"Kenapa kamu sangat polos? Aku menginginkanmu menjadi bonekaku. Menurut padaku bukan malah melawanku." Sinis Camelia dengan senyum licik di wajahnya.
"Lily.... Lily.... Kamu sudah salah memilih lawan. Aku tidak suka dengan mu, tapi, selama ini kamu malah terus melewati batas mu." Lily melirik dua orang di belakang Camelia. Ia terus berfikir keras bagaimana selanjutnya, dan apa yang mesti dikatakan. Melawan bukanlah jalan saat ini. Jika hanya Camelia, itu mudah saja. Tapi dua orang pria berbadan kekar itu, tak mungkin dia lawan. "Satu-satunya jalan saat ini hanyalah menjadi anak baik yang penurut. Lalu pikirkan bagaimana cara nya lolos." Pikir Lily membaca situasi yang tidak menguntungkannya. "Apa yang mau Tante lakukan?" "Menurutmu apa?" Camelia memberi kode pada dua orang pria di belakangnya. Lalu mereka berjalan mendekat, Lily merasa lemas seketika. "Apa yang akan mereka lakukaHemmm.... Jika ini racun, dan sesuatu terjadi padamu... Maka orang pertama yang jadi tersangka adalah aku. Tapi, jika ini benar adalah obat... Maka, itu berarti aku sudah menghambat kesembuhan mu..." Lily bergumam lagi, otaknya menimbang-nimbang mana yang lebih menguntungkan dan merugikan dirinya. Terlebih dia sudah mendapatkan ancaman dari Camelia agar menjadi gadis yang penurut. "Baiklah, aku tidak punya pilihan lain. Jadi jangan Salahkan aku..." Gumam Lily lagi seraya menuangkan obat itu ke sebuah cawan kecil lalu asal meletakan botol itu tanpa menutupnya. Tangan Lily hendak mengambil cawan, namun tangannya menyenggol botol hingga botol itu jatuh dan berpindah ke lantai. Menimbulkan suara yang cukup menarik perhatian. "Aaarrrggg.... Ya ampuunn... Aku menjatuhkannya, suamiku. Astaga..." Lily memutar malas matanya, seolah telah melakukan kesalahan yang di sengaja. Beberapa orang pengawal yang berjaga langsung merangsek masuk. Di belakang
"Apa kau bilang? Erik dan Regan hilang?" "Benar nyonya. Kami sudah mencari mereka di setiap sudut, bahkan kami sudah menghubungi mereka tapi...." Jawab salah satu algojo Camelia sembari menggeleng. Camelia berdecih, melempar pandangan ke samping dengan kesal. "Ke mana mereka?" Camelia terus berpikir, kenapa anak buahnya bisa sampai menghilang. Ia terus mencoba menyambungkan kejadian yang telah lalu. "Mereka tidak mencolok. Yang mereka lakukan hanyalah melecehkan gadis itu." Gumam Camelia lirih. "Tidak mungkin gadis itu memiliki kekuatan sampai bisa membuat mereka hilang." Camelia terus berfikir, kepalanya yang berdenyut membuatnya memijit pelipis dengan kedua tangannya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka tiba-tiba menghilang?" Camelia melirik pada algojo nya yang memberi laporan. "Kau tau kapan mereka menghilang?"
Lily membuka matanya, perlahan mengerjab dan melihat sekeliling. "Ya ampun, mimpi apa aku?" Gumam Lily yang tanpa sadar memeluk tubuh kaku dan hangat suaminya. "Astaga." Lily bergegas bangkit dan menatap Axelo. "Novel itu berimbas buruk padaku. Aku bahkan tidur sambil memelukmu, maafkan aku membuatmu tak nyaman suamiku." Lily terus bergumam-gumam sembari melangkah ke kamar mandi. Seusai membersihkan diri, Lily yang udah berpakaian lengkap itu menatap wajah Axelo. Lantas menyentuh bibirnya sendiri. "Padahal itu hanya dalam mimpi. Kenapa rasanya sangat nyata. Suamiku, kau tidak mungkin bangun, kan?" Lily menyipitkan matanya, menatap Axelo curiga. Tangan Lily bergerak dan menggelitiki pinggang Axelo. Namun, seperti orang mati saja. Tubuh itu tak bergerak. Lily lalu menghentikan aksinya. "Dia memang dalam kondisi vegetatif." "Baiklah, hari ini aku mau libur membacakanm
"Halo?"("Lily! Ini papa nak.")Lily merasa jengah, papanya menelpon biasanya hanya karena sesuatu, seperti sebelumnya. Selama ini bahkan Lukas seperti nya lupa akan keberadaan dirinya."Ada apa, pa?"("Lily, tolong bantu papa, perusahaan papa berada di ujung tanduk. Bantu papa dengan meminta suntikan dana pada ...")Geram, Lily lantas mengakhir sambungan telpon. Dan menonaktifkan nomornya."Berani sakali papa memintaku untuk mengeruk harta tuan Douglas." Gerutu Lily kesal."Apa ia sama sekali tak memikirkan ku yang hampir mati dan di lecehkan di sini?"Dada Lily naik turun, mencoba mengurai emosi di dadanya. Lily berjalan menuju mini bar. Lalu mengambil sebotol Vodka dan menengahnya langsung dari mulut botol.Rasa marah akan sikap Lukas yang pilih kasih dan terus memanfaatkan dirinya membuat Lily terus di liputi amarah. Gadis itu terus menenggak minuman keras hingga dirinya merasa lebih baik dan mabuk.
Russel membawa mobilnya memasuki mansion utama. Dengan bersiul riang, pria itu menapaki lantai marmer berwarna gelap itu. Langkah Russel terhenti melihat Lily hanya makan malam seorang diri. Russel tidak bergabung, hanya menatap Lily yang tengah menikmati makan malamnya. Russel menyenderkan tubuhnya menyamping dan melipat tangannya di dada. Meski sedang makan, Lily tampak sangat cantik. Gejolak di dalam diri Russel memberontak, lalu pria itu mengulas senyum penuh arti. Dan melangkah ke kamarnya begitu melihat Lily beranjak dari duduknya. **** Malam itu, seusai makan malam yang sendiri. Karena anggota keluarga pergi entah kemana. Lily memutuskan untuk tidur lebih cepat. Matanya cepat terpejam karena memang dia mudah mengantuk. Lily merasakan ada yang tidak nyaman di tubuhnya. Seperti sedang menahan beban yang berat, dan sesuatu yang menggelitik di bagian lehernya. Lily membuka matanya lebar-lebar seke
Lily merasakan tubuhnya tak lagi tertindih. Bahkan sesapan di dadanya tak lagi ia rasakan. Lily memberanikan diri membuka mata. Tubuhnya yang terbuka itu perlahan tertutup selimut. Suara geraman keras terdengar jelas dari sisinya. Lily melihat sosok itu dengan mata yang terbuka lebar. Duduk berjongkok siap menerjang, gigi-gigi yang berderet dan bergemelutuk terdengar semakin keras. Sosok itu, tiba-tiba melompati tubuh Lily dengan sangat cepat. Lily melihat ruang di sisi kirinya kosong. Lalu berganti melihat ke arah berlawanan. Pria dengan piyama motif hello Kitty berwarna pink berdiri dan menghujam seorang Russel yang tak berdaya di atas lantai. "Dengan apa kau sudah menyentuhnya?" "Ax-axelo!?" "Dengan tangan mana kau sudah menyentuhnya, brengsek?" Axelo berjalan semakin dekat dan menginjak tangan Kanan Russel yang bertumpu di lantai menopang tubuhnya. "Aaaarrrrrgggggg!" Axelo me
"Russel! Apa yang kau lakukan di kamar Axelo dan Lily?" Suara tanya keluar dari mulut tuan Douglas terdengar tegas. "Kau tidak sedang mencoba memperkosa istri sepupumu, kan?" "Ayah! Bagaimana bisa kau menuduh Russel sekejam itu? Dia korban di sini?" Protes Camelia tak terima."Lihat wajahnya, tubuhnya, semua berdarah!" "Jawab Russel!" "Perlu kah aku bantu menjawab, Russell?" Sindir Axelo dengan sangat mendominasi. Russel menyeringai kecil meski merasakan sakit ditubuhnya dan bibir yang penuh darah mengalir. "Kami bersenang-senang..." Tanpa kata dan umpatan, Axelo menghujam sekali lagi wajah Russell tanpa ampun. Amarah nya semakin meninggi, bukannya menyesal justru mancing amarah Axelo yang sempat meredam. "Hentikan! Apa yang kau lakukan, Axelo?" Camelia, mencoba menghalangi pukulan Axelo. Dengan terpaksa Axelo mundur dan mengatur emosi dan nafasnya. Gigi Camelia ber
Enam bulan yang lalu. Malam itu, di pekatnya malam yang gelap. Suara Guntur benggelegar dan bersahutan. Di iringi kilatan yang cukup menyilaukan mata. Tuan Douglas yang baru saja mendengar kabar kecelakaan cucu tercintanya, berlarian di lorong rumah sakit. "Axelo! Kakek mohon, selamatlah, kematian ayah dan ibumu belum terkuak penyebab nya. Jangan sampai kau juga menyusul mereka. Kepada siapa harta kakek akan jatuh jika bukan padamu?" Gumam tuan Douglas berharap. "Bagaimana keadaan Axelo, dokter." Tanya tuan Douglas begitu sudah menemui dokter dan perawat yang kebetulan berada tak jauh dari ruang operasi. "Tenang tuan Douglas, tuan muda Axelo sedang dalam penanganan medis. Semoga tuan muda selamat." Ucap dokter itu menatap pintu ruang oprassi Axelo. "Ayah!" Seru Camelia dari arah lorong mendekat. "Apa yang terjadi? Aku dengar Axelo kecelakaan?" Tuan Douglas menatap anak ke dua nya
Sepertinya, Lily memang tak bisa menghindari keributan kali ini. Lily tau, Clarissa melakukannya dengan sengaja, tapi ia tak ingin ini mempermalukan suaminya. "Bukankah itu istri Axelo." "Astaga, gaunnya robek parah. Bagaimana ini bisa terjadi?" "Kupikir itu gaun yang mahal, bagaimana mana bisa? Apa yang terjadi?" "Jika aku jadi dia, aku pasti sudah malu sekali," Bisikan-bisikan mulai terdengar, Lily diam dalam ketenangan pikirannya, dan Clarissa merasa sangat menang menyungging senyuman. Keributan itu tentu saja sampai di telinga dan jarak pandang Axelo. Ia tak lantas mengambil tindakan. Axelo justru ingin melihat bagaimana Lily akan menangani hal semacam ini. Lily tau posisinya, dalam keadaan seperti ini, ia harus bisa membalik keadaan dari malu jadi kekaguman. Lily melangkah mendekati meja prasmanan mengambil gunting yang kebetulan teronggok di sana. Lily
"Cantik sekali." Kalimat pujian itu Axelo lontarkan pada Lily. Wanita cantik itu baru saja keluar bersama seorang MUA terbaik. Axelo memang sudah menunggu beberapa jam yang lalu untuk membawa sang istri menghadiri pesta eksklusif sebagai pendampingnya. Axelo juga sengaja mengirim undangan untuk Clarissa agar saudara tiri Lily itu sadar, jika Lilylah yang dia cintai dan inginkan. Selama ini Axelo sudah mengikuti permainan Clarissa, membuat wanita itu melambung untuk ia jatuhkan di pesta nanti. "Aku sangat ingin menciummu saat ini, tapi aku takut akan merusak make up mu." Lily tertawa lebar, "kalau begitu jangan." "Aku akan menahan diri sampai acara ini berakhir." Ucap Axelo memeluk pinggang istrinya."Ayo berangkat." Disisi lain, Clarisa sudah berdandan sangat cantik, memakai gaun terbaik dan terseksi hanya untuk malam ini. Ia pikir, Axelo akan menjadikan nya pendamping di pesta itu.
"Hari ini Lily akan memulai launching, pastikan semua lancar tanpa hambatan." Perintah Axelo pada asisten pribadinya. "Baik." "Satu lagi, jangan sampai dia tau kita ada di belakangnya." "Baik. Akan saya selesaikan dengan bersih dan rapi." Selama beberapa hari ini Lily memang disibukkan dengan pembukaan butiknya. Gadis itu memang pandai dalam hal mendesain. Selama ini ia memang bekerja di bagian desain interior. Namun, kali ini ia ingin mencoba sesuatu yang berbeda, dan masih termasuk dalam hobinya. Axelo melihat seberapa keras Lily sudah berusaha, karena itu ia tak ingin sang istri kecewa jika launching butiknya tidak berjalan lancar. Di sisi lain, Lukas yang makin pusing karena perusahaan nya terancam bangkrut, terus mencoba menembus hutang dan investor. Papa Lily itu memijit pelipisnya setelah usai melobi salah satu investor, namun gagal. Lugas yang saat ini berada di sebuah kafe melihat ke a
Axelo tertegun sore itu, melihat Clarisa berdiri tak jauh dari mobilnya. "Clarissa?" "Oohh, kakak ipar." Sahut Clarissa dengan wajah senang akhirnya penantian nya berujung. Tapi, sebisa mungkin dia bersikap biasa agar Axelo tak curiga. "Apa yang kamu lakukan di sini?" "Kakak ipar, bisakah memberiku tumpangan? Mobilku mogok, aku tak bisa pulang." "Okey, tidak masalah." Clarisa berjalan mendekat ke arah Axelo yang hendak membuka pintu mobilnya. "Terima kasih, ka...aahh,," tubuh Clarissa terhuyun ke depan dan hampir jatuh ke tubuh Axelo. Suami Lily itu menangkap tubuh Clarisa, hingga bibir Clarisa sempat menempel di pakaian Axelo. Sudut bibir Clarisa tertarik ke atas, lalu dengan cepat dia menarik diri dan berakting menyesal. "Maaf, kakak ipar, aku tersandung." "Tidak masalah, untung aku menangkapmu." Ucap Axelo datar, "masuklah." Sambung Axelo membukakan pintu untuk
Sudah hampir dua minggu lamanya, Clarisa bekerja di Axel's corp. Sayang nya, dia masih juga belum memiliki kesempatan untuk mendekati Axelo. Rasanya, Clarisa hampir frustasi di buatnya. "Sial, aku sudah berada di sini, tapi kenapa aku masih juga belum memiliki kesempatan itu. Pikir Clar, pikir!" Clarisa bergumam saat ia berada di dalam toilet. Gadis cantik itu memandang pantulan dirinya di cermin. "Kamu cantik, Clar. Kamu bahkan lebih cantik dari Lily. Kamu lebih baik dari wanita sial itu." Gumam Clarisa menyemangatinya dirinya sendiri. Clarissa merias wajahnya. Lalu ia berjalan keluar dari toilet. Entah sebuah keberuntungan bagi Clarisa, atau kesialan bagi Axelo. Gadis penggoda itu baru saja melihat targetnya melintas melewati dirinya bersama sang asisten. "Bingo! Baru saja aku memikirkannya dia udah berada di depan mata. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh." Clarisa tersenyum licik. Gadis itu berjalan dengan kepala tegak
Clarisa memandang gedung pencakar langit di depannya. Gedung itulah yang menjadi target Clarissa kali ini. Atau lebih tepatnya, ia berencana melamar pekerjaan yang kebetulan memang sedang kosong. Posisi itu salah satunya di bagian sekertaris. Clarisa sangat yakin dengan kemampuannya, namun tetap saja, dia harus membuat langkahnya semakin mulus dengan menjual nama Lily. Clarisa yakin, dengan menyebut Lily di depan Axelo pasti ia bisa menjadi sekertaris. Dengan menempati posisi itu, Clarisa bisa menjadi lebih dekat dengan Axelo. Dan membuat pria itu jatuh dalam pelukannya. Clarissa mengikuti prosedur seperti yang lainnya. Melihat pesaing yang pemilihan yang cukup ketat, membuat Clarissa memilih jalan pintas. Ia berjalan mendekati salah satu penyelenggara. "Permisi," Dua orang penyelenggara, yang terdiri dari seorang wanita dan seorang pria itu mengalihkan pandangan dari berkas peserta pelamar ke arah Clarisa.
"Kalau begitu, jangan membaca." Tutur Axelo melepas pengait bra istrinya. "Kamu yang memintaku membaca tadi." "Sekarang tidak lagi." Gumam Axelo menggeser tubuhnya hingga ke depan tubuh Lily. Mendorong lembut tubuh mungil gadisnya ke belakang hingga terbaring di atas ranjang. Axelo menarik buku novel dari tangan Lily dan melemparnya sembarang. Wanita yang kini di bawah tubuhnya tampak begitu menggoda dengan hanya mengenakan bra yang sudah longgar dan menampakkan sedikit put-ting yang berwarna merah seperti ceri. Menggoda Axelo untuk melahabnya segera. Ia bisa mengerti kenapa Russel begitu tergoda pada Lily saat wanita itu pernah berada di bawah tubuh sepupunya itu. Tapi itu juga seketika membuat Axelo merasa marah. Axelo menarik penutup dada Lily dan melemparnya sembarang. Menampakkan kedua buah dada Lily dengan sempurna. "Jangan menatapku seperti itu." Pinta Lily seketika menyilangkan tangannya menutupi dadanya.
Axelo menuntun Lily ke balkon. Entah sejak kapan di sana ada meja dan dua kursi dengan lilin di pusat meja, dan dua gelas anggur berkaki tinggi. Hal yang membuat mulut Lily semakin membulat adalah hidangan makan malamnya, yang tak lain adalah masakan yang tadi Lily siapkan. Tak lupa dengan kue yang telah dia buat. Seingat Lily, ia sudah menyuruh para koki dan pelayan untuk memakannya karena merasa kesal. "Apa yang terjadi?" Lily menatap wajah suaminya yang tersenyum melihat wajah tanya Lily. Tak memberi jawaban, Axelo menarik Lily mendekati meja. Menarik kursi untuk istrinya agar duduk. Setelah memastikan Lily duduk dengan nyaman, Axelo mengitari setengah meja. Lalu duduk di hadapan Lily dengan bersekat meja bundar. "Happy anniversary, istriku." Lily tersenyum bahagia. Makan malam kali ini menjadi makan malam dengan semua kejutan dari Axelo. Tanpa pria itu melewatkan bagian milik Lily. Masakan dan kue yang sudah dengan susa
Di kediaman Axelo, setelah mereka pulang dari makan malam. Lily langsung masuk ke dalam kamar mandi. Dan Axelo yang sudah menganti baju dengan piyama, duduk di atas ranjang dan bersandar pada kepala ranjang. Mengecek beberapa pergerakan saham dan laporan dari Raize. Kepala Axelo terangkat melongok ke arah kamar mandi, karena merasa Lily terlalu lama di dalam sana. Hatinya bertanya-tanya ada apa. Axelo menuruni ranjang, lalu berjalan ke kamar mandi. Mengetuk pintu yang tak bergeming itu. "Lily? Kamu baik-baik saja?" Terdengar suara deheman pelan dari dalam. Merasa Lily baik-baik saja, Axelo kembali duduk di atas ranjang. Melanjutkan lagi pekerjaannya. Tanpa terasa sudah lebih dari satu jam berlalu. Axelo merenggangkan otot-otot tangannya yang terasa pegal. Ia melongok lagi ke arah kamar mandi. Mengecek arloji di tangannya. Axelo merasa janggal, dan timbul rasa curiga di hati pria itu. Axelo mengambil gawainya, sadar jika tak ada cctv di ka