"Tuan, ruang rapat sudah disiapkan dan rapat akan dimulai.""Humm." Kaivan mengangukkan kepala, bangkit dari kursi dengan memberikan beberapa file agar Hansel yang membawa, "bagaimana dengan sekretaris baruku? Kau sudah mendapatkannya?" "Ada tiga kandidat, Tuan. Satu laki-laki, dan dua perempuan. Usia mereka sama-sama tiga puluh tahun dan kualitas yang bagus. Hanya saja, aku kurang yakin mereka cocok dengan pribadi Tuan," ucap Hansel, berjalan di sebelah Kaivan– menyamakan langkah kaki dengan sang tuan. "Laki-laki itu?" Kaivan menoleh sekilas ke arah Hansel, menaikkan sebelah alis dan menatap penuh tanda tanya pada kepercayaannya tersebut. Kenapa bukan Hansel yang merangkap menjadi sekretaris Kaivan? Tentu saja itu tak bisa dilakukan, pekerjaan Hansel bukan hanya seputar kantor ini. Dia harus mengurus perusahaan-perusahaan Kaivan lainnya. Jadi jelas Hansel tak bisa menjadi sekretaris Kaivan, malah Hansel juga butuh asisten untuk dirinya sendiri. "Aku yakin cocok sih." Hansel terli
"Nyonya, anda tak apa-apa?" tanya William, suaranya rendah dan lembut– khawatir pada Nyonya-nya bercampur iba pada wanita yang hamil muda ini. Rachel mendongak, menatap William sayup dan sendu. Dia memaksa bibirnya untuk menyunggingkan senyum, menganggukkan kepala pelan sebagai jawaban. Setelah itu, Rachel kembali menundukkan kepala. Rachel sudah di rumah sakit, orang tuanya juga di sini. Sedangkan keluarga suaminya– hanya datang sebentar dan pulang karena Kaivan belum bisa dijenguk. Diana, suaminya dan Evelyn akan kembali datang setelah Kaivan bisa dijenguk. Sama halnya dengan Denny dan Alsya, mereka juga datang tetapi sudah pulang. Alsya sedang hamil anak kedua, hamil besar dan rentan karena Alsya mudah lelah dan sesak napas. Jika bukan karena kondisinya, Alsya masih ingin di sini menemani Rachel. "Banyak-banyak bersabar, Nak," ucap Arumi pada putrinya tersebut, merangkul Rachel dan memijit pundak Rachel untuk menenangkan putrinya. Melihat kondisi putrinya yang hamil, cucu-cucun
"Syukurlah kamu sudah sadar, Nak," ucap Diana, saat ini di rumah Kaivan dan Rachel untuk mengunjungi Kaivan yang sudah siuman– sudah beraktivitas, walau Rachel masih harus memapah atau tetap disebelahnya. Meskipun sudah sadar, tubuh Kaivan belum sepenuhnya pulih. Tubunnya masih terasa lemah, dan kakinya belum bisa berlama-lama berjalan. "Terimakasih atas perhatiannya, Tante Diana," jawab Kaivan datar, menatap sayup ke arah Diana– matanya sayup karena kondisinya yang masih belum pulih. Orang tua serta keluarga Rachel lainnya baru saja pulang. Seperti biasa, keluarga Kaivan tak akan pernah mau menyatu dengan keluarga Rachel. Sedangkan Nick, dia juga baru pulang. "Kak Kaivan, aku ingin mengatakan sesuatu," ucap Evelyn tiba-tiba. "Ini mengenai wasiat Nenek dan pernikahan kita.""Membahas apa lagi? Tak akan ada pernikahan," ketus Kaivan, sedikit kesal karena Evelyn menyinggung mengenai pernikahan. "Iya, itu dia. Aku juga tidak mau menikah dengan Kak Kaivan. Maaf, tapi wajah Kak Kaivan
"Hum, aku penyebab dia mati. Aku membunuhnya, Ichi!"Deg' Rachel menatap tak percaya pada suaminya– menatap tepat ke arah manik mata Kaivan. Namun, dia langsung menghela napas, berpikir jika Kaivan mengatakan itu karena perasaan marah saja. "Sudah sudah, aku tahu kelakuannya kelewatan dan …-" Rachel menjeda sekilas, memberikan senyuman tipis ke arah Kaivan. "Tetapi dia sudah tiada dan lebih baik kita melupakannya. Ouh, iya. Mengenai orang tuanya, mereka menuntut kerugian dan mengancam akan menyebarkan jika Mas dan putri mereka punya hubungan terlarang.""Tapi Mas tenang saja, Putramu yang baik hati dan berbakti itu sudah mengurusnya. Mas nggak perlu mencemaskan kasus kecelakaan Mas lagi." "Yeah, Sweetheart." Kaivan berkata rendah, tersenyum tipis ke arah Rachel– mencium bibir perempuan itu dengan singkat dan lembut.***"Papa, bagaimana kabarmu?" tanya Jake dengan nada malu-malu, masuk dalam ruang kerja Kaivan– di mana Kaivan ada di sana, sedang mengurus berkas kantor. Kaivan masih
Saat ini Rachel sudah kembali ke rumah. Lebih tepatnya di ruang keluarga, tengah menyuapi Daniel dan Kaivan makan siang; di mana suaminya tersebut tengah memangku Dayana yang asyik bermain. "Mas, aku punya cerita," ucap Rachel ketika mengingat kejadian tadi, saat dia bersama Jake dan Naumi. Dia kembali menyuapi Kaivan kemudian bercoleteh, "tadi, setelah pulang dari rumah Naumi, ketika masih di mobil dan dalam perjalanan pulang. Naumi tiba-tiba menangis, mungkin kepikiran dengan ucapan Mamanya yang sadis minta ampun."Rachel menyuapi Danial yang duduk di sebelah Daddynya dan sedang menonton film dengan mainan robot-robotnya. "Naumi sudah menangis parah, tetapi Jake hanya diam. Cuma fokus ke jalan saja. Nah, aku inisiatif menegur dong, supaya itu anak peka dengan calonnya. Dan … iya sih, Mas, Jake kasih tissue. Tapi itu tissue malah digunakan untuk lap keringat di telapak tangan Jake. Bukan untuk menghapus air mata Naumi," cerita Rachel dengan menggebu-gebu, bersemangat dan antusias.
"Aku tidak tahu," jawab Jake mengacungkan pundak. "mungkin karena kasihan."Wajah Naumi mendadak murung, dia menundukkan kepala– menyembunyikan perasaan tak enak dan sedih yang menyelinap dalam hati. Jadi karena kasihan padanya?! "Kenapa? Kau tidak terima?" ucap Jake, setelah menghabiskan makanannya. Naumi mengangkat kembali kepalanya, menatap Jake dengan perasaan bercampur aduk lalu memaksakan diri untuk tersenyum. Dia sedih karena berharap pria ini menikahinya disebabkan oleh rasa ingin memiliki atau cinta. Bukan rasa kasihan yang menyakitkan seperti sekarang. "Orang-orang terlalu menganggap rendah pada rasa kasihan. Padahal rasa kasihan adalah kasta tertinggi dari awal mula cinta terbentuk," ucap Jake dengan datar– Naumi mengerutkan kening, sama sekali tak paham dan tak mengerti dengan apa yang Jake ucapkan. Kasihan adalah kasta tertinggi dari awal mulanya cinta terbentuk? Hei, Naumi tidak bisa memahaminya. Sungguh! Naumi ingin menanyakannya, tetapi terhalang saat Jake berdiri
"Danial dan Dayana di mana yah? Cik, katanya dengan Mama tetapi kulihat Mama sendirian," gerutu Rachel, mencari-cari di mana putranya dan putrinya berada. Dia masih di pernikahan Jake dan Naumi– di hotel dan tengah mencari Dayana serta Daniel. Melisa– kakak sepupunya mengatakan, Dayana dan Danial ikut dengan Mamanya. Sedangkan Alsya, katanya dia melihat Dayana digendong oleh Papanya Rachel. Cik, yang jelas Dayana dan Danial tidak bersama Mamanya. "Mungkin dengan Ayah. Tetapi … ayah di mana? Apa istirahat di ruang rias?" gumam Rachel bermonolog sendiri sembari mempercepat langkahnya. Namun, saat di belokan lorong– menuju lift, seseorang memukul tengkuk Rachel dengan cukup kuat. "Agkh." Rachel memekik sakit, menoleh ke belakang dengan raut muka kesakitan. Namun, sebelum Rachel menoleh ke belakang dan melihat siapa yang memukul nya, matanya memberat dan perlahan semua menggelap. Bug'"Akhirnya. Akhirnya aku mendapatkanmu dan bisa membalaskan dendam ku padamu. Cih, makanya jangan ang
"Are you okay, Sweetheart?" "Ma--Mas … tengkukku sakit sekali," ucap Rachel, menatap suaminya dengan sayup dan dengan suara lirih serta serak, "aku mual," tambah Rachel, buru-buru mengambil posisi duduk sembari memegang perut. "Aku gendong." Kaivan meraih tubuh Rachel, membawanya dalam gendongannya– lalu berjalan ke kamar mandi. Dengan dibantu oleh Kaivan, Rachel memuntahkan isi perutnya. Tubuhnya yang lemas semakin terasa tak berdaya. Jika bukan karena Kaivan memapa dirinya, mungkin Rachel sudah terjatuh ke lantai. "Sudah?" tanya Kaivan lembut– Rachel mengangukkan kepala. Kaivan kembali menggendong Rachel dan membawa istrinya tersebut dalam kamar. Dia membaringkan Rachel, membelai pucuk kepala istrinya dengan penuh kasih sayang sembari terus menatap lamat pada Rachel. "Maafkan aku.""Kenapa?" tanya Rachel pelan. "Karenaku kau terluka, Sweetheart," lirih Kaivan, menatap sendu ke arah Rachel. Dari rekanan CCTV, Kaivan mengetahui jika Diana dan Evelyn berniat buruk pada Rachel. E
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny