"Sean, kamu itu cantik, pintar, punya segalanya. Pasti banyak cowok yang tertarik sama kamu." Tatapan mataku menyisir pandangan ke arahnya yang duduk tepat di hadapanku."Lantas?" Sean menyipitkan matanya seolah sedang menerka maksud ucapanku."Kamu bisa cari cowok lain selain aku, karena aku sudah mencintai wanita lain." Hatiku begitu mantap mengungkapkan apa yang kurasa, meski nanti pasti akan dapat penolakan dari orang tuaku dan orang tuanya.Kuhisap rokok yang ada di tanganku dan menghembuskan asapnya ke samping. Aku gak mau dia menghisap asap rokokku."Apa kamu bilang?" Wajahnya ia dekatkan ke arahku dengan pandangan melebar seolah ingin mendengar lebih jelas lagi."Aku tidak bisa mencintaimu karena ada nama wanita lain di hatiku," ucapku memperjelas dengan keyakinan yang mantap."Si_siapa dia? Wanita mana yang bisa mengalahkan pesonaku? Selama hidupku aku tak pernah mendapat penolakan dari seorang lelaki. Bahkan, tinggal tunjuk aja, lelaki itu takhluk di hadapanku!" sarkasnya d
"Ratna! Dengarkan aku baik-baik! Aku terpaksa nikahi kamu ya! Jadi, kamu jangan kepedean merasa aku bakal mencintaimu dan memperlakukanmu seperti seorang istri pada umumnya. Pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas, tidak lebih!" Wajah lelaki yang dua pekan lalu telah menghalalkanku begitu sinis dengan tatapan mata elang yang siap menerkam mangsanya.Dengan buru-buru ia melepas jas hitam berikut kemeja putih yang telah dipakainya saat kerja tadi. Lalu melemparkannya sembarang di atas kasur. Dan segera berganti baju dengan baju santai.Aku terdiam, tertunduk pilu menatap kebaya putih yang hari itu aku kenakan usai acara paling sakral di dalam hidup. Aku terpaku di sisi ranjang dengan dada yang bergetar, mengabaikan ucapannya yang tidak enak didengar. Pantas saja selama dua pekan kami menikah, sikapnya selalu dingin dan cenderung kasar. Ya, ternyata dia menikahiku karena terpaksa. Harusnya aku menolak saja dulu.Bukan pernikahan seperti ini yang kuharapkan. Bahkan, bermimpi pun aku
"Mi, jangan begitu, ngomong baik-baik 'kan, bisa. Kasihan Ratna," tegur suaminya dengan halus. Papi terlihat canggung di antara banyak tamunya. Wajahku terasa panas sekali, mungkin sudah merah padam karena malu diomeli di hadapan orang-orang asing seperti ini."Biarin saja, Pi. Biar dia sadar diri dan lebih hati-hati lagi. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi," bantah Mami tidak terima."Maaf, Mam. Aku tidak sengaja," sahutku dengan tenggorokan yang tercekat menahan tangis."Kamu cepat beresin sampai bersih sebelum mengenai kaki orang! Dan kamu tidak usah ikut makan di sini!" usirnya dengan tegas penuh emosi.*****Pov Very :Aku tidak menyangka kalau Tante Kartika tidak menyukai Ratna. Sikapnya begitu kasar membuatku terenyuh dan ingin menolongnya. Tapi, aku enggak enak pada keluarga Febi, takut dikira pahlawan kesiangan.Sejak dulu aku sudah menaruh hati padanya, hanya saja aku belum berani mengungkapkannya mengingat dia orangnya pendiam. Aku takut dia bakal marah, akhirnya ras
"Dasar perempuan enggak guna! Bisanya apa sih, kamu? Jadi ART saja tidak becus apalagi jadi menantu!" maki wanita sosialita itu dengan tatapan nyalang ke arah Ratna.Aku iba melihat Ratna diperlakukan demikian. Spontan aku pun beranjak dan menghampiri wanita yang aku sayangi terjungkal ke belakang. Aku berusaha untuk menolongnya."Sini, biar aku bantu!" Aku membantu istri dari Febi itu bangun, kupegangi punggungnya hingga berdiri."Terima kasih ya, Mas," lirihnya dengan wajah kaku seakan menahan malu dan pilu. Aku berusaha tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban atas ucapannya.Mertua dari Ratna mencebik sambil menatap sinis ke arah menantunya. Mengapa beliau terlihat begitu benci?"Biarin ajalah Ver, nanti dia malah ge__er," protes mertuanya itu seakan tidak setuju ada orang lain berempati kepada sang menantu."Sudah ... kamu mendingan masuk terus ganti baju, gih," saranku pada Ratna. Aku tidak tega melihatnya diperlakukan tidak semestinya seperti ini.Kemudian istri dari sahaba
"Ratna, kamu sudah mulai sok-sokan ya tinggal di sini? Sudah mulai bertingkah?" Mami menatapku dengan nyalang.Seketika sekujur tubuhku lunglai bagai tidak bertenaga. Pagi-pagi kondisi perut masih kosong tapi beliau memberiku sarapan kata yang cetar."M_maksud Mami apa?" Aku pura-pura tidak tahu, padahal aku sudah mendengar dan melihat semuanya. "Alah, kamu tidak usah pura-pura tidak tahu! Aku sudah dengar semuanya." Langkahnya semakin mendekat ke arahku lalu merebut kain lap yang aku pegang dan langsung melemparkannya lagi ke mukaku.Sungguh tega perlakuan Mami Mertuaku itu, padahal itu lap kotor agak basah bekas mengelap kompor. Namun, aku hanya bisa beristighfar dalam hati tanpa mampu membalasnya.Beliau langsung berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan aku yang masih bergeming meratapi nasib baik yang tidak berpihak padaku.Menit kemudian, Mba Ina dan Mba Yati datang menghampiriku dengan tatapan sinis dan senyum menyeringai."Emang enak ... dimarahin Nyonya?" ledek Mba Ina
"M–Mas, siapa wanita itu? tanyaku saat sudah berada di dekat wanita yang tengah duduk di teras dengan koper yang berdiri di sampingnya."Oh, iya, kenalin ini pacarku dan dia mau menemaniku di sini," pungkasnya tanpa beban membuatku terperangah, apalagi saat wanita dengan pakaian kurang bahan itu kini mendekatinya, lalu tangannya bergelayut manja di lengan suamiku."Mak–ud–nya apa, Mas?" tanyaku tergagap dengan pandangan tidak lepas menatap dua manusia di depanku yang bersikap seakan tidak tahu etika.Bagaimana tidak, Mas Febi itu sudah menikah dan sekarang aku dan dia mau bulan madu di sini. Tapi kenapa dia datang kemari sambil membawa koper? Jangan bilang, kalau dia berniat untuk mengganggu acara bulan maduku."Maksudnya, nanti aku tidur sama dia dan kamu tidur di kamar sebelah. Ingat ya, kita ke sini bukan untuk bulan madu, kamu jangan pernah berharap. Ini semua kulakukan hanya di depan Papi, karena aku tidak enak kalau menolaknya," papar Mas Febi. Kontan saja perkataan itu membuat
"Sebenarnya ... aku sudah lama menyimpan rasa padamu, tapi aku tidak berani mengatakannya dulu saat kita masih tinggal di kampung karena kamu anaknya pendiam, takut kamu marah," tutur Mas Very panjang lebar membuat otakku seketika memutar ke masa lalu."E_emangnya Mas Very kenal denganku?" tanyaku ragu."Kamu nggak ingat kalau kita dulu sekampung? Kita kan, dulu sekolah bareng di SMP Persada, dan aku Kakak kelasmu. Ya, mungkin kamu dah lupa," pekiknya dengan wajah yang begitu serius seakan menyuruhku untuk ingat kembali tentangnya.Sementara aku masih berpikir keras untuk mengingatnya, mengurai lembar cerita di masa laluku yang penuh perjuangan. "Mm ... kamu Very yang dulu ikut kelas musik dan basket, ya? Yang dulu jadi incaran cewek-cewek karena permainanmu begitu memukai saat tampil?" tebakku semoga tak meleset."Nah, itu kamu ingat," pungkasnya dengan wajah yang ekspresif."Oh, jadi kamu itu Very yang sekampung denganku? Aku gak nyangka kita bisa ketemu di sini. Terus, kalau boleh
"Kamu duduk aja di sini, jangan banyak gerak. Biar aku ambil air minum dulu!" Very mendudukkan aku di bangku panjang yang ada di taman villa ini. Ia memapahku untuk bisa sampai ke sini, aku bersyukur banget ada dia. Coba kalau enggak, gimana aku bisa pulang. Sementara suamiku sendiri tidak perduli dengan keadaanku, dia lebih perhatian sama pacarnya. Very berjalan cepat ke arahku sambil membawa dua gelas air putih dan juga roti bantal." Ini kamu minum dulu, dan ini makan rotinya buat ganjal perut!" "Makasih ya, Mas. Kalau tidak ada Mas Very ... gak tahu gimana pulangnya." Aku mengulum, menahan malu dan gak enak hati padanya. "Udah, gak usah dipikirin." Very tersenyum teduh ke arahku. "Hei, Ratna ...! Buatkan sarapan dong buat aku dan Amel, dah lapar nih!" Lelaki yang berperawakan tinggi itu datang menghampiriku di taman. "Kamu bikin sarapan sendiri bisa dong? Atau kalau enggak, suruh tuh si Amel. Jangan maunya enak-enakan di sini," bentak Very tak terima. "Ver, kenapa loe yang
"Sean, kamu itu cantik, pintar, punya segalanya. Pasti banyak cowok yang tertarik sama kamu." Tatapan mataku menyisir pandangan ke arahnya yang duduk tepat di hadapanku."Lantas?" Sean menyipitkan matanya seolah sedang menerka maksud ucapanku."Kamu bisa cari cowok lain selain aku, karena aku sudah mencintai wanita lain." Hatiku begitu mantap mengungkapkan apa yang kurasa, meski nanti pasti akan dapat penolakan dari orang tuaku dan orang tuanya.Kuhisap rokok yang ada di tanganku dan menghembuskan asapnya ke samping. Aku gak mau dia menghisap asap rokokku."Apa kamu bilang?" Wajahnya ia dekatkan ke arahku dengan pandangan melebar seolah ingin mendengar lebih jelas lagi."Aku tidak bisa mencintaimu karena ada nama wanita lain di hatiku," ucapku memperjelas dengan keyakinan yang mantap."Si_siapa dia? Wanita mana yang bisa mengalahkan pesonaku? Selama hidupku aku tak pernah mendapat penolakan dari seorang lelaki. Bahkan, tinggal tunjuk aja, lelaki itu takhluk di hadapanku!" sarkasnya d
"Mamah ... kapan pulang?" Lelaki yang kini sudah menjadi kekasihku melangkah masuk melalui pintu utama dan langsung menghampiri mamahnya."Tadi sore jam 3 an, kamu baru pulang kerja?" Nyonya besar langsung memeluk putranya erat.Aku dan Bibi sedari tadi sibuk menyiapkan makan malam besar karena katanya malam ini keluarga Sean_cewek yang dijodohkan dengan Mas Very mau datang dan makan malam di sini. "Iya, soalnya di kantor lagi banyak kerjaan. Uuh, capek banget, aku ke kamar dulu ya, Mah mau mandi," tukasnya sambil meregangkan otot-ototnya dengan menaikkan kedua tangannya ke atas. Lalu beranjak pergi."Oh, iya, Very, nanti jam 7 malam keluarga Sean mau ke sini. Kita makan malam bersama," cetusnya dengan lantang. Tiba-tiba ia berjalan menghampiriku yang masih sibuk menata hidangan di meja."Sayang, kamu masak apa? Banyak banget makanannya," bisiknya di telingaku."Memangnya barusan gak dengar apa, kalau calon istrimu mau datang ke sini," ketusku dengan memasang wajah cemberut."Masa?
"Mas ... jaga ucapanmu, tak selayaknya kamu meminta begituan saat kita belum halal! Kalau kamu sayang sama aku, tolong jaga nama baikku." Mataku seketika memanas mendengar ucapannya yang konyol itu."Aku kecewa sama kamu, Mas, ternyata kamu sama saja seperti pria di luaran sana yang tak bisa menahan napsu." Kini tatapanku berubah sangar dengan mengeratkan gigi."Sayang, maaf ya, aku gak bermaksud begitu, aku cuma mau mengetes kamu aja. Aku pikir kamu wanita ....""Gampangan yang bisa menyerahkan mahkotanya pada lelaki sebelum akad? Tidak, Mas, aku tidak sehina itu meskipun aku orang miskin tapi aku tahu batasannya.""Sayang, tolong maafin aku." Tangannya langsung meraih tanganku tapi dengan segera aku hempaskan.Aku keluar menuju pintu utama, berjalan ke arah taman depan meninggalkan Mas Very di dapur dengan perasaan kacau dan emosi."Eheemm ...." Suara bariton tiba-tiba mengagetkanku, seketika aku langsung menoleh ke arah sumber suara."Mas Fe_bi," lirihku sambil menatap wajahnya se
Mataku menyisir menatap sekujur tubuhku, dan ternyata bajuku masih utuh tanpa terbuka sedikit pun. Alhamdulillah dia semalam gak macam-macam. Lalu pandanganku beralih ke arah lelaki yang kini tidur sekamar denganku.Ya ampuuuun ..."Mas ka_mu kenapa? Kenapa badanmu gemeteran kek gini?" Aku mendekat ke arahnya yang masih meringkuk di sofa."Aku meng_gi_gil sema_lam." Dia menatapku sayu dengan badan yang masih gemeteran.Aku melihat ke arah jam dinding, ternyata sudah pukul 04.00. Semalam aku tidur memakai selimut karena udara dingin banget. Tapi ternyata Mas Very kedinginan semalam, mungkin dia gak mau mengambil selimut di badanku. "Mas, aku buatkan teh hangat dulu, ya di dapur," pamitku dan segera bergegas keluar kamar tanpa menunggu persetujuannya.Aku segera menyalakan kompor untuk membuat teh hangat karena di sini gak ada dispenser hanya ada air galon. "Lagi mau bikin apa?" Suara bariton tiba-tiba terdengar dari arah belakang.Aku terlonjak kaget mendengarnya hingga teh yang aku
Took .... Took .... Toook ...Saat aku lagi siap-siap untuk keluar makan, terdengar suara pintu kamarku diketuk. Tak lama panggilan darinya terdengar mesra di telinga."Sayang ... dah siap belum? Aku tunggu di depan ya?!" "Iya, bentar lagi aku keluar!"Dengan langkah pasti aku berjalan menuju teras depan villa. Dan ternyata dia tidak sendiri melainkan bersama mantan suamiku. "Hai, dah siap," sapa lelaki yang sudah mengisi hatiku dengan ramah."Sudah," sahutku sambil tersenyum ke arahnya. Tak sengaja aku menatap sekilas wajah lelaki yang sudah melukai hati dengan perlakuannya dan di waktu yang bersamaan dia pun menatapku dengan tatapan menggoda. Sontak aku langsung membuang pandangan dan beralih menatap kekasihku lalu duduk di sampingnya."Tunggu sebentar ya, Amel masih di dalam," cetus lelaki di sampingku."Iya, Mas," sahutku."Amel mah kebiasaan kalau dandan lama banget, dah," sela suaminya dengan nada kesal."Biasa, istrimu mah dah dari dulu kalau dandan heboh kayak mau manggung
"Hei, kamu tahu, siapa yang datang semalam?" Tau-tau Nyonya besar sudah berdiri di belakangku saat aku sedang menyapu halaman belakang.Dan seketika aku menoleh ke arahnya. Aku menatapnya tanpa mampu menjawabnya."Dia itu calon istrinya Very, dia cantik, modis, berkelas dan anggun. Beda sama kamu yang bisanya cuma bersih-bersih doang, dah gitu kucel lagi." Wanita paruh baya itu yang masih terlihat cantik menatapku penuh kebencian."Maaf, Nyonya, saya harus ikut bicara. Nyonya gak boleh merendahkan orang seenaknya, dia manusia yang punya perasaan. Kasihanilah Nyonya, apalagi dia ini sebatang kara. Kalau dia terluka mau ngadu kepada siapa?" bela Bibi di depanku. Bibi tiba-tiba hadir di antara kami."Oh, dia sebatang kara? Waaah, lebih parah lagi dong! Macam orang ilang aja!" cebiknya dengan sinis."Itu bukan maunya, tapi takdir dari Yang Maha Kuasa. Jangan begitulah, Nyonya ngomongnya. Maaf kalau saya lancang!" Bibi terus membelaku, aku hanya memandang keduanya bergantian sambil masih
"Emang mereka ngomong apa sampai kamu cemberut gitu?" Bi Sukma menatapku penuh telisik."Mereka bilang aku sudah menyerahkan kesucianku pada Tuan Very, makanya Beliau deketin aku terus." Wajahku cemberut sambil membuka hijabku."Kalau kamu gak ngerasa, jangan dipikirin! Biarin aja mereka ngomong apa." Beliau mengelus bahuku sambil mengucap kata sabar."Abisnya mereka sering banget nyibirin aku, Bi," keluhku."Oh, iya, Bibi mau nanya sama kamu. Emang benar ya, kamu pacaran sama Den Very?" tanyanya sambil menaikkan kedua alisnya.Aku berpikir sejenak untuk menjawabnya, antara malu dan takut. "I_iya, Bi. Aku dan dia saling mencintai, salah, ya?""Ya, enggak salah, cuma takutnya Tuan sama Nyonya melarangnya karena kalian gak sederajat. Apalagi kamu kan, tahu kalau kemarin Den Very dijodohin dengan wanita lain. Kamu sendiri kan, yang mengantar minumnya?" tukasnya."Iya memang, Bi. Tapi katanya dia gak mau dijodohin sama cewek itu, dia lebih milih aku. Aku juga sudah terlanjur sayang sama
"Mas, Hendrik ...?!" Matanya membola saat Beliau melihat mantan mertuaku itu menolongku."Ratna, kamu tidak apa-apa?" Tangan kekar Pak Hendrik_ mantan mertuaku mampu menopang tubuhku hingga aku tak sampai jatuh ke lantai.Aku terkejut melihat kehadirannya yang tiba-tiba. " Aku tidak apa-apa, Pi."Aku melihat Mamah dari kekasihku melongo dengan mulut yang menganga. "Kartika ... kenapa kamu berbuat kasar sama Ratna? Salahnya apa sampai-sampai aku dengar kamu marahin dia?" sergahnya dengan berkacak pinggang."Sampean mengenalnya?" pekiknya tak percaya."Iya, dia ini putriku," jawab Papi tegas."Apa? Bukannya putri sampean namanya Alexa?" pekik Nyonya Kartika tak percaya."Iya memang, tapi Ratna juga sudah aku anggap seperti putriku sendiri," sahut Papi lagi sambil menggandeng bahuku. " Kalau sampai ada orang menyakiti dia, akan berhadapan langsung denganku.""Maaf, Mas, kalau gitu aku permisi dulu," pamit Mamah Mas Very terburu-buru dengan wajah pias."Ratna, kamu ke sini sama siapa? M
Aku merasa kasihan dan terenyuh atas nasib buruk yang menimpanya apalagi saat dia masih menjadi istri Febi. Dia begitu tersiksa jiwa dan raganya atas perlakuan Febi dan keluarganya. Aku merasa iba padanya apalagi dia hidup sebatang kara. Aku tak bisa bayangkan gimana kalau aku jadi dia."Very ... kamu mau kemana, rapi banget? Bukan_nya hari ini tanggal merah ya?" pekiknya dengan gurat tanya di wajahnya saat aku baru keluar dari kamar."Aku mau ngajak Ratna beli baju bagus buat datang ke acara pernikahan temanku, Mah" sahutku sambil membetulkan penampilanku."Apa? Kamu mau datang di pernikahan teman ngajak Ratna? Gak salah?" cecar ibuku dengan wajah yang tampak emosi. "Iya, Mah, kebetulan temanku ini kenal sama Ratna. Ya, udah jadi sekalian," terangku dengan santai karena sekarang perasaanku lagi berbunga-bunga. Tak peduli penolakan dari Mamah."Ya gak harus bareng juga kali?! Kamu itu harusnya ajak Sean, dong, dia kan calon tunanganmu!" protes Mamah begitu ngotot."Gak bisa, Mah. Tol