendidih dalam diriku. Dia satu-satunya orang yang memanggilku untuk bergabung dengan mereka sejak awal.
Autumn tampak terlihat terganggu dengan perilaku Cassandra. Dia menyilangkan tangannya dan memberengut. “Jangan kasar, Cass.”
“Baik,” kata pemandu sorak berambut merah itu lalu dia menekan bibirnya dan menyunggingkan senyum palsu lainnya. “Kamu bisa duduk dengan kami besok. Oke, sayang.” Tidak salah lagi dia bermaksud sebaliknya.
Autumn memandangnya, masih belum puas dengan responsnya, tetapi aku hanya mengangkat bahu seolah-olah itu bukan masalah besar dan pergi. Aku menemukan bangku kosong di pojok ruangan. Seorang gadis duduk di sana sendirian. Meja di pojokan bukanlah yang terbaik, tidak ada yang mau duduk di sana karena itu berada di ujung kantin dan dekat dengan tempat sampah.
Saat aku berjalan mendekat, kulihat makanan yang ada di nampannya tidak tersentuh. Aku membuang napas. Mungkin dia sedang mengalami hari yang buruk, sama sepertiku.
“Hei, apa kursi ini ditempati?” tanyaku lembut. Jika dia berkata ya, aku sudah siap membuang nampanku ke tempat sampah dan selesai dengannya.
Dia melirikku sekilas dan aku menyadari bahwa dia sedang menangis. Dengan cepat, aku menaruh nampanku di atas meja dan duduk di sebelahnya. “Hei, ada apa? Kamu baik-baik saja?”
Seulas senyum lemah terbit di wajahnya. “Aku tidak tahu.”
“Katakan padaku masalahnya. Mungkin aku bisa membantumu.” Aku meraih tangannya dan memberikan remasan lembut.
Dia menggeleng. “Aku tidak yakin orang lain dapat membantuku.” Dia menekan bibirnya kuat-kuat seolah dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat berantakan.
“Siapa bilang aku ini orang lain?” Aku tersenyum. “Aku temanmu. Aku punya firasat kita akan menjadi sahabat.”
Kali ini, dia memberiku seulas senyum tulus dan aku menganggapnya sebagai pertanda bagus. “Kamu bahkan tidak tahu namaku.”
“Kalau begitu, beri tahu aku. Dan beri tahu juga siapa yang membuatmu menangis karena aku pastikan bahwa mereka akan membayar apa yang telah mereka lakukan padamu.”
Aku telah merencanakan pembalasan saat dia pergi ke toilet. Aku melihat seorang kutu buku berkebangsaan Kanada duduk dua meja jauhnya, di atas meja di sebelah nampannya ada sebuah buku yang terbuka tempat matanya tertuju. Meskipun tubuhnya berada di sana, aku tahu pikirannya berada di tempat lain. Dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri untuk menyadari bahwa aku tengah memandangnya.
Aku mengarahkan pandang ke meja-meja di tengah, di mana para atlet dan pemandu sorak berada, dan melihat seorang laki-laki berambut pirang duduk di meja para atlet. Tidak seperti yang lain, dia tidak tertawa dengan guyonan orang lain ataupun membuat guyonan sendiri. Dia hanya makan burgernya dan memikirkan urusannya. Setiap detik, dia membalikkan bahunya ke arah meja para pemandu sorak. Untuk sedetik, aku pikir dia menaksir salah satu dari para pemandu sorak, tetapi kalau kuperhatikan lagi, aku menyadari bahwa dia tidak memandang salah satu dari mereka. Dia memandang Autumn Summers. Ketika aku berdiri dan berjalan ke pemain quarterback tampan, Luke, matanya tidak berpaling dari gadis itu. Matanya masih menatap Autumn ketika gadis itu berbicara dengan Luke.
Ya ampun, mengerikan.
Aku membiarkan mataku menjelajah lagi.
B A B D U A : R a h a s i a S i N e r d A U T U M N S U M M E R S NAMAKU MENYEBALKAN, and aku sudah tahu fakta itu selama aku hidup. Bahkan nama North West lebih baik daripada Autumn Summers. Satu-satunya hal bagus adalah aku tidak mendapat perundungan karena itu. Well, aku tidak mendapat perundungan secara keseluruhan karena aku seorang Queen Bee. Aku mengatur sekolah seperti membalikkan telapak tangan. Tidak ada yang berani merundungku. Tidak untuk namaku ataupun betapa kacaunya keluargaku. Ayahku, Thornton Summers, seorang bajingan tampan. Semua orang—dari penulis ma
B A B T I G A : F i r s t K i s s A U T U M N "M-MILIKKU?" Mataku seolah ingin melompat keluar dari tempatnya ketika aku bertanya dengan gugup. Apa yang dia maksud dengan ‘Aku akan menjadi milikmu’? Dengan tubuh kami yang saling berdekatan, aku bisa merasakan getaran saat dia tertawa kecil. “Maksudku, aku akan menjadi rahasiamu.” Dia tersenyum dan netra gelapnya berpendar di bawah cahaya lampu jalanan. Aku memandangnya tidak percaya. Sangat sulit untuk memercayai bahwa dia adalah Tyler yang sama yang selalu kukutuk di setiap pelajaran Matematika karena terlalu pintar sehingga aku tidak bisa mengalahkan nilainya. “Kenapa? Kau benar-benar menginginkanku?” Dia terbahak. “Kau benar-benar Tyler Vincent dan bukan kem
B A B E M P A T : P e r f e c t B o y f r i e n d , P e r f e c t I l l u s i o n A U T U M N Dasar sialan! Dasar Kutu Buku sialan! Sejak kelas Matematika di jam kedua, aku terus mencatat alasan mengapa dia berada di gang malam itu, memandangku layaknya pecandu. Sekarang di jam ketujuh dan entah mau berapa lama aku membuang waktuku untuk memikirkannya, aku tidak menemukan satu pun jawaban yang tepat. Dia siswa terbaik di sekolah ini, jadi mengapa dia melakukan itu untuk merusak prestasinya dan mungkin membuatnya dikeluarkan dari sekolah jika rahasianya terbongkar. Pertanyaan yang paling tidak penting, yang masih menggangguku—meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya—adalah, “Kenapa dia menciumku?” Tubuhku bergidik ngeri setiap kali aku mengingat ciuman itu, itu bukan ciuman yang buruk, sebenarnya teras
B A B 5 : P R O M I S E A U T U M N DIA MEMBALIKKANKU, dan hal selanjutnya yang kutahu bahwa aku dicium. Bibirnya menangkap bibirku selepas kata-kata keluar dari mulutnya. Aku benar-benar bingung karena yang bisa kulakukan hanyalah memandang seorang lelaki sedang menciumku penuh gairah. Dia berhenti beberapa saat setelahnya, mungkin menyadari bahwa aku tidak menanggapi. Aku benar-benar membeku, tetapi entah kenapa mulutku bisa menyembur apa pun yang kupikirkan. “Kita di sekolah.” Aku menjilat bibirku dan memandangnya. Dia berdiri dengan tinggi 6,4 kaki, menunggu di dekatku. “Yeah, jadi?” Dia terengah-engah, berusaha mengatur napasnya. Aku beranjak dari bangku dan menjumput earphone
B A B 6 : T H A T K I S S A U T U M N S U M M E R S "Ini masih jauh dari selesai, Sayang." Dia menatapku dengan intens, dan aku bisa melihat kegembiraan bercampur dengan sesuatu yang lain berkilauan di matanya yang gelap. Perpustakaan tiba-tiba terasa lebih kecil dan meskipun udara dingin, rasanya lebih panas. Aku menelan ludah dengan gugup. Kendalikan dirimu, Autumn! Hanya Tyler Vincent. Sekolah Nerd, demi Tuhan! Cukup dengan omong kosongnya. Aku menyipitkan mataku dan mengarahkan pandanganku. "Apa yang kamu inginkan?" "Jadilah gadis yang baik, oke?" Aksennya muncul ketika dia mengucapkan kata-kata itu, membuatku sadar bahwa dia orang Kanada. Lucu bagaimana dia berbagi kebangsaan yang sama dengan pacar internet yang sempurna, Shawn Mendes, namun dia tidak memiliki sikap seperti pria yang sama. Kanada. Orang asing. Itu memberiku ide.
Autumn POV Tyler. Matanya yang gelap melembut dan ketika ia bertanya kepadaku, nadanya suaranya sudah melupakan. “Apa kamu baik-baik saja?” Aku tahu saat ini aku pasti terlihat menyedihkan apalagi setelah mewek barusan. Aku berusaha melawan keinginan untuk pergi dan mengaca di cermin. Sudah pasti mascara ku berantakan kemana-mana. Tyler masih menatapku dan mengharapkan jawaban, maka aku pun mengangguk. “Aku nggak papa.” “Kamu bohong.” Tyler menghela napas putus asa. Senyuman sedih terukir di wajahnya. “Aku benar-benar minta maaf atas apa yang aku bilang ke kamu di perpustakaan tadi.” Pemuda itu mengacak-acak rambutnya yang acak-acakan dengan satu tangan. “Kamu benar. Aku tidak seharusnya menghakimimu. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang kamu. Kita hanya dua orang asing yang kebetulan sekelas di pelajaran Matematika.” Dia tersenyum meminta maaf. “Ya, perfect strangers.” Aku memba
Autumn POV Tyler. Matanya yang gelap melembut dan ketika ia bertanya kepadaku, nadanya suaranya sudah melupakan. “Apa kamu baik-baik saja?” Aku tahu saat ini aku pasti terlihat menyedihkan apalagi setelah mewek barusan. Aku berusaha melawan keinginan untuk pergi dan mengaca di cermin. Sudah pasti mascara ku berantakan kemana-mana. Tyler masih menatapku dan mengharapkan jawaban, maka aku pun mengangguk. “Aku nggak papa.” “Kamu bohong.” Tyler menghela napas putus asa. Senyuman sedih terukir di wajahnya. “Aku benar-benar minta maaf atas apa yang aku bilang ke kamu di perpustakaan tadi.” Pemuda itu mengacak-acak rambutnya yang acak-acakan dengan satu tangan. “Kamu benar. Aku tidak seharusnya menghakimimu. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang kamu. Kita hanya dua orang asing yang kebetulan sekelas di pelajaran Matematika.” Dia tersenyum meminta maaf. “Ya, perfect strangers.” Aku memba
B A B 6 : T H A T K I S S A U T U M N S U M M E R S "Ini masih jauh dari selesai, Sayang." Dia menatapku dengan intens, dan aku bisa melihat kegembiraan bercampur dengan sesuatu yang lain berkilauan di matanya yang gelap. Perpustakaan tiba-tiba terasa lebih kecil dan meskipun udara dingin, rasanya lebih panas. Aku menelan ludah dengan gugup. Kendalikan dirimu, Autumn! Hanya Tyler Vincent. Sekolah Nerd, demi Tuhan! Cukup dengan omong kosongnya. Aku menyipitkan mataku dan mengarahkan pandanganku. "Apa yang kamu inginkan?" "Jadilah gadis yang baik, oke?" Aksennya muncul ketika dia mengucapkan kata-kata itu, membuatku sadar bahwa dia orang Kanada. Lucu bagaimana dia berbagi kebangsaan yang sama dengan pacar internet yang sempurna, Shawn Mendes, namun dia tidak memiliki sikap seperti pria yang sama. Kanada. Orang asing. Itu memberiku ide.
B A B 5 : P R O M I S E A U T U M N DIA MEMBALIKKANKU, dan hal selanjutnya yang kutahu bahwa aku dicium. Bibirnya menangkap bibirku selepas kata-kata keluar dari mulutnya. Aku benar-benar bingung karena yang bisa kulakukan hanyalah memandang seorang lelaki sedang menciumku penuh gairah. Dia berhenti beberapa saat setelahnya, mungkin menyadari bahwa aku tidak menanggapi. Aku benar-benar membeku, tetapi entah kenapa mulutku bisa menyembur apa pun yang kupikirkan. “Kita di sekolah.” Aku menjilat bibirku dan memandangnya. Dia berdiri dengan tinggi 6,4 kaki, menunggu di dekatku. “Yeah, jadi?” Dia terengah-engah, berusaha mengatur napasnya. Aku beranjak dari bangku dan menjumput earphone
B A B E M P A T : P e r f e c t B o y f r i e n d , P e r f e c t I l l u s i o n A U T U M N Dasar sialan! Dasar Kutu Buku sialan! Sejak kelas Matematika di jam kedua, aku terus mencatat alasan mengapa dia berada di gang malam itu, memandangku layaknya pecandu. Sekarang di jam ketujuh dan entah mau berapa lama aku membuang waktuku untuk memikirkannya, aku tidak menemukan satu pun jawaban yang tepat. Dia siswa terbaik di sekolah ini, jadi mengapa dia melakukan itu untuk merusak prestasinya dan mungkin membuatnya dikeluarkan dari sekolah jika rahasianya terbongkar. Pertanyaan yang paling tidak penting, yang masih menggangguku—meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya—adalah, “Kenapa dia menciumku?” Tubuhku bergidik ngeri setiap kali aku mengingat ciuman itu, itu bukan ciuman yang buruk, sebenarnya teras
B A B T I G A : F i r s t K i s s A U T U M N "M-MILIKKU?" Mataku seolah ingin melompat keluar dari tempatnya ketika aku bertanya dengan gugup. Apa yang dia maksud dengan ‘Aku akan menjadi milikmu’? Dengan tubuh kami yang saling berdekatan, aku bisa merasakan getaran saat dia tertawa kecil. “Maksudku, aku akan menjadi rahasiamu.” Dia tersenyum dan netra gelapnya berpendar di bawah cahaya lampu jalanan. Aku memandangnya tidak percaya. Sangat sulit untuk memercayai bahwa dia adalah Tyler yang sama yang selalu kukutuk di setiap pelajaran Matematika karena terlalu pintar sehingga aku tidak bisa mengalahkan nilainya. “Kenapa? Kau benar-benar menginginkanku?” Dia terbahak. “Kau benar-benar Tyler Vincent dan bukan kem
B A B D U A : R a h a s i a S i N e r d A U T U M N S U M M E R S NAMAKU MENYEBALKAN, and aku sudah tahu fakta itu selama aku hidup. Bahkan nama North West lebih baik daripada Autumn Summers. Satu-satunya hal bagus adalah aku tidak mendapat perundungan karena itu. Well, aku tidak mendapat perundungan secara keseluruhan karena aku seorang Queen Bee. Aku mengatur sekolah seperti membalikkan telapak tangan. Tidak ada yang berani merundungku. Tidak untuk namaku ataupun betapa kacaunya keluargaku. Ayahku, Thornton Summers, seorang bajingan tampan. Semua orang—dari penulis ma
B A B S A T U : M a t c h a n d G a s o l i n e Kilas Balik Tidak diketahui ( P e n j a h a t X ) Dua tahun lagi. Aku sudah setengah jalan dalam empat tahun penjara yang mereka sebut SMA. Aku bisa melakukannya, aku mengatakannya berulang kali seperti mantra ketika aku berjalan melewati pintu. Pandanganku menyapu kantin, semua murid sedang istirahat makan siang sekarang dan sepertinya seluruh bangku sudah terisi. Aku sedang tidak berselera untuk makan siang, tidak setelah berita mengejutkan yang kuterima pagi ini. Akan tetapi, satu hal yang kutahu tentang SMA adalah untuk tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya. Tidak peduli apa pun itu, orang-orang selalu men