KRIIIIINGGGGG!!
BRAKArjuna mengedip-ngedipkan matanya. Mencerna apa yang baru saja terjadi, suara bising dari sahabatnya itu membuat ia refleks terbangun. Arjuna bolak balik menatap gawai dan istrinya.
Arjuna mendekat ke arah ponselnya. Ia mengambil benda pipih itu. Lalu mengelusnya dan menatapnya nanar. Arjuna membalikkan gawainya dan hatinya sedikit nelangsa ketika melihat bagian depan dari benda pipih itu sudah retak. Arjuna menekan tombol aktif ponselnya, dan sukurnya masih hidup.
“Ngapain di sana, Kak?” Arjuna dapat mendengar suara serak yang berasal dari belakang.
Arjuna menarik napas sejenak, untuk menetralkan emosinya. Lalu membalikkan badan menghadap orang yang berbicara. “Ngga ada, lagi ambil HP.”
“Oh.” Setelah itu Mila bersiap tidur kembali, mimpi yang tadi masih ingin ia lanjutkan.
“Eh, eh, jan"Eh, Jun. Kapan Mila lahiran, gue nggak sabar pengen lihat dede bayi. Si Jujun udah tue. Broooo!" kata Nakula terkekeh."Iya, juga ya, Nak. Si Mila kan cantik plus Arjuna ganteng, anaknya gimana ya? bibit-bibit calon bintang cilik tu," Sadewa menyahut."Kalo menurut lo, Jun. Anak lo nanti kaya gimana?" tanya Yudistira."Gue nggak terlalu mikirin itu. Yang gue harapkan semoga dia sehat, mau mirip Mila atau gue. Buat gue bukan masalah, asal dia hidup dengan baik maka gue akan ikut bahagia," ucap Arjuna tersenyum tulus."Lo hebat, Jun. Lo mau bertanggung jawab meski kita semua tau. Lo nggak pernah ada niatan buat ngelakuin itu," Sadewa berucap parau. Mungkin selama ini ia sudah menutup mata atas kesalahannya. Andai saja waktu itu dia tidak pergi ke kelab dan mabuk-mabukan. Arjuna sekarang tidak akan menanggung beban untuk bersama Mila."Gue yang Salah. Seandainya, gue nggak terhasut ucapan co
Aina berjalan santai di jalan raya. Suasana malam ini terlihat begitu indah, dengan taburan bintang di langit sana. Malam ini Aina ingin sekali makan Samyang, beruntung mini market tidak jauh dari rumahnya. Jadi Aina tidak harus mengeluarkan ongkos untuk pulang dan pergi. Ia harus irit, berhubung sekarang masih tanggal tua. Aina mengikat tali tudung hoodienya. Dingin. Telinganya terasa seperti terkena cairan es, kala angin malam menerpa. Tepat sepuluh langkah di depan mini market langkah Aina terhenti. "Hai, Aina!" Aina merasa mengenali suara itu, suara dalam sedikit serak. Aina berbalik badan untuk memastikan apakah orang yang ia tebak itu benar. Benar. Itu Nakula yang kini tengah tersenyum, memamerkan deretan gigi putih dengan dua gigi besar di tengah. Malam ini Nakula terlihat sedikit berbeda dari hari-hari kemarin. Biasanya pemuda itu akan mengenakan kaos hitam dengan celana jeans. Selalu saja begitu, sampai-sampai Aina mengira bahwa Nakula tidak
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak, menemani sepasang suami istri itu. Arjuna dan Mila duduk di sofa, berpelukan, sambil menikmati keripik pisang di tangan. Arjuna berulang kali mengecup rambut Mila, menghirup aroma sampo yang di pakai wanita itu. Wangi stroberi. “Kak, tadi. Aku diajakin kenalan sama orang.” Mila tahu, informasi yang akan ia ceritakan pada suaminya ini tidaklah penting. Namun, Mila hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, sudah sepantasnya Arjuna tahu apa saja yang Mila alami, meski itu. Tidak penting. Tapi yang dipikirkan Arjuna justru sebaliknya. Lelaki itu menatap Mila dengan tatapan tanya. “Siapa yang ngajakin kenalan? Cewek atau cowok? “Cowok,” jawab Mila santai, masih memasukkan keripik ke dalam mulut , dengan kedua mata tertuju ke layar televisi.“Namanya?” “Lupa.”Arjuna langsung menyentil kening Mila. “Harusnya kamu inget-inget.”
Malam itu di hari minggu. Arjuna tengah sibuk dengan berkas-berkas di kafenya, malam minggu seperti ini biasanya selalu ramai. Tapi mungkin tidak dengan hari ini. Suasana kafe tampak tenang, hanya ada beberapa pengunjung semenjak hujan mengguyur kota sejak pagi tadi. Siapa pun pasti enggan keluar dari persemaian, apalagi hujan semakin deras dan udara kian mendingin."Bos. Ini laporan pengeluaran kita bulan ini, oiya soal karyawan baru... Aina Anastasya, tadi baru saja saya serahkan gajinya," ujar karyawan itu memberikan map berisi kertas-kertas laporan kepada Arjuna.Arjuna menerimanya. Lalu karyawan itu mohon ijin dan dibalas anggukan kepala oleh Arjuna.Arjuna merogoh kantong celana, mengeluarkan gawainya dari dalam sana. Ia menekan aplikasi berwarna hijau, mengetikkan pesan kepada gadis pujaan hatinya.Me[Aku ada kerjaan hari ini. Kita jalannya besok aja ya, Ras. Ngga apa-apa kan?]My Sunshine[Yah... yaudah deh, semangat kerjan
Sadewa masih terus menatap Arjuna dengan pandangan khawatir. Tapi Arjuna terus saja mendesak agar ia pulang. Mau tidak mau, Sadewa mengalah. Air matanya bahkan sudah luruh menjatuhi pipi, kala melihat Arjuna tidak lagi tampak di matanya. Sadewa memilih segera pergi dengan langkah diseret.Rasanya hatinya begitu berat meninggalkan Arjuna. Sadewa merasa gagal sebagai seorang teman, dari tiga tahun lalu Arjuna lah yang selalu membuat ia aman. Tapi, sekarang Arjuna malah kembali masuk ke dalam jerat iblis demi dirinya."Shit! Kenapa gue ngga pernah bisa jaga diri gue sendiri?! Kenapa harus selalu ada orang yang berkorban buat gue... dan orang itu adalah Arjuna. Hiks.... kenapa gue kaya banci, gue emang pecundang!" teriak Sadewa, ia kecewa dengan dirinya sendiri. Ia benci dengan situasi ini, namun dia tidak punya pilihan lain untuk keluar dari zona bahayanya.***Arjuna duduk di meja bar dengan pandangan yang semakin berkabut. Ia tidak akan mungkin memperl
Subuh pagi, Arjuna terbangun dengan tubuh lelah. Kepalanya masih terasa berat, ia memijit keningnya, mencoba mengurangi rasa sakit yang belum juga menghilang dari semalam.Arjuna mengedarkan pandangan, tempat ini sangat asing untuknya. Kamar itu hanya di isi oleh satu buah tempat tidur, satu buah bantal dan ada satu meja kayu di samping kasur. Arjuna kebingungan, Arjuna dibuat terkejut dengan kondisinya yang tanpa sehelai benang pun. Belum lagi, mata tajamnya tidak sengaja menangkap bercak merah di selimut yang ia kenakan. Itu jelas-jelas darah, Arjuna meneliti tubuhnya sendiri, tidak ada bekas luka sedikit pun.Arjuna sungguh tidak bisa mencerna apa yang terjadi pada dirinya. Arjuna segera meraih gawai miliknya. Sudah ada dua pulu mis call dari Sadewa. Sekarang masih jam lima pagi, Arjuna bergegas memakai pakaiannya kembali.Ia berjalan tertatih menuruni tangga. Arjuna mengerti, sekarang ia masih di kelab tadi malam. Suasana kelab tidak serama
"SELURUH SISWA DAN SISWI. DIMOHON UNTUK SEGERA MENUJU LAPANGAN. HARI INI SEKOLAH KITA KEDATANGAN TAMU. DARI INTERNASIONAL SCHOOL. ANAK-ANAK DIHIMBAU UNTUK TERTIB." Suara pak kepala sekolah terdengar nyaring dari pengeras suara. Arjuna yang masih berada di kelas dengan rasa kesal menguap malas, ia mengusap wajah gusar. Masih memikirkan tentang video yang Kevin bicarakan."Woi, Jun-jun! Ayo ke lapangan!" ajak Nakula di depan pintu kelas.Arjuna mengangguk. Lalu ikut berjalan beriringan dengan Nakula. Arjuna yang tampak gelisah membuat Nakula menatap Arjuna dengan tatapan menyelidik."Lo kenapa? Kaya ada masalah gitu?""Ngga ada. Im ok.""Lo serius? Meski ekspresi lo selalu gitu. Tapi gue ngerasa kaya ada sesuatu yang lo tutup-tutupi. Cerita aja, Jun," bujuk Nakula.Arjuna menggeleng. Masalah seperti ini tidak mungkin ia ceritakan kepada siapa-siapa, Arjuna takut Nakula yang polos akan dipermainkan oleh Kevin."Thanks, Nak. Tapi gu
Dert.... dert....Ponsel Mila bergetar, sebuah notifikasi dari nomor Aina muncul di layar pop up. Mila yang fokus menatap bukunya kini beralih meraih ponsel di nakas. Aina mengirimkan Mila satu buah video, segera saja Mila mengunduhnya, sembari menunggu unduhan selesai, Mila membukanya, menonton dengan sabar, karena jaringan lelet tidak bisa diajak kompromi.Hal pertama yang Mila lihat adalah keramaian tribun penonton, sorak-sorai dari anak-anak SMA Pelita. Mila tersenyum, tentu saja sekolah pasti ramai di hari nasional seperti ini. Lalu kamera mengarah menunjukkan tribun penonton Internasional school, deg. Hati Mila terasa nyeri, ia menatap tribun itu lama, ia bahkan memutar ulang pada menit yang menunjukkan aktivitas di tribun sekolah lamanya itu.Mila dapat melihat wajah Dara dan wajah Mira yang berteriak heboh, wajah-wajah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Mila mengepalkan tangan, meski ia sudah ikhlas dengan takdirnya. Tapi rasa kesal itu t