Meninggalkan kantor polisi diri ini segera bergegas menuju ke rumah ingin menemui ibu dan memberi tahu apa yang terjadi. Aku rasa beliau akan syok mengetahui suaminya ditahan polisi karena aku, namun karena itu sudah terjadi mau tidak mau, aku harus menghadapinya.Kubuka pintu dengan hati bimbang dan dada berdebar, kuharap respon Ibuku itu tidak akan terlalu dramatis, kuharap beliau akan kuat mendengar kabar dariku."Ibu ....""Lho udah pulang, Nak? Mana ayah?" yanyaya mengedarkan pandangan berharap bahwa suaminya pulang bersamaku."Ayah bertengkar dengan mertuaku dan mertua Mas Akbar, terjadi keributan sehingga Ayah harus dibawa ke kantor polisi," balasku.Ibu terlihat terkejut, tapi beliau tidak sampai menangis, hanya bibirnya bergetar dan ekspresi wajahnya saja yang bingung."Lalu, ayah bilang apa?""Beliau meminta kita untuk pergi ke rumah Om Hamdan untuk minta bantuan," jawabku."Kalo begitu, ayo kita pergi," ajaknya segera."Aku ingin minum dulu, Bu," cegatku."Oh, iya jug
Tidak mengambil waktu lama untuk Om Hamdan membantu ayah, pria itu menemui anggota polisi dan beradu argumen dengan mereka. Dengan jaminan jabatan dan kredibilitasnya sebagai pensiunan anggota TNI, pria itu memaksa untuk membawa Ayah pulang.Tadinya polisi keberatan namun karena mereka juga memiliki rasa segan, ditambah sikap Ayah yang tidak bertele-tele Dan koperatif akhirnya mereka membiarkan Ayah pulang dengan syarat bahwa bersedia dipanggil sewaktu-waktu dibutuhkan.Termasuk status Ayah yang bisa saja menjadi tersangka utama atas penganiayaan Mas Akbar.Kabar baik berikutnya adalah tiba-tiba Mas Akbar datang ke kantor polisi dan meminta agar laporan tersebut dibatalkan."Beliau Ayah mertua saya, diantara kami terjadi sedikit kesalahpahaman jadi saya mohon untuk melepaskan beliau.""Tapi orang tua anda sudah memberikan bukti bahwa anda dilukai," ucap polisi yang saat itu berdiri tidak jauh dari tempatku dan ayah."Uhm ... Sebagai korban Saya melepaskan beliau dan saya tidak ingin
Hari itu aku pergi ke sebuah klinik yang cukup terkenal dengan pelayanannya untuk memeriksakan kandungan bersama ibu. Kami mendaftar dan mengantri giliran di ruang tunggu sambil aku mendengarkan cerita pengalaman ibu, bagaimana beliau mengandung diriku."Dulu, ibu bahagia sekali begitu juga Ayah saking bahagianya dia bahkan tidak membiarkan Ibu mengerjakan tugas apapun, hanya revahan dan makan saja sepanjang hari," ucapnya dengan tawa berderai."Sungguh?" "Iya, Nak, bahkan ke kamar mandi pun Ibu diantar karena Ayah khawatir ibu akan jatuh terpeleset karena licin."Aku tersenyum mendengar jawaban ibu dan sedikit iri karena kehamilanku tidak berlangsung bahagia seperti yang Ibu rasakan. Aku juga ingin berada di pelukan suami dan bermanja-manja dengannya, dituruti segala kemauan dan selalu dilindungi, namun apa daya, itu tinggal harapan kosong semata.Selagi asyik melanjutkan obrolan, tiba-tiba Lisa datang bersama Mas Akbar, dia menggandeng tangan suamiku dan terlihat mengambil nomor
Tanpa berpikir panjang lagi dari klinik aku langsung menuju ke rumah, untuk mengambil barang-barang berharap kau milikku sebelum lisa membuang atau bahkan menjualnya.Kubuka pintu, karena punya cadangan kunci, masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar, kuambil semua barang dan mengemasi benda benda koleksi, lukisan keramik dan alat alat kecantikan.Lalu dilanjutkan ke dapur dan mengemasi perlengkapan yag kubeli mahal. Kumasukkan semuanya ke dalam box plastik ukuran besar dan bersiap membawanya pergi. Namun sial, baru saja mau pergi tiba tiba Mas Akbar datang bersama gundiknya."Astaga ada pencuri di rumah ini," ucap Lisa terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan. Aku yang tengah menyeret dua bua kotak langsung menurunkannya dan mendekat pada wanita itu."Apa katamu? Bukannya terbalik, harusnya aku yang bilang kalo maling yang kini tinggal di rumahku," jawabku."Apa ini Sofia?" tanya Mas Akbar."Barang-barangku," jawabku."Memangnya kamu mau kemana?""Mengamankan barangku,
Setelah dipikir dan ditimbang dengan teliti, terlalu mudah bagi masa Akbar jika aku hanya mengajukan gugatan perceraian dan semuanya berakhir. Terlalu muda untuknya tanpa dia mengalami kerugian apapun, setelah palu perceraian diketuk dia akan kembali kepada istrinya dan aku akan sendiri mengurus bayi ini tanpa bantuan siapapun.Aku harus membuat seseorang mengganti kerugian moral dan materiilku, aku juga akan balas dendam pada wanita yang sudah menghancurkan pernikahan dan mimpi indah tentang hidup bahagia, bersama anak kami. Aku akan membuat Lisa menderita.Karena sama sekali tidak mengenal latar belakang dan seluk beluk wanita itu, aku mencoba membuka akun sosial medianya dan menelusuri, kira-kira dia sering berada dimana alamat rumahnya dan komunitas apa yang kerap dia kunjungi untuk membaur dan menghabiskan waktu, aku ingin mencari kelemahan dan sisi buruk wanita itu, aku yakin akan menemukannya, karena setiap orang punya pasti punya aib yang disembunyikan.Satu-satunya cara un
Mendengar ucapanku wanita itu menjadi panik luar biasa, sepertinya dia paham apa yang aku katakan dan kini mondar-mandir mencari solusi untuk dirinya sendiri. Kini dia terlihat meraih ponselnya dan menghubungi Mas Akbar."Mas segera pulang, aku nggak tahu apa yang akan terjadi," ucapnya panik."Hmm, apa yang terjadi Sayang?" Suara Mas Akbar terdengar olehku dari seberang sana."Aku mau ke rumah Papa saja kalo kamu gak pulang, Mas," ujarnya."Jangan khawatir aku akan pulang," balas Mas Akbar.Selagi dia belum menyelesaikan pembicaraannya kurebut ponsel itu dan ku lempar ke dalam kolam ikan yang tepat berada di depan pintu samping. Wanita itu terperanjat melihat perlakuanku, dia geram an menjerit kasar, namun dia tidak bisa melakukan sesuatu, karena aku sedang hamil dan sedikit saja dia menyentuhku kupastikan dia masuk ke kantor polisi."Kurang ajar, aku lagi nelpon, dasar jalang!" teriaknya."Apa katamu?!" Kucengkeram rambutnya yang tergerai lepas dan menyeretnya keras ke ruang te
Setelah kepergian penagih utang Mas Akbar dan Lisa terlihat syok dan jatuh lemas di ruang tamu. Mereka duduk di sofa sambil saling menatap dan tidak mengatakan apa apa."Bagaimana hadiah hari ini?"tanyaku sambil tersenyum puas."Jangan keterlaluan, kamu boleh saja senang sudah menyakiti kami, tapi kami pun bisa membalasmu!""Hahahah, ya ampun, Jangan pikirkan tentang membalasku tapi pikirkan bagaimana cara melunasi hutangmu," jawabku tertawa."Aku mau pergi saja dari tempat ini," ucapnya sambil bergegas mengambil tas ke kamarnya. Bagus karena aku tak perlu susah payah mengusirnya."Tidak usah buru-buru pergi dan beritahu ayahmu agar dia datang kemari dan memarahiku," teriakku santai.Tiba-tiba Mas Akbar menimpali dengan tatapan sinis"Sikap seperti ini yang membuatku jadi kecewa padamu kupikir setelah menikah lagi kau akan semakin lembut dan menyadari kewajibanmu, tapi nyatanya kau telah kehilangan akal," desis Mas Akbar."Apa, jadi kau berharap setelah kau menikah lagi aku akan se
Pagi menjelang, dengan kicau burung dan aroma tanah khas bekas hujan semalam. Cahaya terang yang menerobos masuk dari jendela, membuatku terpaksa bangkit sambil mengucek mata dan melirik jam dinding. "Sudah pukul tujuh rupanya," gumamku sambil mengangkat selimut dan bangkit dari tempat tidur.Kususuri ruang tengah hingga ke depan, tidak kutemukan siapapun selain diri sendiri di rumah ini, artinya, Mas Akbar tidak pulang, mungkin bermalam di rumah mertuanya, atau mentok ke rumah ibunya.Kuhela napas sambil meraih gelas di atas meja, lalu menuangkan air dari teko kaca dan meneguk isinya.Kurasa aku harus mulai membersihkan rumah, karena sejak beberapa hari kepergianku, tempat ini terlihat tidak terlalu diurus dengan detail, jadi, aku harus membereskan semua itu, berikut juga dengan sisa barang barang Lisa yang tertinggal.Kubuka kulkas, berharap ada makanan di sana, seperti biasa. Tapi, sayang, kosong, tidak ada apa-apa. Kuraih ponsel dan memerika m-banking, melihat sisa uang belanj
Sekembalinya Mas Azlam dari kantor polisi, dia menemuiku, membawakan makanan dan mendaratkan kecupan hangat di kening."Gimana Sofi, masih sakit?""Iya, Mas, tapi aku udah dikasih penghilang nyeri," balasku cepat."Sekarang makan ya," bujuknya."Udah makan sih tadi, btw, gimana di kantor polisi tadi?""Lancar. Aku udah kasih keterangan lengkap, dan pastikan Akbar dihukum karena perbuatannya.""Dia memang bersalah, tapi aku berniat tidak memperpanjang masalah, Mas. Kita baru saja menikah, Aku punya bayi yang masih kecil di mana dia membutuhkan kasih sayang dan perhatian, kamu juga sibuk dengan kerjaanmu, kita tak akan punya waktu untuk bolak balik mengurusi perkara," ucapku pelan."Jadi kau tidak setuju pria itu ditahan?" Mas Azlam terbelalak padaku "Bukan begitu ...""Jadi, kau mau bebaskan dia, penjahat yang sudah menusukmu disamping memberi luka berkepanjangan sejak dulu?""Aku setuju dia dihukum, tapi ada baiknya serahkan kasusnya ke polisi, biar mereka yang tangani.""Bagaimana
Ada apa dengan Mantan suamiku, aku tak paham mengapa dia menusuk bahu ini dengan pusat apa dia ingin membunuh atau bagaimana? aku sungguh tak mengerti mengapa dia melakukannya. Acara pernikahan yang tadinya akan bahagia dan sakral menjadi gaduh dan penuh teriakan panik. Mas Azlam datang setelah diteriaki banyak orang untuk menyelamatkanku, tentu ekspresinya langsung histeris melihatku bersimbah darah. Tak peduli seberapa indah pakaian yang dikenakannya, pria itu langsung menghampiriku dan menggendong diri ini ke mobilnya."Siapa saja, panggilkan polisi! Sofia, siapa yang lakukan ini," ucapnya panik sambil menggotong tubuhku.Kembang goyang dan melati berguguran satu persatu dari sanggulku, benda itu terlepas dan siapa yang peduli ... nyawa lebih penting sekarang. "Baik, Mas," ucap adik dari calon suamiku itu dengan panik dan gerakan cepat."Suruh polisi untuk menemukan mantan suami Sofia, dasar biadab pria itu," ujar Mas Azlam dengan napas terengah-engah karena marah." ... bertahan
Rasanya ada sedikit rasa tak percaya bahwa hari ini adalah hari bahagia. Aku tak menyangka, bahwa pada pernikahan kedua justru momennya terasa sangat berbeda, aku merasakan energi baik dan optimisme yang cerah akan masa depanku.Sejak subuh, tim make up artist datang dan meriasku di depan kaca yang diberi lampu, rasanya tak percaya bahwa waita yang sudah disulap begitu cantik dalam balutan kebaya ungu itu adalah aku."Bagaimana riasannya, Mbak, Mbak suka?" tanya periasnya dengan ramah."Iya, saya puas sekali, saya seolah telah menjadi orang dan kepribadian yang baru," jawabku tersenyum puas."Saya yakin calon suami Mbak akan terpesona, hingga lupa bagaimana cara mengucapkan kabul," candanya sambil meletakkan kerudung pengantin di atas kembang goyang yang menghiasi sanggul."Selalu ada keharuan dan semangat ketika melihat mata calon mempela berbinar bahagia," ucap wanita yang sudah cukup terkenal dengan riasannya di kota ini."Terima kasih ya, sudah mau datang dan membantu saya," b
Kata orang, siapa saja yang akan menghadapi hari bahagia, mereka pasti akan diliputi banyak halangan dan rintangan. Jujur aku berdebar, sedikit gelisah dan takut, bahwa melepas status janda ini akan kembali membawa luka yang sama seperti saat aku bersama Mas Akbar.Kupeluk bayi yang ada di dalam gendonganku, sejak kehadirannya aku sering mencurahkan isi hati dan berbicara dengan putriku Sabrina. Bayi cantik yang seakan mengerti kegelisahan ibunya kadang memberikan respon dengan sentuhan tangan kadang juga serupa senyuman yang menguatkan."Mama mau membuka hati dan mencoba menikah kembali apakah Sabrina membolehkan itu terjadi?" tanyaku sambil memeluk bayi itu dan mencoba menidurkannya."Anakmu pasti setuju, Ibu yakin bahwa dia bahagia melihat mamanya bahagia," timpal ibu yang tiba-tiba datang membawakan segelas susu dan meletakkannya di meja kamarku."Aku gundah Bu...""Yang membuat dirimu gundah adalah pendekatanmu dengan Azlam atau masa lalumu yang terus menakut-nakuti?""Sebenarnya
Dari kejauhan matahari mulai menunjukkan sinarnya. Kupandangi cahaya jingga cantik di ufuk timur dari jendela kamar sambil merenungi kejadian selama beberapa hari belakangan.Semua itu hanya tentang satu orang.Mungkin aku wanita terkejam karena hanya memikirkan diri sendiri dan tidak berusaha untuk menunjukkan betapa aku ingin bersama dengan Irfan. Perasaan ini merasa bersalah dan sejauh yang kupahami, selama ini akulah yang tidak memperjuangkan cinta. Kalimat di bibir ingin bersama, namun aku hanya pasrah terhadap penolakan keluarganya. Aku hanya duduk berpangku tangan sementara hanya dia sendiri yang berusaha untuk segalanya. Ya, hanya dia. Rasanya ini tidak adil, tiba-tiba aku memilih pria lain yang ternyata lebih mapan darinya tapi beginilah dunia wanita, meski kadang kami mementingkan perasaan, wanita juga harus realistis sewaktu-waktu. Aku memilih Mas Azlam dengan segala pertimbangan yang sudah ku pikirkan matang-matang. Aku tahu Irfan terluka, dia sedih dan kecewa karena
"Assalamualaikum ..." Keluarga Budhe Mega sudah sampai, mereka turun dari mobil, mengucapkan salam dan kedua orang tuaku menyambut dengan wajah berbinar. "Assalamualaikum, Sofia," ucap Mas Azlam mengulurkan tangan, agak ragu diri ini menyambut, gemetar telapak tanganku dan berdebar perasaan di dalam dada. Entah kenapa aku sangat malu padanya."Walaikum salam Mas," balasku. Hati ini sudah tak karuan canggungnya. Sempat kumarahi diri sendiri mengapa aku harus bersikap sekaku ini, aku menyambut tangan ibu dan adik Mas azlam dengan ramah tapi tatapan mataku terus terarah padanya.Kuperhatikan kali ini penampilannya baru, rambutnya lebih rapi, wajahnya bersih dari bulu-bulu halus, dia terlihat makin tampan dan jujur mungkin, aku terpesona."Mana bayinya, Tante?" tanya Mas Azlam pada ibu."Sebentar, Tante ambil ya," ucap ibu sambil bersemangat menuju kamarku. Tak lama kemudian ibu datang membawa anakku dengan kebanggaan yang terpancar jelas di roman wajahnya."Ini dia, Sabrina, dia cucuku
Aku mendengar tangisan bayiku mengudara memenuhi ruangan ini. Seakan mendapatkan energi baru, aku merasa seolah baru saja dihidupkan dari kematian panjang. Sakit yang sejak pagi pagi mendera langsung lenyap begitu saja ketika tahu bahwa anakku terlahir sehat tak kurang satu apapun."Alhamdulillah, Bu. Bayinya perempuan," kata Ibu Bidan sembari sibuk membungkus anakku dan meletakkannya ke tempat tidur hangat, selanjutnya bidan yang nampak lembut hati itu mendekati dan melanjutkan perawatanku.Karena begitu lelah, perlahan kesadaranku mulai menurun, rasanya kelopak mata ini mulai terasa berat selagi bidan menjahitkan bagian kewanitaanku. Mungkin aku tertidur setelahnya, aku lupa tentang betapa sakitnya perjuangan berjam jam tadi dan betapa geramnya aku pada mas Akbar yang datang tanpa diundang. Tadinya, diri ini sedikit khawatir bahwa mungkin saja dia akan menculik anak kami, tapi rasa kantuk yang mendera saat itu sama sekali tidak bisa kutahan.Aku terbangun dan membuka mata,
Sebulan lebih berlalu.Aku tak mengerti mengapa hari ini firasatku tak nyaman, aku tak tahu mengapa hatiku galau tak berujung, mendung di ujung sana membuat perasaanku makin tak menentu."Kamu kenapa Nak?"Ibu yang tidak tahan memperhatikan aku uyang terus berdiri di dekat pintu dan menatap hamparan kebun lantas bertanya,"Apa ada hal yang menggangu?""Tidak, aku hanya mulai merasa tak nyaman di perut," jawabku.Ibu mendekat lantas mengelus perutku yang membuncit besar, dia tersenyum lembut dan mengajakku duduk."Apa hari taksiran persalinan sudah dekat?""Mungkin sudah," jawabku gamang."Akhir-akhir ini kamu sering berdiam diri dan termenung? Apa kedua pria yang melamarmu itu membuatmu sangat galau dan sedih?""Sedikit tentang itu, tak semuanya menggangguku. Aku hanya galau mempersiapkan mental untuk hari kelahiran," jawabku.Wanita tercintaku itu lalu tersenyum sambil menghela nafas panjang. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat."Ibu paham bahwa di masa akhir akhir ke
Kini aku sendiri, termenung di bangku menatap luas hamparan hijau padi dengan perasan gamang. Aku berada dalam kebingungan dan dilema panjang. Aku tahu, bahwa Tuhan menjanjikan setelah kesusahan ada kebaikan dan kebahagiaan, tapi kebaikan yang datang sekarang ada dua dan aku bingung menentukan akan condong ke arah yang mana.Galau hati ini memilih antara Irfan pemuda mandiri, dan penuh perhatian, dia selalu membuatku ceria atau Mas Azlam yang lembut, alim dan mapan yang merupakan kerabat dekat, keduanya punya sisi baik, di mana aku sulit menentukan harus memilih siapa.Kini cara satu satunya adalah mencatat hal hal yang kurang baik atau aral yang akan membuat hubungan kami di masa depan tak akan bahagia. Misalnya Irfan, kedua orang tuanya menentang, mereka kompak menyoroti kehamilan dan status jandaku. Mereka merasa bahwa anak mereka yang lebih memilihku yang dicampakkan suami adalah sebuah keputus-asaan.Orah tua dan keluarga Irfan merasa bahwa menikahiku adalah aib yang mema