Reza kelihatan tenang saat ibunya dimakamkan. Sepanjang perjalanan pulang menjelang maghrib, pemuda itu juga anteng. Tenang dan diamnya Reza justru membuat Hana pilu. Dalam kuliah psikiatri dan psikologi yang ia ikuti, Hana mengerti, terlalu sakit kehilangan, bisa membuat seseorang menekannya sampai tidak bisa menangis. Setibanya di hotel, Reza menolak semua makanan yang dihidangkan. Baik makanan hotel, maupun masakan Hana. Selera makannya raib. Pemuda itu lebih banyak bengong menatap ke luar jendela saat malam tiba.Hana akhirnya tidur duluan. Namun, tengah malam ia terbangun oleh suara isak tangis tertahan hingga terasa sangat menyedihkan. Hana gegas menyalakan lampu utama suite hotel tersebut. Seketika ia melihat Reza duduk meringkuk di sofa dekat jendela. Pemuda itu memegang ponsel.Saat Hana mendekat, ia melihat Reza menonton video ibunya. Rupanya video tersebut direkam saat mereka saling video call terakhir kali. Pemuda itu tampak sekuat tenaga menahan agar tangisnya tidak me
Saat menginjak lantai kamar kosnya, Hana mendadak merasa asing. Dunianya tak lagi sama. Padahal, belum satu bulan ia meninggalkan rumah kos yang telah ditinggalinya sejak kuliah semester pertama. Beberapa teman satu kos menyambutnya gembira, lalu menanyakan kabar tentang Prisha yang baru saja kematian neneknya. Hana menjawab seperlunya, sebelum minta izin untuk istirahat.Usai mandi dan bersalin baju, ia rebahan sambil mengecek ponsel. Ada pemberitahuan pesan masuk dari Musuh Abadi. Terkirim sekitar 20 menit lalu.[Malam ini aku free. Siap-siap, ya, aku mau apel ke kosanmu]Hana tersentak sampai ponsel terjatuh dari tangannya. [Apa maksudnya, nih?] Gadis itu membalas chat setelah mengumpulkan ketenangannya yang sempat berantakan.Tak ada balasan chat dari Reza. Hana jadi gelisah. Kalau apel yang dimaksud pemuda itu serupa kunjungan pacar, itu bahaya! Teman-teman kosnya bakal punya bahan gosip. Kakak tingkat yang satu organisasi dengannya pasti akan ribut pula. Hana tak kuasa membayan
“Apa dia udah diapa-apain?” kejar Hana, penasaran.“Dia gak pernah cerita sejauh itu. Tapi ... mungkin aja, sih. Soalnya, patah hatinya ngeri.” Sang kakak tingkat menjawab sambil bergidik ngeri.Hana muntab lagi. Ia beristigfar sambil mengelus dada. “Kudu gue kasi pelajaran ni orang.”Gadis itu pergi dengan langkah lebar ke ruang tamu kos. Ia membuka pintu dan menemukan Reza sudah duduk di beranda. “Udah dibilang, jangan ke sini!” bentak Hana. “Hana beda ama cewek-cewek yang pernah Kak Reza godain! Hana bukan cewek yang gampang diisengin!”“Iseng?” Reza tersenyum santai. Lelaki muda itu berdiri, lalu menunjuk cincin emas yang melingkar cantik di jari manis kanan Hana. “Buat apa ngisengin istri sendiri?”“Kak Reza suka PHP-in cewek! Pasti sering ngelecehin juga!”Wajah tampan Reza berubah kemerahan. “Itu masa lalu. Pelampiasan sakit hati gara-gara salah paham terhadap sikap ibu. Aku sempat membenci cewek-cewek yang gampang tergoda. Memberi mereka harapan. Lalu, kutinggalkan supaya nge
“Hana siap belajar keras supaya lulus ujian kompetensi. Bukankah itu syarat lulus koas?”“Aku punya syarat khusus.” Reza tersenyum misterius. “Meski nanti kamu pindah-pindah stase, semua laporanmu harus dapat tanda-tanganku. Syarat dapat tanda tangannya mudah.”Hana menatap curiga. “Jangan-jangan syarat mesum, nih ....” “Istriku sangat mengerti diriku.” Dokter Reza menyeringai. “Aku suka ini.” Jemari pemuda itu menowel bibir Hana seenaknya.Hana menatap berang. “Apa semua koas cewek dibeginiin?” Gadis itu menangkis keras tangan Reza yang menyentuh bibirnya.Reza sedikit meringis. Ngilu.“Aku nggak serendah itu, Hana. Kan udah aku bilang, berhubung aku suamimu ... jadi aku ngerasa permintaanku wajar.”“Minta yang lain aja. Jangan syarat itu.” Hana keberatan. “Ah, mestinya kamu bersyukur, aku gak minta ‘itu’. Tapi .... melihat niat menolakmu, tetiba aku jadi berubah pikiran.” Reza maju setapak. “Aku jadi pengen ....”Hana waspada dan sigap memasang kuda-kuda.“Eh, ada cecak jatuh ke r
“Bantu Hana meyakinkan Dokter Reza bahwa Hana nggak suka ama dia.”“Wah, ngetes apaan? Itu namanya bukan ngetes, tapi nolak!”Serangan protes pun meluncur keluar dari mulut para bidan. Mereka keberatan. Rata-rata sontak menggeleng sambil menautkan alis, tak setuju. Sebagian kecil memandang tak suka. Mereka menganggap Hana kurang bersyukur. Cemooh bernada bullying pun bermunculan. Kentara sekali, mereka memihak Dokter Reza.Hana sangat kecewa.Melihat situasi tersebut, Keyko memutar bola mata. Ya ampun, dunia sudah terbalik. Penjahat dibela, gadis lemah tertindas malah di-bully. Batinnya, gondok.“Hellow, Kakak-Kakak Bidan, monmaap, ya. Yang namanya penjahat itu, sekalipun ganteng, humble, and friendly, tetep aja penjahat. Jangan sampe terpalingkan ama visual Dokter Reza. Hana itu calon korbannya! Apa kalian tega adek koas imut dan polos gini di-PHP? Harusnya kita bantu Hana ngasi pelajaran ama Dokter Reza, biar kapok ngasi harapan palsu ke cewek!” Kakak-kakak bidan terlihat ragu. Mer
Hana merasakan denyut penyesalan di hatinya. Ia terpaksa menolak Akmal, meski cukup menyukainya. Namun, penolakannya bukan karena telah terikat dengan Reza atau karena Reza lebih baik dari Akmal.Keputusannya mungkin tidak akan berbeda jika Akmal datang lebih dulu. Hana bukan pilih-pilih pasangan, ia hanya belum ingin menikah. Meski kadang ia khilaf membicarakan cowok dengan Keyko si ratu pacaran, bukan berarti Hana serius memikirkan pernikahan. Ia pernah terhasut Keyko untuk meminta dikhitbah salah satu kakak tingkat keren dan baik hati, lalu berakhir gagal. Sebab si cowok merasa dipermainkan. Insting cowok itu betul. Hana memang cuma main-main.“Kak Akmal, maaf ....” Hana menangkupkan sepasang tangan. “Jawabannya tertunda lama. Saya sedang ada masalah. Belum bisa menikah dengan siapa pun dalam waktu dekat, kecuali masalah itu selesai.”“Saya masih menunggu jawabanmu. Saya harap rumor yang saya dengar itu tidak betul ....”Sikap Akmal tegas, tanpa basa-basi. Suaranya khas aktivis ka
Hana tidak tahu, berapa jam sudah ia tertidur. Yang jelas, begitu bangun, ia menemukan dirinya sendirian di sebuah kamar yang wangi. Tempat tidurnya bertabur bunga-bunga mawar. Gadis itu terkejut. Siapa yang memindahkannya ke sini? Hawa dingin AC, merindingkan bulu kuduknya. Ia menyilangkan sepasang lengan di depan dada. Seketika Hana menyadari, pakaiannya telah berganti. Bukan lagi gamis berlapis snelli, melainkan gaun tidur berenda cantik transparan.“Hana ....”Satu panggilan rendah magnetik, sedikit serak, mengalun ke telinganya. Hana berpaling dan menemukan Reza sudah di sisinya. Pemuda itu duduk, menatapnya tenang dan dalam. “Kedinginan?” Reza bertanya lembut begitu melihat sedikit Hana menggigil. Ia meraih selimut bed cover. Lalu, menyelubungi sekujur tubuh Hana dengan selimut itu.Gadis itu tak bersuara, hanya memandang dengan binar tanya di matanya. Selimut ia rapatkan kuat-kuat menutupi tubuh dan kepalanya, menyisakan bagian muka.“Maaf, ini ulah nenek.” Reza mengganjur
Reza mencengkeram sepasang bahu Hana untuk menahan gerakannya, lalu menatap lurus-lurus ke matanya.“Sadar, nggak, yang kamu lakukan?”Nanar, Hana membalas tatapan Reza. “Kak Reza serius ngejar Hana?” Suara gadis itu lemah dan selembut desir angin.Reza berdebar-debar menyaksikan mata bintang istrinya yang meredup dan sayu. Ditangkupnya sepasang pipi Hana. “Serius.”Hana memejamkan mata. Rasa gerah di tubuhnya, mengalahkan dinginnya AC. Anehnya, kenyamanan muncul saat ia berdekatan dengan Reza. Hana berusaha menekan keinginan tak wajar itu. Bukankah ia membenci Reza? Bukankah ia ingin menghindar sejauh-jauhnya?“Kamu takut aku mencampakkanmu? Tak percaya padaku?” tanya Reza.Hana mengangguk. Lalu, membuka mata dan mendorong tubuh Reza. Pikiran jernihnya kembali walau hanya seujung jari. Reza tersenyum pahit, menyembunyikan rasa terpukul di hatinya. Wajar Hana tak percaya padanya. Niat awalnya memang seperti itu. Namun, siapa yang Maha Kuasa membolak-balikkan hati manusia? Getaran c