'Tidak. Aku yang salah,' batin Rachel, menyengkal perasaan sesak karena Kaivan menolak menemaninya. "Mas Kaivan pasti sibuk karena itu dia tidak bisa menemaniku," gunanya, menghela napas dengan rendah sembari berhenti di depan sebuah toko pakaian. Tanpa pikir panjang, Rachel langsung masuk dalam toko tersebut dan berhenti tepat di depan sebuah gaun putih cantik yang dipakai oleh manekin. "Ini adalah gaun keluaran terbaru DSL, Kak. Bahannya bagus, tampilannya cantik serta elegan dan didesain oleh desainer ternama DSL."Rachel sontak menoleh ke arah sebelahnya. "Ouh, iya, Kak. Gaun ini hanya ada tiga di dunia," jelas penjaga toko tersebut, tersenyum manis dan ramah ke arah Rachel. "Aku hanya melihat-lihat, Mbak," ucap Rachel. "Ouh, iya, Kak. Silahkan dilihat-lihat. Jika gaunnya cocok, Kakak temui saja saya." Dengan ramah perempuan penjaga toko tersebut tersenyum, kemudian beranjak dari sana– membiarkan Rachel tetap di depan gaun cantik tersebut. 'Cantik sekali. Tapi … pasti hargan
"Demi Tuhan! Aku lebih baik menunggumu janda dibandingkan menikahi wanita sialan ini," ucap Regal kesal, menatap sinis ke arah perempuan di sebelahnya kemudian menepis kembali tangan perempuan itu; ketika akan memeluk lengannya kembali. Namun, tatapannya mendadak lunak dan lembut saat matanya mengarah pada Rachel. Tentu saja itu membuat perempuan di sebelahnya sedih dan sakit hati. "Mulut kamu, Re." Rachel memperingati, "kamu ini bodoh apa gimana sih? Tuhan mengirimmu wanita yang baik-baik kamu malah menunggu seseorang yang tidak ditakdirkan untukmu.""Aku tidak peduli!" Regal berucap dingin, tetapi tetap tersenyum lembut ke arah Rachel. "Dulu kamu pernah memperingatiku untuk tidak menerima pria sick yang masih terjebak dengan masa lalunya. Lihat sekarang? Kamu adalah pria sick itu sendiri." "Aku tidak masalah.""Dasar gila!" sinis Rachel, kesal bercampur lelah berbicara dengan pria yang-- entah kenapa bisa sangat suka padanya. Rachel merasa tak ada yang spesial darinya, tetapi ke
Rachel melangkah ke meja kerja Kaivan, dia masih di ruangan suaminya– hanya sendiri karena Kaivan, Hansel dan sekretarisnya yang menyebalkan tersebut tengah melaksanakan rapat. "Jika aku meletakkan ini di meja Mas Kaivan, para wanita tanpa otak tak akan ada yang berani menggodanya lagi bukan?" gumam Rachel, meletakkan benda kecil di atas meja kerja suaminya. "Yah, harusnya makhluk seperti Irisel tak akan berani lagi menggoda Mas Kaivan," lanjut Rachel, tersenyum tipis sembari menatap benda yang ia letakkan tersebut. Karena lelah Rachel duduk di kursi kerja Kaivan, berdecak saat menemukan foto putrinya dipasang dan dipajang di atas meja. "Kenapa bukan foto ku saja?" protes Rachel dengan nada cemberut."Hah." Rachel menghela napas lalu memilih mengeluarkan handphone miliknya, men-scroll media sosial miliknya dan perlahan dia larut– terlalu jenuh dan bosan menunggu suaminya yang entah kapan selesai rapat. [Apa aku masih punya harapan, Tuhan?]Caption yang Rachel baca dari sebuah posti
"Aku tidak ingin basa-basi. Seperti yang aku katakan sebelumnya, Nyonya Rachel. Pak Kaivan akan menjadi milikku," ucap Irisel dengan nada tegas dan serius, mengulurkan tangan dan memberikan sebuah benda kecil dan pipih ke arah Rachel. "Bukti cintaku dan Pak Kaivan. Aku hamil anak Pak Kaivan, Nyonya Rachel."Rachel menatap tespek yang Irisel sodorkan ke arahnya, sebelah alisnya terangkat dengan sudut bibir membentuk senyuman manis– mengembang begitu indah, tanpa merasa terpancing atau marah dengan keberadaan tespek tersebut. "Kamu ambil di atas meja suamiku yah?" tanya Rachel santai, mengambil tespek tersebut secara ringan. 'Ba--bagaimana dia bisa tahu?' batin Irisel, diam-diam meneguk saliva secara kasar sembari menatap waspada dan gugup ke arah Rachel. "Mengambil di atas meja Pak Kaivan? Cih, ini punyaku, dan aku baru ingin menunjukkannya pada Pak Kaivan.""Ini--" Rachel membalik tespek tersebut, memperlihatkan sebuah tulisan kecil di sana. 'Anak ke-3 Kaivan dan Rachel.' Tulisan y
"Jadi-- Jake ingin menikahi Naumi yah?" tanya Rachel. Rachel dan Kaivan sudah sampai di rumah. Seperti dugaan Rachel, Dayana menangis karena merindukan Rachel. Untungnya Dayana tak begitu rewel, Rachel hanya menyusuinya sembari mengajak bayinya tersebut bermain. Sekarang mereka tengah makan malam, sembari membahas niat baik Jake untuk melamar Naumi. Rachel sebenarnya tak masalah, hanya saja dia terlalu kasihan pada Naumi. Usia gadis ini bahkan belum genap dua puluh tahun tetapi dia harus merasakan pernikahan. "Iya, Mama." Jake menganggukkan kepala, "bagaimana menurut Mama?" tanya Jake kemudian. Semoga mamanya merestui karena dengan begitu Jake bisa menikah dengan Naumi. Baginya, restu Rachel sangat penting. Wanita ini sudah seperti Mama kandung baginya, dan tanpa restu dari Rachel ikatan apapun tak akan Jake mulai. Tetapi semoga saja Rachel memberikan restu, karena-- Jake sangat ingin melindungi gadis malang ini. Dia tak tega jika Naumi harus kembali ke keluarganya dan mendapatka
"Papa, aku ingin bicara sebentar," ucap Jake, menghentikan langkah kaki Kaivan yang akan berangkat ke kantor. Begitu juga dengan Rachel, yang berniat mengantar suaminya ke depan. Hari ini Kaivan sedang senang dan bahagia, tadi malam dia berhasil merayu istrinya yang menggemaskan ini untuk. Ah, rahasia! Shit, bukan rahasia, tetapi seperti yang kalian pikirkan. Intinya, Kaivan senang! Dan dia bersemangat untuk bekerja, menyelesaikan banyak pekerjaan supaya weekend nanti dia dan Ichi-nya bisa menghabiskan waktu bersama. "Humm." Kaivan berdehem pelan, membalik tubuhnya dan berjalan ke arah ruang kerja-- sembari mengandeng tangan istrinya. Jake mengikuti dari belakang. Sampainya di sana, Kaivan duduk di sebuah sopa– di mana Rachel duduk di sebelah Kaivan. Sedangkan Jake duduk di depan Daddynya. "Silahkan bicara," ucap Kaivan dengan nada datar. "Papa tidak punya banyak waktu," lanjutnya, sedikit mendesak Jake karena dia memang harus segera ke kantor. "Pah, Jake ingin setelah menikah,
"Tuan, ruang rapat sudah disiapkan dan rapat akan dimulai.""Humm." Kaivan mengangukkan kepala, bangkit dari kursi dengan memberikan beberapa file agar Hansel yang membawa, "bagaimana dengan sekretaris baruku? Kau sudah mendapatkannya?" "Ada tiga kandidat, Tuan. Satu laki-laki, dan dua perempuan. Usia mereka sama-sama tiga puluh tahun dan kualitas yang bagus. Hanya saja, aku kurang yakin mereka cocok dengan pribadi Tuan," ucap Hansel, berjalan di sebelah Kaivan– menyamakan langkah kaki dengan sang tuan. "Laki-laki itu?" Kaivan menoleh sekilas ke arah Hansel, menaikkan sebelah alis dan menatap penuh tanda tanya pada kepercayaannya tersebut. Kenapa bukan Hansel yang merangkap menjadi sekretaris Kaivan? Tentu saja itu tak bisa dilakukan, pekerjaan Hansel bukan hanya seputar kantor ini. Dia harus mengurus perusahaan-perusahaan Kaivan lainnya. Jadi jelas Hansel tak bisa menjadi sekretaris Kaivan, malah Hansel juga butuh asisten untuk dirinya sendiri. "Aku yakin cocok sih." Hansel terli
"Nyonya, anda tak apa-apa?" tanya William, suaranya rendah dan lembut– khawatir pada Nyonya-nya bercampur iba pada wanita yang hamil muda ini. Rachel mendongak, menatap William sayup dan sendu. Dia memaksa bibirnya untuk menyunggingkan senyum, menganggukkan kepala pelan sebagai jawaban. Setelah itu, Rachel kembali menundukkan kepala. Rachel sudah di rumah sakit, orang tuanya juga di sini. Sedangkan keluarga suaminya– hanya datang sebentar dan pulang karena Kaivan belum bisa dijenguk. Diana, suaminya dan Evelyn akan kembali datang setelah Kaivan bisa dijenguk. Sama halnya dengan Denny dan Alsya, mereka juga datang tetapi sudah pulang. Alsya sedang hamil anak kedua, hamil besar dan rentan karena Alsya mudah lelah dan sesak napas. Jika bukan karena kondisinya, Alsya masih ingin di sini menemani Rachel. "Banyak-banyak bersabar, Nak," ucap Arumi pada putrinya tersebut, merangkul Rachel dan memijit pundak Rachel untuk menenangkan putrinya. Melihat kondisi putrinya yang hamil, cucu-cucun
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny