"Tapi, Papa, dia mengatakan jika Kakak tirinya lah yang ingin melecehkannya." Jake mengerutkan kening. "Andri menyuruh putranya untuk mengantar Naumi pada calon investornya. Tetapi karena putranya diam-diam suka pada Naumi, dia berencana melakukan hal buruk pada Naumi. Anak itu cukup peka pada sekitaran, walau sudah terlanjur meminum obat perangsang tetapi dia berhasil melarikan diri. Sayangnya Naumi sedang diburu oleh Temmy Lunox.""Kita bisa menyelamatkannya, Papa. Siapapun takut dan tidak berani melawan Papa," ucap Jake dengan nada memohon dan sedikit memaksa. Hell! Dia tak tahu jika Naumi telah dijual oleh Papa tirinya dan sekarang perempuan yang ia bawa kemari tersebut sedang diburu oleh seorang pria yang sebaya dengan Papanya– pebisnis kata raya di luar kota yang memang terkenal suka daun muda. Bahkan rumor mengatakan pria itu mendirikan Harem untuk pada gadis-gadis pelampias nafsunya. Kaivan mengacungkan pundak. "Papa tidak sebaik itu untuk peduli dan menolong orang asing.
"Aku ingin membicarakan sesuatu padamu, Naumi," ucap Jake, setelah memarkirkan mobilnya di sebuah yang cukup sepi– pengguna jalanan tak akan terganggu dengan mobilnya uang berhenti. Namun, Jake meminggirkan mobilnya, tentunya! Naumi menundukkan kepala, gugup dan panik karena Jake memberhentikan mobil di tempat yang sepi. 'Ah, tidak mungkin Pak Jake ingin macam-macam denganku. Pak Jake sangat menghargai perempuan.'"Bi--bicarakan saja, Pak," ucap Naumi dengan nada pelan dan gugup. "Papaku sudah tahu identitasmu, dia tahu alasan kenapa kau bekerja di rumahku dan Papa juga tahu siapa keluargamu," ucap Jake, membuat Naumi membelalak dan menatap kaget ke arah Jake, "Papaku mungkin terdengar egois, tetapi beliau hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya dan keluarganya. Terlebih Papaku sangat berlebihan jika sudah menyangkut Mamaku. Kau bisa melihatnya sendiri."Dengan jantung yang deg degkan, Naumi menganggukkan kepala. "So-- Papaku ingin kau pergi dari rumah, karena Papa tidak ingin
"Tante ke sini kembali ingin membahas masalah pernikahan kamu dengan Evelyn, Kaivan sayang. Ini sudah tiga minggu setelah kematian Nenek kamu. Harusnya sudah tak masalah jika kita mengadakan pesta pernikahan untukmu dan Evelyn," ucap Diana, ibu dari Evelyn yang kembali datang ke rumah mewah Kaivan. Dia ditemani oleh suaminya, Aliando, untuk membicarakan pernikahan antara Kaivan dan Evelyn. "Cik." Rachel berdecak kesal, memutar bola mata lalu menatap tak suka ke arah suaminya. "Aku kira Mas sudah menyelesaikan masalah ini, Mas sudah menolak untuk menikahi Evelyn. Ternyata sampai sekarang masalahnya belum selesai," ucap Rachel, ogah-ogahan dan terkesan ketus. Ini weekend. Sehabis mengantar Irisel ke rumahnya, Jake dan Naumi membawa Danial serta Dayana ke rumah orang tua Rachel. Mereka bermain di sana dan mungkin pulang setelah sore. Harusnya Rachel dan Kaivan bisa menghabiskan waktu bersama, akan tetapi begundal-begundal ini malah datang ke rumahnya dan membahas sesuatu yang membua
"Baik, besok aku menikahinya. Puas!" marah dan bentak Kaivan. Kesal karena respon Rachel yang …- Argkk! Menjengkelkan. "Iya, nggak apa-apa," ucap Rachel dengan pelan. "Aku juga udah cape dengan kamu," lanjutnya terbawa perasaan dan emosi. "Kamu nikahi dia dan kita berce …-"Namun, sebelum menyelesaikan kalimatnya Kaivan lebih dulu membentaknya. "Diam!" Tubuh Rachel bergetar ketakutan, air matanya yang tak bisa ia bendung jatuh dan mengalir begitu saja. Rachel diam, memutar tubuhnya untuk tertidur tengkurap– menenggelamkan wajahnya ke bantal karena tak berani mengeluarkan isakan. Dia takut mendengar suara amukan suaminya, jantungnya tidak tahan– darahnya mengalir deras dan tubuhnya spontan gemetaran. Bukan hanya itu, dia juga sakit hati mendengarkan nada keras Kaivan padanya. "Bibirmu kujahit jika kau berani mengucapkannya, Ichi!" geram dan peringat Kaivan, menatap marah dan sangat kesal pada Rachel. "Hah, Fucking jerk!" umpat Kaivan kasar saat melihat pundak Rachel yang bergetar
"Bagaimana kondisi Nyonya, Tuan?" tanya Hansel, setelah selesai mengantar dokter yang memeriksa nyonya-nya tersebut. Kaivan mengacungkan pundak, terkesan tak acuh dan cuek. "Hamil lagi," jawabnya dengan nada datar, menunjukkan air muka flat serta seperti acuh tak acuh. "Hei, bagus berarti. Dayana akan punya adik yang tidak jauh usia dengannya. Mereka suatu saat bisa saling menjaga," antusias Hansel, tak menyadari wajah tuannya yang terkesan dingin dan tak senang. "Tunggu." Hansel langsung berhenti bercelutuk saat melihat raut tak senang Kaivan. "Tuan terlihat tidak senang. A--apa Tuan tidak bahagia punya anak lagi?""Humm." Kaivan berdehem pelan. "Ichi akan semakin jauh dariku," ucap Kaivan sembari memberikan sebuah dokumen pada Hansel. "Terserah kau ingin mengerjakannya di sini atau ingin kau bawa pulang. Yang terpenting, dokumen tersebut sudah harus selesai besok pagi.""Ba--baik, Tuan.""Humm." Kaivan beranjak dari sana, berniat ingin kembali ke kamar untuk memeriksa kondisi Ra
"Shut up!" Kaivan merunduk, dengan cepat melayangkan tatapan tajam untuk memperingati Rachel. Kaivan tak suka kalimat akhir Rachel. Dia tidak suka! Tuk'Kesal dan sedikit marah karena perkataan akhir Rachel tadi, Kaivan menyentil bibir istrinya. Bug'Karena tak terima bibirnya disentil serta dipelototi oleh Kaivan, Rachel memukul kuat dada bidang suaminya. "Mas Kaivan semakin ke sini semakin nggak punya hati yah. Ingin menikahi wanita lain, lebih percaya pada sekretarisnya dibandingkan istrinya dan sekarang Mas berniat mengugurkan bayiku. Kalau memang Mas benci dan sudah bosan, kenapa tidak menceraikanku saja? Aku nggak tahan disiksa begini, Mas Kaivan!" pekik Rachel, menjerit dan meninggikan suara saat diakhir kalimat. Air matanya jatuh, meluapkan rasa kesal bercampur sakit hati atas sikap Kaivan akhir-akhir ini. "Ichi!" Kaivan mengeram rendah, tak habis pikir serta sakit kepala dengan sikap Rachel yang seperti ini. "Aku sudah bilang jika aku tidak akan menikahi Evelyn. Kenapa kau
'Tidak. Aku yang salah,' batin Rachel, menyengkal perasaan sesak karena Kaivan menolak menemaninya. "Mas Kaivan pasti sibuk karena itu dia tidak bisa menemaniku," gunanya, menghela napas dengan rendah sembari berhenti di depan sebuah toko pakaian. Tanpa pikir panjang, Rachel langsung masuk dalam toko tersebut dan berhenti tepat di depan sebuah gaun putih cantik yang dipakai oleh manekin. "Ini adalah gaun keluaran terbaru DSL, Kak. Bahannya bagus, tampilannya cantik serta elegan dan didesain oleh desainer ternama DSL."Rachel sontak menoleh ke arah sebelahnya. "Ouh, iya, Kak. Gaun ini hanya ada tiga di dunia," jelas penjaga toko tersebut, tersenyum manis dan ramah ke arah Rachel. "Aku hanya melihat-lihat, Mbak," ucap Rachel. "Ouh, iya, Kak. Silahkan dilihat-lihat. Jika gaunnya cocok, Kakak temui saja saya." Dengan ramah perempuan penjaga toko tersebut tersenyum, kemudian beranjak dari sana– membiarkan Rachel tetap di depan gaun cantik tersebut. 'Cantik sekali. Tapi … pasti hargan
"Demi Tuhan! Aku lebih baik menunggumu janda dibandingkan menikahi wanita sialan ini," ucap Regal kesal, menatap sinis ke arah perempuan di sebelahnya kemudian menepis kembali tangan perempuan itu; ketika akan memeluk lengannya kembali. Namun, tatapannya mendadak lunak dan lembut saat matanya mengarah pada Rachel. Tentu saja itu membuat perempuan di sebelahnya sedih dan sakit hati. "Mulut kamu, Re." Rachel memperingati, "kamu ini bodoh apa gimana sih? Tuhan mengirimmu wanita yang baik-baik kamu malah menunggu seseorang yang tidak ditakdirkan untukmu.""Aku tidak peduli!" Regal berucap dingin, tetapi tetap tersenyum lembut ke arah Rachel. "Dulu kamu pernah memperingatiku untuk tidak menerima pria sick yang masih terjebak dengan masa lalunya. Lihat sekarang? Kamu adalah pria sick itu sendiri." "Aku tidak masalah.""Dasar gila!" sinis Rachel, kesal bercampur lelah berbicara dengan pria yang-- entah kenapa bisa sangat suka padanya. Rachel merasa tak ada yang spesial darinya, tetapi ke
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny