Pemuda itu pergi meninggalkanku yang masih bingung sambil memegangi 2 buah tabung yang berisi alat lukis. Kelihatannya dia mencoba mencari perhatian dan mendapatkan hati dengan semua sikap baiknya. Namun itu tak akan mudah, karena aku juga tahu apa yang terbaik untukku.Tentang pemberian, aku bisa menerima, tapi tentang melanjutkan hidup, move dari suami dengan cara mencari mencari suami lain, bukan solusi, Aku tahu aku akan terjebak dalam bayang masa lalu dan ekspektasi tentang suami yang ideal akan terus melekat di alam bawah sadarku.Bagus jika orang yang aku terima menjadi suami adalah pria yang baik, tetapi bagaimana jika semuanya tidak sesuai dengan harapan? Akankah aku meninggalkanmu hanya demi standar tinggi yang kuharapkan setelah trauma dengan pernikahan yang pertama. Ah, tentu ini akan menyakitkan bagiku juga bagi orang yang kelak kunikahi. Jadi, sudah cukup untuk bahasan menjalin cinta lagi.*Ketika aku masuk ke salon yang cukup terkenal itu, ada beberapa orang yang pern
Seminggu setelah kejadian Di salon, sahabatku Dino sudah mulai melancarkan rencananya pada Lisa. Kabar terakhir yang kudengar mereka sudah berkenalan dan mulai bertukar nomor telepon, entah bagaimana Dino meyakinkan wanita itu namun kutahu dengan pesona dan gaya bicaranya yang meyakinkan Lisa sudah mulai percaya dengannya."Tenang saja, dua Minggu lagi, wanita itu akan jatuh cinta padaku." Begitu kata Dino ketika menelponku."Apa rencanamu selanjutnya?""Pokoknya kamu saksikan aja," jawabnya tertawa sambil mengakhiri telepon.Menanggapi rencana Dino aku sendiri juga berencana untuk segera mengakhiri pernikahan ini, secepatnya. Tak peduli apapun yang menghalangi, aku bertekad untuk menghapus nama-nama Mas Akbar dari hidupku dan semua yang berkaitan dengannya.*"Ayah Ibu, aku berencana untuk Mas Akbar dan membahas tentang sidang perceraian kamu," ucapku kepada ayah dan ibu ketika kami duduk di ruang keluarga."Ke mana kamu akan menemuinya?""Di rumahnya.""Bukankah hal itu akan m
Hari Kamis menjelang sore Dino menelpon dan mengabariku sesuatu." Ada apa Dino?""Aku harap kamu bisa datang di lokasi yang aku share di saat yang tepat sore nanti," pintanya."Ngapain?" tanyaku heran."Aku udah rencanakan sesuatu," balasnya."Apa tepatnya Dino?""Uhm, aku berencana ketemuann karema ada hal yang akan kita bahas, makanya kamu harus datang, datanglah ketika Akbar juga datang.""Oke, sip. Tapi apakah itu menjamin akan berhasil?""Kalo gagal ya tinggal coba lagi kan ya?" Pria itu tertawa. "Baiklah aku akan pergi.""Ditunggu."*Ya, aku sudah menunggu di mobil milik ayah, memantau keadaan cafe yang lumayan tertutup, dari luar terlihat seperti tempat makan bertema kebun mini yang asri, di mana pagar dan kanopinya dipenuhi mawar berwarna warni.Kukenakan wig, topi, dan kacamata hitam untuk menyamarkan penampilan, lalu aku beringsut masuk ke dalam sana, memilih sebuah bangku yang berada di sudut agar tidak kentara sedang memperhatikan Lisa dan Dino.Entah apa yang m
Apakah episode terburuk dari satu hubungan, selain berakhir di pengadilan? Ketika palu diketuk maka ikatan yang telah dibangun dari nol akan berakhir saat itu juga meluncurkan semua janji dan komitmen yang pernah ada. Ya, mungkin perasaan buruk itu sedang kualami saat ini.Sebulan berlalu sejak kejadian di gerbang rumah, setelah aku mencampakkannya dan setelah dia tahu bahwa istrinya telah diam-diam membuka aib rumah tangga sendiri pada pria lain. Kini kami di pertemukan hanya berjarak 2 setengah meter di kursi pengadilan.Kami sedang mendengar berkas-berkas yang sedang dibacakan Hakim perihal laporan dan proses persidangan yang telah terjadi. Sesekali aku dan dia saling melirik tapi kami tidak saling mengatakan sepatah kata pun. Hanya melihat lalu mengalihkan pandangan ke arah yang berbeda." ... maka dengan ini pengadilan memutuskan menjatuhkan ... cerai!"Hanya itu yang terdengar jelas dan suamiku terlihat terkesiap. Terus menggeleng dan seakan tidak bisa menerima apa yang terjad
Sekembalinya dari pengadilan, aku langsung naik ke kamar dan menutup pintunya. Kujatuhkan diri di pembaringan, sambil menghela napas, meresapi bahwa diri ini baru saja berstatus janda. Ya, menjanda. Setelah ini entah bagaimana akan kujalani hidup, apakah semuanya baik-baik saja ataukah aku harus menerima stigma seperti janda-janda yang lain. Semoga saja tidak. Sebenarnya pilihan untuk bercerai tidak akan diambil jika seorang wanita merasa nyaman dengan rumah tangganya, tapi, jika sudah tak bahagia? Untuk apa menjerumuskan diri dalam kehancuran? Kubuka lagi yang berada di dekat meja dan mengambil buku diary milikku lalu mengeluarkan selembar foto pernikahan kami yang tersisa dari sana. Ada aku dan Mas Akbar berdiri berdampingan dengan baju pengantin berwarna coklat muda. Raut bahagia terpancar dari wajah kami meski saat itu pernikahan tidak dilangsungkan dengan meriah dan keluargaku tidak datang. Tidak kusangka bahwa hari hari paling bahagia dari sebuah hubungan itu akan berakhi
Dua Minggu setelahnya.Dan ... di sinilah kami, meluncur di jalanan, untuk kembali ke desa, meninggalkan rumah kota kami yang penuh kenangan dan cerita. Rencana untuk membuka lembaran baru dan melupakan semua yang telah terjadi kelihatannya akan jadi lebih mudah jika aku tidak berada di sana. Tinggal di kota menghirup udara yang sama, merasakan suasana dan beberapa tempat yang memiliki nilai memory indah, akan semakin membuatku terjerembab dalam kesedihan yang mendalam.Sesampainya di lampu merah terakhir, persilangan sebelum gerbang tol yang menjadi pembatas kota, aku bertemu dengan mobil Mas Akbar. Dia terlihat berdua dengan istrinya dengan kaca jendela terbuka. Ayah dan ibu tidak menyadari keberadaan pasangan itu di simpang jalan sebelah kiri kami. Begitu juga Mas Akbar, dia tak melihat ada mobil ayahku tepat di sebelah kanannya. "Semoga saja, mereka tak menyadarinya, aku malas,", gumamku.Diperhatikan lebih jelas, pasangan suami istri itu nampak saling mendiamkan, sama sama
Sejak hari pertemuan terakhir, mantan suami mengirimkan koper dan barang-barwng pribadiku. Tak lupa sepucuk surat tentang penyesalannya tapi aku tak membacanya sampai selesai, kubuanh saja ke dalam tong sampah khawatir diri ini akan muntah.Di hari itu juga aku bertekad untuk menyelesaikan segala hal yang membuatku terjerat dalam bayang masa lalu, kuputuskan untuk membakar foto-foto mantan suami, hadiah yang pernah dia belikan dulu, serta hal hal yang mengingatkanku padanya, ternasukt gaun dan lipstik yang dia sukai saat aku mengenakannya.Kubawa ke pekarangan belakang dan memasukkan ke dalam tong pembakaran sampah, lalu menyulutnya dengan cepat."Kenapa tak disimpan saja?""Menyimpannya, atau memberinya pada orang lain akan membuatku terluka. Suatu saat aku akan melihat pakaian itu lagi, dan luka lama akan terbuka. Kalau mau sedekah, aku akan sedekahkan pakaian baru yang layak, bukan baju bekas, Bu.""Baiklah, terserah kamu saja, Nak. Lakukan apa yang membuatmu lega.""Iya.""Kamu
"Duduklah dan buatlah dirimu nyaman," ujarnya mempersilakan sementara dia ke dapur."Kau tidak perlu repot membuatkan minum," ujarku."Aku harus menyambut tamu," jawabnya tertawa."Aku bukan tamu, aku adalah tetangga yang sudah kau kenal," jawabku sambil mengedarkan pandangan dan melihat rumah yang ditata penuh estetika itu. Meski kecil tapi tempat itu lebib mirip instalasi seni dibanding rumah, terlalu nyaman bahkan."Kau menata sendiri tempat ini? Ide dari mana?""Aku juga belajar design secara otodidak, melihat gaya interior khas Eropa dan Amerika di era pertengahan, membuatku terinspirasi untuk mengaplikasikannya pada rumah sendiri.""Aku lihat dari aksesoris dan gaya penataannya," jawabku terkesan."Ini tehnya," ucapnya meletakkan di meja."Terima kasih.""Aku lihat di sudut sana, kau punya beberapa kamera, apa kau suka fotografi juga?""Ya, aku ingin jadi serba bisa.""Aku suka seseorang yang suka mengembangkan bakat dan kemampuannya," pujiku."Kupikir harusnya semua orang seper
Sekembalinya Mas Azlam dari kantor polisi, dia menemuiku, membawakan makanan dan mendaratkan kecupan hangat di kening."Gimana Sofi, masih sakit?""Iya, Mas, tapi aku udah dikasih penghilang nyeri," balasku cepat."Sekarang makan ya," bujuknya."Udah makan sih tadi, btw, gimana di kantor polisi tadi?""Lancar. Aku udah kasih keterangan lengkap, dan pastikan Akbar dihukum karena perbuatannya.""Dia memang bersalah, tapi aku berniat tidak memperpanjang masalah, Mas. Kita baru saja menikah, Aku punya bayi yang masih kecil di mana dia membutuhkan kasih sayang dan perhatian, kamu juga sibuk dengan kerjaanmu, kita tak akan punya waktu untuk bolak balik mengurusi perkara," ucapku pelan."Jadi kau tidak setuju pria itu ditahan?" Mas Azlam terbelalak padaku "Bukan begitu ...""Jadi, kau mau bebaskan dia, penjahat yang sudah menusukmu disamping memberi luka berkepanjangan sejak dulu?""Aku setuju dia dihukum, tapi ada baiknya serahkan kasusnya ke polisi, biar mereka yang tangani.""Bagaimana
Ada apa dengan Mantan suamiku, aku tak paham mengapa dia menusuk bahu ini dengan pusat apa dia ingin membunuh atau bagaimana? aku sungguh tak mengerti mengapa dia melakukannya. Acara pernikahan yang tadinya akan bahagia dan sakral menjadi gaduh dan penuh teriakan panik. Mas Azlam datang setelah diteriaki banyak orang untuk menyelamatkanku, tentu ekspresinya langsung histeris melihatku bersimbah darah. Tak peduli seberapa indah pakaian yang dikenakannya, pria itu langsung menghampiriku dan menggendong diri ini ke mobilnya."Siapa saja, panggilkan polisi! Sofia, siapa yang lakukan ini," ucapnya panik sambil menggotong tubuhku.Kembang goyang dan melati berguguran satu persatu dari sanggulku, benda itu terlepas dan siapa yang peduli ... nyawa lebih penting sekarang. "Baik, Mas," ucap adik dari calon suamiku itu dengan panik dan gerakan cepat."Suruh polisi untuk menemukan mantan suami Sofia, dasar biadab pria itu," ujar Mas Azlam dengan napas terengah-engah karena marah." ... bertahan
Rasanya ada sedikit rasa tak percaya bahwa hari ini adalah hari bahagia. Aku tak menyangka, bahwa pada pernikahan kedua justru momennya terasa sangat berbeda, aku merasakan energi baik dan optimisme yang cerah akan masa depanku.Sejak subuh, tim make up artist datang dan meriasku di depan kaca yang diberi lampu, rasanya tak percaya bahwa waita yang sudah disulap begitu cantik dalam balutan kebaya ungu itu adalah aku."Bagaimana riasannya, Mbak, Mbak suka?" tanya periasnya dengan ramah."Iya, saya puas sekali, saya seolah telah menjadi orang dan kepribadian yang baru," jawabku tersenyum puas."Saya yakin calon suami Mbak akan terpesona, hingga lupa bagaimana cara mengucapkan kabul," candanya sambil meletakkan kerudung pengantin di atas kembang goyang yang menghiasi sanggul."Selalu ada keharuan dan semangat ketika melihat mata calon mempela berbinar bahagia," ucap wanita yang sudah cukup terkenal dengan riasannya di kota ini."Terima kasih ya, sudah mau datang dan membantu saya," b
Kata orang, siapa saja yang akan menghadapi hari bahagia, mereka pasti akan diliputi banyak halangan dan rintangan. Jujur aku berdebar, sedikit gelisah dan takut, bahwa melepas status janda ini akan kembali membawa luka yang sama seperti saat aku bersama Mas Akbar.Kupeluk bayi yang ada di dalam gendonganku, sejak kehadirannya aku sering mencurahkan isi hati dan berbicara dengan putriku Sabrina. Bayi cantik yang seakan mengerti kegelisahan ibunya kadang memberikan respon dengan sentuhan tangan kadang juga serupa senyuman yang menguatkan."Mama mau membuka hati dan mencoba menikah kembali apakah Sabrina membolehkan itu terjadi?" tanyaku sambil memeluk bayi itu dan mencoba menidurkannya."Anakmu pasti setuju, Ibu yakin bahwa dia bahagia melihat mamanya bahagia," timpal ibu yang tiba-tiba datang membawakan segelas susu dan meletakkannya di meja kamarku."Aku gundah Bu...""Yang membuat dirimu gundah adalah pendekatanmu dengan Azlam atau masa lalumu yang terus menakut-nakuti?""Sebenarnya
Dari kejauhan matahari mulai menunjukkan sinarnya. Kupandangi cahaya jingga cantik di ufuk timur dari jendela kamar sambil merenungi kejadian selama beberapa hari belakangan.Semua itu hanya tentang satu orang.Mungkin aku wanita terkejam karena hanya memikirkan diri sendiri dan tidak berusaha untuk menunjukkan betapa aku ingin bersama dengan Irfan. Perasaan ini merasa bersalah dan sejauh yang kupahami, selama ini akulah yang tidak memperjuangkan cinta. Kalimat di bibir ingin bersama, namun aku hanya pasrah terhadap penolakan keluarganya. Aku hanya duduk berpangku tangan sementara hanya dia sendiri yang berusaha untuk segalanya. Ya, hanya dia. Rasanya ini tidak adil, tiba-tiba aku memilih pria lain yang ternyata lebih mapan darinya tapi beginilah dunia wanita, meski kadang kami mementingkan perasaan, wanita juga harus realistis sewaktu-waktu. Aku memilih Mas Azlam dengan segala pertimbangan yang sudah ku pikirkan matang-matang. Aku tahu Irfan terluka, dia sedih dan kecewa karena
"Assalamualaikum ..." Keluarga Budhe Mega sudah sampai, mereka turun dari mobil, mengucapkan salam dan kedua orang tuaku menyambut dengan wajah berbinar. "Assalamualaikum, Sofia," ucap Mas Azlam mengulurkan tangan, agak ragu diri ini menyambut, gemetar telapak tanganku dan berdebar perasaan di dalam dada. Entah kenapa aku sangat malu padanya."Walaikum salam Mas," balasku. Hati ini sudah tak karuan canggungnya. Sempat kumarahi diri sendiri mengapa aku harus bersikap sekaku ini, aku menyambut tangan ibu dan adik Mas azlam dengan ramah tapi tatapan mataku terus terarah padanya.Kuperhatikan kali ini penampilannya baru, rambutnya lebih rapi, wajahnya bersih dari bulu-bulu halus, dia terlihat makin tampan dan jujur mungkin, aku terpesona."Mana bayinya, Tante?" tanya Mas Azlam pada ibu."Sebentar, Tante ambil ya," ucap ibu sambil bersemangat menuju kamarku. Tak lama kemudian ibu datang membawa anakku dengan kebanggaan yang terpancar jelas di roman wajahnya."Ini dia, Sabrina, dia cucuku
Aku mendengar tangisan bayiku mengudara memenuhi ruangan ini. Seakan mendapatkan energi baru, aku merasa seolah baru saja dihidupkan dari kematian panjang. Sakit yang sejak pagi pagi mendera langsung lenyap begitu saja ketika tahu bahwa anakku terlahir sehat tak kurang satu apapun."Alhamdulillah, Bu. Bayinya perempuan," kata Ibu Bidan sembari sibuk membungkus anakku dan meletakkannya ke tempat tidur hangat, selanjutnya bidan yang nampak lembut hati itu mendekati dan melanjutkan perawatanku.Karena begitu lelah, perlahan kesadaranku mulai menurun, rasanya kelopak mata ini mulai terasa berat selagi bidan menjahitkan bagian kewanitaanku. Mungkin aku tertidur setelahnya, aku lupa tentang betapa sakitnya perjuangan berjam jam tadi dan betapa geramnya aku pada mas Akbar yang datang tanpa diundang. Tadinya, diri ini sedikit khawatir bahwa mungkin saja dia akan menculik anak kami, tapi rasa kantuk yang mendera saat itu sama sekali tidak bisa kutahan.Aku terbangun dan membuka mata,
Sebulan lebih berlalu.Aku tak mengerti mengapa hari ini firasatku tak nyaman, aku tak tahu mengapa hatiku galau tak berujung, mendung di ujung sana membuat perasaanku makin tak menentu."Kamu kenapa Nak?"Ibu yang tidak tahan memperhatikan aku uyang terus berdiri di dekat pintu dan menatap hamparan kebun lantas bertanya,"Apa ada hal yang menggangu?""Tidak, aku hanya mulai merasa tak nyaman di perut," jawabku.Ibu mendekat lantas mengelus perutku yang membuncit besar, dia tersenyum lembut dan mengajakku duduk."Apa hari taksiran persalinan sudah dekat?""Mungkin sudah," jawabku gamang."Akhir-akhir ini kamu sering berdiam diri dan termenung? Apa kedua pria yang melamarmu itu membuatmu sangat galau dan sedih?""Sedikit tentang itu, tak semuanya menggangguku. Aku hanya galau mempersiapkan mental untuk hari kelahiran," jawabku.Wanita tercintaku itu lalu tersenyum sambil menghela nafas panjang. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat."Ibu paham bahwa di masa akhir akhir ke
Kini aku sendiri, termenung di bangku menatap luas hamparan hijau padi dengan perasan gamang. Aku berada dalam kebingungan dan dilema panjang. Aku tahu, bahwa Tuhan menjanjikan setelah kesusahan ada kebaikan dan kebahagiaan, tapi kebaikan yang datang sekarang ada dua dan aku bingung menentukan akan condong ke arah yang mana.Galau hati ini memilih antara Irfan pemuda mandiri, dan penuh perhatian, dia selalu membuatku ceria atau Mas Azlam yang lembut, alim dan mapan yang merupakan kerabat dekat, keduanya punya sisi baik, di mana aku sulit menentukan harus memilih siapa.Kini cara satu satunya adalah mencatat hal hal yang kurang baik atau aral yang akan membuat hubungan kami di masa depan tak akan bahagia. Misalnya Irfan, kedua orang tuanya menentang, mereka kompak menyoroti kehamilan dan status jandaku. Mereka merasa bahwa anak mereka yang lebih memilihku yang dicampakkan suami adalah sebuah keputus-asaan.Orah tua dan keluarga Irfan merasa bahwa menikahiku adalah aib yang mema