KENANGAN
Hari ini tepat ke empat bulan sepuluh hari keluarnya Mila dari SMA International School. Beberapa orang masih bertanya-tanya mengapa si primadona menghilang tanpa jejak. Bahkan cokelat, surat dan bunga dari beberapa bulan yang lalu masih memenuhi lokernya. Banyak yang merasa sedih saat ia hilang tanpa kabar, banyak yang patah hati saat ia disembunyikan. Namun semua masih berjalan selayaknya sekolah. Hanya satu orang yang sampai detik ini masih terus mencari keberadaan si penaung hati. Kevin Dirgantara-- saat ini menatap papan dengan tidak minat. Ia menopang dagu sembari mengetukan pulpen ke meja. Sebentar lagi Kevin akan menyelesaikan masa Putih Abu. Namun ia masih belum tahu kapan ia akan kembali dipertemukan dengan Mila. Hilangnya Mila menjadi tanda tanya besar untuk Kevin. Hubungan mereka saat itu sedang baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran atau pun saling mengkhianati. Tiba-tiba saja Mila menghilang, Kevin cinta. Cinta mati kepadanya.Bel ist
BROKENKevin menyampirkan jaket kulitnya ke bahu. Malam ini Kevin akan kembali menuju rumah orang tua Mila. Sekarang masih jam setengah sembilan. Kevin harap ia menemukan apa yang ia cari. Belum sampai langkah Kevin keluar dari pintu. Suara bariton menggelegar memenuhi ruang tamu.“Mau ke mana lagi kamu?! Sekali saja kakimu berani melangkah keluar, saya pastikan kamu tidak akan bisa lagi menghirup udara segar!” teriak Vian –Ayah Kevin lantang.Tangan Kevin mengepal. Semangat membaranya tiba-tiba mulai meredup. Kevin ingin sekali melawan orang jahat itu, namun akal sehatnya masih bisa menahan dirinya agar tidak berbuat bodoh. Jika Kevin keluar dari rumah ini bagaimana caranya ia akan menemukan Mila? Tentu ia masih membutuhkan fasilitas ini untuk menata hidupnya dan Mila di masa depan.“Kemari!”Kevin masih diam di depan pintu.“Saya bilang kemari, Kevin Dirgantara!”Dengan langkah berat Kevin berjalan mendekati Vian. Rasa
PASRAH “Baiklah, anak, anak. Besok Bapak akan membagikan hasil ulangan kalian, selamat melanjutkan pembelajaran,” ujar pak guru meninggalkan kelas dua belas MIPA satu.Kevin bernapas lega. Ia hanya harus menguatkan diri besok, kembali Kevin mengambil undangan ulang tahun pemberian Mona di kolom meja. Kevin harap Mila juga ada di sana, ah tapi kenapa Kevin merasa tidak yakin bila dia akan hadir? Kevin berjalan menuju kantin, ia saat ini merindukan batagor cinta buatan mang Ujang. Batagor cinta adalah makanan favorit Mila.“Eh, nak Kevin. Mau batagor?” tanya mang Ujang.“Iya, Mang. Satu porsi ya.”“Asyiappp, nak Kevin duduk dulu.”Nampaknya hari ini pelanggan mang Ujang sedang sepi. Bisa dilihat dari sedikitnya jumlah pembeli, sementara bakso bude Mina sedang ramai. Saat Kevin tengah sibuk dengan ponselnya, Mona yang sedang makan di sebelah tepatnya lapak bude Mina langsung berjalan menghampiri bangku Kevin dengan satu mangkok bakso di tanganny
KADO YANG SALAHMalam ini Mona terlihat begitu cantik dengan gaun berwarna biru muda yang ia kenakan. Semua orang juga tahu bahwa memang Mona cantik dan memiliki senyuman yang begitu manis, sayangnya tidak semua orang tahu senyum manis itu sering kali memunculkan smirk jahat, tidak semua orang tahu wajah cantik itu bisa menjelma menjadi iblis menakutkan. Hanya Mila yang tahu bagaimana rasanya tertusuk oleh belati tindakan sang sahabat. Memang benar kata orang jangan sekali-kali hanya melihat seseorang dari sampulnya saja. Gadis manis seperti Mona sama halnya dengan sebungkus mie instan, di luar tampak begitu sempurna dengan kelengkapan dan kelebihan yang ia miliki. Tapi isinya? Hanya seutas adonan yang dilipat-lipat.Mona tersenyum cerah saat menyambut tamu undangan yang hampir sebagian besar adalah teman sekolahnya. Iris hitam kelam miliknya masih setia menetap di depan pintu masuk, tentu saja ia menunggu sang pujaan hati—Kevin . Mona tidak sabar,
TAMU TAK DIUNDANG Mentari pagi menyembulkan separuh badan, dibalik awan sana, sinar keemasan mencoba menghalau embun di pucuk-pucuk daun. Udara masih terlalu dingin kala Arjuna membuka kelopak matanya yang terasa lengket satu sama lain. Pandanganya memutar ke segala arah saat ia tidak mendapati sang istri di sebelahnya. Arjuna mengusap wajah malas sebentar lagi ia harus berangkat sekolah dan rasanya badan itu seolah enggan untuk meninggalkan kenyamanan yang kasur hangat itu berikan padanya. Arjuna masuk ke dalam kamar mandi, menatap cermin sebentar lalu sebuah senyum manis terukir di wajah rupawannya. Arjuna menekan sebelah pipi kiri yang terdapat tanda merah dari lipstik sang istri, ia teringat kejadian tadi malam. Kala Mila tiba-tiba manja dan menghujaninya dengan kecupan. Tadi malam mereka melakukan 'itu' awalnya hanya kecupan tapi entah mengapa Arjuna lepas kendali. Arjuna menggeleng, memukul kepalanya yang kembali mengingat kejadian mesum itu.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tidak ada yang bicara sedikit pun, selain kedua sekawan itu-- Nakula dan Sadewa. Mereka berdua menatap lama Arjuna di depan kursi kemudi yang seperti biasanya diam dan tampak tak acuh. Tiba di halaman parkir sekolah, Arjuna lebih dahulu keluar dari mobil dengan tangan yang ia masukkan ke dalam kantong celana. Ia berjalan mendahului Nakula dan Sadewa. Siswa-siswi berlalu lalang. Ada yang duduk di depan kelas, ada yang tengah berlari saling mengejar satu sama lain, ada kerumunan gadis yang tertawa terbahak-bahak, ada pula pemuda berkaca mata di tahan oleh dua temanya. Arjuna masih tidak peduli, ia menatap sekilas pemandangan tersebut. Tujuannya sekarang adalah roof top, tempat yang paling nyaman sekaligus menjadi basecamp mereka sejak tiga tahun terakhir. Satu persatu anak tangga ia pijak dengan pasti, masih dengan tatapan santai dengan langkah sedikit lebar, tadi ia bukan bermaksud tidak merespon saat sang istri mengadu, malu. Arjuna
"Biar gue aja, gue yang akan coba," ujar Yudistira saat ke enam mata itu mengarah ke padanya. "Sebenarnya... gue juga lebih yakin sama Yudistira di banding diri gue sendiri, hehe." Itu suara Sadewa yang kini tengah nyengir sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Apalagi gue?" Nakula menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk. "Gue mungkin yang dibunuh sama Saras." "Tapi lo yakin, Yud? kalo cuman buat main-main aja gue gak akan setuju," ucap Arjuna serius, matanya menatap intens wajah salah satu temanya itu. "Gue yakin, kita gak akan tahu sebelum mencoba. Bisa aja gue mungkin bisa suka sama dia nantinya? gak ada yang tahu gimana kedepannya, Cinta hadir karena terbiasa, mungkin itu akan berlaku juga buat gue." "Wih keren, good luck, Yud." "Ya, semoga." "Thanks, Lo semua udah mau bantu gue, dan buat Lo, Yud. Gue harap lo bisa gue andalkan."
Di perjalanan pulang Arjuna menyempatkan diri membeli martabak telur kesukaan Mila. Ia merutuki diri sendiri karena bisa-bisanya ia melupakan istri tercintanya itu. Sekarang sudah pukul setengah tujuh malam, langit kian menghitam juga udara yang semakin dingin. Netra setajam elang itu fokus menatap ke depan, berpacu dengan waktu. Sekarang Mila sedang apa ya? apa dia menunggunya pulang? pertanyaan itu terus berputar ulang di kepalanya, semoga martabak telur akan menghapus amarah sang istri. Arjuna tidak tega harus membuat Mila marah atau tertekan apalagi istrinya itu kini sedang hamil tujuh bulan, kadang-kadang Mila akan mengeluh pinggangnya sakit, beberapa kali pun ia menangis karena susah makan. Hari ini pun ia tidak membantu pekerjaan rumah, haduh, semakin banyak saja kesalahannya. "Mbul?" Arjuna memasuki apartemen dengan langkah ringan, netranya langsung disambut pemandangan gelap. Sudah semalam ini dan Mila belum juga menyalakan lamp
Malam ini suasana di rumah Yudistira cukup tenang, tidak ada suara ibu maupun ayah jelas saja, jam-jam segini jika banyak pelanggan di toko pasti sang Ibu tidak akan pulang cepat. Sering kali Yudistira menawarkan diri untuk membantu, namun sang ibu selalu menolak karena sudah ada karyawan toko katanya. Orang tua Yudistira memiliki bisnis kecil-kecilan, mereka memiliki toko bunga dan kebun sawit di kampung. Tiap pekan kadang-kadang mereka akan pergi ke kebun sawit sana. Seperti halnya kebanyakan remaja sekarang, Yudistira pun sama, ia gemar bermain game, keluar malam, sesekali ikut balap motor liar, tawuran. Namun semua itu dengan rapi ia tutupi dari kedua orang tuanya, Yudistira itu kalem, bisa sangat ramah atau bisa sangat membara layaknya api. Dia jarang sekali marah, sekalinya marah tidak akan ia lepaskan mangsanya.Setelah puas dengan bermain game seharian, Yudistira memilih mendengarkan lagu sembari rebahan. Matanya tertutup dan bibir agak merah itu sesekali