Aku menarik koper bajuku dan menyimpannya bersama dengan koper teman yang lain. Ternyata banyak juga para TKW yang dipecat oleh majikannya. Ada juga yang kabur ke agency karena tidak kuat menjalankan pekerjaan yang sangat berat. Mereka memilih kabur daripada harus bekerja seperti budak saja. Wajah-wajah lesu dan lemah terpancar dari wanita-wanita itu. Tidak terkecuali salah satu wanita yang stress dan frustasi karena dugaan pelecehan terhadapnya. Dia langsung menuju ke pojo ruangan yang menghadap pada jendela luar.Penampungan itu adalah sebuah ruangan yang cukup luas tanpa sekat. Hanya satu kamar utama yang pintunya terkunci. Ada dapur besar dan kamar mandi yang cukup besar. Di dinding tertempel lemari. Sementara atasnya sudah penuh dengan koper. Masing-masing lemari gantung itu sudah ada nomer dan kuncinya masing-masing. Kebetulan aku pas datang kesana sudah tidak kebagian lemari. Koperku tak taruh di atas lemari itu.Mbak Yuni segera memerintahkan untuk menyapu dan membersihkan rua
Ternyata penampungan di situ memang sangat angker. Bukan sekali atau dua kali bahkan sering mereka diganggu oleh makhluk yang menghuni tempat itu. Mereka kemudian berkumpul dan langsung menggelar kasur lantai. Takut ada sesuatu yang akan menganggu padahal masih sore. Pantes saja, mereka tidak berani sendirian pergi ke kamar mandi ternyata itu sebabnya. AKu hanya diam, ikut menggelar kasur lantai di samping Tina. Sementara gadis yang agak gila itu tidak boleh tidur bareng dengan teman yang lain.Mbak Yuni berpesan sebelum tidur agar mengunci pintu ruangan dan menyembunyikan semua pisau atau gunting. Takut gadis itu kilaf dan menggunakan untuk mencelakakan orang lain. Kenapa tidak langsung dibawa ke rumah sakit jiwa sih. Mengapa harus disembunyikan. Benar-benar tidak beres agency yang aku ikuti ini.Sampai malam kami tidak bisa tidur hanya terus bercerita untuk mengisi waktu luang. Menunggu gadis itu tidur dan aman."Tin, kenapa kamu betah sih dengan agency yang seperti ini?" tanyaku sa
Aku menyanggupi untuk bekerja pada majikan yang ditawarkan oleh Mom Kristin. Yaitu menggantikan pekerja yang baru saja di interminit majikan karena tidak bisa bekerja. Tidak ada pikiran dan buruk sangka pada majikan itu yang penting aku segera mendapatkan pekerjaan yang baru tidak tinggal di penampungan yang tidak layak itu."Aku siap, Mom," jawabku ketika berada di ruangan Mom Kristin."Baiklah kalau begitu. Kamu siap-siap karena akan ada orang yang akan menjemputmu," ujar Mom Krsitin.Kemudian dia menyodorkan kertas untuk aku tanda tangani. Setelah semuanya beres aku menuju ruangan untuk menyimpan koper dan semua peralatanku. Tina ikut bersamaku dan memeluk dengan pelukan erat."Mbak, bagaimana aku bisa menghubungimu karena tidak ada Hp yang bisa dihubungi," ujar Tina sedih."Udah gak papa, Tin. Semoga pertemuan ini menjadi kisah yang indah bahwa kita pernah berteman dan bertemu di sini. Kalau boleh aku minta alamat desamu. Siapa tahu suatu saat aku bisa main ke rumahmu," ujarku men
"Mbak, kerja jangan bengong saja!" tegur Ida ketika aku hanya melihat perabotan mewah yang ada di dapur itu."Mbak Ida, semua perabotannya mahal-mahal ya? Kok aku jadi takut kalau pecah," ujarku. "Iya Mbak. Semuanya mahal. Makanya kalau bekerja di sini hati-hati, tidak boleh sembrono dan tidak boleh memecahkan barang satu pun. Seandainya memecahkan barang harus bilang kalau tidak pasti ketahuan. Karena di sini semua ada alat perekamnya," ujar Mbak Ida yang masih memetik sayur yang akan dimasak sore nanti."Oh ya, setelah masak dan bos makan malam nanti aku kasih tahu di mana kamar-kamarnya. Karena ruangannya banyak. Jangan lupa bawa catatan. Siapa tahu lupa. Karena kamu kan baru datang. Kali ini kita fokus masak saja," ucap Mbak Ida."Iya Mbak Ida," jawabku agak sedikit takut. Kemana Wangsih ya?Dia tidak kelihatan sama sekali. Tidak membantu kami yang sedang repot di dapur. Oh mungkin dia sedang di atas membersihkan kamar yang besar karena majikanku mau pulang. Jadi dia
Keluarga Tan sudah berkumpul semua. Mbak Ida juga sudah selesai memasak kemudian aku dan Wangsih membantu menyiapkan dan membersihkan meja bundar untuk makan malam keluarga majikanku. Mbak Ida mengajariku untuk mengenalkan perabotan milik anggota keluarga dan tidak boleh tertukar satu sama lain. Dari mangkok, piring, sendok gelas dan sumpit. Mereka makan dengan peralatan masing-masing. Mbak Ida mengatur menu di atas kaca bundar yang bisa diputar. Ada 4 menu dan dan sup panas. Kebiasaan orang Cina adalah minum sup. Kemudian dia menaruh botol-botol kecil yang berisi lada, kecap asin dan garam. Sehingga ketika masakan kurang asin atau kurang gula mereka akan menambahan sendiri. Sambil menunggu majikanku makan, Mbak Ida meminta aku untuk mengupas buah apel dan menaruhnya di atas piring. Dia mengajari semua dari nama-nama makanan kesukaan majikanku serta kebiasaan lainnya. Satu persatu dia memperkenalkan perabot yang tidak berubah serta tidak boleh berpindah atau berubah sama s
Hari ini adalah hari kedua aku bekerja di keluarga Tan yang kaya raya itu. Semalam aku sudah tidak bisa tidur karena cuaca yang sangat panas. Hanya ada kipas angin. Kamar yang disediakan Nyonya Tan untuk kami cukup luas. Dengan kamar mandi yang ada di dalam. Mempunyai tempat tidur yang bertingkat. Aku tidur di atas sementara Ida dan Wangsih tidur di bawah. Sepertinya mereka kurang begitu akrab denganku.Apalagi Wangsih yang masih muda itu. Entah mengapa aku merasa pandangannya tidak bersahabat atau hanya perasaaanku saja.Semalam Mbak Ida dan Wangsih sudah membagi tugas. Harus bangun pukul empat pagi, mandi solat dan segera membuat susu untuk dua anak NYonya Tan. Sedikit terkejut karena anak sebesar itu masih minum susu menggunakan botol bayi. Alasannya karena mereka susah minum susu sehingga harus minum susu dengan cara itu.Pagi hari Wangsih mengajari aku untuk membuat susu dan masuk ke dalam kamar Tan Jiang dan Tan Leo. Tanpa harus berbuat bising dan membangunkan mereka. Setelah mem
Tidak terasa aku sudah bekerja selama satu bulan di tempat Nyonya Tan. Walaupun Setiap hari aku mendapatkan komplain dari majikanku itu tentang masakan yang tidak enak atau ada sesuatu yang lupa. Tapi aku tetap bertahan hingga aku mendapatkan gaji pertamaku. Nyonya Tan juga akan menawarkan aku sebuah kartu untuk menelpon ke Indonesia. Sangat bahagia sekali saat aku bisa menghubungi keluargaku di Indonesia.Malam harinya, aku segera menghubungi Mas Dani tapi setelah sekian lama tidak dijawab panggilan telepon itu. Berbagai pertanyaan muncul di benakku.Kemana dia kok tidak menjawab panggilan teleponku? AKu terus mencoba menghubungi Mas Dani tidak bisa. Kemudian aku teringat dengan Mas Riski. Aku ingin menelepon Mas Rizki yang nomornya selalu aku simpan dalam buku telepon. Entah mengapa aku sangat merindukan Mas Rizki. Sosok pria yang sangat perhatian dan pernah membantuku saat aku merasakan kesusahan keuangan.Setelah beberapa saat panggilan teleponku tidak diangkat baru setelah mencob
"Kenapa kamu tidak meminta maaf denganu, Minah. Apakah kamu tidak suka dengan sikapku padamu. Ini masih biasa kamu melakukan kesalahan yang sangat fatal. Kamu tahu tidak berapa harga baju itu? Harganya sama dengan tiga kali gajimu. Tapi kini sudah luntur dan tidak bisa dipakai. Jadi aku harus marah dengan siapa?" tanya Nyonya Tan dengan wajah yang merah. Di meja makan itu juga ada Tuan Tan dan kedua putrinya. Namun, mereka tidak bisa membantah atau melarang Nyonya Tan untuk memarahiku. Hanya pandangan pada lantai sebagai tempat untuk menyembunyikan kesedihanku.Wangsih menyenggol pundakku kemudian dia berbisik."Mbak MInah, lekas minta maaf maka semua masalah akan kelar. Jangan turuti ego dan keras kepalamu," bisik Wangsih. Aku diam terpaku. Semua anggota TUan Tan juga diam. Perasaanku campur aduk antara ingin pulang atau bertahan di sini. Hingga Wangsih kembali menyenggol pundakku.Tergagap aku mendongakkan kepala dan tidak berani menatap mata Nyonya Tan yang hampir keluar."Eh, maaf
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek