Dokter muda itu tersenyum pada Inno yang duduk di depannya dengan gelisah. Laki-laki itu takut, sangat takut, hal buruk terjadi pada istri dan calon anak mereka. Dia lah penyebab terbesar istrinya itu pingsan."Kandungannya baik-baik saja, Anda tidak perlu khawatir. Tapi, sebaiknya Ibu Amelia tidak boleh terlalu banyak pikiran dan stres. Jangan membawa barang yang berat-berat." Inno mengangguk pelan mendengar nasihat dokter tersebut. "Lalu, apa bahaya kalau melakukan penerbangan jarak jauh, Dok? Karena besok malam kami berangkat ke Italy.""Tidak masalah, Pak. Tetapi tetap hati-hati." Inno kembali mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Dia mendekati istrinya yang masih terbaring di atas brankar klinik. Inno menggenggam jemari tangan istrinya. Tangan kanannya terjulur dan mengusap-usap kepala berhijab instan itu. Inno membungkukkan badan dan mencium lama kening istrinya sembari meminta maaf berkali-kali."Maafkan aku, Sayang. Lagi-lagi aku menyakiti kamu."Amelia tersenyum dan menga
Evan tertawa mendengar ucapan polos dan genit dari keponakannya. Dia tidak menyadari, tak jauh darinya Bunga menatap keduanya dengan tatapan mata sedih.Bunga masih mendengar ucapan Evan yang menggoda Jelita sembari melangkah meninggalkan tempat itu."Oh, keponakan Om sudah ngerti orang ganteng, ya? Terus yang ganteng hanya Om Inno saja, Om Evan nggak ganteng, gitu?" tanyanya sambil menggelitiki Jelita yang ada dalam gendongannya.Jelita tertawa renyah sambil menjawab jujur, "Ganteng lah, tapi Om Inno dan Papa paling ganteng. Hidungnya Om Inno mancung banget kayak Papa!""Jelita! Nanti Om Evan nggak jadi kasih hadiah kalau gitu!" Evan pura-pura cemberut. Bisa-bisanya keponakannya itu membandingkan dirinya dengan dua orang tersebut.Bunga menatap punggung Evan yang menghilang di balik pintu utama. Gadis kecil itu mengusap pipi tirusnya lalu pergi dari situ.Jelita Az'zahra Darmawan, gadis kecil itu memang sangat cantik. Kulitnya putih bermata agak sipit, warisan dari William Darmawan,
Mendengar ucapan Bunga, ada rasa sedih di hati Jelita. "Kamu nggak punya mainan? Memangnya kamu nggak disayang orang tua kamu?" tanyanya ingin tahu. Bunga menggeleng lemah. "Aku nggak punya Papa, aku nggak tinggal di rumah bagus," jawabnya lirih. Jelita tersenyum lebar dan mengusap lengan kurus Bunga. "Ini buat kamu," ucapnya dengan tulus.Gadis kecil bergaun warna pink itu mendongak menatap ke arah Evan, lalu mengulurkan tangan hendak menerima bungkusan dari Jelita. Tetapi, saat tatapan mata tajam Evan mengikuti ke mana arah pergerakan tangan Jelita, lagi-lagi bunga merasa Evan menatapnya. Jadi, dia memilih mundur dan menjauh. Acara ulang tahun ke-5 Jelita, bersamaan dengan acara do'a bersama, di kediaman pengusaha kaya raya itu. Dengan dipimpin oleh seorang Kyai, mereka semua khusyu ikut berdo'a. Anak-anak panti asuhan yang berjumlah puluhan itu juga ikut berdo'a dengan duduk melingkar rapi. Mereka masih antusias mengikuti acara karena setelah do'a bersama, orang tua Jelita menjan
Tak ingin membuang waktu, Evan segera menyiapkan sarapan dan memasukkannya ke dalam wadah kecil. Dia sempat melirik ke arah kakaknya yang mendekat."Kasihan jomblo, mau ke kantor saja mesti nyiapin semua sendiri. Makanya cepat nikah!" ledek Willy sembari mengambil tempat duduk di dekatnya. Evan tak peduli dengan ejekan yang sering dia dengar itu. Dia memilih menikmati coffe lattenya. "Sudah ada calon belum? Biar tidur nggak meluk guling melulu. Ingat , umur sudah dua enam. Dulu, aku nikah umur dua empat!" ledek Willy lagi.Evan memutar bola matanya dan menyahut singkat, "Biarin saja!"Willy hanya tersenyum sekilas. Adiknya itu terlalu santai untuk urusan perempuan. Dia juga bersikap tak acuh pada perempuan."Eh, istrinya Inno punya saudara perempuan nggak, sih?" tanyanya iseng yang sukses membuat Evan menoleh dengan dahi berkerut. "Nggak punya, adiknya cowok. Kenapa?" Willy mengangguk-angguk mengerti. "Kirain punya, aku pengin jodohin kamu sama saudaranya. Buat memperbaiki keturuna
Sekali lagi, Evan tersenyum miris. Mentertawakan dirinya sendiri. Tetapi apa yang bisa dia lakukan? Menghilangkan perasaan itu tak semudah ketika dirinya jatuh cinta. Dia butuh waktu beberapa tahun untuk mengaburkan perasaannya pada Rianti yang sampai sekarang tidak tahu di mana. Dan sampai detik ini pula, Evan tidak bisa sepenuhnya menghapus nama Rianti dari hatinya.Membayangkan sahabatnya itu menghabiskan waktu bersama sang istri di tempat yang romantis membuat hatinya berdenyut nyeri. Evan memejamkan mata dengan kepala mendongak, bersandar pada kursi kerjanya.Suara gaduh di lantai bawah membuyarkan lamunan Evan. Terdengar, Jelita menjerit histeris. Bersamaan dengan di luar sana, suara musik anak-anak mengalun merdu di waktu lewat tengah malam ini. Evan segera bangkit dan bergegas keluar kamar. Suara musik itu masih terdengar sayup-sayup seolah menembus dinding kokoh rumah mereka. Dia mengumpat geram. "Sial!" Setengah berlari, Evan menuruni anak tangga lingkar itu. Di kamarnya, W
Evan tidak ingin ada salah paham antara kakaknya dan keluarga kecil Inno. "Apa yang akan kamu lakukan, Ko?" tanyanya hati-hati. Willy menoleh sekilas padanya kemudian kembali membuang pandangan. "Jangan aneh-aneh. Mereka pergi karena nggak ingin diganggu makhluk itu. Amelia tengah hamil muda. Inno pasti nggak membiarkan siapa pun mengganggu ketenangan mereka!" Evan berkata tegas, yang justru memantik tatapan tajam dari kakaknya. Willy tidak mengerti dengan isi kepala adiknya yang lebih membela sahabat daripada keluarganya sendiri. Laki-laki itu tersenyum satu sudut dan berkata sinis, "Mereka ingin hidup tenang dengan cara meninggalkan masalah ke orang lain? Parahnya, kamu malah membelanya, Van. Kamu nggak kasihan sama Jelita, tapi kasihan sama Amelia. Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu?" Mendengar ejekan kakaknya, Evan menggelengkan kepala samar. "Konyol! Apa yang aku lakukan karena aku tahu mereka nggak bersalah. Inno sahabat aku, Jelita keponakan aku. Tapi, aku berpikir memakai
Amelia melingkarkan kedua lengannya di pinggang sang suami. Kedua matanya terpejam di atas pundak laki-laki itu. Rasanya, ingin sekali dia memberontak, menentang semua keanehan itu. Terkadang dia berpikir, betapa menyedihkannya dia. Ketika tengah mengandung anak yang dinantikan selama 4 tahun lamanya, secara bersamaan cobaan itu datang. Amelia menangis dalam hati. Dia berusaha tidak mengeluarkan air mata di depan suaminya. Dia tak ingin usaha Inno yang sampai sejauh ini demi dirinya terasa sia-sia. Di sisi lain, Amelia juga tidak sanggup memendamnya sendiri. Dia memikirkan keselamatan janinnya yang berusia dua bulan ini. Usia yang sangat rawan jika dirinya terus-menerus stress."Kamu mimpi lagi?" Suara pelan sang suami mendorongnya untuk mengangkat wajah. Inno menangkupkan kedua telapak tangan pada wajah cantik istrinya. Dia menatap dalam manik hitam milik sang istri. Ada keraguan di situ. Rupanya, Inno tahu jika istrinya tengah berusaha menutupi sesuatu."Jangan sembunyikan apa pun
Willy mengamati bunga tasbih layu yang anehnya menguarkan aroma yang sangat wangi. Bukan hanya aroma, warnanya ternyata juga aneh. Hitam. Laki-laki bermata sipit itu menoleh pada Jelita yang kembali asyik menyusun para bonekanya ke dalam box."Kok, aneh. Ada bunga tasbih warnanya hitam dan wangi pula," gumamnya tanpa sadar. "Perasaan, Mama nggak nanam bunga beginian, terus dari mana nih bocah dapat bunga ini?" tanyanya pada diri sendiri.Rupanya, Jelita mendengar gumaman papanya. Gadis berambut panjang itu menoleh. "Papa, itu bunga dari teman aku!" sahut si gadis kecil. William semakin penasaran untuk tahu lebih lanjut. "Kamu main ke mana sama Mbak Asih?" tanyanya heran. Karena di Jakarta, Jelita tidak punya teman kecuali saudara-saudaranya, itu pun rumahnya sangat jauh. Jelita menggeleng singkat. "Papa, aku nggak main ke mana-mana. Tapi teman aku yang main ke sini. Dia selalu bawa bunga itu dan setiap pulang selalu dia tinggal, katanya sebagai ucapan terima kasih. Rumahnya dia banya
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak