Malam ini suasana di rumah Yudistira cukup tenang, tidak ada suara ibu maupun ayah jelas saja, jam-jam segini jika banyak pelanggan di toko pasti sang Ibu tidak akan pulang cepat. Sering kali Yudistira menawarkan diri untuk membantu, namun sang ibu selalu menolak karena sudah ada karyawan toko katanya. Orang tua Yudistira memiliki bisnis kecil-kecilan, mereka memiliki toko bunga dan kebun sawit di kampung. Tiap pekan kadang-kadang mereka akan pergi ke kebun sawit sana. Seperti halnya kebanyakan remaja sekarang, Yudistira pun sama, ia gemar bermain game, keluar malam, sesekali ikut balap motor liar, tawuran. Namun semua itu dengan rapi ia tutupi dari kedua orang tuanya, Yudistira itu kalem, bisa sangat ramah atau bisa sangat membara layaknya api. Dia jarang sekali marah, sekalinya marah tidak akan ia lepaskan mangsanya.
Setelah puas dengan bermain game seharian, Yudistira memilih mendengarkan lagu sembari rebahan. Matanya tertutup dan bibir agak merah itu sesekali"Pulang atau gue tendang!" ancam Saras, ia sudah malas sekali berdebat. Tapi lelaki di hadapannya itu tampak sangat senang berdebat dengannya. rasanya Ingin sekali Saras memukul mulut menyebalkan itu."Oke, oke. Gue ke sini karena di suruh Arjuna. Gue di minta jemput elo, maka dari itu lo harus ikut gue ke pantai," balas Sadewa. Tadi saat bermain ponsel, ia menanyakan tempat kesukaan Saras ke pada Arjuna. Ternyata gadis tengil ini menyukai tempat yang sama dengannya."Serius? gue ganti pakaian dulu, tunggu sini!"Saras berjalan masuk ke dalam rumah, gadis itu senang sekali saat mendengar nama Arjuna disebut. Dia tidak curiga sama sekali pada Yudistira, seolah-olah dunianya hanya terpaku pada Arjuna, Arjuna dan Arjuna. Sekali nama Arjuna maka kepercayaan gadis itu akan mudah sekali didapatkan. Yudistira tak habis pikir, segitu cintanya kah Saras pada temannya itu, padahal seharusnya Saras sudah merelakan Arjuna dengan wanita lain.Saras
Mona terbangun dengan wajah lesu juga tubuh rasanya penat sekali, sudah satu minggu ia tidak bisa tidur nyenyak, belakangan ini mimpi buruk selalu menghantuinya, dalam mimpi itu Mila selalu datang menyumpahinya dengan kata-kata tajam, sementara ia hanya bisa bersujud memohon ampun di kaki Mila. Rasanya Mona enggan sekali untuk berangkat ke sekolah hari ini, kepala, mata, pinggang semuanya sakit. Mona rasa ia sedang stress, semua sosial media Mila sudah tidak ada yang aktif, semakin sulit untuknya mencari keberadaan Mila. Dara dan Mira dua orang yang menjadi partnernya malam itu pun tidak mengetahui di mana keberadaan Mila. Sempat terpikir oleh Mona untuk mencari ke rumah orang tua Mila, namun ia merasa takut, ia takut orang tua Mila melaporkanya ke polisi atau memberi tahukan semua kejahatan yang ia perbuat ke keluarganya. Mona takut akan diasingkan dan di anggap sebagai pembawa sial seperti mamanya.Tapi tetap saj
Siang ini Mona tidak ada rencana ke mana pun, ia masih terus berbaring di kasur empuknya. Tangannya tidak berhenti mencari sosial media Mila, tapi tetap sama semuanya sudah non aktif, bahkan postingan terakhir adalah satu tahun lalu. Gusar, rasanya ini lebih melelahkan dari pada menjawab seratus soal matematika.Mona menatap langit-langit kamar, ia sudah merasa lelah. Tapi rasa bersalah kian merundung, mencari sosok itu adalah cara agar hatinya kembali tenang. Kembali mata almon itu ia arahkan ke layar gawai, sebuah foto dengan nama akun @ArjunaDwipandu11 membuat Mona terpaku, bukan karena ketampanan pria bertopi hitam itu, tapi matanya fokus menatap perempuan di sebelahnya yang memakai masker, meski mulutnya dan hidungnya tertutup tapi garis menyipit di mata perempuan itu sudah menjelaskan bahwa dia sedang tersenyum, Mona cukup mengenal orang ini, dia terlihat seperti... Mila?Mona masih fokus menatap foto itu, tidak salah lagi, ia
"Lo minta maaf karena ada maunya ternyata, iya juga sih, cewek kayak elo mana tahu cara minta maaf, taunya kan cuman ngejek dan manfaatin orang aja," desis Bima sarkas, sembari meneguk segelas air mineral."Iya, Bima, gue tau gue emang seperti yang lo bilang, tapi sekarang gue mau berubah. Jadi please, gue mohon banget lo bantuin gue kali ini." Mona menangis dengan tertunduk dalam, ia sudah berusaha mati-matian mencari Mila, dan sekarang hanya Bima jalan satu-satunya agar ia bisa bertemu Mila. Mona sudah tidak peduli lagi mau Bima mengatakan ia cengeng atau apapun, yang terpenting pemuda ini mau menolongnya.Bima tertegun saat ia melihat wajah Mona, wajah basah karena air mata, juga mata sayu yang terlihat sungguh-sungguh meratap, bagia mana pun juga, Bima paling anti melihat wanita menangis, ia tidak suka, dengan perasaan kasihan Bima melangkah mendekati Mona, sampai di depan gadis itu ia mendekapnya, sembari mengelus puncak kepala Mona."Udah, cengeng banget s
Bima memasuki area rumahnya dengan wajah di tekuk, moodnya sudah hilang sekarang. Melihat Mona yang menatapnya membuat si Ilham pergi entah ke mana, sekarang Bima tidak lagi berselera untuk makan. "Bim, kita jadi pergi 'kan?" tanya Mona bangkit dari duduknya. "Makan dulu," balas Bima tak acuh. "Oke, gue juga belum makan, tadi langsung ke sini." "Gak nanya." "Bim... lo ngak ikhlas ya mau nolong gue? lo kok gini banget sih sama gue," cicit Mona lirih. "Hah, Mona Adelia yang cantik kayak Maklampir, bisa diem? kesalahan orang lain bisa lo liat, sementara kesalahan sendiri gak bisa lo lihat," ujar Bima kesal, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Mona yang masih mematung di tempatnya. Di meja makan mereka berdua hanya diam, Bima yang tadinya lapar tiada tara kini hanya memakan setengah sendok nasi, sebenarnya Bima sudah hilang respect terhadap Mona. Mungkin definisi toxic friend sangat pas untuk gadis it
Yudistira tidak tahu kapan ia benar-benar merasakan cinta, apakah cinta itu merasa terpesona dengan paras ayu lawan jenis, atau merasa kagum dengan sikapnya? Yang jelas selama delapan belas tahun ini, ia belum pernah merasakan jantung berdegup kencang seperti di dalam film-film romantis yang sesekali ia tonton karena gabud. Yudistira duduk di rooftop sekolah seorang diri, Nakula dan Sadewa baru saja pamit pulang. Ia menikmati langit yang mulai menggelap. Di temani udara yang menari- nari menerpa wajahnya. Satu bulan ini, Yudistira menepati janjinya pada Arjuna. Ia selalu ada di saat Saras membutuhkan bantuan, walau kadang gadis cebol itu selalu saja mempertanyakan Arjuna. Sebulan ini pun Arjuna mulai semakin menghindari Saras, bukan sepenuhnya menghindar, ia tetap memantau Saras lewat Yudistira. Yudistira tidak begitu peduli dengan urusan orang lain, ia terbiasa mengabai
Seperti katanya tadi siang. Selepas beberes dan mandi. Arjuna dan Mila menuju kediaman orang tua Mila.Minggu lalu, Gilbran dan Rosa baru saja kembali dari Malaysia, katanya urusan kerjaan sudah selesai. Mereka ingin makan bareng dan bercanda tawa dengan Mila dan Arjuna.Mila mengiyakan saja, apalagi dengan ijin dari Arjuna membuat ia merasa sangat senang.Arjuna menenteng tas miliknya dan mengangkat koper milik Mila. Ia mengetuk pintu. Ternyata Rosa sendiri yang membukakan pintu untuk mereka berdua."Eh, ada Arjuna juga?" tanya Bunda, ia terkejut melihat kedatangan Arjuna. Mila dan Arjuna tidak bilang sebelumnya bahwa dia juga akan ikut menginap."Iya, Bund. Ini Arjuna gak pa-pa kan, datang tanpa di undang.""Kamu ini, ya tidak masalah dong, justru lebih bagus. Ayo-ayo cepat masuk," ajak Bunda. Ia merangkul bahu Mila, membawa putri kesayangannya itu ke dalam, sement
KRIIIIINGGGGG!!BRAKArjuna mengedip-ngedipkan matanya. Mencerna apa yang baru saja terjadi, suara bising dari sahabatnya itu membuat ia refleks terbangun. Arjuna bolak balik menatap gawai dan istrinya.Arjuna mendekat ke arah ponselnya. Ia mengambil benda pipih itu. Lalu mengelusnya dan menatapnya nanar. Arjuna membalikkan gawainya dan hatinya sedikit nelangsa ketika melihat bagian depan dari benda pipih itu sudah retak. Arjuna menekan tombol aktif ponselnya, dan sukurnya masih hidup.“Ngapain di sana, Kak?” Arjuna dapat mendengar suara serak yang berasal dari belakang.Arjuna menarik napas sejenak, untuk menetralkan emosinya. Lalu membalikkan badan menghadap orang yang berbicara. “Ngga ada, lagi ambil HP.”“Oh.” Setelah itu Mila bersiap tidur kembali, mimpi yang tadi masih ingin ia lanjutkan.“Eh, eh, jan
1 Bulan kemudian.... Mila terdiam cemas di atas brangkar rumah sakit, ia sangat takut hari ini adalah hari persalinan yang telah dinanti. Arjuna sedari tadi terus menenangkannya. "Kak, Mila takut salah satu dari kami gak selamat," ujar Mila dengan raut wajah murung. Sejujurnya Arjuna juga khawatir. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menyemangati istrinya itu. andai Arjuna dan Mila bisa bertukar peran, Arjuna akan dengan senang hati mengambil alih tanggung jawab Mila. Ia tak ingin melihat Mila kesakitan. "Tenang, Mbul, kamu pasti bisa jangan pikirin yang aneh-aneh," balas Arjuna menciumi ubun-ubun Mia, mencoba menenangkan wanita itu. "Bunda mana, Kak?" "Bunda lagi beli perlengkapan." "Kak, Mila bener-bener takut," Mila kembali mengulang perkataannya, sungguh ia sangat takut saat ini. Apalagi setelah ia membaca artikel tentang kematian ibu muda saat bersalin, hal itu membuat ia merasa sangat takut untuk melah
Jasad Saras masih berada di ruangan UGD setelah di bersihkan. Arjuna tidak kuasa lagi melihat wajah pucat pasi gadis itu, ia memilih duduk di luar ruangan saat keluarganya datang menemui Saras.Arjuna merasa begitu bersalah. Saras dengan berani mengorbankan hidupnya demi menyelamatkan nyawanya, pikiran Arjuna kembali ke masa lalu saat ia dan Saras masih berusia delapan tahun.Sore itu di taman bermain sekolah SD. Saras dan Arjuna masih bermain ayunan, mereka menunggu Wulan yang katanya akan menjemput. Tapi Mama dari Arjuna itu tidak kunjung datang. Saras dan Arjuna kecil tampak bahagia, ditemani ibu guru cantik berkerudung crem senada dengan pakaian dinasnya."Juna, nanti kalo kamu besar kamu mau jadi apa?"Arjuna yang ditanya hanya diam, dia belum memiliki cita-cita."Polisi," balasnya asal."Wah, kalo gitu Saras mau jadi polwan deh. Biar bisa sama-sama terus sama Arjuna!"Arjuna tersenyum mengejek. "Polwan itu harus tinggi, kamu kan
Setelah mendengar cerita Mila, hari ini Arjuna mulai mengatur rencana, ia meminta bantuan kepada sahabatnya Nakula, untuk melacak keberadaan Kevin. Setelah kejadian kemarin Arjuna tidak pergi ke mana pun, Mila terus memeluknya erat tidak membiarkan Arjuna beranjak sedikit pun darinya. Dering telepon baru saja masuk, jakpot tampaknya rencana Arjuna akan berjalan lancar, si pelaku mengantarkan nyawanya sendiri. Panggilan itu dari Kevin.Arjuna menekan tombol hijau, ia diam membiarkan psikopat gila itu bicara."Halo Mila sayang masih ingat suara aku? Tentu kamu masih ingat akukan pacar kamu. Kamu bisa lari kemarin tapi saat kamu kembali kudapatkan. kamu tidak akan bisa lolos dengan mudah," suara tawa terdengar di seberang sana. Arjuna mengepalkan tangan ia sungguh kesal saat ini, api amarah menggebu-gebu dalam hatinya.Panggilan di matikan sepihak oleh Arjuna. Arjuna hanya butuh panggilan Kevin agar dia lebih mudah melacak posisi pemuda itu. Arjuna membangunk
Kevin membuka kamar kurungan Mila dengan perasaan senang, dia sudah bersusah payah memasak semua makanan kesukaan wanita itu. Dia ingin kembali mengenang masa lalu saat mereka saling peduli lewat masakan. Namun wanita yang tadinya berada di atas kasur kini telah hilang entah ke mana. Kevin menarik seprei kasar, membanting semua barang-barang yang ada di sana. Dia tidak mau wanitanya pergi meninggalkannya lagi."MILA LIHAT SAJA AKU GAK AKAN BIARKAN KAMU LOLOS KALI INI!" Kevin melangkah cepat menuju mobilnya, ia yakin Mila belum jauh dari sana. Tempat itu bukanlah tempat yang terekspos khalayak ramai jadi tempat ia bebas bergerak sesukanya.Mila berlari secepat yang ia bisa, ia memegangi perutnya yang sakit, Mila terus berlari di tambah hujan deras makin membuatnya kesulitan. Jalanan licin membuatnya memutuskan untuk berjalan tanpa alas kaki. Mila berdoa semoga saja ia bisa lolos dari psikopat gila itu."Aaakhh! Sa-sakit," Mila terus berlari ke
"Mila cuman cinta suami Mila! Lepasin Mila Kevin!" Teriak Mila lantang. Ia khawatir dengan bayinya air mata yang ia tahan kini berhasil lolos dari pelupuk matanya."Gak, kamu cuman cinta aku! Mila hanya cinta kevin!" Mila dan kevin tiba di sebuah rumah mewah yang jauh dari pusat kota, Kevin membuka pintu mobilnya dengan kasar, ia langsung mengendong Mila memasuki rumah megah itu.Rumah itu berada jauh dari rumah penduduk, di sekitar rumah itu hanya ditumbuhi pepohonan besar dan tinggi, rumah itu adalah rumah almarhumah Ibu Kevin. Ibu Kevin pernah mengalami gangguan mental hingga akhirnya diasingkan di rumah tua yang masih tampak cantik dan megah itu.Mila meronta, terus memukuli dada Kevin yang menggendongnya. "Kak Kevin lepas! Biarin aku pergi!""Gak, sayang, kamu dan aku akan hidup bahagia di sini." Kevin tersenyum manis. Ia membaringkan Mila di atas ranjang king size milik almarhumah Ibunya. Mila meronta ingin melepaskan diri dari Kevin,
Hari ini selesai simulasi, Arjuna mengantarkan Mila ke Mal, katanya dia ingin membeli beberapa perlengkapan mandi dan beberapa barang pribadi untuknya."Mbul, maaf ya, aku ngga bisa temenin kamu. Di kafe ada masalah sedikit, kamu ngga pa-pa 'kan aku tinggal? Jangan matiin HP kamu, kalo ada sesuatu langsung telepon aku!" Arjuna mengingatkan."Iya. Siap.""Tapi bener nih, ngga apa-apa kamu sendirian gini?" tanya Arjuna, kembali memastikan."Ihhh, Kak Juna. Kaya aku anak kecil aja yang harus dijaga terus, udah pergi aja Kak.""Hm, yaudah. Aku pamit." Arjuna mengecup puncak kepala Mila untuk berpamitan, segera saja Arjuna masuk ke dalam mobil setelah ia merasa yakin bahwa Mila bisa dia tinggal sendirian.Mila berkeliling, setelah satu minggu tidak keluar dari apartemen karena takut bertemu Kevin, akhirnya ia bisa kembali menghirup udara segar. Berbelanja adalah salah satu rutinitas yang disukai Mila, mungkin bukan cuman dia saja, sepertiny
"Mila, maaf ya soal tadi. Mbak benar-benar tidak berniat melukai hati kamu.""Nggak apa-apa kok, Mbak. Mila paham, makasih juga sudah ngajak aku jalan pagi Mbak."Mila melambai lalu segera masuk kedalam lif. Sekarang sudah pukul 10 pagi, berjalan pagi membuat dia berkeringat banyak, ada rasa lelah dan segar yang ia rasakan secara bersamaan. Tapi ia kembali teringat dengan Kevin, sekarang Mila harus mulai berhati-hati. Kevin sudah mulai datang ke tempat itu. Padahal jarak dari rumah Kevin sangat jauh, bahkan untuk sampai ke daerah ini memerlukan tiga jam perjalanan.***"Hari ini kita ke rumah mama yuk, Kak!" Mila berujar, sedari tadi siang, ia merasa tidak enak. Pikirannya tidak tenang, ia selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk kalau saja Kevin tiba-tiba menemukannya.Arjuna yang tengah mengerjakan tugasnya di meja belajar melirik ke arah kasur yang istrinya itu tiduri. "Tumben? Kenapa, kok kamu kaya gelisah gitu?"
"Hai, kenalin aku... Kevin. Kevin Dirgantara!"DegJantung Mila rasanya ingin keluar dari tempatnya, detak jantung wanita itu mulai menggila, keringat dingin mulai membasahi pelipis juga tangan yang semulanya terasa panas kini mulai mendingin karena basah oleh keringat. Mila bergerak dengan gelisah, dia sengaja membuang muka, tidak mau sampai Kevin mengetahui dirinya."Hei, aku Kevin. Nama kamu?" Kevin berujar, dia mengulurkan tangan sembari mengamati gerak-gerik Mila yang tampak aneh, seperti orang yang ingin melarikan diri.Mila ragu-ragu untuk membuka mulut, ia tidak bisa diam saja, kalau tidak Kevin akan curiga. Beruntung tadi pagi Arjuna memberikan maskernya yang hampir tertinggal "Eh, ha-hai, aku... Marisa," kata Mila terbata."Marisa? Omong-omong suara kamu mirip sama orang yang aku kenal." Kevin mengamati Mila sebentar, lalu kepalanya menengadah ke atas langit."O-oya." Mila merasa yakin orang yang Kevin maksud adalah dir
"Kak, aku pergi dulu ya!"Mila menyembulkan kepalanya di balik pintu, ia sudah bersiap dengan baju olahraga khusus ibu hamil miliknya, tidak lupa bando polkadot menahan rambutnya agar tidak terjatuh.Arjuna segera menuju pintu apartemen, ia berjalan sembari mengancingkan baju seragam sekolahnya, tidak lupa membawa masker sang istri yang tertinggal di atas meja."Jangan lupa maskernya, Mbul." Arjuna memasangkan masker hitam ke wajah sang istri."He he he, maaf, Kak. Aku terlalu bersemangat, soalnya mau joging bareng mbak rina. Kamu tahu kan, bumil yang baru pindah di lantai bawah?""Mbak rina? Kok aku ngga tau ada tetangga baru?" Arjuna kini sibuk mengikat tali sepatu Mila yang tadinya terikat dengan asal.Diposisi ini, Mila merasa ia seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali akan pergi sekolah. Arjuna dengan telaten mengikat tali sepatunya dengan kuat. Mila sungguh tersentuh dengan apa yang Arjuna lakuka