Nay sudah merasakan lehernya dicekik atau tangannya terikat. Tapi ini adalah sesuatu yang baru. Lelehan lilin panas membuat tubuhnya terasa seperti dibakar. Refleks ia menampik tangan Peter yang memegang alat penerang itu.
Peter menatapnya. Alih-alih tersenyum, wajah laki-laki itu tampak bengis. Lilin yang jatuh ke lantai seketika padam. Tahu-tahu, Peter menamparnya. Nay terlampau syok untuk bereaksi. Tidak lama setelah itu, Peter mengunci pergelangan tangannya. Nay ingin melawan. Tapi, genggaman itu terlalu kuat baginya.
“You are my slave. Jangan melawan!”
Gairah Nay yang sebelumnya membara, perlahan menghilang. Kepalanya menciptakan cabang pikiran yang baru, yaitu bagaimana ia dapat lolos dari situasi ini. Nay tahu tangannya yang dikuasai oleh Peter akan meninggalkan bekas memar esok hari.
“Aaah, Peter,” desahnya pura-pura. Dalam hati, ia menimbang-nimbang berbagai strategi yang dapat ia lakukan.
Tempat mereka ber
“Nay! Nay?” guncangan tangan Cherry pada bahunya membuat Nay tersadar dari lamunannya tentang masa lalu.“Ada masalah apa?” tanya Cherry.Nay mengedikkan bahu. “Nggak penting.”“Ayolah, ada apa?” Cherry tidak putus asa untuk mengorek penjelasan darinya.“Kami putus, itu saja. Barangkali Peter belum bisa menerimanya.”Cherry boleh saja sahabat terdekatnya. Namun, Nay tidak bisa, ralat, - belum mampu -, menceritakan apa yang terjadi kepadanya. Hidupnya tidak menyenangkan. Hidupnya jauh dari kata sukses. Tidak seperti apa yang terjadi dengan Cherry, Dewi, dan bahkan Maria. Ketiga sahabatnya itu memiliki kariernya masing-masing. Wanita modern yang mandiri, sedangkan dirinya hanya budak yang dipungut oleh Peter di jalanan. Bagaimana mungkin ia mengisahkan semua itu kepada teman-temannya? Seterpuruk apalagi dirinya jika ia mengungkapkan ketidakberuntungannya itu pada dunia?“Dia cin
Ia tahu banyak kasus pertemuan asmara di dunia maya yang berakhir dengan bahagia. Namun, semua contoh yang ia saksikan itu adalah kedua-dua pihak telah memiliki penampilan yang sama-sama sempurna. Yang laki-laki cakep dan simpatik, sementara yang perempuan cantik dan berkulit putih.Coba bandingkan dengan penampakan dirinya? Maria meneliti tubuhnya sendiri. Sudah jelek, hitam, bekerja sebagai pembantu lagi. Tanpa sadar Maria terduduk lemas dan tidak sengaja menduduki ember yang penuh terisi dengan air.Betapa sial nasibnya, renung Maria. Perlahan-lahan, air mata tanpa isak keluar mengaliri kedua pipinya.***Sejak menikah dengan Eton sampai sekarang memiliki dua buah hati, Dewi yang selalu kelimpungan mencari uang. Suaminya setiap hari hanya bermalas-malasan. Fakta kalau mereka masih tinggal di rumah Ibu Mertua, sepertinya membuat Eton besar kepala. Pria itu lalu menggampangkan semuanya. Bagaimana tidak? Andai kata Eton tidak melakukan apa-apa sekalipun,
Tidak dinyana, laki-laki itu memaksa seorang anak berseragam SMA yang duduk di depan Dewi untuk berdiri. Sambil menyeimbangkan badannya di antara goyangan bus yang disebabkan supir Transjakarta yang mengemudi ibarat supir metromini, laki-laki tersebut menghardik anak SMA tadi untuk memberikan tempat duduknya kepada Dewi. Ia berterimakasih. Ternyata masih ada orang baik di dunia ini.“Maaf, tapi apa Ibu baik-baik saja?”Sikap putus asanya tadi yang menyalahkan orang-orang Indonesia, perlahan-lahan memudar digantikan syukur karena masih ada orang baik seperti yang ada di dekatnya sekarang ini. Dewi pun menjawab, “Tidak apa-apa.”“Tapi Ibu kan sedang hamil. Apakah….”Laki-laki itu benar-benar peduli kepadanya. Penumpang itu ingin memastikan kalau ia baik-baik saja. Ia tersenyum. “Rasanya baik-baik saja. Terimakasih.” Dewi mengelus perutnya dan bayi yang ada di dalam kandungannya pun menendang lembut peru
Yang tidak pernah Dewi ceritakan kepada siapapun adalah bekerja di Universal Needs bikin ia dekat dengan Pak Edward. Pertemuan keduanya di bus Transjakarta memang jadi pertama kalinya mereka berjumpa. Namun, awal mula Dewi merasakan kalau Pak Edward memiliki perasaan lebih kepadanya terjadi beberapa bulan setelah itu.Dewi sedang menghadiri rapat besar bagian marketing. Pak Edward menghadirinya. Tadinya wanita itu heran, mengapa pemilik perusahaan besar masih mengurusi hal-hal remeh. Tapi, dari rekan kerjanya yang lain, Dewi baru mengetahui kalau laki-laki itu memang sangat peduli pada departemen penjualan di perusahaan tersebut. Menurut Pak Edward, divisi tersebut adalah ujung tombak kesuksesan perusahaan. Jadi, tidak heran kalau selalu mendapat perhatian lebih, termasuk menghadiri rapat departemen penjualan.“Sekarang, saya mau ucapkan selamat kepada Ibu Dewi. Walaupun baru join, berkat Ibu Dewi, sabun Melati membukukan penjualan 100% dalam masa uji coba,&rdquo
Pak Edward menyusupkan tangannya ke dalam paha Dewi dan mencari-cari pinggiran stokingnya. Perlahan-lahan, laki-laki itu menurunkan stoking Dewi. Jemari Pak Edward dengan lembut meneluri kakinya. Bohong kalau Dewi bilang, tidak ada desir aneh yang berseliweran di hatinya tatkala Pak Edward melakukan hal itu. Laki-laki itu berlama-lama mengelus bagian betisnya yang ditutupi stoking bolong. Rasanya seperti berabad-abad Pak Edward memainkan kakinya itu. Kaki Dewi telah bebas dari stoking. Sekarang, laki-laki itu bersiap-siap memakaikan stoking yang baru ke kakinya.“Saya bisa sendiri,” cegah Dewi. Ibu dua anak itu cepat-cepat merebut stoking dari tangan Pak Edward. Ia lalu memalingkan wajah dan menggeser tubuhnya menjauhi atasannya itu.Ia mendengar Pak Edward bergumam. Tapi, Dewi tidak dapat menangkap kata-katanya. Saat Dewi menoleh, tahu-tahu ia melihat Pak Edward sudah pindah ke tempat duduk laki-laki itu sendiri.“Ayo, coba lobster-nya, Wi.&rd
Dewi tercengang. Tas karton itu bertuliskan sebuah merek terkenal. Ia menduga-duga isinya dan menahan pekik gembiranya tatkala tebakannya benar. Sebuah tas yang harganya puluhan juta. “Ini… nggak, saya nggak bisa terima –“Ini adalah bonus. Kamu berhak mendapatkannya,” ujar Pak Edward bersikeras. “Malah kalau laporan penjualan Melati telah ada, kamu akan mendapatkan yang lebih lagi.”Ragu-ragu yang tadi menghinggapinya lenyap sudah. Ini adalah urusan pekerjaan. Dewi sangat piawai dengan tugasnya sehingga dianugerahi hadiah. Ini adalah sesuatu yang pantas. Dewi pun tersenyum dan ucapkan terima kasih.Selesai makan malam, mereka pun berjalan beriringan ke luar dari restoran. Senyum semringah Dewi tidak lepas-lepas dari wajahnya. Ia terlampau gembira menenteng tas mewah di tangannya.“Saya tidak bisa antar. Pulang naik taksi saja, ya.”Biasanya juga ia tidak pernah diantar ke rumahnya oleh Pak Edw
Tapi, Pak Edward justru bangkit dan berdiri. Dewi yang sudah memasrahkan dirinya jadi terheran-heran. “Kita belum selesai berdansa,” kata pria itu sambil mengulurkan tangannya. Dewi mengangsurkan tangannya dan dengan dibantu oleh Pak Edward, wanita itu kemudian berhadap-hadapan dengan laki-laki itu. Atasannya itu mengeluarkan ponsel dan memutarkan musik. Dewi tidak familiar dengan judulnya. Namun, lagu itu bertempo pelan dan menghanyutkan. Setelah meletakkan ponsel di meja, Pak Edward menautkan jemarinya dengan jemari Dewi dan menuntun langkahnya dengan lembut. Mungkin hujan di luar membuat Dewi terhanyut dengan suasana. Ia merebahkan kepalanya di pundak Pak Edward. Laki-laki itu kemudian menyusupkan tangannya ke balik kemeja yang dikenakan oleh Dewi. Ibu dua anak itu merasakan kaitan pakaian dalamnya telah terlepas. Tangan Pak Edward penyebabnya. Jantung Dewi berdegup kencang. Meskipun demikian, Dewi melonggarkan pelukannya agar dapat menarik bra-nya ke bawah kemeja. Ia lalu mencam
“Kenapa?” erang Dewi karena sudah tidak dapat mengendalikan gairahnya.“Saya ingin berdansa denganmu.”Dewi berdiri dengan enggan. Bukan apa-apa. Tubuhnya terlalu loyo untuk sigap menegakkan badan. Pak Edward membantunya dan menggantungkan tangannya di bahu. Lumayan, topangan itu membuat Dewi kembali berenergi. Tidak cukup sampai di situ, Pak Edward mengangkat Dewi agar wanita itu dapat memposisikan kakinya di atas kaki laki-laki itu.Dewi mengikuti panduan Pak Edward yang mengayunkannya ke kiri dan ke kanan. Mereka sedang berdansa dalam keadaan tanpa busana. Hm, sebenarnya keduanya masih mengenakan celana dalam tapi gesekan dan sentuhan kulit mereka satu sama lain telah lama mengabaikan kenyataan itu. Dewi dapat merasakan organ tubuh Pak Edward yang terletak di tengah-tengah selangkangan pria itu semakin lama bertambah sesak. Ia mau saja apabila Pak Edward menggiringnya ke tempat tidur dan menuntaskan hasrat keduanya di sana. Akan tetapi
“Masnya nggak tahu apa-apa,” lapor Maria.Jantung Cherry berdegup kencang. Kekhawatirannya terhadap Nay semakin bertambah. Ia ingat meninggalkan sahabatnya itu di sana. Di parkiran. Mereka berpisah cuma karena Cherry terlampau egois hanya mementingkan nafsunya untuk bertemu laki-laki.Ia menyesali tindakannya yang bodoh. Seberapa sering Nay bertemu dengan mendatanginya ke Jakarta? Tidak cukup sering. Itupun ia malah mengabaikan sahabatnya itu. Dan, sekarang akibat perbuatannya, mereka tidak tahu Nay ada di mana. Cherry berpacu dengan waktu. Ia tidak mau terlambat. Ia tidak mau menyesal.“Ayo, Maria. Kita harus ke rumahku!” kata gadis itu seraya memesan taksi.***Ini bukan kali pertama Maria datang ke rumah Cherry. Ia ingat diundang ke sini pada saat gadis itu pertama kali menempati rumah itu. Dulu, tidak ada banyak perabotan ada di sana. Sekarang, kediaman Cherry itu laksana stok foto yang menggambarkan desain interior di m
Taksi yang ditumpangi Cherry memasuki sebuah gedung tinggi yang berlokasi di Sudirman. Sebaik kendaraan itu berhenti, ia pun turun. Kaos pink dan rok abu-abu selutut yang ia pakai sungguh kontras di antara para karyawan yang mengenakan setelan professional. Namun, situasi itu tidak membuatnya merasa terintimidasi. Ia tahu kalau beberapa karyawan pria pasti menelan ludah mengamati penampilannya.Cherry memiliki trik khusus untuk menjaga kepercayaan dirinya di hadapan publik. Tanamkan diri kalau dirinya adalah sosok yang lebih berharga dibandingkan orang-orang asing itu.Ini bukan tentang masalah cantik atau jelek. Soalnya, ada juga mereka yang wajahnya terpahat seperti ukiran perupa Yunani namun tidak memancarkan kepercayaan diri yang hakiki. Jatuhnya, tetap terlihat biasa di mata orang awam.Aura kepercayaan diri Cherry terus mengikuti sewaktu gadis itu menaiki lift dan keluar di lantai sembilan. Lantai itu merupakan lokasi perusahaan tempat Maria bekerja. Di de
Tidak banyak pengunjung di kafe Sara’s Pan, bahkan bisa dibilang hanya Cherry dan Farid yang ada di sana. Oleh karena itu, keduanya bebas memilih tempat duduk.Cherry tentu saja langsung mendatangi meja yang paling sudut dan tersembunyi dari penglihatan. Ia langsung memesan kopi Americano. Cherry perlu asupan kafein demi membangkitkan semangatnya. Maklum, tadi malam ia kurang tidur.“Tadi malam menyenangkan, ya.”Cherry tahu kalau kalimat itu bukan pertanyaan. Ia yakin Farid mengingat momen ketika mereka berada di kamar kos laki-laki itu tadi malam. Oleh karenanya, ia nyengir-nyengir sendiri.“Mau diulangi?” tanya Cherry dengan nada menggoda.Farid tersenyum. Di mata Cherry, senyum pria itu adalah yang paling indah sedunia.Pembicaraan mereka terhenti karena pelayan kafe membawakan pesanan mereka. Kopi Americano untuk Cherry, sedangkan Farid memesan kopi gula aren dan camilan pisang goreng.&ldqu
Regita meletakkan kuas yang sedang ia gunakan. Nay yang melihat itu mengira perempuan itu tidak suka dengan pertanyaannya. Ia ingin meralatnya cepat-cepat.Tapi, belum sempat ia mengutarakan revisi pertanyaannya, tahu-tahu, Regita sudah berkata, “Aku dan suami sebenarnya saling mencintai. Kami bercerai baik-baik. Aku bahkan masih berteman dengannya. Sampai sekarang.”“Terus?” tanya Nay bertambah bingung. Jika tidak ada masalah, mengapa keduanya harus bercerai? Apalagi jika pengakuan Regita benar bahwa keduanya saling mencintai.“Kami nggak bisa membayangkan masa depan kami bersama-sama.”“Kenapa? Katanya sama-sama cinta.”“Ada bentuk cinta yang lain. Cinta itu punya banyak sisi, salah satunya yang aku miliki terhadap mantan suamiku itu.”Nay tersentak. Kata-kata itu mirip dengan yang pernah ia ucapkan dulu. Satu lagi fakta yang membuatnya tercengang. Bukan karena sesuatu yang buruk,
Pada kanvas, terlukis sebuah gambar yang sangat indah. Lukisannya berupa sosok perempuan yang seolah-olah tidak nyata. Namun, sosok itu tampak begitu suci dan damai. Warna-warna yang mengelilingi sosok itu begitu beragam. Nay bahkan tidak pernah mengenali jenis warna yang terlukis di sana.“Wow,” celetuk Nay tanpa sadar.“Suka?” tanya Regita yang telah berdiri di samping Nay, sama-sama menatap lukisan di hadapan mereka.Nay serta-merta mengangguk.“Tapi belum selesai,” kata Regita.Nay menoleh ke arah wanita itu. “Lo yang lukis?” tanyanya.Sekarang, giliran Regita yang mengangguk.Nay masih menatap wanita itu, ini kali dengan penuh kekaguman.“Bagi anak kecil yang nggak mengerti jahatnya dunia, satu-satunya pelarian aku waktu itu yaaah lewat menggambar.”Kata-kata Nay membuatnya menundukkan kepala. Apa yang paling sedih dari seorang anak yang dilahirkan ke dunia
Cherry membuka pintu rumahnya yang sudah ia tinggali selama hampir empat tahun itu. Rumahnya kecil saja. Ruang-ruangnya berukuran mungil dan sederhana. Namun, semua itu sudah mencukupi kebutuhannya. Tapi, apakah hidup seperti ini yang ia mau? Terbersit pertanyaan itu dalam benaknya.Cherry melemparkan tasnya asal-asalan ke atas sofa ruang tamu. Ia melirik baju atasannya yang sebagian sudah terbuka. Itu membuatnya teringat kepada Farid. Langkahnya cepat menuju tempat tidur. Cermin setinggi badan menjadi sasarannya.Dengan saksama, Cherry memeriksa pantulannya di kaca. Tubuhnya cukup tinggi untuk standard perempuan Indonesia. Meskipun tidak memenuhi kriteria seorang peragawati, tidak juga mengintimidasi kaum laki-laki. Rambutnya sengaja dipanjangkan karena ia tahu kaum pria kebanyakan menyukai yang seperti itu. Lekuk badannya juga tidak malu-maluin, Lemaknya menempel di bagian-bagian yang tepat, terutama pada dadanya. Tidak ada pria yang tidak tergoda dengan aset yang ia
Nay terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya itu. Kalimat itu mirip yang dikatakan oleh Cherry dulu. Di tempat yang sama pula, ujarnya dalam hati seraya melihat sekelilingnya.“Nggak perlu takut. Meskipun malam hari, ada saja wisatawan yang datang ke sini, untuk tur museum malam hari,” ucap Regita.Apa yang dikatakan oleh perempuan itu betul. Di sebelah kiri, ada beberapa orang yang berjalan beriringan mengikuti instruksi satu orang yang Nay duga adalah pemandu tur tersebut.“Jadi, tempat ini?” tanya Regita.Nay sendiri tidak tahu. Jangan salah sangka. Bukannya ia tidak hapal lokasi tempatnya berada saat itu. Ia hanya tidak mengerti mengapa ia membawa perempuan yang baru dikenalnya itu ke sini.“Gue pernah ke sini bersama Cherry.”Alih-alih mempertanyakan tujuannya datang ke tempat itu, Regita berkata, “Pasti momen itu spesial banget, ya.”Nay mengangguk. Tampak jelas kalau be
Nay keluar dari minimarket dengan membawa dua buah botol minuman. Ia memberikan salah satunya kepada Cherry yang duduk di lantai selasar minimarket itu.Nay memperhatikan sahabatnya yang meneguk minuman itu sampai tandas. Penampilan Cherry jauh dari biasanya. Tidak ada riasan di wajahnya. Padahal, Cherry selalu tampil dengan peralatan kosmetik sejak temannya itu bisa berdandan. Pakaian yang dikenakan gadis itu juga jauh dari gaya sehari-hari Cherry. Sahabatnya itu hanya mengenakan kaos polo dan celana bahan.“Mau pulang?” tanya Nay.“Nggak bisa,” kata Cherry lirih.“Oke, ikut gue.”Tanpa banyak berkata-kata, Cherry menurutinya.Nay sendiri tidak tahu hendak membawa sahabatnya itu ke mana. Ia bukan orang Jakarta. Ia juga tidak menetap di kota metropolitan itu. Bagaimana bisa ia menemukan tempat yang asyik untuk Cherry menjelaskan apa yang terjadi dengannya?Keduanya berjalan kaki dalam diam. Nay yang
Regita Amelia sudah melewati usia kepala tiga. Tepatnya, 38 tahun. Tidak seperti perempuan lainnya, tidak ada keluarga yang memaksanya untuk menikah. Bukan karena keluarganya berpikiran modern, melainkan karena Regita sudah meninggalkan rumah sejak berusia 17 tahun. Jadi, tidak ada keinginan keluarga yang harus ia turuti.Pengalaman hidupnya sesuai dengan usia yang ia miliki. Banyak. Tidak semuanya menyenangkan. Lebih seringnya, Regita harus berkutat dengan cara dan strategi untuk bertahan hidup. Bayangkan saja, apa yang harus dilakukan oleh anak berusia tujuh belas tahun untuk bertahan hidup?Namun, kerasnya pengalaman hidup Regita membuatnya menjadi pribadi yang peka dan sensitif, terutama terhadap mereka yang memiliki pengalaman hidup yang tidak menyenangkan.Ketika melihat Nay di Kafe Starlite, perhatian Regita langsung tertuju kepada gadis itu. Mata Nay terlihat kelam. Padahal, di sekeliling perempuan itu ada dua orang temannya. Dari pengamatan Regita, Nay