"Assalamualaykum, selamat pagi. Wah, Dokter Reza udah visite. Saya keduluan, nih." Dokter jaga puskesmas masuk ke ruangan, diiringi empat orang perawat."Saya baru datang, Dok." Reza tersenyum. "Pasiennya belum kooperatif." Ia menunjuk ke arah Hana yang masih menutup wajah dengan selimut."Malu-malu mungkin." Dokter jaga tertawa kecil. "Sama pacar emang gitu," guraunya."Dia koas saya," ungkap Reza, tanpa maksud mengkonfirmasi gurauan si dokter puskesmas. "Teh Hana udah sadar? Gimana perasaannya pagi ini?" sapa salah satu perawat seraya mendekat. "Izin buka selimutnya dikit, yaa ... Dokter mau meriksa. Izin juga ngukur tensinya."Mau tak mau, Hana terpaksa menurunkan selimut. Beruntung ia sudah memakai kerudung dan gamis lengkap, dibantu Prisha dan Keyko. Matanya mencari-cari bayangan Keyko. Namun, gadis sipit itu tak berada di ruangan. Sejak kapan Keyko pergi? Jangan-jangan ....Usai pemeriksaan fisik standar, Hana dinyatakan baik-baik saja. Perawatan luka dilanjutkan sehari lagi da
Keyko kembali ke kamar Hana, satu jam kemudian. Tampilannya lebih rapi dan fresh. Outfit kerudung krem bunga-bunga putih berpadu gamis shabby kuning gading, membuatnya terlihat lebih menarik."Gue tadi dianter mbak-mbak dan mas-mas bodyguard ke rumah Prisha. Mandi dan ganti baju, trus ditraktir makan di restoran dekat pasar tanjung sari. Nih, gue bawain lo oleh-oleh tahu sumedang." Keyko meletakkan paper bag mini berisi tahu ke nakas. Saat hendak melanjutkan celoteh, lidahnya tertahan begitu melihat wajah Hana basah air mata.Hana menggigit-gigit bibir. Tampak sangat menyedihkan."Key, ambilin gue antiseptik, dong. Mau ngebersihin mulut gue yang terkontaminasi virus jahat.""Hah, virus jahat? Kenapa tetiba nemplok di mulut elo?" Keyko terbelalak. "Jangan banyak nanya, deh. Cepet ambiliiin!" jerit Hana.Keyko buru-buru lari ke luar, menuju ruangan perawat. Dimintanya kasa dan cairan antiseptik ke perawat. Lantas cepat-cepat kembali."Nih!" Keyko menyodorkan cairan antiseptik dalam ko
Prisha terdiam. Pipinya bersemu merah. Untuk pertama kali, Gavin memujinya cantik. Sensasinya luar biasa, padahal kata-katanya sederhana. Banyak orang memberi pujian yang sama, tapi kalau Gavin yang mengucapkannya, rasanya beda. Ah, Prisha merasa kembali jadi gadis bodoh. Jantungnya dibuat berdegup kencang hanya oleh satu kalimat receh dari profesor dokter itu."Kamu masih marah?"Prisha mengatupkan bibir. Marah? Ya, ia marah. Marah pada kenyataan yang mengombang-ambingkan hidupnya. Namun, apakah tepat melampiaskan kemarahan itu pada Gavin? Apa salah lelaki itu?"Sha, mari kita bicara di tempat lain. Nggak enak dilihat orang di sini. Masuklah ke mobil." Gavin menahan diri untuk tidak menggandeng tangan Prisha dan menuntunnya masuk mobil. Gadis itu masih dalam mode galak, susah didekati.Prisha melirik sebentar ke arah orang-orang yang masih menjadikan Gavin dan dirinya sebagai obyek perhatian. Tampak wajah-wajah terpukau bercampur kepo akut. Bahkan beberapa paramedis, mengarahkan kame
Prisha diam-diam memperhatikan Gavin lewat ekor matanya. Pria itu tampak menyuap bubur dengan enggan. Wajah Gavin agak mendung dan kelopak matanya sayu.Prisha mengerti, suaminya kurang menyukai sarapan semacam bubur atau masakan daerah. Menurut Bik Iyam dan Bik Semi, Dokter Gavin terbiasa menyantap roti manis berkawan susu putih atau oatmeal, diselingi menu sandwich, omelet atau salad buah. Maklum, keluarga besar Devandra kebanyakan kuliah dan berbisnis di kalangan Eropa. Namun, sepertinya terlalu berlebihan jika Gavin murung hanya karena tidak suka terhadap menu sarapan di luar kebiasaan. Mungkinkah tanggapannya barusan membuat lelaki arogan itu tidak bahagia? Kalau benar demikian, alangkah kekanak-kanakannya! Bukankah wajar bagi seorang istri meminta bukti cinta?Prisha letih berharap. Tanpa sadar, pikirannya menguap ke alam lamunan. Bubur ayam yang lezat hanya ditelan tiga suap, selebihnya diaduk-aduk dengan tatapan menerawang.Setelah kematian neneknya, Prisha merasa terjebak di
"Vin, jaga sikap! Jangan bantah kakekmu!" tegur Diana. Suaranya pelan saja, tapi keningnya berkerut. Perempuan lanjut usia yang baru hijrah beberapa tahun terakhir itu tetap memperlihatkan ketenangan, meski emosi mulai menyesakkan dadanya. Ruang keluarga seluas lebih dari lima belas meter persegi, mendadak hening dan terasa lengang, sebab empat orang di ruangan tersebut--selain Zed--segan membuka mulut gara-gara menyaksikan ekspresi murka Zed Pratama. Dua paman Gavin, Danu dan Reno, yang duduk berseberangan dengan Gavin, menampakkan wajah keruh. "Bicaralah." Dengan nada rendah dan dingin, Zed memerintahkan sambil mengulapkan tangan ke arah cucunya.Sang cucu berdeham ringan. Sebelum mulai bicara, ia memperbaiki letak duduk dari bersandar menjadi tegak lurus. Gavin ingin menunjukkan tekad yang kuat dan percaya diri. Posisi tersebut selalu ia andalkan setiap hendak bernegosiasi dengan investor atau mitra bisnis. "Mengenai pencairan saham Prisha, saya sudah menjelaskannya di forum k
"Hebat betul hoaks yang kau bikin!" teriak Reno. Panik bercampur berang. Terbayang di benaknya, kebangkrutan yang bakal dialami. Utangnya sebesar puluhan juta dollar karena kalah judi di kasino kelas atas di Makau, belum lunas. Semula ia mengira, dengan menggapai pucuk pimpinan di perusahaan induk, keuntungannya akan berlipat ganda. Ia dapat melunasi semua utang berbunga itu dengan mudah. Tak dinyana, keuangan Healthy Light bermasalah, sahamnya berkurang, dan nilainya anjlok di bursa saham. Semua gara-gara anak dan menantu Tibra!"Apa perlu saya bawa saksi sekaligus buktinya kemari?" tantang Gavin."Papa, kenapa anak kurang ajar ini dibiarkan memfitnah kami? Dia udah mundur dari Healthy Light! Copot saja sekalian jabatannya dari DIMS. Kalo perlu, coret dari daftar ahli waris!" seru Danu. Hatinya juga dilanda kecemasan. Satu anaknya terjerumus narkoba, satu lagi terlena gaul bebas, dan yang bungsu, hobi balap motor. Hobi anak bungsunya itu menuai beberapa korban tabrakan. Gara-gara
Malam itu, Prisha menemani Hana di ruang rawat inap puskesmas kecamatan tanpa Keyko. Keyko sore tadi terpaksa kembali ke Jakarta karena mendadak ada acara keluarga. Suasana hati Prisha masih diselimuti duka. Kenangan bersama neneknya terus terputar ulang di benaknya hingga wajahnya tak berhenti dibasahi air mata. Ia duduk bertopang lutut, beralaskan kasur tipis dan tikar plastik di lantai. Hana sungguh tak enak hati. Prisha baru saja kehilangan neneknya, tapi harus menjaga Hana di puskesmas. Tapi Hana juga tak tahu mesti minta bantuan siapa lagi selain Prisha. Di luar sana ada Dokter Reza ikut menginap di ruang jaga dokter puskesmas. Tanpa Prisha, Dokter Reza punya alasan kuat menjaga Hana. Sungguh berbahaya dan tak bisa dibiarkan. Dengan tak tahu malunya, konsulen tengil itu bolak-balik datang menggantikan tugas perawat untuk menyuntik, mengganti infus, atau mengantarkan makanan untuk Hana. Reza melakukannya bukan karena alasan kemanusiaan, melainkan ada udang di balik bakwan. Apa
Usai sarapan pagi, Prisha membuka notifikasi dari situs berita yang diikutinya di sosial media. Ia terbelalak menyaksikan headline utama adalah tentang merger-nya perusahaan Healthy Light cabang Singapura dan Malaysia, digabung jadi satu dengan perusahaan induk di Indonesia. Alasannya adalah demi efisiensi mengingat ancaman anjloknya saham bisnis kesehatan terbesar di Asia Tenggara tersebut. Perubahan struktur manajemen, terutama dewan direksi pun terjadi di kedua cabang perusahaan itu. Yang membuat gadis penggemar info bidang medis dan politik itu terkejut sekaligus berang adalah dikukuhkannya nama Dokter Gavin Devandra, selaku CEO Healthy Light Ltd yang mengelola langsung tiga cabang perusahaan besar di tiga negara. Bukankah Gavin sudah berjanji padaku untuk meninggalkan Healthy Light dan membangun usaha sendiri? Batin Prisha, tidak terima. Terlebih lagi, aku telah menuntut pencairan saham warisan kakekku! Mengapa tak ada pemberitaan soal itu?Penuh rasa penasaran, Prisha mengguli