“Hari ini ada launching album pertama New Ratu-Ratu. Tapi sudah ada reporter yang pergi ke sana. Kata Mas Dewan, untuk sementara lo terlarang mewawancarai penyanyi-penyanyi baru. Makanya jangan bikin sensasi waktu mewawancarai siapa itu tempo hari bersama Widi Anjasmara.”
Bukannya merasa bersalah, Cherry terkikik geli. Rupanya, pihak label musik mengadukan pertanyaan interviewnya kepada Mas Dewan. “Oh, grup vokal cewek bentukan Dhani Dunia itu?” tanya Cherry mendengar nama penyanyi yang disebutkan oleh Barata. “Kadang-kadang gue heran mereka itu penyanyi apa show girl?”
Barata membetulkan letak kacamatanya. “Dua-duanya kali. Kan memang konsep mereka itu hot babes gitu kan kalau nggak salah?”
“Dan hot babes seharusnya selalu berada di dalam hot tub?” Cherry tertawa. Ia membayangkan Dhani Dunia berada di dalam hot tub yang sama dengan kelompok vokal bentukannya itu. Apa ya kira-kira yang mereka lakukan? Stop
Cherry tidak mengetahui bahwa saat itu sebenarnya Farid juga sedang berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Bagaimana tadi di kantor?” Farid bertanya basa-basi. Dari pertanyaan itu, Cherry tahu kalau Farid sedang berusaha membangun kenyamanan dalam perbincangan keduanya. Ia dapat memilih menjawab pertanyaan itu dengan basa-basi juga atau bercerita dengan cara yang lebih menarik. Dalam hemat Cherry, ia ini penulis di sebuah majalah musik. Seharusnya, ia dapat mengenyahkan suasana canggung yang tercipta saat itu. Walau bagaimanapun, berinteraksi dengan orang lain adalah keahliannya. “Ada launching album New Ratu-Ratu sore ini. Dua penyanyi bentukan Dhani Dunia. Pasti tahu dong, dia siapa? Rockstar zaman dulu yang berusaha tetap relevan sampai sekarang. Farid tertawa. “Iya iya, aku masih punya kasetnya.” “Tapi, gue nggak datang,” tambah Cherry. “Kenapa?” Cherry menatap Farid senang karena ia menyaksikan binar-bina
Nay menata semur ayam dengan tomat yang dibentuk bunga dan irisan timun. Selesai, ujarnya bangga kepada diri sendiri. Ia sudah gatal mencoba dapur Cherry ketika menginjak rumah tersebut setibanya dari Bali. Nay senang memasak. Orang-orang yang baru mengenalnya pasti tidak akan menyangka ia mempunyai hobi setradisional itu. Nay melihat pantulan wajahnya yang memandang balik dirinya dari cermin yang ada di atas wastafel. Rambutnya ditata dengan gaya yang disebut girly punk oleh stylist-nya. Dipotong dengan teknik cacah-mencacah sehingga rambutnya tipis di kedua sisi namun memanjang di bagian belakang. Bila ia menggunakan wax dengan kekuatan super, Nay bisa mengangkat rambut tersebut ke atas dan memberikannya penampilan Mohawk. That’s hot, itu kata teman-temannya menirukan ungkapan yang sering diucapkan Paris Hilton. Dalam hati Nay, ia selalu mengingat-ingat pujian itu jika sedang dalam kondisi yang tidak mengenakkan. Nay melirik jam
Para pendatang di pulau Bali cenderung berkelompok. Mungkin karena jika kita memiliki teman maka itu akan dipercaya dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk beradaptasi di tempat baru. Begitu pula halnya yang terjadi dengan Nay dan Peter. Kedua-duanya sama-sama orang asing di pulau dewa-dewa. Walaupun yang satu berdarah Kaukasia dan Nay kental dengan garis keturunan Asia. Tapi, keduanya memiliki kebutuhan yang sama, yaitu untuk dapat diterima di tempat baru. Oleh karena itu, ketika suatu saat Peter mengajaknya ke sebuah pesta, Nay dengan senang hati menerimanya.“I’m glad you come,” kata Peter sambil menyodorkan sebotol bir.Nay menerimanya. Tidak langsung meminumnya tentu saja karena Nay sedang mencoba gaya hidup sehat dan alkohol adalah salah satu yang ia coba hindari.Peter mengangkat dan menyentuhkan botol bir ke miliknya, “To the new life,” kata laki-laki itu.Nay basa-basi menanggapi, “Ch
Namun, dugaannya salah. Sabuk pinggang laki-laki itu rupanya dipakai untuk memecutnya. Sakit, batin Nay sewaktu pecutan itu mendarat di perutnya. Peter tidak berhenti dan kali ini sabetan ikat pinggang mengenai lengannya. Nay meronta-ronta. Ia mau tangannya bergerak lepas untuk melindungi dari aksi Peter yang menyakitkan itu. Tak pelak, Nay menggunakan kakinya untuk menghalang-halangi aksi laki-laki itu.Salah langkah. Peter justru menahan kakinya lalu membentangkannya lebar-lebar dan mengikat ujung kaki Nay ke tiang yang tersisa. Nay khawatir. Ia tidak pernah dilakukan seperti ini. Peter kemudian mendekatinya. Nay memalingkan wajah dan menutup matanya rapat-rapat.Sedetik kemudian, ia merasakan elusan lembut di rambutnya. Dahinya mengenali kecupan basah dari bibir Peter. Nay membuka mata. Tidak ada lagi sebuah ikat pinggang dalam jarak pandangannya. Sejenak, Peter berdiam dan memandanginya lekat-lekat.“Apa?” bisik Nay pelan mengira ada yang aneh da
Ranjang hotel sempit itu sudah tidak berbentuk. Seprai dan selimutnya sudah tidak beraturan dan berserakan di mana-mana. Nay mengambil salah satu selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Di sebelah kanannya, Peter sedang mengenakan celananya kembali. Setelah itu, Peter balik ke ranjang dan memeluknya.Nay membuat tubuhnya nyaman dengan menyandarkan kepalanya di dada Peter. Pria itu menyambutnya dengan elusan yang menenangkan di rambutnya.“I can live like this forever,” bisik Peter di telinganya.Nay membalas ucapan laki-laki itu dengan mempererat pelukan di pinggang Peter.“Why can’t forever starts now?”Nay menegakkan tubuhnya. Ia bukannya tidak mengerti Bahasa Inggris. Akan tetapi, ia perlu mengonfirmasi apa benar kalimat Peter itu sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya.“Tinggal sama saya, ya.”Nay duduk bersandar di kepala ranjang dan menaikkan selimut ke dad
Hidup bersama Peter memang tidak melulu bunga dan hadiah. Tapi, bukankah itu yang terjadi dalam setiap hubungan percintaan?“Soft box mana?” tanya Peter.Nay menunjuk ke sudut ruangan tempat salah satu kelengkapan fotografi itu berada.“Kok belum diberesin?”Tak dinyana, laki-laki itu merenggut kepalanya, lalu menggiringnya ke tempat soft box berada. Tidak cukup sampai di situ, Peter mendorong kepalanya dengan sekuat tenaga. Nay yang tidak siap mendapat perlakuan seperti itu, jatuh terjerembab.“Mau berangkat jam berapa lagi, hah?” bentak pria itu.Nay cepat berdiri dan meraih kabel-kabel untuk ia bereskan. Tapi, Peter tidak berhenti menyakitinya. Kaki pria itu menendang punggungnya.“Peter!” Refleks Nay berteriak.Untuk beberapa detik, tidak ada jawaban apa-apa dari pria bule itu. Nay sendiri melanjutkan mengemas soft box. Mendadak, ia merasakan sentuha
Gadis itu meletakkan pisau dan garpu. Ia sudah tidak lagi berselera menghabiskan hidangan yang ada di hadapannya. Nay tidak mampu berkata apa-apa. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Peter sehingga bayangan bahwa laki-laki itu akan meninggalkannya membuatnya… takut? Tunggu, apakah itu lebih mirip dengan keragu-raguan? Apa sesungguhnya yang Nay rasakan?Ada jeda cukup lama yang tercipta. Nay tidak tahu hendak berkomentar apa. Oleh sebab itu, ia memilih untuk menyesap minumannya kembali.“You’re coming with me,” kata Peter tiba-tiba.Nay hampir tersedak mendengarnya. Ia mengatur agar anggur yang ia minum tidak sampai muncrat. Ia kemudian cepat-cepat menelannya.“Ya, mana mungkin saya mau meninggalkan my precious property. Kamu akan terus bersama saya. You’ll love New York. Ah, what am I thinking? Selama dengan saya, di manapun pasti kamu suka.”Pikiran Nay berkecamuk. Kerag
Nay sudah merasakan lehernya dicekik atau tangannya terikat. Tapi ini adalah sesuatu yang baru. Lelehan lilin panas membuat tubuhnya terasa seperti dibakar. Refleks ia menampik tangan Peter yang memegang alat penerang itu.Peter menatapnya. Alih-alih tersenyum, wajah laki-laki itu tampak bengis. Lilin yang jatuh ke lantai seketika padam. Tahu-tahu, Peter menamparnya. Nay terlampau syok untuk bereaksi. Tidak lama setelah itu, Peter mengunci pergelangan tangannya. Nay ingin melawan. Tapi, genggaman itu terlalu kuat baginya.“You are my slave. Jangan melawan!”Gairah Nay yang sebelumnya membara, perlahan menghilang. Kepalanya menciptakan cabang pikiran yang baru, yaitu bagaimana ia dapat lolos dari situasi ini. Nay tahu tangannya yang dikuasai oleh Peter akan meninggalkan bekas memar esok hari.“Aaah, Peter,” desahnya pura-pura. Dalam hati, ia menimbang-nimbang berbagai strategi yang dapat ia lakukan.Tempat mereka ber
“Masnya nggak tahu apa-apa,” lapor Maria.Jantung Cherry berdegup kencang. Kekhawatirannya terhadap Nay semakin bertambah. Ia ingat meninggalkan sahabatnya itu di sana. Di parkiran. Mereka berpisah cuma karena Cherry terlampau egois hanya mementingkan nafsunya untuk bertemu laki-laki.Ia menyesali tindakannya yang bodoh. Seberapa sering Nay bertemu dengan mendatanginya ke Jakarta? Tidak cukup sering. Itupun ia malah mengabaikan sahabatnya itu. Dan, sekarang akibat perbuatannya, mereka tidak tahu Nay ada di mana. Cherry berpacu dengan waktu. Ia tidak mau terlambat. Ia tidak mau menyesal.“Ayo, Maria. Kita harus ke rumahku!” kata gadis itu seraya memesan taksi.***Ini bukan kali pertama Maria datang ke rumah Cherry. Ia ingat diundang ke sini pada saat gadis itu pertama kali menempati rumah itu. Dulu, tidak ada banyak perabotan ada di sana. Sekarang, kediaman Cherry itu laksana stok foto yang menggambarkan desain interior di m
Taksi yang ditumpangi Cherry memasuki sebuah gedung tinggi yang berlokasi di Sudirman. Sebaik kendaraan itu berhenti, ia pun turun. Kaos pink dan rok abu-abu selutut yang ia pakai sungguh kontras di antara para karyawan yang mengenakan setelan professional. Namun, situasi itu tidak membuatnya merasa terintimidasi. Ia tahu kalau beberapa karyawan pria pasti menelan ludah mengamati penampilannya.Cherry memiliki trik khusus untuk menjaga kepercayaan dirinya di hadapan publik. Tanamkan diri kalau dirinya adalah sosok yang lebih berharga dibandingkan orang-orang asing itu.Ini bukan tentang masalah cantik atau jelek. Soalnya, ada juga mereka yang wajahnya terpahat seperti ukiran perupa Yunani namun tidak memancarkan kepercayaan diri yang hakiki. Jatuhnya, tetap terlihat biasa di mata orang awam.Aura kepercayaan diri Cherry terus mengikuti sewaktu gadis itu menaiki lift dan keluar di lantai sembilan. Lantai itu merupakan lokasi perusahaan tempat Maria bekerja. Di de
Tidak banyak pengunjung di kafe Sara’s Pan, bahkan bisa dibilang hanya Cherry dan Farid yang ada di sana. Oleh karena itu, keduanya bebas memilih tempat duduk.Cherry tentu saja langsung mendatangi meja yang paling sudut dan tersembunyi dari penglihatan. Ia langsung memesan kopi Americano. Cherry perlu asupan kafein demi membangkitkan semangatnya. Maklum, tadi malam ia kurang tidur.“Tadi malam menyenangkan, ya.”Cherry tahu kalau kalimat itu bukan pertanyaan. Ia yakin Farid mengingat momen ketika mereka berada di kamar kos laki-laki itu tadi malam. Oleh karenanya, ia nyengir-nyengir sendiri.“Mau diulangi?” tanya Cherry dengan nada menggoda.Farid tersenyum. Di mata Cherry, senyum pria itu adalah yang paling indah sedunia.Pembicaraan mereka terhenti karena pelayan kafe membawakan pesanan mereka. Kopi Americano untuk Cherry, sedangkan Farid memesan kopi gula aren dan camilan pisang goreng.&ldqu
Regita meletakkan kuas yang sedang ia gunakan. Nay yang melihat itu mengira perempuan itu tidak suka dengan pertanyaannya. Ia ingin meralatnya cepat-cepat.Tapi, belum sempat ia mengutarakan revisi pertanyaannya, tahu-tahu, Regita sudah berkata, “Aku dan suami sebenarnya saling mencintai. Kami bercerai baik-baik. Aku bahkan masih berteman dengannya. Sampai sekarang.”“Terus?” tanya Nay bertambah bingung. Jika tidak ada masalah, mengapa keduanya harus bercerai? Apalagi jika pengakuan Regita benar bahwa keduanya saling mencintai.“Kami nggak bisa membayangkan masa depan kami bersama-sama.”“Kenapa? Katanya sama-sama cinta.”“Ada bentuk cinta yang lain. Cinta itu punya banyak sisi, salah satunya yang aku miliki terhadap mantan suamiku itu.”Nay tersentak. Kata-kata itu mirip dengan yang pernah ia ucapkan dulu. Satu lagi fakta yang membuatnya tercengang. Bukan karena sesuatu yang buruk,
Pada kanvas, terlukis sebuah gambar yang sangat indah. Lukisannya berupa sosok perempuan yang seolah-olah tidak nyata. Namun, sosok itu tampak begitu suci dan damai. Warna-warna yang mengelilingi sosok itu begitu beragam. Nay bahkan tidak pernah mengenali jenis warna yang terlukis di sana.“Wow,” celetuk Nay tanpa sadar.“Suka?” tanya Regita yang telah berdiri di samping Nay, sama-sama menatap lukisan di hadapan mereka.Nay serta-merta mengangguk.“Tapi belum selesai,” kata Regita.Nay menoleh ke arah wanita itu. “Lo yang lukis?” tanyanya.Sekarang, giliran Regita yang mengangguk.Nay masih menatap wanita itu, ini kali dengan penuh kekaguman.“Bagi anak kecil yang nggak mengerti jahatnya dunia, satu-satunya pelarian aku waktu itu yaaah lewat menggambar.”Kata-kata Nay membuatnya menundukkan kepala. Apa yang paling sedih dari seorang anak yang dilahirkan ke dunia
Cherry membuka pintu rumahnya yang sudah ia tinggali selama hampir empat tahun itu. Rumahnya kecil saja. Ruang-ruangnya berukuran mungil dan sederhana. Namun, semua itu sudah mencukupi kebutuhannya. Tapi, apakah hidup seperti ini yang ia mau? Terbersit pertanyaan itu dalam benaknya.Cherry melemparkan tasnya asal-asalan ke atas sofa ruang tamu. Ia melirik baju atasannya yang sebagian sudah terbuka. Itu membuatnya teringat kepada Farid. Langkahnya cepat menuju tempat tidur. Cermin setinggi badan menjadi sasarannya.Dengan saksama, Cherry memeriksa pantulannya di kaca. Tubuhnya cukup tinggi untuk standard perempuan Indonesia. Meskipun tidak memenuhi kriteria seorang peragawati, tidak juga mengintimidasi kaum laki-laki. Rambutnya sengaja dipanjangkan karena ia tahu kaum pria kebanyakan menyukai yang seperti itu. Lekuk badannya juga tidak malu-maluin, Lemaknya menempel di bagian-bagian yang tepat, terutama pada dadanya. Tidak ada pria yang tidak tergoda dengan aset yang ia
Nay terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya itu. Kalimat itu mirip yang dikatakan oleh Cherry dulu. Di tempat yang sama pula, ujarnya dalam hati seraya melihat sekelilingnya.“Nggak perlu takut. Meskipun malam hari, ada saja wisatawan yang datang ke sini, untuk tur museum malam hari,” ucap Regita.Apa yang dikatakan oleh perempuan itu betul. Di sebelah kiri, ada beberapa orang yang berjalan beriringan mengikuti instruksi satu orang yang Nay duga adalah pemandu tur tersebut.“Jadi, tempat ini?” tanya Regita.Nay sendiri tidak tahu. Jangan salah sangka. Bukannya ia tidak hapal lokasi tempatnya berada saat itu. Ia hanya tidak mengerti mengapa ia membawa perempuan yang baru dikenalnya itu ke sini.“Gue pernah ke sini bersama Cherry.”Alih-alih mempertanyakan tujuannya datang ke tempat itu, Regita berkata, “Pasti momen itu spesial banget, ya.”Nay mengangguk. Tampak jelas kalau be
Nay keluar dari minimarket dengan membawa dua buah botol minuman. Ia memberikan salah satunya kepada Cherry yang duduk di lantai selasar minimarket itu.Nay memperhatikan sahabatnya yang meneguk minuman itu sampai tandas. Penampilan Cherry jauh dari biasanya. Tidak ada riasan di wajahnya. Padahal, Cherry selalu tampil dengan peralatan kosmetik sejak temannya itu bisa berdandan. Pakaian yang dikenakan gadis itu juga jauh dari gaya sehari-hari Cherry. Sahabatnya itu hanya mengenakan kaos polo dan celana bahan.“Mau pulang?” tanya Nay.“Nggak bisa,” kata Cherry lirih.“Oke, ikut gue.”Tanpa banyak berkata-kata, Cherry menurutinya.Nay sendiri tidak tahu hendak membawa sahabatnya itu ke mana. Ia bukan orang Jakarta. Ia juga tidak menetap di kota metropolitan itu. Bagaimana bisa ia menemukan tempat yang asyik untuk Cherry menjelaskan apa yang terjadi dengannya?Keduanya berjalan kaki dalam diam. Nay yang
Regita Amelia sudah melewati usia kepala tiga. Tepatnya, 38 tahun. Tidak seperti perempuan lainnya, tidak ada keluarga yang memaksanya untuk menikah. Bukan karena keluarganya berpikiran modern, melainkan karena Regita sudah meninggalkan rumah sejak berusia 17 tahun. Jadi, tidak ada keinginan keluarga yang harus ia turuti.Pengalaman hidupnya sesuai dengan usia yang ia miliki. Banyak. Tidak semuanya menyenangkan. Lebih seringnya, Regita harus berkutat dengan cara dan strategi untuk bertahan hidup. Bayangkan saja, apa yang harus dilakukan oleh anak berusia tujuh belas tahun untuk bertahan hidup?Namun, kerasnya pengalaman hidup Regita membuatnya menjadi pribadi yang peka dan sensitif, terutama terhadap mereka yang memiliki pengalaman hidup yang tidak menyenangkan.Ketika melihat Nay di Kafe Starlite, perhatian Regita langsung tertuju kepada gadis itu. Mata Nay terlihat kelam. Padahal, di sekeliling perempuan itu ada dua orang temannya. Dari pengamatan Regita, Nay