"Lukas.....!!" tangis Bella memeluk Clarisa yang juga menangis tanpa bergerak dari tempatnya.
Clarisa menggeleng, lalu berdiri, "tidak ma! Aku tidak mau! Aku tidak mau terlibat!" teriaknya berlari ke arah yang lebih dalam. Mungkin berniat Kabur sebelum ia ditangkap dan di jadikan budak keluarga kakek Douglas. "Clarisa!" panggil Bella melihat anaknya berlari menjauh membuat Bella menyusul. Sedikitpun tidak memperdulikan Lukas yang tengah mengalami siksa dari orang-orang berbadan kekar itu. Melihat hanya dirinya yang tinggal membuat lily semakin iba dan simpati pada papanya. Bahkan istri dan anaknya yang ia agungkan itu memilih pergi meninggalkan sang papa saat pria itu berada di titik terendah. "Papa...." Lirih lily menangis melihat papa yang sudah tergolek lemas di atas lantai dengan darah yang berceceran di sekitar. Walau ia berhati keras, tetap saja ia tak tega. Salah seorang pengawal Elvan mengambil pisau dari balik bajunya. "Pertama jempol nya dulu," titah Elvan menyimpan tangannya di saku. "Hihihi, kenapa tidak langsung kau bunuh saja, Elvan?" kikik Camelia sinis. "Aku ingin dia merasakan sakitnya kehilangan kelima jarinya sebelum kita menghabisi nya," kekeh Elvan. Mendengar ucapan pasangan yang tak memiliki ampun itu, Lily meremang. Tak bisa ia bayangkan jika harus kehilangan sang papa setelah mama nya pergi beberapa tahun silam. Tangan pria kekar itu menarik lengan Lukas. "Tidak! Tuan! Ampuni aku! Jangan!" Lukas memekik ketakutan, tubuhnya berusaha memberontak dengan sisa-sisa tenaga. Namun pria kekar itu jauh lebih kuat, tangannya bersiap menghujam tangan Lukas. "Lily! Tolong papa!" Tawa Elvan makin tergelak. Pisau itu semakin dekat dengan jari Lukas. Lily berlari dan bersimpuh di depan tubuh Lukas. Menjadikan diri sebagai perisai bagi papanya. "Aku bersedia!" "Aku akan bersedia menikah, menggantikan papa, atau apapun itu! Aku bersedia!" mohon Lily bersuara keras agar mereka tak menyakiti papanya lagi."Aku mohon jangan sakiti dia lagi." Senyum licik terbit di wajah Elvan dan Camellia. "Kalau begitu, tanda tangani surat perjanjian ini." Dengan dada yang bergemuruh, dan rasa marah namun tak bisa berbuat apapun karena nyawa papa Lukas di pertaruhkan. Lily mengambil berkas yang di sodorkan kepadanya. "Apa aku bisa mengajukan beberapa keberatan?" "Kau tidak memiliki hak untuk itu, nona manis." Camelia tersenyum mencemooh. "Bukankah aku hanya harus menikahi keponakanmu?" "Benar, tapi kau harus mengikuti aturan yang berlaku baik di rumah itu, ataupun pada kami." Lily tertawa kecil. Ia tak punya pilihan selain menyetujui nya. "Setidaknya, setelah ini aku ingin kalian menepati satu hal. Jangan mengganggu papa Lukas ataupun menggunakannya untuk mengancam ku." "Aku tidak akan melakukannya." "Kalau begitu, bisakah di sisipkan di sini?" pinta Lily karena ia tak ingin apapun yang terjadi di depan, Lukas ikut terlibat. "Tidak masalah." "Semua hal hanya tentang aku dan kalian." Lily menandatangani berkas itu saat di lihatnya pisau yang kini sudah menempel di jari sang papa. "Kau harus selalu ingat siapa yang udah berkorban untuk mu papa." Lirih Lily menatap papa, walau merasa benci pada papa nya saat ini. Namun Lily bukan anak yang bisa lari meninggalkan sang papa yang hampir kehilangan jari dan nyawanya. "Bagus, jadilah anak baik yang menurut." "Jangan ganggu papa ku lagi." "Tidak akan. Seperti yang kau bilang semua tentang kita. Tanpa dia." "Kami sudah dapatkan orang ya, ayah." Elvan dan Camellia duduk di sebuah ruang yang luas bernuansa emas dan merah. Duduk di tengah sofa panjang yang berderet di belakang meja kaca. Di ujung kepala meja, seorang pria tua duduk pada sofa single. Dengan memegangi tongkat penopang di depan tubuh nya. Sebenarnya, pria tua itu cukup kuat untuk sekedar berjalan ataupun beraktifitas tanpa tongkat itu. Ada sesuatu rahasia yang tersembunyi di dalam tongkat itu tanpa ada yang tau kecuali pemiliknya. Pria tua ber- alis tebal itu menatap tajam pada kedua anak dan menantunya. Seketika membuat keduanya sedikit menciut nyalinya. "Tunjukkan padaku! Aku ingin melihat dan menguji sebelum wanita itu masuk ke dalam hidup Axelo," ucap Kakek berusia 75 tahun, Tuan Douglas Alfaro. "Tentu saja ayah," ujar Elvan, "dia sengaja kami pilih dengan sangat hati-hati." "Semoga itu bukan bagian dari rencana buruk kalian," sela tuan Douglas. "Tentu saja tidak Ayah. Mana kami berani," kilah Elvan gugup."EHEM, Camellia. Panggil lah gadis itu kemari." "Baiklah sayang." Tak lama Camellia masuk ke dalam ruangan itu bersama Lily. Gadis itu memakai pakaian sederhana. Tidak tampak mencolok dan glamor seperti Camelia ataupun Lisa kekasih Axelo yang sangat ditentang oleh kakek. Di tambah kini diam-diam menjalin hubungan dengan anak Elvan. Russel. Lily hanya mengenakan baju terusan berwarna soft sebatas lulutnya bermotif polkadot. Make up tipis yang terkesan natural dan rambut yang di kuncir kuda menampakkan leher jenjangnya. "Namanya, Lilyana whites Summer. Putri dari Lukas Summer." Camellia memperkenalkan gadis yang berdiri di sampingnya. Lily menunduk sebagai tanda hormat pada yang lebih tua. Tuan Douglas tergelak. Lalu tiba-tiba tawa itu berhenti dan mata elang nya menatap tajam pada Lily. Gadis itu sedikitpun tak merasa gentar ataupun takut. Ia tau tuan Douglas adalah pria dingin dan bisa membunuh hanya dengan tatapannya. Dan kini, tuan Douglas sedang menatap tajam padanya. "Apa kau mendapat tekanan dari mereka?" tanya Douglas tanpa mengurangi tatapan yang mengintimidasi itu. "Jawaban apa yang anda inginkan, tuan?" "Kejujuran." "Jujur?" "Yeah, aku ingin tau apa yang membuat kamu bersedia menikahi seorang pria koma," suara kakek Douglas terus menatap Lily dengan mengintimidasi. Lily tersenyum, "Kalian kaya, dan kami punya hutang. Apa itu cukup mengobati rasa penasaran Anda, tuan Douglas?" "Ha-ha-ha, " jawaban jujur Lily membuat Tuan Douglas tertawa. Dia sangat menyukai jawaban jujur Lily. Akan sangat menarik dengan keberadaan gadis itu di rumah ini. "Baiklah, kau dapatkan perannya," ucap tuan Douglas berdiri sambil berjalan menggunakan tongkatnya. "Siapkan segera pernikahan axelo dan Liliyana Whites Summer." Camelia yang tidak menyukai Lily menatap dengan penuh intimidasi. Lalu berbisik tepat di telinga Lily. "Untung saja ayah menyukaimu. Jika tidak, kau akan berakhir menggantikan papa mu di kandang buaya.." Lalu melangkah pergi. Akhirnya pernikahan itu terjadi, tanpa sebuah perayaan mengingat kondisi Axelo. "Ini adalah kamar tuan Axelo." Raize menjelaskan pada Lily. "Aaa, yaaa..." angguk Lily mengikuti langkah kaki Raize yang ia ketahui sebagai asisten setia Axelo. Begitu memasuki kamar Axelo, mulut Lily ternganga. Betapa takjubnya ia dengan kamar yang di dominasi warna putih cerah dan hitam. Dengan lampu gantung di tengah ruangan dan beberapa perabot yang terkesan mewah. Di bagian yang dekat dengan jendela tampak sebuah ranjang berukuran king Size dan terbaring seseorang di sana. "Nona Lily, silahkan letakkan barang anda di walk in kloset," ucap Raize memberi instruksi." Saya akan menunggu anda di sini.""Nona Lily, silahkan letakkan barang anda di walk in kloset." Ucap Raize memberi instruksi." Saya akan menunggu anda di sini." "Baiklah." Lily berjalan ke arah yang Raize tunjuk. Di dalam walk in closed pun Lily masih di buat takjub. Pakaian serba mahal beserta aksesoris lainnya yang tersusun sangat rapi. Meski begitu, Lily tak boleh terpana terlalu lama dia harus kembali ke tempat Raize menunggu. "Anda sudah selesai?" Tanya Raize begitu Lily kembali ke dekatnya. Yang di jawab dengan anggukan oleh gadis cantik itu. "Baiklah nona, pertama saya perkenalkan dulu..." Raize berjalan mendekati ranjang di mana seorang pria yang nyaris sempurna terlelap tanpa bergerak. Wajah tampan, alis tebal, kulit bersih, hidung mancung, bibir yang tipis dengan sedikit bulu halus di wajahnya. Membuat pria itu tampak sangat sempurna, hanya ia sedang lelap kini. "Beliau adalah tuan muda Axelo, suami sah anda. Seperti yang anda ketahui, saat ini beliau mengalami kondisi vegetatif. Kondisi dimana t
Camelia yang berdiri di bantu oleh sang suami menatap tajam padanya. "Elvan, aku harus menegaskan dominasi ku!" Geram Camelia melirik ke arah kamar Axelo."Gadis busuk itu, harus tau siapa yang sudah ia singgung." Sementara di ujung lorong, Russell yang juga menyaksikan dari awal sampai akhir mengulas senyum misterius. Rasa ketertarikan nya pada Lily meningkat tajam. Sementara di ruangan lain yang tampak gelap dan terpisah, seorang pria tua dengan bertumpu pada sebuah tongkat penopang menatap monitor yang menampilkan setiap sudut mansion. Termasuk lorong tempat dua wanita itu bersitegang, Sudut bibirnya terangkat ke atas. **** Lily menatap tubuh suaminya yang masih setia terbaring di ranjang kamar berukuran king size itu. "Hei, aku menjalani hal berat di rumah ini karena kamu." "Jadi, bagaimana caraku untuk menuntaskan rasa kesal ini?" Lily bergumam sendiri. Lily membungkukkan badannya menatap lebih dekat wajah tampan Axelo. "Hemm.... Kamu tampan, tapi, aku tak mungki
"Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih private?" Dengan nada manja dan genit. "Kamu selalu begitu, bahkan sebelum kecelakaan itu pun kamu selalu mendatangiku." Suara Russell tak kalah menggoda. Lily menutup mulutnya yang refleks membulat. "Astaga, jadi wanita itu awalnya kekasih Axelo. Tidak kusangka..." Bisik Lily bergumam sembari berdecak. "Ayolah, kau tau, Axelo sulit sekali di ajak berduaan. Pikiran nya sangat kolot. Berbeda dengan mu... Ayolah." "Wanita picik itu, sepertinya jika aku beri dia sedikit pelajaran tak masalah kan?" Gumam Lily. Tepat saat itu seorang pelayan membawa beberapa gelas jus buah yang belum habis. Lalu Lily mencegatnya. "Ini mau di bawa kemana?" "Ke dapur." Lily mengangguk, "untuk ku saja." Sambil mengambil gelas dan mencampur sisa-sisa jus. Lalu membawa satu gelas penuh. Lily berjalan pelan ke arah dua anak manusia yang masih bercumbu itu. "Ayoooo Russell..." Dessaah Angelica menarik lengan Russel dengan penuh nafsu. Saat itu Angelica dan L
"Apa?" Clarissa membelalakan matanya mendengar penuturan Sang papa. "Aku nggak mau pah." Vokal Clarisa keras."Yang benar saja papa mau menikahkan aku dengan pria koma itu." "Lalu kau berharap siapa? Hanya kau anak gadis ku Clarissa!" tukas Lukas tak kalah vokal. "Aku tidak mau! Tidak Sudi! Kenapa bukan Marisa saja yang kau nikahkan dengan pria itu, pa?" saran Clarisa tanpa mengurangi nada suaranya yang tinggi. "Marisa masih bersekolah, Clarissa! Di mana letak otak mu sampai mau mengorbankan Marisa?" "Lalu papa mau mengorbankan aku?" Clarisa balik bertanya dengan wajah yang semakin mengeras. "Atau kau lebih menyukai papa mu ini mati dengan meninggalkan hutang untukmu, Clarisa?" Lukas mendelik tajam pada anaknya. "Aaarrrggg!" Clarisa berteriak frustasi mengacak rambutnya. "Ingatlah Clarisa! Kau hidup bergelimang harta juga dari papa. Karena memanjakan mu, papa sampai seperti ini. Sudah sewajarnya jika kamu berkorban sedikit. Hanya menikah, bukan hal yang sulit," cecar
"Wah, siapa ini yang datang?" Suara ketukan sepatu pantofel dengan lantai marmer beradu diiringi sosok Clarisa yang mendekat. Gadis cantik dengan gaun berwarna merah menyala seperti polesan lipstik di bibirnya. Menyungging senyum angkuh pada Lily yang berbanding terbalik dengan gaya Clarisa. "Sepertinya kamu sangat nyaman tinggal di rumah ini, Clarisa." Lily, gadis cantik yang sederhana namun memiliki hati lembut. Sikap dan sifat kerasnya adalah bukti tempaan hidup yang dia jalani. "Sepertinya kamu sangat cocok dengan hidupmu di luar sana," ujar Clarisa memandang rendah Lily dari atas ke bawah. "Benar. Aku menyukai hidup diluar tanpa merampas milik orang lain," ucap Lily berjalan mendekat dan merapikan gaun Clarisa, lalu menepuk menyingkirkan debu dari pundaknya. "Bersiaplah, aku sudah kembali. Mungkin nanti kamu akan merasakan lebih
"Berhenti! Mau ke mana kamu Lily! Kau tak boleh pergi! Berhenti." Tak memperdulikan teriakan sang papa, Lily terus melangkah keluar. Tepat saat itu, pintu utama di buka dengan kasar dari luar. BRAK! Lily terkejut hingga reflek mundur ke belakang. Beberapa orang berbadan kekar dengan setelan jas hitam yang melengkapi penampilan sangar mereka menerjang masuk. Lily terlalu bingung dan kaget sampai ia hanya mematung di tempat. Seorang pria masuk bersama wanita yang berpenampilan glamor nan seksi. Mereka lah paman dan bibi Axelo, Ervan dan Camellia. "Lukas?" Wajah Lukas menjadi pias dan tegang. Tubuhnya seketika lemas dan luruh. Keringat dingin membasahi punggungnya. "Kami tagih janjimu!" "Sa-saya tuan." Lukas terbata karena takut. Lalu menunjuk Lily yang berdiri tak jauh dari Ervan dan Camellia. "Dia- dia anakku yang aku maksud." Mata Lily membelalak tak percaya. Papanya benar-benar menjualnya sebagai penebus hutang. Lalu lily menatap papa dan dua pasangan yang baru data
"Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih private?" Dengan nada manja dan genit. "Kamu selalu begitu, bahkan sebelum kecelakaan itu pun kamu selalu mendatangiku." Suara Russell tak kalah menggoda. Lily menutup mulutnya yang refleks membulat. "Astaga, jadi wanita itu awalnya kekasih Axelo. Tidak kusangka..." Bisik Lily bergumam sembari berdecak. "Ayolah, kau tau, Axelo sulit sekali di ajak berduaan. Pikiran nya sangat kolot. Berbeda dengan mu... Ayolah." "Wanita picik itu, sepertinya jika aku beri dia sedikit pelajaran tak masalah kan?" Gumam Lily. Tepat saat itu seorang pelayan membawa beberapa gelas jus buah yang belum habis. Lalu Lily mencegatnya. "Ini mau di bawa kemana?" "Ke dapur." Lily mengangguk, "untuk ku saja." Sambil mengambil gelas dan mencampur sisa-sisa jus. Lalu membawa satu gelas penuh. Lily berjalan pelan ke arah dua anak manusia yang masih bercumbu itu. "Ayoooo Russell..." Dessaah Angelica menarik lengan Russel dengan penuh nafsu. Saat itu Angelica dan L
Camelia yang berdiri di bantu oleh sang suami menatap tajam padanya. "Elvan, aku harus menegaskan dominasi ku!" Geram Camelia melirik ke arah kamar Axelo."Gadis busuk itu, harus tau siapa yang sudah ia singgung." Sementara di ujung lorong, Russell yang juga menyaksikan dari awal sampai akhir mengulas senyum misterius. Rasa ketertarikan nya pada Lily meningkat tajam. Sementara di ruangan lain yang tampak gelap dan terpisah, seorang pria tua dengan bertumpu pada sebuah tongkat penopang menatap monitor yang menampilkan setiap sudut mansion. Termasuk lorong tempat dua wanita itu bersitegang, Sudut bibirnya terangkat ke atas. **** Lily menatap tubuh suaminya yang masih setia terbaring di ranjang kamar berukuran king size itu. "Hei, aku menjalani hal berat di rumah ini karena kamu." "Jadi, bagaimana caraku untuk menuntaskan rasa kesal ini?" Lily bergumam sendiri. Lily membungkukkan badannya menatap lebih dekat wajah tampan Axelo. "Hemm.... Kamu tampan, tapi, aku tak mungki
"Nona Lily, silahkan letakkan barang anda di walk in kloset." Ucap Raize memberi instruksi." Saya akan menunggu anda di sini." "Baiklah." Lily berjalan ke arah yang Raize tunjuk. Di dalam walk in closed pun Lily masih di buat takjub. Pakaian serba mahal beserta aksesoris lainnya yang tersusun sangat rapi. Meski begitu, Lily tak boleh terpana terlalu lama dia harus kembali ke tempat Raize menunggu. "Anda sudah selesai?" Tanya Raize begitu Lily kembali ke dekatnya. Yang di jawab dengan anggukan oleh gadis cantik itu. "Baiklah nona, pertama saya perkenalkan dulu..." Raize berjalan mendekati ranjang di mana seorang pria yang nyaris sempurna terlelap tanpa bergerak. Wajah tampan, alis tebal, kulit bersih, hidung mancung, bibir yang tipis dengan sedikit bulu halus di wajahnya. Membuat pria itu tampak sangat sempurna, hanya ia sedang lelap kini. "Beliau adalah tuan muda Axelo, suami sah anda. Seperti yang anda ketahui, saat ini beliau mengalami kondisi vegetatif. Kondisi dimana t
"Lukas.....!!" tangis Bella memeluk Clarisa yang juga menangis tanpa bergerak dari tempatnya. Clarisa menggeleng, lalu berdiri, "tidak ma! Aku tidak mau! Aku tidak mau terlibat!" teriaknya berlari ke arah yang lebih dalam. Mungkin berniat Kabur sebelum ia ditangkap dan di jadikan budak keluarga kakek Douglas. "Clarisa!" panggil Bella melihat anaknya berlari menjauh membuat Bella menyusul. Sedikitpun tidak memperdulikan Lukas yang tengah mengalami siksa dari orang-orang berbadan kekar itu. Melihat hanya dirinya yang tinggal membuat lily semakin iba dan simpati pada papanya. Bahkan istri dan anaknya yang ia agungkan itu memilih pergi meninggalkan sang papa saat pria itu berada di titik terendah. "Papa...." Lirih lily menangis melihat papa yang sudah tergolek lemas di atas lantai dengan darah yang berceceran di sekitar. Walau ia berhati keras, tetap saja ia tak tega. Salah seorang pengawal Elvan mengambil pisau dari balik bajunya. "Pertama jempol nya dulu," titah Elvan menyim
"Berhenti! Mau ke mana kamu Lily! Kau tak boleh pergi! Berhenti." Tak memperdulikan teriakan sang papa, Lily terus melangkah keluar. Tepat saat itu, pintu utama di buka dengan kasar dari luar. BRAK! Lily terkejut hingga reflek mundur ke belakang. Beberapa orang berbadan kekar dengan setelan jas hitam yang melengkapi penampilan sangar mereka menerjang masuk. Lily terlalu bingung dan kaget sampai ia hanya mematung di tempat. Seorang pria masuk bersama wanita yang berpenampilan glamor nan seksi. Mereka lah paman dan bibi Axelo, Ervan dan Camellia. "Lukas?" Wajah Lukas menjadi pias dan tegang. Tubuhnya seketika lemas dan luruh. Keringat dingin membasahi punggungnya. "Kami tagih janjimu!" "Sa-saya tuan." Lukas terbata karena takut. Lalu menunjuk Lily yang berdiri tak jauh dari Ervan dan Camellia. "Dia- dia anakku yang aku maksud." Mata Lily membelalak tak percaya. Papanya benar-benar menjualnya sebagai penebus hutang. Lalu lily menatap papa dan dua pasangan yang baru data
"Wah, siapa ini yang datang?" Suara ketukan sepatu pantofel dengan lantai marmer beradu diiringi sosok Clarisa yang mendekat. Gadis cantik dengan gaun berwarna merah menyala seperti polesan lipstik di bibirnya. Menyungging senyum angkuh pada Lily yang berbanding terbalik dengan gaya Clarisa. "Sepertinya kamu sangat nyaman tinggal di rumah ini, Clarisa." Lily, gadis cantik yang sederhana namun memiliki hati lembut. Sikap dan sifat kerasnya adalah bukti tempaan hidup yang dia jalani. "Sepertinya kamu sangat cocok dengan hidupmu di luar sana," ujar Clarisa memandang rendah Lily dari atas ke bawah. "Benar. Aku menyukai hidup diluar tanpa merampas milik orang lain," ucap Lily berjalan mendekat dan merapikan gaun Clarisa, lalu menepuk menyingkirkan debu dari pundaknya. "Bersiaplah, aku sudah kembali. Mungkin nanti kamu akan merasakan lebih
"Apa?" Clarissa membelalakan matanya mendengar penuturan Sang papa. "Aku nggak mau pah." Vokal Clarisa keras."Yang benar saja papa mau menikahkan aku dengan pria koma itu." "Lalu kau berharap siapa? Hanya kau anak gadis ku Clarissa!" tukas Lukas tak kalah vokal. "Aku tidak mau! Tidak Sudi! Kenapa bukan Marisa saja yang kau nikahkan dengan pria itu, pa?" saran Clarisa tanpa mengurangi nada suaranya yang tinggi. "Marisa masih bersekolah, Clarissa! Di mana letak otak mu sampai mau mengorbankan Marisa?" "Lalu papa mau mengorbankan aku?" Clarisa balik bertanya dengan wajah yang semakin mengeras. "Atau kau lebih menyukai papa mu ini mati dengan meninggalkan hutang untukmu, Clarisa?" Lukas mendelik tajam pada anaknya. "Aaarrrggg!" Clarisa berteriak frustasi mengacak rambutnya. "Ingatlah Clarisa! Kau hidup bergelimang harta juga dari papa. Karena memanjakan mu, papa sampai seperti ini. Sudah sewajarnya jika kamu berkorban sedikit. Hanya menikah, bukan hal yang sulit," cecar